Pages - Menu

Saturday, September 30, 2017

Diperbarui Lahir Batin

Sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah. —Yohanes 3:3
Diperbarui Lahir Batin
Beberapa tahun lalu, sebuah penerbit melakukan kesalahan besar. Sebuah buku yang telah berada di pasaran selama beberapa tahun diputuskan untuk diperbarui. Penulisnya menulis kembali buku itu agar tidak ketinggalan zaman. Namun masalah terjadi ketika revisi itu diterbitkan. Penerbit mencetak ulang buku itu dengan sampul baru yang menarik, tetapi isi bukunya masih versi yang lama.
Dari luar, buku itu terlihat baru dan segar, tetapi dalamnya kuno dan ketinggalan zaman. Edisi “cetak ulang” itu tidak benar-benar baru.
Terkadang manusia mengalami hal serupa. Mereka menyadari perlunya ada perubahan, karena segala sesuatu dalam hidup mereka sedang berjalan ke arah yang salah. Namun, apa yang mereka lakukan? Mereka memperbarui penampilan lahiriah mereka, tetapi tidak membuat perubahan penting di dalam hati mereka. Mereka bisa mengubah perilaku tetapi tidak menyadari bahwa hanya Allah yang dapat mengubah batin manusia.
Di Yohanes 3, Nikodemus menyadari bahwa Yesus “diutus Allah” (ay.2) dan Dia menawarkan sesuatu yang sangat berbeda. Perkataan Yesus membuat Nikodemus menyadari bahwa Yesus menawarkan kelahiran baru (ay.4): Ia harus “dilahirkan kembali”, yaitu diperbarui sepenuhnya lahir dan batin (ay.7).
Pembaruan seperti itu hanya terjadi melalui iman dalam Yesus Kristus. Itulah saat “yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2Kor. 5:17). Apakah kamu membutuhkan pembaruan? Percayalah kepada Yesus. Dia akan mengubah hatimu dan membuat segala sesuatu menjadi baru. —Dave Branon
Tuhan, kini aku tahu bahwa perubahan lahiriah—perilaku, penampilan, sikap— tidak mengubah batinku. Aku percaya kepada Yesus, yang mati dan bangkit untuk mengampuni dosa-dosaku. Perbaruilah batinku—dari dalam jiwaku.
Hanya Allah yang sanggup memperbarui kita.

Friday, September 29, 2017

Iman yang Segar

Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia. —Ibrani 10:23
Iman yang Segar
Dahulu ketika putra kami bergumul dengan kecanduan heroin, jika kamu mengatakan kepada saya bahwa suatu hari kelak Allah akan memakai pengalaman kami untuk menguatkan keluarga lain dengan pergumulan serupa, saya pasti akan sulit menerimanya. Memang Allah bekerja dengan cara-Nya sendiri untuk memunculkan kebaikan yang tidak selalu mudah dilihat dari situasi-situasi sulit, terutama ketika kita sedang berada dalam situasi tersebut.
Tomas sang murid juga tidak menduga bahwa Allah akan memunculkan kebaikan dari peristiwa yang paling mengguncang imannya, yaitu penyaliban Yesus Kristus. Tomas tidak bersama murid-murid lainnya saat Yesus menjumpai mereka setelah kebangkitan-Nya, dan dalam dukacita yang besar ia bersikeras, “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya” (Yoh. 20:25). Namun kemudian, saat Yesus muncul di hadapan semua murid, Roh Allah menggugah Tomas yang awalnya ragu untuk mengucapkan pernyataan iman yang luar biasa. Ketika Tomas berseru, “Ya Tuhanku dan Allahku!” (ay.28), ia menangkap kebenaran bahwa Yesus yang berdiri tepat di hadapannya benar-benar adalah Allah yang menjadi manusia. Itulah pengakuan iman yang tegas dan telah menguatkan serta menggugah orang percaya dari abad ke abad.
Allah kita sanggup menggugah iman yang segar dalam hati kita, bahkan pada saat-saat yang tidak kita harapkan. Kita dapat selalu mengandalkan kesetiaan-Nya. Tiada yang terlalu sulit bagi-Nya! —James Banks
Tuhan, terima kasih karena kasih-Mu lebih kuat daripada segala masalah besar yang kami hadapi—bahkan lebih daripada keraguan atau ketakutan kami yang terbesar!
Allah sanggup mengubah keraguan hati menjadi pengakuan iman yang tegas.

Thursday, September 28, 2017

Saat Saya Tak Sanggup Berdoa

Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. —Roma 8:26
Saat Saya Tak Sanggup Berdoa
November 2015, saya diberi tahu bahwa saya membutuhkan bedah jantung. Karena terguncang, saya langsung terpikir tentang kemungkinan meninggal dunia. Adakah hubungan yang perlu dipulihkan? Urusan keuangan yang perlu diselesaikan? Pekerjaan yang dapat diselesaikan lebih awal? Ada juga pekerjaan mendesak yang harus dialihkan kepada orang lain. Saya harus berdoa dan bertindak.
Namun saya tak bisa melakukan keduanya.
Tubuh lelah dan pikiran penat membuat saya tidak kuat melakukan pekerjaan yang paling sederhana sekalipun. Mungkin yang paling mengejutkan, ketika saya mencoba berdoa, pikiran saya terus teralihkan oleh rasa sakit, atau napas-napas pendek karena kerusakan jantung membuat saya mudah jatuh tertidur. Saya merasa frustrasi. Saya tidak dapat bekerja, bahkan tidak sanggup meminta Allah memperpanjang umur saya agar saya dapat menikmati lebih banyak waktu dengan keluarga!
Ketidakmampuan untuk berdoa begitu mengusik saya. Namun sama dengan semua kebutuhan manusia lainnya, Allah Sang Pencipta tahu apa yang saya alami. Akhirnya saya teringat bahwa Allah sudah menyiapkan dua hal untuk keadaan seperti ini: doa dari Roh Kudus untuk kita di saat kita tak bisa berdoa (Rm. 8:26); dan doa dari saudara-saudara seiman untuk kita (Yak. 5:16; Gal. 6:2).
Sungguh saya terhibur saat mengetahui bahwa Roh Kudus juga membawa kekhawatiran saya kepada Allah Bapa. Sungguh saya juga bahagia saat mendengar bahwa sejumlah teman dan kerabat juga mendoakan saya. Lalu muncul kejutan lainnya: Saat teman dan kerabat saya menanyakan apa yang bisa mereka doakan, jelaslah bahwa jawaban saya bagi pertanyaan mereka juga diterima oleh Allah sebagai doa. Alangkah berbahagianya ketika di tengah segala ketidakpastian, kita diingatkan bahwa Allah mendengar suara hati kita bahkan di saat kita merasa tidak sanggup berseru kepada-Nya.—Randy Kilgore
Allah tidak pernah luput mendengarkan suara anak-anak-Nya.

Wednesday, September 27, 2017

Pakaian yang Sesuai Iklim

Di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. —Kolose 3:14
Pakaian yang Sesuai Iklim
Saat mencabut label harga dari selembar pakaian musim dingin yang baru saya beli, saya tersenyum membaca kalimat di bagian belakang label itu: “PERINGATAN: Produk inovatif ini akan membuatmu ingin berlama-lama main di luar.” Dengan mengenakan pakaian yang sesuai iklim, seseorang dapat bertahan hidup dan bahkan berkembang dalam iklim yang buruk dan berubah-ubah.
Prinsip yang sama berlaku bagi kerohanian kita. Sebagai pengikut Yesus, pakaian rohani untuk segala iklim telah ditentukan Tuhan bagi kita dalam firman-Nya, Alkitab. “Sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian” (Kol. 3:12-13).
Pakaian yang disediakan Allah—kemurahan, kerendahan hati, dan kelemahlembutan—memampukan kita untuk menghadapi permusuhan dan kritik dengan penuh kesabaran, pengampunan, dan kasih. Semua itu memberi kita kekuatan untuk bertahan di tengah badai kehidupan.
Ketika kita menghadapi situasi yang tidak menyenangkan, baik di rumah, di sekolah, atau di tempat kerja, “pakaian” yang Allah mau kita kenakan akan melindungi kita dan memampukan kita untuk memberi pengaruh yang positif. “Di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (ay.14).
Pakaian yang sesuai dengan petunjuk Allah memang tidak mengubah iklim, tetapi akan menolong pemakainya untuk siap menghadapi iklim tersebut. —David McCasland
Bapa Surgawi, tolong aku untuk mengenakan pakaian kasih-Mu agar aku siap menghadapi apa pun yang terjadi dalam hidupku hari ini.
Kebaikan adalah pelumas yang mengurangi gesekan kita dengan sesama.

Tuesday, September 26, 2017

Dari Kosong Sampai Penuh

Ketika bejana-bejana itu sudah penuh, . . . berhentilah minyak itu mengalir. —2 Raja-Raja 4:6
Dari Kosong Sampai Penuh
Sebuah buku anak populer menceritakan kisah tentang seorang anak kampung yang miskin bernama Bartolomeus. Saat ia melepas topinya untuk menghormati raja, tiba-tiba topi yang mirip muncul dan langsung bertengger di atas kepalanya. Hal itu membuat raja marah karena ia menganggap anak itu tidak menghormatinya. Bartolomeus melepas topi demi topi sambil diseret ke istana untuk dihukum. Setiap kali ia melepas topinya, topi baru segera muncul di atas kepalanya. Tiap topi yang baru lebih indah daripada topi sebelumnya, bahkan dihiasi permata mahal dan bulu-bulu mewah. Topinya yang ke-500 diincar oleh Raja Derwin, yang akhirnya mengampuni Bartolomeus dan membeli topi itu seharga 500 keping emas. Setelah itu, tidak ada lagi topi yang muncul di kepala Bartolomeus; ia menerima kebebasan dan uang yang dapat menghidupi keluarganya.
Seorang janda datang kepada Elisa karena masalah keuangannya. Janda itu takut anak-anaknya akan dijual sebagai budak untuk membayar utangnya (2 Raj. 4). Ia tidak punya harta selain sebuah bejana berisi minyak. Allah melipatgandakan minyak itu hingga bejana si janda dan bejana-bejana pinjamannya penuh. Hasil penjualan minyak pun digunakannya membayar utang dan memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari (ay.7).
Cara Allah menyediakan kebutuhan finansial janda itu hampir serupa dengan cara-Nya memberikan keselamatan bagi saya. Hidup saya bangkrut karena dosa, tetapi Yesus Kristus membayar utang saya—sekaligus memberikan hidup kekal kepada saya! Tanpa Yesus, setiap dari kita bagaikan anak kampung yang miskin dan yang tidak punya apa-apa untuk membayar semua pelanggaran kita terhadap Sang Raja. Dengan cara-Nya yang ajaib, Allah menyediakan tebusan yang mahal bagi kita, dan memastikan bahwa setiap orang yang percaya kepada-Nya akan memiliki hidup yang berkelimpahan selamanya.—Kirsten Holmberg
Tuhan, terima kasih karena Engkau melunasi utangku melalui pengorbanan Yesus Kristus. Aku tak punya apa-apa; Engkau yang membayar seluruhnya bagiku.
Pengorbanan Yesus Kristus melunasi utang rohani kita.

Monday, September 25, 2017

Terpisah tetapi Tidak Terabaikan

Sekarang aku menyerahkan kamu kepada Tuhan dan kepada firman kasih karunia-Nya, yang berkuasa membangun kamu. —Kisah Para Rasul 20:32
Terpisah tetapi Tidak Terabaikan
Karena haru, saya nyaris tak bisa berkata-kata saat harus berpisah dengan keponakan saya sebelum ia berangkat ke Massachusetts untuk menempuh kuliah pascasarjana di Universitas Boston. Meskipun ia pernah berkuliah di luar kota selama empat tahun, sekolahnya masih berada di negara bagian tempat kami tinggal. Hanya dengan berkendara 2,5 jam, kami dapat mudah bertemu dengannya. Namun sekarang ia berkuliah di kota yang jauhnya lebih dari 1.300 km. Kami tidak bisa lagi bertemu secara rutin untuk berbincang-bincang. Saya harus meyakini bahwa Allah yang akan memeliharanya.
Rasul Paulus mungkin merasakan hal yang sama saat harus berpisah dengan tua-tua jemaat di Efesus. Setelah merintis gereja itu dan mengajar mereka selama tiga tahun, Paulus menganggap tua-tua itu sebagai keluarganya sendiri. Kini Paulus akan pergi ke Yerusalem dan ia tidak akan bertemu mereka lagi.
Namun, Paulus memberikan nasihat perpisahan untuk jemaat di Efesus. Meskipun tidak lagi memiliki Paulus sebagai guru, mereka tidak perlu merasa terabaikan. Allah akan terus melatih mereka menjadi pemimpin gereja melalui “firman kasih karunia-Nya” (Kis. 20:32). Berbeda dengan Paulus, Allah akan selalu bersama mereka.
Baik kita melepas anak-anak kita untuk hidup mandiri atau kerabat dan sahabat kita yang pindah tempat tinggal—mengucapkan perpisahan memang tidak mudah. Mereka berada di luar jangkauan kita dan telah memulai kehidupan baru. Ketika berpisah dengan mereka, kita dapat meyakini bahwa Allah akan menyertai mereka. Allah dapat terus membentuk kehidupan mereka dan memenuhi kebutuhan mereka—lebih dari yang dapat kita lakukan. —Linda Washington
Tuhan, tolong kami untuk mempercayai pemeliharaan-Mu atas orang-orang terkasih yang berada jauh dari kami.
Meskipun kita jauh dari orang-orang yang kita kasihi, mereka tidak pernah jauh dari Allah.

Sunday, September 24, 2017

Hidup dalam Kemah

Kemudian ia pindah dari situ ke pegunungan di sebelah timur Betel. Ia memasang kemahnya dengan Betel di sebelah barat dan Ai di sebelah timur. —Kejadian 12:8
Hidup dalam Kemah
Karena bertumbuh besar di Minnesota yang dikenal dengan danau-danaunya yang indah, saya senang pergi berkemah untuk menikmati keindahan alam ciptaan Allah. Namun, jujur saja, tidur di kemah yang tipis dan rapuh bukanlah bagian favorit dari pengalaman itu—apalagi saat hujan di malam hari dan kemah yang bocor membuat kantong tidur pun menjadi basah.
Saya dibuat kagum saat mengingat salah seorang pahlawan iman kita pernah hidup ratusan tahun di dalam kemah. Ketika berusia 75 tahun, Abraham menerima panggilan Allah untuk meninggalkan negerinya agar Dia dapat menjadikannya sebagai bangsa yang baru (Kej. 12:1-2). Abraham taat dan percaya bahwa Allah akan menepati janji-Nya. Dan di sepanjang hidupnya, sampai ia meninggal dunia pada usia 175 tahun (KEJ. 25:7), ia hidup jauh dari negeri asalnya dan tinggal dalam kemah.
Kita mungkin tidak menerima panggilan yang sama seperti Abraham untuk hidup berpindah-pindah tempat tinggal. Namun, meski kita mengasihi dan melayani dunia ini dan penduduknya, kita mungkin merindukan suatu kediaman yang melebihi tempat tinggal kita di bumi. Ketika keadaan hidup kita didera oleh berbagai badai pergumulan, seperti Abraham kita dapat menantikan dengan iman sebuah kota yang akan datang, yang “direncanakan dan dibangun oleh Allah” (Ibr. 11:10). Dan seperti Abraham, kita dapat tetap berpengharapan bahwa Allah sedang bekerja untuk memperbarui ciptaan-Nya, mempersiapkan “tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi” yang akan datang (ay.16). —Amy Boucher Pye
Tuhan Allah, Engkaulah perlindungan dan dasar kami yang teguh. Kiranya kami percaya kepada-Mu dalam hal-hal besar maupun kecil.
Allah memberi kita dasar yang teguh bagi hidup kita.

Saturday, September 23, 2017

Jawaban Simon

Simon menjawab: “. . . tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” —Lukas 5:5
Jawaban Simon
Refuge Rabindranath telah melayani kaum muda di Sri Lanka lebih dari sepuluh tahun. Ia sering berinteraksi dengan para pemuda hingga larut malam—bermain bersama, mendengarkan, menasihati, dan mengajar mereka. Ia menikmati pelayanannya itu, tetapi terkadang ia juga merasa kecewa ketika murid-murid yang menjanjikan ternyata meninggalkan imannya. Adakalanya ia merasa seperti Simon Petrus di Lukas 5.
Simon telah bekerja sepanjang malam tetapi tidak mendapatkan ikan seekor pun (ay.5). Ia merasa putus asa dan lelah. Namun ketika Yesus berkata kepadanya, “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan” (ay.4), Simon menjawab, “Karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga” (ay.5).
Sungguh luar biasa ketaatan Simon. Sebagai nelayan berpengalaman, Simon tahu ikan-ikan akan bergerak ke dasar danau saat matahari terbit. Jala yang mereka gunakan tidak akan dapat menjangkau sedalam itu.
Kesediaan Simon untuk mempercayai Yesus tidak berakhir sia-sia. Tidak hanya menangkap sejumlah besar ikan, Simon juga mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang siapa Yesus sebenarnya. Semula ia memanggil Yesus sebagai “Guru” (ay.5), tetapi kemudian ia memanggil-Nya “Tuhan” (ay.8). Memang, mendengarkan Tuhan sering membuat kita dapat melihat langsung karya Allah dan mendekatkan kita kepada-Nya.
Mungkin Allah sedang memanggil kamu supaya kembali “menebarkan jala”. Kiranya kita menjawab Tuhan seperti Simon menjawab-Nya, “Karena Engkau menyuruhnya, aku akan [melakukannya].” —Poh Fang Chia
Bapa, sungguh kehormatan bagi kami untuk memanggil-Mu, “Tuhan.” Tolong kami menaati dan mempercayai-Mu, serta makin memahami arti berjalan bersama-Mu.
Ketaatan kepada Allah akan menuntun kita melewati ketidakpastian dan membawa kita semakin dekat kepada-Nya.

Friday, September 22, 2017

Manis, Asam, dan Pahit

Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk? —Ayub 2:10
Manis, Asam, dan Pahit
Saat putra kami yang masih batita menggigit irisan lemon untuk pertama kalinya, ia mengerutkan hidung, menjulurkan lidah, dan memejamkan matanya. “A-cem,” katanya (asam).
Saya tertawa sambil berusaha meraih irisan lemon itu dan berniat melemparkannya ke tempat sampah.
“Angan!” (jangan) teriak Xavier sembari berlari melintasi dapur untuk menjauh dari saya. “A-gi!”(lagi). Bibirnya mengerut tiap kali gigitannya mengucurkan sari lemon. Saya meringis saat ia akhirnya menyerahkan sisa gigitan lemon itu, lalu beranjak pergi.
Indera perasa saya dengan akurat menyatakan kecenderungan saya untuk memilih momen-momen yang manis saja dalam hidup ini. Pilihan saya untuk menghindari segala sesuatu yang terasa pahit itu mengingatkan saya pada istri Ayub. Sama seperti saya, ia tampaknya juga menolak menerima pahitnya penderitaan.
Ayub tentu tidak senang jatuh ke dalam kesulitan atau masalah, tetapi ia tetap memuliakan Allah di tengah keadaannya yang memedihkan hati (Ayb. 1:1-22). Ketika borok timbul di seluruh tubuh Ayub, ia menanggung kesakitannya dengan tabah (2:7-8). Sang istri meminta Ayub untuk mengutuki Tuhan (ay.9), tetapi Ayub merespons dengan tetap mempercayai Tuhan di tengah kesakitan dan penderitaannya (ay.10).
Wajar jika kita memilih untuk menghindari pengalaman yang pahit dalam hidup ini. Kita bahkan dapat tergoda untuk menyerang Allah ketika kita terluka. Namun, Tuhan memakai pencobaan untuk mengajar kita mempercayai-Nya, bergantung pada-Nya, dan berserah kepada-Nya. Dia memampukan kita bertekun di tengah masa-masa yang sulit. Memang kita tidak senang menderita, tetapi seperti Ayub, kita dapat belajar menikmati keindahan tak terduga dari masa-masa sulit yang kita alami—yakni karya Allah yang menguatkan iman kita. —Xochitl Dixon
Tuhan, terima kasih karena Engkau meyakinkan kami bahwa penderitaan kami tak pernah sia-sia saat kami mempercayai Engkau, perbuatan-Mu, dan kesanggupan-Mu.
Allah memakai penderitaan untuk menguatkan iman kita.

Thursday, September 21, 2017

Doa Harian

. . . dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh. —Efesus 6:18
Doa Harian
Penyanyi/penulis lagu, Robert Hamlet, menulis lagu “Lady Who Prays for Me” (Wanita yang Berdoa untukku) sebagai penghargaan kepada ibunya yang berkomitmen untuk mendoakan anak-anaknya setiap pagi sebelum mereka berangkat ke sekolah. Setelah seorang ibu muda mendengar Hamlet menyanyikan lagu tersebut, ia pun berkomitmen untuk mendoakan putra kecilnya. Apa yang terjadi setelah itu sangat mengharukan! Suatu hari, seperti biasa, sang ibu mendoakan putranya sebelum keluar rumah. Lima menit kemudian putranya itu kembali ke rumah . . . sambil mengajak anak-anak lain yang juga sedang menunggu bus sekolah! Ibunya yang terkejut menanyakan apa yang terjadi. Putranya menjawab, “Mama mereka tidak berdoa untuk mereka.”
Di kitab Efesus, Paulus mendorong kita untuk berdoa dengan “segala doa dan permohonan . . . . setiap waktu” (6:18). Menunjukkan ketergantungan kita setiap hari kepada Allah memberikan dampak besar bagi keluarga kita. Banyak anak belajar mempercayai Allah untuk pertama kalinya ketika mereka melihat iman yang sungguh-sungguh dalam diri orang-orang yang terdekat dengan mereka (2Tim. 1:5). Tidak ada cara yang lebih baik untuk mengajarkan pentingnya doa daripada berdoa untuk dan bersama anak-anak kita. Itulah salah satu cara mereka mulai merasakan kebutuhan untuk mencari Allah dan beriman kepada-Nya secara pribadi.
Ketika kita mendidik anak-anak dengan mencontohkan iman yang sungguh-sungguh dan tulus kepada Allah (Ams. 22:6, 2Tim. 1:5), kita memberi mereka hadiah istimewa, yaitu jaminan bahwa Allah senantiasa hadir dalam hidup kita—senantiasa mengasihi, memimpin, dan melindungi kita. —Cindy Hess Kasper
Tuhan, tolonglah aku untuk semakin bergantung sepenuhnya kepada-Mu setiap saat di sepanjang hari dan bersandar pada kepastian bahwa Engkau selalu menyertaiku.
Berdoa setiap hari akan meringankan beban kekhawatiran kita sehari-hari.

Wednesday, September 20, 2017

Mencapai Garis Finis

Berdua lebih menguntungkan daripada seorang diri . . . . Kalau yang seorang jatuh yang lain dapat menolongnya. —Pengkhotbah 4:9-10 BIS
Mencapai Garis Finis
Pada Olimpiade Rio 2016, perhatian dunia tertuju kepada dua atlet wanita dalam lomba lari 5.000 meter. Setelah menempuh jarak sekitar 3.200 meter, Nikki Hamblin asal Selandia Baru dan Abbey D’Agostino asal Amerika Serikat sempat bertabrakan dan sama-sama jatuh. Abbey segera berdiri kembali, tetapi ia berhenti untuk menolong Nikki. Beberapa saat setelah kedua atlet tersebut kembali berlari, Abbey mulai tertatih-tatih karena kaki kanannya cedera akibat jatuh tadi. Sekarang giliran Nikki yang berhenti dan memberi semangat kepada Abbey untuk menyelesaikan perlombaan. Ketika Abbey akhirnya melewati garis finis, Nikki telah menunggu di situ untuk memeluknya. Alangkah indahnya teladan yang mereka tunjukkan dalam saling memberi semangat!
Saya pun teringat pada ayat di Alkitab: “Berdua lebih menguntungkan daripada seorang diri . . . . Kalau yang seorang jatuh yang lain dapat menolongnya. Tetapi kalau seorang jatuh, padahal ia sendirian, celakalah dia, karena tidak ada yang dapat menolongnya” (Pkh. 4:9-10 BIS). Sebagai pelari dalam perlombaan rohani, kita membutuhkan satu sama lain—bahkan terlebih lagi karena kita tidak berlomba untuk saling mengalahkan melainkan sebagai anggota dari tim yang sama. Akan ada masanya kita tertatih-tatih dan memerlukan seseorang untuk menolong kita; pada saat lainnya, seseorang mungkin memerlukan dorongan semangat melalui doa atau kehadiran kita.
Perlombaan rohani tidak dimaksudkan untuk dijalani sendiri. Apakah Allah menuntunmu untuk menjadi seperti Nikki atau Abbey bagi seseorang? Tanggapilah kesempatan yang diberikan-Nya hari ini, dan capailah garis finis itu bersama-sama! —Poh Fang Chia
Tuhan, terima kasih untuk dorongan dari saudara seiman yang menguatkanku dalam perjalanan imanku. Tolonglah aku agar juga dapat menguatkan orang lain.
Kita membutuhkan satu sama lain untuk tiba ke tempat yang Allah mau kita tuju.

Tuesday, September 19, 2017

Yang Terbaik dari Semuanya

Saya sudah mengenal rahasianya untuk menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga. —Filipi 4:12 BIS
Yang Terbaik dari Semuanya
“Punyaku lebih kecil dari punya kakak!”
Semasa kecil, saya dan kakak-kakak saya terkadang bertengkar gara-gara ukuran kue buatan ibu yang dibagi-bagikannya kepada kami. Suatu hari, ayah memperhatikan kelakuan kami dengan heran, lalu ia tersenyum kepada ibu sambil mengangkat piringnya: “Bu, beriku potongan kue sebesar cintamu.” Saya dan kakak-kakak saya diam terpaku melihat ibu tertawa dan kemudian memberikan potongan yang paling besar untuk ayah.
Jika kita berfokus pada milik orang lain, kita sering jatuh pada sikap iri hati. Namun, firman Tuhan membuka mata kita untuk melihat sesuatu yang jauh lebih berharga daripada harta duniawi. Pemazmur menulis, “Bagianku ialah Tuhan, aku telah berjanji untuk berpegang pada firman-firman-Mu. Aku memohon belas kasihan-Mu dengan segenap hati, kasihanilah aku sesuai dengan janji-Mu” (Mzm. 119:57-58). Lewat inspirasi dari Roh Kudus, pemazmur menyatakan kebenaran bahwa tiada hal yang yang lebih berarti daripada kedekatan dengan Allah.
Adakah yang lebih baik untuk kita miliki daripada Pencipta kita yang Mahakasih dan Mahakuasa? Tidak ada sesuatu pun di bumi yang dapat menandingi-Nya, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan kita dari-Nya. Hati manusia bagaikan ruang hampa yang sangat luas; seseorang mungkin saja memiliki “segalanya” di dunia ini dan tetap merasa gelisah. Namun ketika Allah menjadi sumber kebahagiaan kita, kita benar-benar akan memiliki kepuasan sejati. Ada ruang dalam diri kita yang hanya dapat diisi oleh Allah. Hanya Dia yang dapat memberi kita kedamaian yang dirindukan hati kita. —James Banks
Tuhan yang penuh kasih, terima kasih karena tak ada sesuatu dan seorang pun yang dapat memenuhi setiap kebutuhanku seperti yang Engkau lakukan.
Saat kita menjadi milik-Nya, Dia menjadi milik kita selamanya. Kau ciptakan kami bagi-Mu. Hati kami resah sebelum mendapat kelegaan di dalam-Mu. —Augustinus dari Hippo

Monday, September 18, 2017

Perhatikan Pemimpinnya

Marilah kita . . . berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita . . . melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan. —Ibrani 12:1-2
Perhatikan Pemimpinnya
Joshua Bell, pemain biola kenamaan, memiliki cara yang tidak biasa dalam memimpin orkestra kamar Academy of St. Martin in the Fields yang terdiri dari 44 anggota. Alih-alih melambaikan tongkat, ia mengarahkan orkestranya sembari memainkan biola Stradivarius miliknya bersama pemain biola lainnya. Kepada Colorado Public Radio, Bell berkata, “Bahkan saat memainkan biola, saya dapat memberi mereka semua arahan dan tanda yang saya pikir saat ini hanya dapat dipahami oleh mereka sendiri. Mereka memperhatikan tiap gerakan naik-turun biola saya, saat saya mengangkat alis, atau cara saya menggesek biola. Mereka tahu bunyi yang saya inginkan dari mereka sebagai satu orkestra.”
Sama seperti anggota orkestra mengarahkan pandangan mereka kepada Joshua Bell, Alkitab meminta kita untuk terus mengarahkan pandangan kita kepada Yesus, Tuhan kita. Setelah menuliskan nama-nama pahlawan iman di Ibrani 11, penulis berkata, “Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr. 12:1-2).
Yesus berjanji, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20). Karena itulah kita memiliki hak yang istimewa dan luar biasa untuk mengarahkan pandangan kita kepada-Nya sementara Dia mengarahkan jalan hidup kita. —David McCasland
Tuhan, pandangan kami tertuju kepada-Mu hari ini sehingga kami mengikuti petunjuk-Mu dan menjalani hidup yang selaras bersama-Mu.
Mari arahkan pandangan kita kepada Yesus, Juruselamat kita, sementara Dia mengarahkan jalan hidup kita.

Sunday, September 17, 2017

Menyingkirkan Penghalang

[Ia] bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan. —Filemon 1:16
Menyingkirkan Penghalang
Saya bertemu Mary tiap hari Selasa ketika saya mengunjungi “Balai”—rumah rehabilitasi yang membantu mantan narapidana berbaur kembali dengan masyarakat. Keadaan hidup saya berbeda jauh dari hidup Mary: ia baru saja keluar dari penjara, masih bergumul dengan kecanduan, dan hidup terpisah dari anaknya. Bisa dibilang Mary tersisih dari pergaulan.
Seperti Mary, Onesimus tahu artinya terpinggirkan dari pergaulan. Sebagai budak, Onesimus pernah berbuat salah kepada Filemon, tuannya yang juga seorang Kristen. Sekarang, Onesimus dipenjara. Di penjara, Onesimus bertemu Paulus dan percaya kepada Kristus (Fil. 1:10). Meskipun hidup Onesimus telah berubah, ia tetaplah budak. Paulus mengirimnya kembali kepada Filemon dengan membawa surat yang mendesak Filemon untuk menerima Onesimus “bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih” (ay.16).
Filemon memiliki pilihan: Ia dapat tetap memperlakukan Onesimus sebagai budak atau menyambutnya sebagai saudara di dalam Kristus. Saya memiliki pilihan juga. Apakah saya melihat Mary sebagai mantan narapidana dan pecandu yang sedang berusaha pulih—atau sebagai wanita yang hidupnya sedang diubah oleh kuasa Kristus? Mary adalah saudara saya di dalam Tuhan, dan kami bersyukur dapat menempuh perjalanan iman kami bersama-sama.
Kita mudah terjebak dengan menjadikan status sosial, ekonomi, golongan masyarakat, atau perbedaan budaya sebagai pemisah di antara kita. Injil Kristus menyingkirkan segala penghalang itu dan selamanya mengubah hidup kita serta hubungan di antara kita. —Karen Wolfe
Ya Allah, terima kasih karena Injil Yesus Kristus mengubah hidup manusia dan hubungan di antara kami. Terima kasih karena Engkau telah menyingkirkan penghalang di antara kami dan menjadikan kami semua anggota keluarga-Mu.
Injil mengubah hidup manusia dan hubungan di antara mereka.

Saturday, September 16, 2017

Mengendalikan Amarah

Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu. —Efesus 4:26
Mengendalikan Amarah
Saat saya sedang makan malam dengan seorang teman, ia mengungkapkan perasaan frustrasinya terhadap salah seorang kerabatnya. Awalnya teman saya enggan mengatakan apa pun kepada orang itu tentang kebiasaannya yang menjengkelkan atau sikapnya yang suka mengejek. Ketika akhirnya teman saya mencoba untuk menegur kerabatnya tentang masalah itu, orang itu justru membalas dengan kata-kata kasar. Teman saya pun marah besar terhadapnya. Keduanya tidak mau mengalah dan hubungan di antara mereka pun retak.
Saya memahami sikapnya karena saya pun bergumul dengan kemarahan. Saya juga sulit menegur seseorang. Jika ada teman atau kerabat mengucapkan kata-kata kasar, biasanya saya akan memendam perasaan saya sampai orang itu atau yang lain mengatakan atau melakukan hal kasar lainnya. Akhirnya setelah beberapa saat, ketika tidak tahan lagi, kemarahan saya pun meledak.
Mungkin itulah alasan Rasul Paulus mengatakan di Efesus 4:26, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.” Memberikan batas waktu pada masalah yang belum tuntas dapat menolong kita mengendalikan kemarahan. Alih-alih memendam kesalahan orang lain, yang dapat berkembang menjadi akar pahit dalam hati, kita dapat meminta Allah untuk menolong kita “menyatakan hal-hal yang benar dengan hati penuh kasih” (Ef. 4:15 BIS).
Apakah kamu sedang bermasalah dengan seseorang? Daripada terus memendamnya, bawalah masalah itu kepada Allah terlebih dahulu. Allah dapat menolongmu mengendalikan api kemarahan dengan kuasa pengampunan dan kasih-Nya. —Linda Washington
Bapa Surgawi, tolong kami agar dapat mengendalikan amarah kami. Kiranya perkataan yang kami ucapkan senantiasa memuliakan-Mu.
Padamkanlah api kemarahan sebelum berkobar di luar kendali.

Friday, September 15, 2017

Siapa Nama Ayahmu?

Semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah. —Yohanes 1:12
Siapa Nama Ayahmu?
Ketika hendak membeli ponsel di Timur Tengah, saya menerima sejumlah pertanyaan yang biasa diajukan: siapa nama saya, apa kewarganegaraan saya, dan di mana alamat saya. Namun saat pramuniaga mengisi formulir, ia bertanya: “Siapakah nama ayahmu?” Pertanyaan itu mengejutkan saya, dan saya heran mengapa hal itu penting untuk ditanyakan. Mengetahui nama ayah tidaklah penting dalam budaya saya. Namun di Timur Tengah, mengetahui nama ayah itu penting untuk menegaskan identitas seseorang. Silsilah keluarga dianggap penting dalam sejumlah budaya di dunia.
Orang Israel juga meyakini pentingnya silsilah keluarga. Mereka membanggakan Abraham sebagai leluhur mereka, dan berpikir bahwa dengan menjadi bagian dari garis keturunan Abraham, mereka otomatis menjadi anak-anak Allah. Menurut mereka, silsilah jasmani mereka berkaitan dengan keluarga rohani mereka.
Ratusan tahun kemudian, ketika Yesus berbicara kepada orang Yahudi, Dia menegaskan bahwa pandangan mereka itu tidak benar. Mereka dapat berkata bahwa Abraham adalah nenek moyang mereka di bumi, tetapi jika mereka tidak mengasihi Yesus—Pribadi yang diutus oleh Bapa—mereka bukanlah bagian dari keluarga Allah.
Hal yang sama berlaku di masa kini. Kita tidak dapat memilih keluarga jasmani kita di bumi, tetapi kita dapat memutuskan keluarga rohani yang ingin kita miliki. Jika kita percaya kepada Yesus sebagai Tuhan, Allah memberi kita kuasa untuk menjadi anak-Nya (Yoh. 1:12).
Siapakah Bapa rohanimu? Sudahkah kamu memutuskan untuk mengikut Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat? Kiranya hari ini kamu percaya kepada Tuhan Yesus untuk menerima pengampunan atas dosa-dosamu dan diangkat menjadi anggota keluarga Allah. —Keila Ochoa
Ya Tuhan, Engkaulah Bapa Surgawiku yang kekal. Terima kasih untuk Yesus, Tuhan dan Juruselamatku.
Allah adalah Bapa kita yang kekal.

Thursday, September 14, 2017

Tunduk kepada Sang Raja

Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri. —Hakim-Hakim 21:25
Tunduk kepada Sang Raja
Saya sempat melontarkan kata-kata pedas kepada suami saat berada dalam situasi yang tidak sejalan dengan kemauan saya. Setelah itu, saya pun menolak otoritas Roh Kudus yang berusaha mengingatkan saya pada ayat-ayat Alkitab yang menyingkapkan perilaku saya yang berdosa itu. Apakah sikap saya yang keras kepala itu sepadan dengan dampak buruk yang terjadi dalam pernikahan saya, dan sepadan dengan ketidaktaatan saya kepada Allah? Tentu saja tidak! Namun ketika akhirnya saya meminta pengampunan dari Tuhan dan dari suami saya, saya telah meninggalkan luka membekas yang terjadi akibat saya mengabaikan nasihat yang bijak dan merasa tidak perlu bertanggung jawab kepada siapa pun.
Bangsa Israel pernah mempunyai perilaku yang memberontak. Setelah kematian Musa, Yosualah yang memimpin bangsa Israel menuju tanah perjanjian. Di bawah kepemimpinan Yosua, bangsa Israel setia beribadah kepada Tuhan (Hak. 2:7). Namun setelah Yosua dan generasi sezamannya berlalu, bangsa Israel pun melupakan Allah dan perbuatan-Nya (ay.10). Mereka menolak para pemimpin yang ditunjuk Tuhan dan memilih untuk bergelimang dosa (ay.11-15).
Keadaan membaik manakala Tuhan mengangkat para hakim (ay.16-18) yang berfungsi seperti raja. Namun tiap kali hakim itu meninggal, bangsa Israel kembali melawan Allah. Mereka hidup seakan tidak perlu bertanggung jawab kepada siapa pun, dan itu membuat mereka harus menerima konsekuensi yang menyakitkan (ay.19-22). Kita tidak perlu jatuh pada sikap dan pengalaman yang sama. Tunduklah kepada Yesus Kristus, Penguasa kekal yang berdaulat dan yang layak kita ikuti, karena Dialah Hakim kita yang hidup dan Raja atas segala raja. —Xochitl Dixon
Tuhan Yesus, mampukan kami untuk mengingat Engkaulah Raja segala raja dan Tuhan segala tuhan, Mahabesar dan layak menerima ketataan dan kepercayaan kami.
Allah memberi kita kuasa dan hak istimewa untuk menikmati berkat ketika kita melakukan segala sesuatu sesuai dengan cara-Nya.

Wednesday, September 13, 2017

Berlama-Lama Membaca

Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini. —Ibrani 11:13
Berlama-Lama Membaca
Dalam diskusi tentang trilogi film The Lord of The Rings, seorang remaja mengatakan bahwa ia lebih suka membaca ceritanya di buku daripada menyaksikannya di layar lebar. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab, “Dengan buku, aku bisa berlama-lama menikmati bacaanku.” Ada perasaan istimewa ketika kita berlama-lama membaca sebuah buku, terutama Alkitab, dan ikut “terhanyut” dalam kisah-kisahnya.
Ibrani 11 menyebut nama-nama dari 19 orang yang biasa disebut sebagai “pahlawan iman”. Setiap dari mereka pernah mengalami keraguan dan kesulitan, tetapi mereka memilih untuk taat kepada Allah. “Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini” (ay.13).
Alangkah mudahnya kita terburu-buru membaca Alkitab tanpa sungguh-sungguh merenungkan tokoh dan peristiwa dalam teks yang kita baca. Ketatnya jadwal yang kita susun sendiri telah menghalangi kita untuk menggali lebih dalam dan menemukan kebenaran Allah serta rencana-Nya bagi hidup kita. Namun, apabila kita menyediakan waktu untuk sungguh-sungguh merenungkan firman Tuhan, kita akan terpikat oleh kisah nyata dari orang-orang biasa seperti kita yang memilih untuk mempercayakan hidup mereka kepada Allah yang setia.
Saat membaca Alkitab, ingatlah bahwa kita dapat menikmati firman Tuhan itu selama yang kita inginkan. —David McCasland
Bapa di surga, terima kasih untuk firman-Mu yang tertulis dan teladan orang-orang yang hidup beriman kepada-Mu. Tolonglah kami untuk mengikuti-Mu seperti mereka.
Renungkanlah firman Tuhan dengan sungguh-sungguh dan kamu akan terhanyut dalam kisah-kisah iman yang menguatkan.

Tuesday, September 12, 2017

Berani Melangkah Lebih Dahulu

Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami. —2 Korintus 5:19
Berani Melangkah Lebih Dahulu
Tham Dashu merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Maka ia mulai pergi ke gereja—gereja yang sama dengan tempat putrinya beribadah. Namun, mereka tidak pernah pergi bersama. Di masa lalu, Tham pernah membuat putrinya tersinggung sehingga hubungan mereka pun renggang. Jadi biasanya Tham menyelinap masuk ke ruang kebaktian saat pujian sudah dinaikkan dan bergegas pergi setelah kebaktian selesai.
Ada dari jemaat gereja yang coba menginjilinya, tetapi Tham dengan santun selalu menolak undangan mereka untuk beriman kepada Yesus. Meski demikian, ia tetap rajin beribadah di gereja.
Suatu hari, Tham sakit keras. Putrinya memberanikan diri untuk menulis surat bagi ayahnya. Dalam suratnya, ia menceritakan bagaimana Kristus telah mengubah hidupnya dan ia ingin berdamai dengan ayahnya. Malam itu, Tham akhirnya mau percaya kepada Yesus dan hubungan dengan putrinya dipulihkan. Beberapa hari kemudian, Tham berpulang ke rumah Bapa—dalam perdamaian dengan Allah dan dengan orang-orang yang dikasihinya.
Rasul Paulus menulis bahwa kita “berusaha meyakinkan orang” tentang kebenaran dari kasih dan pengampunan Allah (2Kor. 5:11). Ia menyatakan bahwa karena “kasih Kristus yang menguasai [kita]”, kita bersedia melaksanakan karya pendamaian-Nya (ay.14).
Kesediaan kita untuk mengampuni dapat menolong orang lain untuk menyadari bahwa Allah rindu mendamaikan kita dengan diri-Nya (ay.19). Maukah kamu bersandar pada kekuatan Allah untuk menunjukkan kasih-Nya kepada sesamamu hari ini? —Poh Fang Chia
Apakah kamu perlu berdamai dengan seseorang? Apakah langkah praktis pertama yang dapat kamu lakukan hari ini?
Kesediaan kita untuk berdamai dengan orang lain menjadi cerminan isi hati Allah kepada mereka.

Monday, September 11, 2017

Pribadi yang Mengerti

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita. —Yohanes 1:14
Pribadi yang Mengerti
John Babler adalah pembina rohani bagi kesatuan polisi dan pemadam kebakaran di lingkungannya di Texas. Sepanjang 22 Minggu masa sabatikalnya, ia mengikuti pelatihan di akademi kepolisian agar dapat lebih memahami beragam situasi yang dihadapi aparat penegak hukum. Dengan menghabiskan waktu bersama para kadet dan mempelajari tantangan-tantangan berat yang dihadapi dalam profesi mereka, Babler belajar untuk semakin rendah hati dan berempati dengan mereka. Kelak, ia berharap dapat lebih efektif dalam melayani para aparat kepolisian yang bergumul dengan perasaan stres, kelelahan, dan kehilangan.
Kita tahu bahwa Allah mengerti segala situasi yang kita hadapi karena Dia menciptakan kita dan melihat segala sesuatu yang kita alami. Kita juga tahu Allah mengerti karena Dia pernah tinggal di bumi dan menjalani hidup sebagai manusia. Dia “telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” sebagai pribadi Yesus Kristus (Yoh. 1:14).
Kehidupan Yesus di bumi mencakup berbagai jenis kesulitan. Dia merasakan teriknya sinar matahari, sakitnya perut yang kosong, dan ketidakpastian sebagai tunawisma. Secara emosi, Yesus menanggung sulitnya pertentangan, pedihnya pengkhianatan, dan ancaman kekerasan yang terjadi terus-menerus.
Yesus mengalami sukacita dari persahabatan dan kasih dari keluarga, sekaligus masalah-masalah terburuk seperti yang kita alami di dunia ini. Yesus datang untuk memberikan pengharapan. Dialah Penasihat Ajaib yang sabar mendengarkan keluh-kesah kita dengan penuh perhatian dan kepedulian (Yes. 9:5). Dialah satu-satunya Pribadi yang dapat berkata, “Aku pernah mengalami semua itu. Aku mengerti.” —Jennifer Benson Schuldt
Tuhanku, terima kasih karena Engkau begitu peduli kepada kami, hingga Engkau rela merendahkan diri-Mu dan datang ke dunia sebagai manusia.
Allah mengerti segala pergumulan yang kita alami.

Sunday, September 10, 2017

Menulis Surat

Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang. —2 Korintus 3:2
Menulis Surat
Ibu saya dan saudari-saudarinya masih suka menulis surat—suatu seni yang semakin ditinggalkan orang. Setiap Minggu mereka saling bertukar cerita tentang kehidupan mereka melalui surat; begitu konsistennya hingga ada seorang tukang pos yang merasa khawatir apabila ia tidak membawa surat untuk dikirimkan! Surat mereka berisi kisah tentang seluk-beluk dan suka-duka kehidupan, serta peristiwa sehari-hari yang dialami teman-teman dan keluarga.
Saya senang memikirkan kegiatan Mingguan yang dilakukan oleh para wanita itu. Lewat kegiatan tersebut, saya didorong untuk semakin menghargai perkataan Rasul Paulus yang menyatakan bahwa mereka yang mengikut Yesus disebut sebagai “surat Kristus”, yang “ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup” (2Kor. 3:3). Dalam menanggapi guru-guru palsu yang ingin mendiskreditkan berita yang dibawanya (lihat 2 Kor. 11), Paulus mendorong jemaat di Korintus untuk senantiasa mengikut Allah yang hidup dan sejati seperti yang diajarkannya. Dalam pesannya, ia menggambarkan orang percaya sebagai surat Kristus. Hidup mereka yang telah diubahkan merupakan kesaksian tentang karya Roh yang bekerja dalam pelayanan Paulus yang lebih kuat daripada surat tertulis apa pun.
Alangkah indahnya ketika Roh Allah yang diam di dalam kita menuliskan kisah tentang anugerah dan penebusan Allah! Meskipun sama pentingnya dengan kata-kata yang tertulis, hidup kita menjadi saksi kebenaran Injil yang terbaik, karena hidup kita berbicara begitu banyak lewat belas kasih, pelayanan, ucapan syukur, dan sukacita yang kita tunjukkan. Melalui perkataan dan perbuatan kita, Tuhan dapat menyebarkan kasih-Nya yang menghidupkan. Jadi, pesan apa yang kamu sampaikan lewat hidupmu hari ini? —Amy Boucher Pye
Tuhan Allah, tulislah kisah hidupku agar aku dapat mencerminkan kasih dan kebaikan-Mu kepada siapa saja yang kutemui hari ini.
Kita adalah surat-surat Kristus.

Saturday, September 9, 2017

Melihat Allah

Kata Filipus kepadaNya: “Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami.” —Yohanes 14:8
Melihat Allah
Pendeta dan penulis Erwin Lutzer bercerita tentang pertemuan Art Linkletter, seorang pembawa acara televisi, dengan seorang anak kecil yang sedang melukis gambar Allah. Linkletter yang kebingungan berkata, “Kamu takkan bisa menggambarnya karena tidak ada yang tahu seperti apa Allah itu.”
“Orang akan tahu setelah aku selesai menggambarnya!” sahut anak itu.
Kita mungkin bertanya-tanya, Seperti apa Allah itu? Apakah Dia baik? Apakah Dia peduli? Jawaban sederhana untuk pertanyaan-pertanyaan itu ada di dalam respons Yesus terhadap permintaan Filipus: “Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami.” Jawab Yesus, “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh. 14:8-9).
Jika kamu ingin sekali melihat Allah, pandanglah Yesus. “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan,” kata Paulus (Kol. 1:15). Bacalah keempat Injil di Perjanjian Baru: Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Renungkanlah tentang perbuatan dan perkataan Yesus. “Gambarkanlah” bayangan tentang Allah dalam benakmu sembari membaca. Kamu akan mengetahui lebih banyak tentang Allah ketika kamu selesai membaca seluruh kitab Injil itu.
Seorang teman pernah mengatakan kepada saya bahwa satu-satunya Allah yang bisa ia percayai hanyalah Pribadi yang dilihatnya dalam diri Yesus. Jika kamu melihatnya baik-baik, saya yakin kamu setuju. Ketika kamu membaca tentang Yesus, hatimu akan melonjak kegirangan, karena mungkin tanpa kamu sadari, Yesus itulah Allah yang selama ini kamu cari-cari di sepanjang hidupmu. —David Roper
Tuhan, kami cenderung menghendaki Engkau menjadi Pribadi yang berbeda. Tolonglah kami untuk melihat-Mu lebih jelas di tiap halaman Kitab Suci. Tolonglah kami untuk memancarkan Yesus dalam hidup kami sehari-hari.
Semakin jelas kita mengenal Allah, semakin jelas kita mengenal diri kita sendiri. —Erwin Lutzer

Friday, September 8, 2017

Dibimbing Allah

Sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai. —Mazmur 30:6
Dibimbing Allah
Baru-baru ini tanpa sengaja saya menemukan beberapa jurnal yang saya tulis semasa kuliah. Setelah membacanya lagi, saya menyadari bahwa perasaan saya terhadap diri sendiri saat itu sangat jauh berbeda dengan perasaan saya saat ini. Pergumulan saya dalam menghadapi kesepian dan keraguan atas iman saya terasa begitu berat untuk dihadapi saat itu. Namun ketika melihat ke belakang, saya dapat melihat dengan jelas bagaimana Allah telah membimbing saya ke tempat yang lebih baik. Melihat bagaimana Allah dengan lembut membimbing saya melewati masa-masa itu mengingatkan saya bahwa apa yang begitu membebani kita hari ini kelak akan menjadi bagian dari kisah yang lebih besar tentang kasih-Nya yang memulihkan kita.
Mazmur 30 adalah mazmur perayaan yang juga melihat ke masa lalu dengan rasa kagum dan syukur atas pemulihan Allah yang luar biasa: yang sakit telah disembuhkan, yang terancam nyawanya telah diselamatkan, yang merasakan hukuman Allah telah menikmati kemurahan-Nya, yang berdukacita telah bersukacita (ay.3-4,12).
Mazmur itu ditulis oleh Daud, seorang yang menuliskan sejumlah ratapan paling memilukan di dalam Alkitab. Namun demikian, Daud juga mengalami pemulihan yang begitu luar biasa hingga ia dapat menyatakan, “Sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai” (Mzm. 30:6). Di balik semua penderitaan yang dialaminya, Daud menemukan sesuatu yang jauh lebih besar, yaitu tangan pemulihan Allah yang penuh kuasa.
Jika hari ini kamu terluka dan sedang membutuhkan penguatan, ingatlah kembali pada masa lalu ketika Allah membimbing dan memulihkanmu. Berdoalah agar kamu kembali beriman bahwa Dia akan melakukannya lagi. —Monica Brands
Tuhan, saat pergumulan kami terlalu berat untuk kami tanggung, tolonglah kami menemukan penghiburan dan kekuatan saat mengingat bimbingan-Mu di masa lalu.
Dengan penuh kasih, Allah bekerja membawa pemulihan dan sukacita di dalam dan melalui penderitaan hidup kita.

Thursday, September 7, 2017

Menangis Bersama

Orang-orang saleh menguburkan mayat Stefanus serta meratapinya dengan sangat. —Kisah Para Rasul 8:2
Menangis Bersama
Pada tahun 2002, beberapa bulan setelah saudari saya, Martha, dan suaminya, Jim, meninggal dunia dalam kecelakaan, seorang teman mengundang saya mengikuti lokakarya “Growing Through Grief” (Bertumbuh Melalui Dukacita) di gereja kami. Meski enggan, saya pergi menghadiri pertemuan pertama tetapi tidak bermaksud untuk hadir dalam pertemuan selanjutnya. Namun di luar dugaan, di sana saya menemukan sebuah komunitas yang penuh perhatian dan berusaha menerima rasa kehilangan yang besar dalam hidup mereka dengan mengandalkan pertolongan Allah dan sesama. Itulah yang membuat saya mau terus hadir Minggu demi Minggu sembari saya juga berusaha menerima keadaan dan mengalami damai sejahtera dengan saling berbagi dukacita di antara kami.
Seperti kepergian yang mendadak dari seseorang yang kita kasihi, kematian Stefanus, saksi Tuhan yang sangat berapi-api, tentu mengagetkan dan mendukakan jemaat di gereja mula-mula (Kis. 7:57-60). Di masa penganiayaan itu, “Orang-orang saleh menguburkan mayat Stefanus serta meratapinya dengan sangat” (8:2). Mereka melakukan dua hal bersama: Menguburkan Stefanus sebagai ungkapan rasa kehilangan dan penghormatan terakhir mereka, dan meratapinya dengan sangat sebagai ungkapan dukacita bersama.
Sebagai pengikut Yesus, kita tidak perlu menangisi kehilangan kita seorang diri. Dengan ketulusan dan kasih, kita dapat menjangkau orang lain yang sedang berduka, dan dengan rendah hati kita dapat menerima perhatian dari orang-orang yang mendampingi kita di masa kedukaan.
Ketika kita menangis dan berduka bersama, kita dapat semakin menerima dan mengalami damai sejahtera di dalam Yesus Kristus, yang mengetahui kepedihan kita yang terdalam. —David McCasland
Bapa di surga, tolonglah kami untuk “menangis dengan orang yang menangis” dan bersama-sama bertumbuh dalam kasih-Mu yang menyembuhkan.
Berduka bersama orang lain akan menolong pemulihan hati kita.

Wednesday, September 6, 2017

Serahkan kepada Allah

Kemudian pergilah [Hizkia] ke rumah Tuhan dan membentangkan surat itu di hadapan Tuhan. —2 Raja-Raja 19:14
Serahkan kepada Allah
Semasa remaja, saat saya kewalahan menghadapi tantangan yang besar atau harus mengambil keputusan berisiko tinggi, ibu saya mengajarkan gunanya menuliskan pergumulan itu agar saya memperoleh sudut pandang yang lebih baik. Saat tidak yakin pelajaran atau pekerjaan apa yang perlu diambil, atau bergumul menghadapi kenyataan hidup masa dewasa yang membuat gentar, saya belajar dari kebiasaan ibu untuk menuliskan fakta-fakta dasar dan tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan dengan segala akibat yang mungkin dihasilkan. Setelah menuangkan isi hati saya dalam tulisan, saya dapat mundur sejenak dari masalah yang ada dan melihatnya secara lebih objektif tanpa terlalu dipengaruhi emosi.
Sama seperti dengan menuangkan isi pikiran ke dalam tulisan, saya memperoleh sudut pandang yang baru, demikian juga saat kita mencurahkan isi hati kepada Allah dalam doa, itu menolong kita mendapatkan sudut pandang Allah dan mengingatkan kita atas kuasa-Nya. Raja Hizkia melakukannya setelah menerima surat yang menggentarkan dari musuhnya. Kerajaan Asyur mengancam untuk menghancurkan Yerusalem seperti yang telah mereka lakukan terhadap banyak kerajaan lain. Hizkia membentangkan surat itu di hadapan Tuhan, dan di dalam doa, ia berseru kepada-Nya untuk membebaskan rakyatnya agar dunia mengetahui bahwa Dia “sendirilah Allah” (2Raj. 19:19).
Ketika dihadapkan pada situasi yang membuat kita cemas, takut, atau semakin menyadari bahwa kita tidak sanggup mengatasinya, marilah mengikuti jejak Hizkia dengan segera datang kepada Tuhan. Seperti Hizkia, kita juga dapat membentangkan masalah kita di hadapan Allah dan mempercayai-Nya untuk membimbing langkah-langkah kita serta untuk menenangkan hati kita yang gelisah. —Kirsten Holmberg
Allah adalah pertolongan kita yang terbaik di masa-masa sulit.

Tuesday, September 5, 2017

Secercah Firdaus

Ia yang duduk di atas takhta itu berkata: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” —Wahyu 21:5
Secercah Firdaus
Saat menatap keluar dari jendela yang terbuka di ruang kerja saya, saya mendengar kicauan burung-burung dan mendengar serta melihat tiupan angin yang lembut menerpa pepohonan. Ikatan-ikatan jerami menghiasi ladang tetangga yang baru saja digarap. Awan-awan putih dan besar berarak mewarnai langit biru yang cerah.
Bisa dikatakan bahwa saya sedang menikmati secercah firdaus—kecuali untuk suara bising dari lalu lintas yang hampir selalu terdengar di sekitar rumah saya dan juga perasaan nyeri yang mendera punggung saya. Saya sengaja menyebut secercah firdaus karena meskipun dunia kita pernah sepenuhnya sempurna di masa silam, sekarang sudah tidak demikian lagi. Ketika berdosa, manusia terusir dari taman Eden dan tanah menjadi “terkutuk” (lihat Kej. 3). Sejak saat itu bumi dan segala sesuatu di dalamnya terbelenggu oleh “perbudakan kebinasaan”. Penderitaan, penyakit, dan kematian kita semua merupakan akibat dari kejatuhan manusia dalam dosa (Rm. 8:18-23).
Namun, Allah menjadikan segala sesuatu baru. Suatu hari nanti tempat kediaman-Nya akan berada di tengah-tengah umat-Nya dalam ciptaan yang telah diperbarui dan dipulihkan—“langit yang baru dan bumi yang baru”—di mana “maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Why. 21:1-4). Sampai hari itu tiba, kita berkesempatan menikmati sekilas dan terkadang paparan yang luas dari keindahan yang sangat mengagumkan di sekeliling kita. Itu semua hanyalah secercah “firdaus” dari apa yang kelak akan kita nikmati selamanya. —Alyson Kieda
Tuhan, terima kasih karena di dalam dunia yang dinodai dosa dan kebusukan ini, Engkau memperkenankan kami untuk melihat secercah keindahan di sana-sini.
Allah menjadikan segala sesuatu baru.

Monday, September 4, 2017

Melangkah Menuju Kekuatan Baru

Bertekunlah dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap syukur. —Kolose 4:2
Melangkah Menuju Kekuatan Baru
“Akankah kita melihat ular?”
Allan, seorang remaja di lingkungan kami, mengajukan pertanyaan itu saat kami memulai perjalanan menyusuri sungai di dekat rumah kami.
“Kami belum pernah melihat ular,” jawab saya, “tetapi mungkin saja kita akan melihatnya! Jadi, mari kita meminta Allah untuk menjaga keselamatan kita di jalan.” Kami berhenti sejenak, berdoa bersama, lalu melanjutkan perjalanan.
Beberapa menit kemudian istri saya, Cari, tiba-tiba meloncat mundur karena ia nyaris menginjak seekor ular berbisa yang sebagian badannya melingkar di jalan. Kami menunggu hingga ular itu pergi, sambil menjaga jarak untuk menghindari konsekuensi yang tidak kami inginkan. Lalu kami berdiam sejenak dan bersyukur kepada Allah karena tidak ada hal serius yang terjadi. Saya percaya bahwa melalui pertanyaan Allan, Allah telah mempersiapkan kami untuk menghadapi bahaya itu, dan doa kami merupakan bagian dari pemeliharaan-Nya.
Pengalaman menyerempet bahaya sore itu mengingatkan saya pada pentingnya kata-kata Daud: “Carilah Tuhan dan kekuatan-Nya, carilah wajah-Nya selalu!” (1Taw. 16:11). Nasihat itu merupakan bagian dari mazmur yang merayakan kembalinya tabut perjanjian ke Yerusalem. Mazmur itu menceritakan kesetiaan Allah kepada umat-Nya dalam pergumulan mereka sepanjang sejarah, dan mengingatkan mereka untuk selalu memuji Allah dan berseru kepada-Nya (ay.35).
Apa artinya “carilah wajah [Allah]”? Itu berarti kita mengarahkan hati kita kepada-Nya, bahkan dalam keseharian kita yang terkadang biasa-biasa saja. Adakalanya jawaban dari doa kita tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, tetapi apa pun yang terjadi Allah tetap setia. Gembala Agung kita yang baik akan mengarahkan jalan kita dan menjaga kita dengan rahmat, kekuatan, dan kasih-Nya. Kiranya kita sungguh-sungguh bergantung penuh kepada-Nya. —James Banks
Doa memberikan kekuatan untuk terus berjalan dan tidak menjadi lemah. —Oswald Chambers

Sunday, September 3, 2017

Penyembahan yang Paling Bernilai

Tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya. —Markus 12:44
Penyembahan yang Paling Bernilai
Saya menggunakan tulisan sebagai persembahan dan pelayanan saya kepada Allah, terlebih sekarang ketika kendala kesehatan sering membuat saya tidak lagi leluasa bergerak. Namun, ketika seorang kenalan menyebut tulisan saya tidak bernilai, saya menjadi patah semangat. Saya menjadi ragu apakah persembahan kecil saya itu mempunyai arti di hadapan Allah.
Melalui doa, penggalian Kitab Suci, dan dorongan dari suami, keluarga, dan sahabat, Tuhan meneguhkan saya bahwa hanya Dia—bukan pendapat orang lain—yang dapat menilai motivasi penyembahan kita dan arti dari persembahan kita kepada-Nya. Saya memohon kepada Allah sumber segala karunia itu untuk terus menolong saya mengembangkan keahlian saya dan membukakan kesempatan untuk membagikan berkat yang saya terima dari-Nya.
Yesus menentang standar nilai dari pemberian kita (Mrk.12:41-44). Sementara seorang kaya memasukkan sejumlah besar uang ke dalam peti persembahan, seorang janda miskin memasukkan dua keping uang, “uang receh yang terkecil nilainya” (ay.42 BIS). Tuhan menyatakan bahwa pemberiannya lebih banyak daripada pemberian semua orang (ay.43), walaupun terlihat tidak berarti di mata orang-orang di sana (ay.44).
Meski kisah janda itu berfokus pada persembahan uang, apa pun pemberian kita dapat menjadi ungkapan penyembahan dan ketaatan yang penuh kasih kepada Allah. Seperti si janda, kita menghormati Allah dengan memberikan persembahan yang tulus, murah hati, dan penuh pengorbanan dari apa pun yang telah Dia berikan kepada kita. Ketika kita memberikan yang terbaik dari waktu, talenta, dan harta kita kepada Allah dengan hati yang dimotivasi kasih, kita memberikan kepada-Nya penyembahan dan persembahan yang paling bernilai. —Xochitl Dixon
Tuhan, terima kasih karena Engkau tak membandingkan kami dengan orang lain saat kami mempersembahkan pemberian terbaik dari yang telah kami terima dari-Mu.
Persembahan yang dimotivasi oleh kasih kepada Allah akan selalu menjadi ungkapan penyembahan kita yang paling bernilai.

Saturday, September 2, 2017

Jangan Berlari Seorang Diri

Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita . . . berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. —Ibrani 12:1
Jangan Berlari Seorang Diri
Jack, suami saya, sudah kehabisan tenaga setelah berlari sejauh 40 km dalam lomba maraton sepanjang 42 km.
Itulah pertama kalinya ia mengikuti lomba lari maraton, dan ia berlari seorang diri. Setelah berhenti sejenak untuk minum di salah satu pos bantuan, ia merasa sangat letih dan memutuskan untuk duduk di atas rumput di pinggir jalan. Menit demi menit berlalu, tetapi kekuatannya tidak juga kembali. Saat ia terpikir untuk menyerah dan keluar dari lomba, lewatlah dua guru sekolah berusia paruh baya asal Kentucky. Meskipun tidak kenal, mereka menyapa Jack dan bertanya apakah ia mau berlari bersama mereka. Tiba-tiba, Jack merasa kembali bersemangat. Ia pun berdiri lalu menyelesaikan lomba bersama kedua wanita tersebut.
Dua wanita tersebut mengingatkan saya kepada Harun dan Hur, dua teman yang menolong Musa, pemimpin bangsa Israel, pada suatu saat yang genting (Kel. 17:8-13). Ketika itu bangsanya sedang diserang oleh musuh. Dalam pertempuran itu, selama Musa mengangkat kedua tangannya, bangsa Israel pun unggul (ay.11). Karena itu, ketika tangan Musa mulai penat, Harun dan Hur menopang masing-masing tangan Musa sampai matahari terbenam (ay.12).
Mengikut Allah bukanlah perjalanan yang bisa ditempuh seorang diri. Dia tidak menciptakan kita untuk berlomba seorang diri dalam hidup ini. Ketika kita taat melakukan apa yang Allah kehendaki, Dia memberikan orang-orang tertentu yang dapat menolong kita bertahan di tengah berbagai pergumulan hidup. —Amy Peterson
Tuhan, terima kasih atas orang-orang yang Engkau berikan untuk menguatkanku agar tetap setia mengikut-Mu. Tolonglah aku untuk juga menguatkan sesamaku.
Siapakah yang hari ini dapat saya beri dukungan semangat agar tetap bertahan di tengah segala kesulitan hidupnya?

Friday, September 1, 2017

Allah Melakukan Hal yang Baru

Kiranya Tuhan menjadikan kamu bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang, sama seperti kami juga mengasihi kamu. —1 Tesalonika 3:12
Allah Melakukan Hal yang Baru
“Apakah Allah sedang melakukan hal yang baru dalam hidupmu?” tanya pemimpin grup diskusi yang saya ikuti baru-baru ini. Teman saya, Mindy, sedang menghadapi sejumlah situasi yang sulit. Ia berkata bahwa ia sangat membutuhkan kesabaran dalam menghadapi orangtuanya yang sudah lanjut usia, stamina untuk merawat suaminya yang sakit, dan hikmat untuk memahami anak-anak dan cucu-cucunya yang belum mengenal Yesus. Ia kemudian memberikan komentar menarik yang berlawanan dengan pemikiran pada umumnya: “Aku percaya bahwa hal baru yang sedang Allah lakukan dalam hidupku adalah memperluas kapasitas dan kesempatanku untuk mengasihi.”
Itu persis seperti doa Rasul Paulus bagi orang-orang yang baru percaya di Tesalonika: “Kiranya Tuhan menjadikan kamu bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang, sama seperti kami juga mengasihi kamu” (1Tes. 3:12). Ia sudah pernah mengajar mereka tentang Yesus Kristus tetapi harus meninggalkan mereka tiba-tiba karena terjadinya keributan di kota itu (Kis. 17:1-9). Sekarang dalam suratnya, Paulus menguatkan mereka agar tetap berdiri teguh dalam iman (1Tes. 3:7-8), dan agar Tuhan makin menambahkan kasih mereka kepada semua orang.
Di tengah kesulitan yang kita hadapi, kita sering mengeluh dan bertanya, Mengapa ini terjadi? atau Mengapa aku yang menderita? Cobalah mengatasi masa-masa sulit itu dengan meminta Tuhan agar Dia meluaskan kasih-Nya di dalam hatimu dan menolong kamu memanfaatkan kesempatan-kesempatan baru yang ada untuk makin mengasihi sesama. —Anne Cetas
Tuhan, ada begitu banyak hal yang mengkhawatirkanku. Ubahlah pemikiranku. Bukalah mataku untuk mau mengasihi.
Masalah yang kita hadapi dapat mendorong kita untuk berdoa dengan kasih dan empati bagi sesama.
 

Total Pageviews

Translate