Pages - Menu

Sunday, December 31, 2017

Memori yang Menguatkan Iman

Besar kesetiaan-Mu! —Ratapan 3:23
Memori yang Menguatkan Iman
Saat melangkah memasuki ruang ibadah yang dipenuhi dengan musik, saya melihat kerumunan orang yang telah berkumpul untuk merayakan malam Tahun Baru. Sukacita membuat hati saya melimpah dengan pengharapan, sembari mengingat kembali doa-doa yang dinaikkan setahun sebelumnya. Jemaat kami pernah berduka karena anak-anak yang bermasalah, kematian orang-orang yang dikasihi, kehilangan pekerjaan, dan hubungan yang retak. Namun, kami juga mengalami anugerah Allah saat mengingat orang-orang yang hatinya diubahkan dan hubungannya dipulihkan. Kami merayakan kemenangan, pernikahan, wisuda, dan baptisan. Kami menyambut anak-anak yang lahir, yang diadopsi, dan yang diserahkan kepada Tuhan, dan masih banyak lagi.
Saat mengingat berbagai pergumulan yang dialami jemaat gereja kami di masa lalu—seperti Yeremia mengingat “sengsara” dan “pengembaraan” yang dijalaninya (Rat. 3:19)—saya percaya bahwa “tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya” (ay.22). Sang nabi meyakinkan kembali dirinya akan kesetiaan Allah di masa lalu, dan kata-katanya menghibur saya: “Tuhan adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia” (ay.25).
Malam itu, setiap anggota jemaat kami menjadi bukti nyata dari kasih Allah yang mengubahkan hidup. Apa pun yang akan kami hadapi di tahun-tahun mendatang, sebagai anggota tubuh Kristus yang bergantung kepada satu sama lain, kami akan terus mengandalkan Tuhan. Di dalam upaya kami untuk terus mencari Allah dan mendukung satu sama lain, seperti Yeremia, kami mengalami bahwa pengharapan kami diteguhkan oleh memori-memori yang menguatkan iman. Segala memori itu mengingatkan kami pada karakter Allah yang tidak berubah dan selalu dapat diandalkan. —Xochitl Dixon
Tuhan, terima kasih karena Engkau menggunakan masa lalu kami untuk meyakinkan bahwa pengharapan kami tetap aman terjaga karena kesetiaan-Mu kekal selamanya.
Sembari menantikan tahun yang baru, marilah mengingat bahwa Allah telah berlaku setia dan akan selalu setia.

Saturday, December 30, 2017

Bersyukur untuk Penyelesaian

Dari situ berlayarlah mereka ke Antiokhia; di tempat itulah mereka dahulu diserahkan kepada kasih karunia Allah untuk memulai pekerjaan, yang telah mereka selesaikan. —Kisah Para Rasul 14:26
Bersyukur untuk Penyelesaian
Di akhir tahun, kita bisa merasa terbebani oleh tugas yang belum kita selesaikan. Tanggung jawab di rumah dan di tempat kerja seakan tiada habisnya, dan apa yang tidak selesai hari ini akan menumpuk di hari berikutnya. Namun, dalam perjalanan iman kita, adakalanya kita perlu berhenti sejenak untuk mensyukuri kesetiaan Allah dan tugas-tugas yang telah diselesaikan.
Setelah perjalanan misi pertama dari Paulus dan Barnabas, “berlayarlah mereka ke Antiokhia; di tempat itulah mereka dahulu diserahkan kepada kasih karunia Allah untuk memulai pekerjaan, yang telah mereka selesaikan” (Kis. 14:26). Meski masih banyak orang yang perlu mendengar kabar baik tentang Yesus Kristus, Paulus dan Barnabas mengambil waktu untuk mengucap syukur atas apa yang telah diselesaikan. “Setibanya di situ mereka memanggil jemaat berkumpul, lalu mereka menceriterakan segala sesuatu yang Allah lakukan dengan perantaraan mereka, dan bahwa Ia telah membuka pintu bagi bangsa-bangsa lain kepada iman” (ay.27).
Apa yang telah Allah kerjakan melalui dirimu sepanjang tahun ini? Bagaimana Allah telah membuka pintu hati orang-orang yang kamu kenal dan kasihi sehingga mereka dapat mengenal Yesus? Dengan cara-cara yang tak terbayangkan, Allah sedang bekerja melalui diri kita di dalam tugas-tugas yang tampaknya tidak berarti atau belum selesai.
Meskipun kita menyadari bahwa masih ada tugas pelayanan yang belum selesai, janganlah lupa mengucap syukur atas hal-hal yang dilakukan-Nya melalui diri kita. Sukacita atas apa yang telah Allah lakukan oleh kasih karunia-Nya akan membuat kita siap menghadapi setiap hal yang ada di masa mendatang! —David C. McCasland
Tuhan, di penghujung tahun ini, kami mengucap syukur atas segala yang telah Engkau kerjakan di dalam dan melalui diri kami. Oleh anugerah-Mu, bukalah mata kami untuk menyaksikan apa yang hendak Engkau kerjakan di masa yang akan datang!
Allah selalu bekerja di dalam dan melalui diri kita.

Friday, December 29, 2017

Lekat di Mata

Betapa banyak perbuatan-Mu, ya Tuhan! —Mazmur 104:24
Lekat di Mata
Nama burung kolibri dalam bahasa Inggris adalah hummingbird. Nama itu diperoleh dari suara dengungan (hum) yang terdengar saat burung itu mengepakkan sayapnya dengan cepat. Dalam bahasa Portugis, burung itu dikenal sebagai “pencium bunga”, dan dalam bahasa Spanyol disebut sebagai “permata terbang”. Salah satu nama kesukaan saya untuk burung kolibri adalah biulu, yang artinya “lekat di mata” dalam bahasa Zapotec di Meksiko. Dengan kata lain, sekali kamu melihat burung kolibri, kamu tidak akan pernah melupakannya.
G. K. Chesterton pernah menulis, “Tidak sedikit hal yang mengagumkan di dunia, tetapi hanya sedikit keinginan untuk mengaguminya.” Burung kolibri adalah salah satu dari hal yang mengagumkan itu. Apa yang begitu menarik dari mahkluk kecil ini? Mungkin ukuran tubuhnya yang kecil (rata-rata sekitar 5-8 cm) atau kecepatan dari kepakan sayapnya yang mencapai 50-200 kali per detik.
Kita tidak tahu pasti siapa yang menulis Mazmur 104. Namun, penulis mazmur itu tentu sangat terpikat oleh keindahan alam semesta. Setelah menggambarkan banyaknya ciptaan Tuhan yang mengagumkan, seperti pohon-pohon aras dari Libanon dan keledai-keledai hutan, ia bernyanyi, “Biarlah Tuhan bersukacita karena perbuatan-perbuatan-Nya” (ay.31). Kemudian ia berdoa, “Biarlah renunganku manis kedengaran kepada-Nya” (ay.34).
Keindahan dan keteraturan alam semesta ini memang dapat membangkitkan rasa kagum dalam diri kita. Namun, bagaimana kita dapat merenungkan segala keindahan itu dengan cara yang menyenangkan Allah? Kita dapat bersukacita dan bersyukur kepada Allah saat kita merenungkan karya ciptaan-Nya dan menghayati segala keindahannya yang mengagumkan. —Keila Ochoa
Ya Bapa, tolong kami untuk merenungkan keajaiban alam yang mengagumkan dan sungguh-sungguh bersyukur atas segala hal yang telah Engkau perbuat!
Kekaguman membuahkan ucapan syukur.

Thursday, December 28, 2017

Kehidupan Sehari-hari

Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat. —Amsal 15:13
Kehidupan Sehari-hari
Saya memasukkan belanjaan ke dalam mobil dan dengan hati-hati mengendarai mobil saya keluar dari tempat parkir. Tiba-tiba saja seorang pria muncul menyeberangi jalan persis di depan saya dengan tidak menyadari laju mobil saya. Saya segera menginjak rem dan berhasil menghindari tabrakan dengan orang itu. Pria itu terkejut, mengangkat wajahnya, dan menatap saya. Saat itu juga, saya tahu saya punya dua pilihan: meluapkan rasa frustrasi sambil menatapnya dengan tajam, atau memberikan senyum pengampunan. Saya memilih untuk tersenyum.
Perasaan lega terlihat pada wajah pria itu, dan ia balik tersenyum tanda berterima kasih.
Amsal 15:13 berkata, “Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat.” Apakah penulis amsal itu meminta kita untuk selalu tersenyum di setiap gangguan, kekecewaan, dan ketidaknyamanan yang kita alami dalam hidup ini? Tentu tidak! Ada waktunya bagi kita untuk berduka, patah hati, atau bahkan marah atas ketidakadilan yang kita alami. Namun dalam kehidupan kita sehari-hari, sebuah senyuman dapat memberikan kelegaan, pengharapan, dan kasih yang kita perlukan untuk terus melangkah maju.
Mungkin amsal tersebut hendak menyatakan bahwa senyum merupakan dampak alami yang keluar dari kondisi batin kita. “Hati yang gembira” adalah hati yang merasa damai, puas, dan berserah kepada kebaikan Allah. Ketika hati kita memancarkan kegembiraan yang berasal dari dalam batin, kita dapat menanggapi situasi-situasi tak terduga yang kita alami dengan senyuman yang tulus. Siapa tahu, orang lain yang kita temui juga akan tergerak untuk mau menerima pengharapan dan damai sejahtera dari Allah. —Elisa Morgan
Ya Bapa, hari ini saat aku bertemu orang-orang, buatlah hatiku bergembira agar aku dapat membagikan kepada mereka pengharapan sejati yang hanya datang dari-Mu.
Nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu. —1 Tesalonika 5:11

Wednesday, December 27, 2017

Jurnal Ucapan Syukur

Pujilah Tuhan, hai segala bangsa, megahkanlah Dia, hai segala suku bangsa! —Mazmur 117:1
Jurnal Ucapan Syukur
Ketika saya baru beriman kepada Tuhan Yesus, seorang pembimbing rohani mendorong saya untuk membuat jurnal ucapan syukur. Setelah itu, saya selalu membawa buku kecil itu ke mana pun saya pergi. Terkadang saya langsung menuliskan ucapan syukur saya. Di lain waktu, saya menuliskan ucapan syukur saya di akhir pekan dalam waktu perenungan pribadi.
Menuliskan ucapan syukur merupakan kebiasaan yang baik. Saya bahkan terpikir untuk melakukan lagi kebiasaan itu. Saya merasa sangat tertolong untuk menyadari kehadiran Allah dan mengucap syukur atas penyediaan serta pemeliharaan-Nya.
Mazmur 117 adalah mazmur terpendek dalam kitab Mazmur. Di dalamnya, penulis mendorong setiap orang untuk memuji Tuhan “sebab kasih-Nya hebat atas kita” (ay.2).
Pikirkanlah ini: Bagaimana Allah telah menunjukkan kasih-Nya kepadamu—sepanjang hari ini, minggu ini, bulan ini, dan tahun ini? Janganlah memikirkan hal hal yang spektakuler saja. Kasih-Nya juga terlihat di dalam keadaan yang kamu jumpai sehari-hari. Kemudian pikirkanlah bagaimana Allah telah menunjukkan kasih-Nya kepada keluargamu, gerejamu, dan orang lain. Biarlah pikiran kamu dipenuhi dengan ingatan akan kasih-Nya yang besar kepada kita semua.
Sang pemazmur menambahkan bahwa “kesetiaan-Nya tetap selama-lamanya” (ay.2 BIS). Dengan kata lain, Allah akan senantiasa mengasihi kita. Kita masih akan terus menerima banyak hal yang dapat kita syukuri kepada Allah di hari-hari mendatang. Sebagai anak-anak yang dikasihi-Nya, kiranya pujian dan ucapan syukur kepada Allah menjadi ciri khas hidup kita. —Poh Fang Chia
Bapa, jika kami ingin menuliskan semua berkat-Mu, takkan sanggup kami menyelesaikannya sepanjang hidup ini. Namun, kami bisa mengambil waktu sejenak saat ini untuk mengucapkan “Terima Kasih” atas kesetiaan dan kebaikan-Mu.
Ingatlah untuk mengucap syukur kepada Allah atas semua hal yang biasa maupun yang luar biasa.

Tuesday, December 26, 2017

Sebagai Anak Raja

Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemulian-Nya dalam Kristus Yesus. —Filipi 4:19
Sebagai Anak Raja
Ketika Andrew Cheatle kehilangan ponselnya di pantai, ia menyangka ponsel itu telah hilang selamanya. Namun seminggu kemudian, seorang nelayan bernama Glen Kerley meneleponnya. Ia mengeluarkan ponsel milik Cheatle dari dalam perut seekor ikan kod yang beratnya sekitar 11 kg. Ponsel itu ternyata masih berfungsi setelah dikeringkan.
Hidup ini memang penuh dengan cerita-cerita yang tidak lazim. Kita bahkan menemukan beberapa di antaranya di dalam Alkitab. Suatu hari para pemungut cukai mendatangi Petrus dan bertanya kepadanya tentang pajak Bait Suci, “Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?” (Mat. 17:24). Yesus mengubah situasi itu menjadi kesempatan untuk mengajar. Dia ingin Petrus memahami peran-Nya sebagai raja. Menurut hukum, anak-anak raja tidak dikenakan kewajiban untuk membayar pajak, dan Tuhan menyatakan dengan jelas bahwa Dia maupun para pengikut-Nya tidak berutang apa pun dalam hal pajak Bait Suci (ay.25-26).
Namun, Yesus ingin bertindak hati-hati agar tidak menjadi “batu sandungan” (ay.27), maka Dia meminta Petrus untuk pergi memancing. (Inilah bagian yang aneh dari kisah ini.) Petrus menemukan empat dirham di dalam mulut ikan pertama yang ditangkapnya.
Apa maksud Yesus? Atau lebih baik kita bertanya, “Apa maksud Yesus dalam kaitan dengan Kerajaan-Nya?” Yesus adalah Raja yang sah—walaupun banyak yang tidak mengakui-Nya. Ketika kita menerima Dia sebagai Tuhan atas hidup kita, kita menjadi anak-anak-Nya.
Kita mempunyai banyak tuntutan dan kebutuhan dalam hidup ini, tetapi Yesus akan menyediakan segala sesuatu yang kita perlukan. Pendeta David Pompo pernah berkata, “Dalam pelayanan menjala manusia untuk Kerajaan Surga, kita dapat mengandalkan Allah untuk menyediakan segala kebutuhan kita.” —Tim Gustafson
Tuhan, ajar kami untuk mensyukuri pemeliharaan-Mu atas segala kebutuhan kami.
Kita adalah anak-anak Raja!

Monday, December 25, 2017

Natal dan Tradisi

Sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat. —Lukas 2:10-11
Natal dan Tradisi
Jika kamu menikmati sebatang candy cane (permen berbentuk tongkat bergaris-garis merah dan putih dengan rasa mint), kamu patut mengucapkan “danke schön” (terima kasih) kepada bangsa Jerman, sebab merekalah yang pertama kalinya menciptakan permen itu di kota Cologne. Saat kamu mengagumi tanaman poinsettia, ucapkan “gracias” kepada bangsa Meksiko, tempat asal tanaman itu. Kamu juga bisa mengucapkan “merci beaucoup” kepada bangsa Prancis untuk istilah noel, dan ucapkan “cheers” kepada bangsa Inggris untuk tanaman mistletoe. Semua itu adalah bagian dari tradisi dalam perayaan Natal, terutama di dunia Barat.
Akan tetapi, di saat kita menikmati tradisi dan kemeriahan Natal di mana pun kita berada di dunia ini, marilah kita juga dengan tulus mengucapkan “terima kasih” kepada Allah kita yang Mahabaik, Mahakasih, dan Maha Pemurah. Karena Dialah, kita mempunyai alasan untuk merayakan Natal—pemberian-Nya dalam rupa seorang bayi yang lahir di palungan Yudea lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Malaikat mengumumkan kedatangan dari pemberian Allah bagi manusia itu dengan mengatakan, “Sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat” (Luk. 2:10-11).
Mungkin pada Natal kali ini kamu merasa senang melihat pohon Natal yang terang dan menerima beragam hadiah yang indah. Namun, ingatlah bahwa sukacita sejati kita alami ketika kita mengarahkan perhatian kita kepada sang Bayi bernama Yesus, yang datang untuk “menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1:21). Kiranya itu menjadi fokus utama kita sembari kita bersyukur kepada Allah atas pemberian Natal dari-Nya yang luar biasa. —Dave Branon
Tuhan, terima kasih karena Engkau telah datang ke dunia ini di Natal yang pertama. Di tengah segala tradisi dan perayaan kami, tolonglah kami tetap mengutamakan-Mu.
Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu. —Roma 15:13

Sunday, December 24, 2017

Kabar Pengharapan

Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. —Lukas 2:11
Kabar Pengharapan
Reginald Fessenden telah berupaya selama bertahun-tahun untuk dapat menyiarkan komunikasi lewat gelombang radio nirkabel. Para ilmuwan lain menganggap idenya radikal dan tidak lazim. Mereka tidak yakin bahwa Fessenden akan berhasil. Namun, ia berhasil melakukannya pada tanggal 24 Desember 1906, dengan menjadi orang pertama yang memainkan musik melalui gelombang radio.
Fessenden mempunyai kontrak dengan sebuah perusahaan buah-buahan yang telah memasang sistem nirkabel di sekitar selusin kapal untuk mengabarkan tentang cara memanen dan menjual pisang. Pada malam Natal itu, Fessenden mengatakan bahwa ia meminta para operator sistem nirkabel di semua kapal untuk mendengar baik-baik siarannya. Tepat jam 9, mereka pun mendengar suaranya.
Kabarnya, Fessenden memainkan rekaman sebuah nyanyian aria, kemudian ia mengambil biola untuk memainkan lagu “O Holy Night” (Malam Kudus), dan menyanyikan semua baitnya sembari menggesek biolanya. Selanjutnya, ia menyampaikan salam Natal dan membacakan Lukas 2 tentang kisah para malaikat yang memberitakan kelahiran seorang Juruselamat kepada para gembala di Betlehem.
Para gembala di Betlehem lebih dari 2.000 tahun yang lalu maupun para pelaut di atas kapal-kapal milik United Fruit Company pada tahun 1906 sama-sama mendengar kabar pengharapan yang mengejutkan dan tak terduga di tengah kegelapan malam. Dan Allah masih menyampaikan kabar pengharapan yang sama kepada kita hari ini. Telah lahir bagi kita Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan! (Luk. 2:11). Kita dapat bergabung dengan paduan suara malaikat dan orang percaya di sepanjang abad yang merespons kabar itu dengan menyatakan “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (ay.14). —Amy Peterson
Ya Allah, kami meninggikan Engkau dan bersyukur karena Engkau telah mengutus Anak-Mu, Yesus Kristus, untuk menjadi Juruselamat kami!
Tanpa Kristus tidak akan ada pengharapan. —Charles Spurgeon

Saturday, December 23, 2017

Allah Menyertai Kita

Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel. —Matius 1:23
Allah Menyertai Kita
“Kristus ada besertaku, Kristus ada di depanku, Kristus ada di belakangku, Kristus ada di dalamku, Kristus ada di bawahku, Kristus ada di atasku, Kristus ada di kananku, Kristus ada di kiriku . . .” Lirik himne itu ditulis oleh Santo Patrick, seorang Kristen asal Irlandia dari abad ke-5. Himne tersebut bergema di dalam benak saya ketika membaca tulisan Matius tentang kelahiran Yesus. Membaca bagian itu terasa seperti sebuah pelukan hangat yang mengingatkan bahwa saya tidak pernah sendiri.
Injil Matius menceritakan kepada kita bahwa inti Natal adalah tentang Allah yang berdiam bersama umat-Nya. Matius mengutip nubuat Nabi Yesaya tentang seorang anak yang akan dinamakan Imanuel, yang berarti “Allah menyertai kita” (Yes. 7:14). Lewat kutipan itu, Matius menyatakan bahwa penggenapan utama dari nubuat tersebut adalah Yesus, Pribadi yang dilahirkan oleh kuasa Roh Kudus untuk menjadi Allah yang menyertai kita. Kebenaran itu begitu penting sehingga Matius memulai catatan Injilnya dengan pernyataan itu, lalu menutupnya dengan perkataan Yesus kepada murid-murid-Nya: “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20).
Lirik himne karya Santo Patrick mengingatkan saya bahwa Kristus selalu menyertai orang percaya melalui Roh-Nya yang hidup di dalam mereka. Ketika gelisah atau takut, saya dapat memegang teguh janji-Nya bahwa Dia tidak akan pernah meninggalkan saya. Ketika sulit untuk tidur, saya bisa meminta Dia memberikan damai sejahtera-Nya. Ketika sedang dipenuhi sukacita, saya bisa bersyukur kepada-Nya atas semua karya-Nya yang indah dalam hidup saya.
Yesus adalah Imanuel—Allah menyertai kita. —Amy Boucher Pye
Allah Bapa, terima kasih Engkau telah mengutus Anak-Mu untuk menjadi Imanuel, Allah yang menyertai kami. Kiranya kami merasakan penyertaan-Mu hari ini.
Kasih Allah menjelma dalam rupa manusia di Betlehem.

Friday, December 22, 2017

Malam Kudus bagi Jiwa

Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. —2 Korintus 5:17
Malam Kudus bagi Jiwa
Lama sebelum Joseph Mohr dan Franz Gruber menciptakan lagu Natal “Silent Night” (Malam Kudus) yang terkenal, Angelus Silesius telah menulis puisi berikut:
Lihatlah! Di malam kudus telah lahir Anak Allah,
yang tersesat dan terabaikan pun selamatlah.
Maukah, hai manusia,
alami malam kudus dalam jiwamu,
Allah lahir di dalammu dan pulihkanmu.

Silesius, seorang biarawan asal Polandia, menerbitkan puisi tersebut pada tahun 1657 dalam buku The Cherubic Pilgrim (Perjalanan Malaikat). Dalam ibadah malam Natal tahunan di gereja kami, dengan indahnya paduan suara melantunkan lagu berjudul “Maukah Alami Malam Kudus dalam Jiwamu” yang terinspirasi dari puisi karya Silesius.
Dua sisi misteri dalam Natal adalah Allah menjadi sama dengan kita supaya kita dapat menjadi satu dengan-Nya. Yesus menderita segala sesuatu yang ternoda supaya kita dapat disucikan. Oleh karena itu, Rasul Paulus menulis, “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya” (2Kor. 5:17-18).
Pada saat Natal, baik kita berkumpul bersama keluarga dan teman atau kita jauh dari semua yang kita rindukan, kita tahu pasti bahwa Yesus datang untuk lahir di dalam hati kita.
Maukah engkau jadi palungan sang bayi?
Di dalam hatimu Allah terlahir kembali.

—David C. McCasland
Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau telah lahir ke dalam dunia yang gelap ini supaya kami dapat lahir kembali ke dalam hidup dan terang-Mu.
Allah menjadi sama dengan kita supaya kita dapat menjadi satu dengan-Nya.

Thursday, December 21, 2017

Rumah di Hari Natal

Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, ke manapun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negeri ini. —Kejadian 28:15
Rumah di Hari Natal
Suatu waktu di hari Natal, saya mendapat tugas di suatu tempat yang lokasinya tidak lazim bagi kebanyakan orang. Dalam perjalanan kembali ke kamar, saya diterpa udara dingin yang tertiup dari Laut Hitam. Saat itu, saya sangat merindukan rumah.
Saat tiba di kamar, saya membuka pintu dan seakan menemukan suatu keajaiban. Teman sekamar saya yang menyukai seni baru saja menyelesaikan proyek terbarunya—pohon Natal keramik setinggi hampir 50 cm yang kini menerangi kegelapan kamar kami dengan kelap-kelip warna-warni. Untuk sementara waktu, saya merasa seperti sudah pulang ke rumah!
Saat Yakub kabur dari Esau, saudaranya, Yakub terdampar sendirian di tempat yang asing. Saat tidur di tanah, ia bertemu Allah dalam mimpi. Dan Allah menjanjikan kepada Yakub sebuah rumah. “Tanah tempat engkau berbaring ini akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu,” kata Allah kepada Yakub. “Olehmu serta keturunanmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 28:13-14).
Tentu saja, dari Yakub dan keturunannya akan datang Mesias yang dijanjikan, satu Pribadi yang meninggalkan rumah-Nya untuk membawa kita pulang dan tinggal bersama dengan-Nya. “Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada,” kata Yesus kepada murid-murid-Nya (Yoh. 14:3).
Suatu malam di bulan Desember itu, saya duduk dalam kegelapan kamar sembari memandang pohon Natal yang terang itu. Tidak bisa tidak, saya pun terpikir tentang Sang Terang yang datang ke dunia untuk menunjukkan jalan kepada rumah kita yang kekal. —Tim Gustafson
Tuhan, di mana pun kami berada hari ini, kami bersyukur karena Engkau menyediakan tempat bagi kami untuk tinggal bersama dengan-Mu. Bahkan sekarang pun kami selalu disertai oleh Roh-Mu!
Rumah bukan sekadar tempat, melainkan sebuah kediaman. Ada kediaman kekal yang diberikan Allah kepada kita.

Wednesday, December 20, 2017

Memecah Kesunyian

Dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia . . . dan dengan demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya. —Lukas 1:17
Memecah Kesunyian
Di akhir Perjanjian Lama, Allah seperti sedang bersembunyi. Selama empat abad, orang Yahudi menanti dan bertanya-tanya. Allah terlihat seperti pasif, tidak peduli, dan tidak mendengarkan doa-doa mereka. Hanya tersisa satu harapan: janji tentang Mesias yang sudah dikumandangkan sejak lama. Orang Yahudi mempertaruhkan segalanya demi janji itu. Lalu sesuatu yang monumental terjadi. Kabar kelahiran seorang bayi pun tersiar.
Kamu dapat merasakan kegembiraan yang luar biasa ketika membaca reaksi orang-orang dalam kitab Lukas. Peristiwa seputar kelahiran Yesus terdengar bagaikan drama musikal yang riang gembira. Para tokoh berkerumun masuk panggung: seorang imam lanjut usia (Luk. 1:5-25), seorang perawan yang terkejut (1:26-38), sang nabi perempuan tua bernama Hana (2:36). Maria sendiri mengutarakan sebuah pujian indah karena hatinya begitu gembira (1:46-55). Bahkan sepupu Yesus yang belum lahir melonjak kegirangan di dalam rahim ibunya (1:41).
Lukas dengan cermat menghubungkan janji-janji di Perjanjian Lama tentang Mesias dengan peristiwa ini. Malaikat Gabriel bahkan menyebut Yohanes Pembaptis sebagai “Elia” yang diutus untuk menyiapkan jalan bagi Tuhan (1:17). Jelaslah, sesuatu yang penting akan terjadi di planet Bumi. Di tengah para penduduk desa yang muram dan terhimpit oleh penjajahan, di suatu pelosok daerah Kekaisaran Romawi, sesuatu yang indah akan segera datang. —Philip Yancey
Engkau datang bagi kami, untuk itulah kami bersukacita! Yesus, Engkaulah anugerah penebusan dan pengharapan bagi kami. Kami sungguh bersyukur kepada-Mu.
Pernah terjadi di dunia, sebuah palungan memuat sesuatu yang jauh lebih besar dari seluruh dunia yang kami diami. —C. S. Lewis (dari The Last Battle)

Tuesday, December 19, 2017

Langkah yang Radikal

Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang. —Lukas 19:10
Langkah yang Radikal
Beberapa tahun lalu, sahabat saya sempat kehilangan putra kecilnya saat berjalan menerobos kerumunan orang di salah satu stasiun kereta di pusat kota Chicago. Sungguh pengalaman yang menakutkan. Dengan kalang kabut, ia meneriakkan nama anaknya dan berlari balik ke eskalator untuk menelusuri langkahnya kembali dengan harapan akan menemukan putranya. Berpisah selama beberapa menit terasa seperti berjam-jam, dan syukurlah, putranya tiba-tiba menyeruak dari kerumunan dan berlari menuju dekapannya.
Memikirkan tentang sahabat saya yang bersedia melakukan apa saja untuk menemukan putranya yang hilang membuat saya kembali bersyukur atas karya luar biasa yang dilakukan Allah untuk menyelamatkan kita. Sejak manusia citra Allah yang pertama—Adam dan Hawa—terhilang dalam dosa, Allah berduka atas putusnya persekutuan Dia dengan umat-Nya. Dia mengambil langkah yang radikal demi memulihkan persekutuan tersebut dengan mengutus Anak-Nya yang tunggal “untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk. 19:10). Jika Yesus tidak pernah lahir, dan jika Dia tidak rela mati untuk membayar dosa-dosa kita dan membawa kita kembali kepada Allah, Natal pun tidak akan ada untuk kita rayakan.
Jadi pada Natal tahun ini, mari bersyukur karena Allah mengambil langkah yang radikal dengan mengutus Yesus demi memulihkan persekutuan kita dengan-Nya. Meskipun pernah terhilang, tetapi karena Yesus Kristus, kita telah ditemukan! —Joe Stowell
Bapa di surga, di tengah segala sukacita Natal, ingatkanlah aku bahwa makna Natal yang sesungguhnya terletak pada kedalaman kasih-Mu. Terima kasih karena Engkau mengutus Yesus Kristus untuk meraih kembali orang-orang yang tidak layak sepertiku!
Natal menceritakan tentang karya Allah yang radikal demi menyelamatkan manusia yang terhilang.

Monday, December 18, 2017

Pengharapan Kekal

Berbahagialah orang yang mempunyai Allah Yakub sebagai penolong, yang harapannya pada Tuhan, Allahnya. —Mazmur 146:5
Pengharapan Kekal
Seminggu sebelum Natal, dua bulan setelah ibu saya wafat, urusan belanja dan dekorasi Natal sama sekali tidak menjadi prioritas saya. Saya menolak upaya suami yang ingin menghibur saya di saat saya masih berduka karena kehilangan seorang ibu yang sangat beriman. Saya jengkel saat anak kami, Xavier, membentangkan dan memasang untaian lampu Natal ke dinding rumah. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia menyalakan lampu Natal tersebut sebelum ia dan ayahnya berangkat kerja.
Saat lampu warna-warni itu berkelap-kelip, Allah pun menarik saya keluar dari kegelapan dengan penuh kelembutan. Sepedih apa pun kondisi yang ada, pengharapan saya tetap terjamin dalam kebenaran Allah. Kebenaran firman-Nya selalu mengungkapkan karakter-Nya yang tak pernah berubah.
Mazmur 146 menegaskan apa yang diingatkan Allah kepada saya di pagi yang suram itu: Saya dapat senantiasa “[berharap] pada Tuhan,” penolong saya, Allah yang perkasa dan penyayang (ay.5). Sebagai Pencipta segala sesuatu, Allah “tetap setia untuk selama-lamanya” (ay.6). Dia “menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas,” melindungi dan menyediakan kebutuhan kita (ay.7). “Tuhan menegakkan orang yang tertunduk” (ay.8). Dia “menjaga” kita, menegakkan kita, dan menjadi Raja untuk selama-lamanya (ay.9-10).
Adakalanya, menjelang Natal, hari-hari kita penuh dengan saat-saat yang menyenangkan. Di lain waktu, mungkin saja kita mengalami kehilangan, kepedihan, atau kesepian. Namun di setiap saat, Allah berjanji untuk menjadi terang kita dalam kegelapan dan memberi kita pertolongan yang nyata serta pengharapan yang kekal. —Xochitl Dixon
Allah Bapa, terima kasih karena Engkau mengundang kami untuk mengenal dan mengandalkan karakter-Mu yang tak pernah berubah sebagai sumber pengharapan kami yang kekal.
Pengharapan kita di dalam Allah dijamin oleh karakter-Nya yang tak pernah berubah.

Sunday, December 17, 2017

Lemah Lembut

Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. —Efesus 4:2
Lemah Lembut
Masalah-masalah yang kita alami dalam hidup ini terkadang membuat kita mudah tersinggung dan lepas kendali. Namun, kita tidak patut membenarkan perilaku buruk tersebut karena akan menghancurkan hati orang-orang yang kita kasihi dan menyebabkan kesengsaraan kepada mereka yang ada di sekeliling kita. Kita gagal menjadi berkat bagi orang lain ketika perilaku kita tidak menyenangkan bagi mereka.
Perjanjian Baru memiliki istilah untuk sebuah sifat yang meluruskan sikap kita yang tidak menyenangkan, yaitu lemah lembut. Istilah tersebut menggambarkan kebaikan dan kemurahan hati dalam diri seseorang. Efesus 4:2 mengingatkan kita, “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar.”
Lemah lembut berarti bersedia menerima keterbatasan dan kesulitan yang ada tanpa melampiaskan kejengkelan kita terhadap orang lain. Itu berarti menunjukkan rasa syukur atas perlakuan sesederhana apa pun yang kita terima dan menoleransi mereka yang tidak memperlakukan kita dengan baik. Itu berarti sabar terhadap orang yang menyusahkan—terutama anak-anak kecil yang berisik dan gaduh; karena bersikap baik kepada anak-anak merupakan ciri dari orang yang baik dan lemah lembut. Lemah lembut berarti tetap berbicara dengan tenang dan lembut saat dihasut. Itu dapat berarti mengambil sikap diam; karena ketenangan sering menjadi respons yang tepat terhadap kata-kata kasar.
Yesus itu “lemah lembut dan rendah hati” (Mat. 11:29). Jika kita memohon kepada-Nya, pada waktunya, Dia akan membentuk kita serupa gambar-Nya. George MacDonald berkata, “[Allah] tidak ingin mendengar dari [kita] sebuah nada yang menyinggung atau sepatah kata yang melukai hati orang lain . . . . Yesus lahir untuk menebus kita dari dosa tersebut, seperti juga dari dosa-dosa lainnya.” —David H. Roper
Tuhan, aku ingin menjadi orang yang lemah lembut. Tolonglah aku untuk bersikap baik dan ramah terhadap orang lain hari ini.
Sikap rendah hati di hadapan Allah membuat kita mau bersikap lemah lembut kepada orang lain.

Saturday, December 16, 2017

Allah Lebih Besar dari Apa Pun

Karena di dalam [Yesus]-lah telah diciptakan segala sesuatu. —Kolose 1:16
Allah Lebih Besar dari Apa Pun
Ketika kami berkendara di kawasan bagian utara Michigan, Marlene, istri saya, berseru, “Dunia ini besar sekali. Benar-benar tak terbayangkan!” Ia mengucapkan komentar itu saat kami melintasi sebuah papan yang menandai garis lintang 45 derajat—titik tengah antara garis khatulistiwa dan Kutub Utara. Kami pun berbicara tentang betapa kecilnya manusia dan betapa besarnya dunia ini. Namun dibandingkan dengan ukuran alam semesta, planet kecil yang kita diami ini hanyalah setitik debu.
Jika dunia ini begitu besar, dan alam semesta jauh lebih besar, seberapa besarkah Pribadi yang menciptakannya dengan penuh kuasa? Alkitab mengatakan, “Karena di dalam [Yesus]-lah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” (Kol. 1:16).
Itu adalah kabar baik, karena Yesus yang menciptakan alam semesta juga datang untuk menyelamatkan kita dari dosa dan menjaga kita dari hari ke hari, bahkan sampai selamanya. Pada malam sebelum kematian-Nya, Yesus berkata, “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yoh. 16:33).
Saat menghadapi tantangan hidup, baik besar atau kecil, kita dapat berseru kepada Tuhan Yesus—Pribadi yang telah menciptakan alam semesta, yang telah mati dan bangkit kembali dari kematian, dan yang telah menang atas kehancuran dunia ini. Di tengah pergumulan kita, Dia sanggup memberikan damai sejahtera-Nya bagi kita. —Bill Crowder
Tuhan, aku bersyukur karena Engkau lebih besar daripada yang dapat kupahami dengan pikiranku. Tolonglah aku untuk mempercayai-Mu hari ini.
Tiada terukur anugerah Allah, tak habis-habisnya belas kasih-Nya, dan tak terkatakan damai sejahtera-Nya.

Friday, December 15, 2017

Lebih dari Sekadar Pahlawan

Kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepadaNya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran. —Yohanes 1:14
Lebih dari Sekadar Pahlawan
Sementara penggemar Star Wars di seluruh dunia dengan semangat menantikan peluncuran Episode 8, “The Last Jedi”, para pengamat terus menganalisis kesuksesan luar biasa dari film-film serial Star Wars yang pertama kali ditayangkan tahun 1977. Frank Pallotta, reporter media dari CNNMoney, mengatakan bahwa Star Wars disukai oleh banyak orang yang merindukan “suatu harapan baru dan kekuatan kebaikan di masa ketika dunia membutuhkan sosok pahlawan”.
Pada masa kelahiran Yesus, orang Israel sedang hidup dalam tekanan dan sangat merindukan kedatangan Mesias yang telah lama dijanjikan. Banyak orang mengharapkan kedatangan seorang pahlawan yang akan membebaskan mereka dari penindasan Romawi. Namun, Yesus tidak datang sebagai pahlawan politik atau militer. Dia justru datang sebagai bayi mungil yang lahir di kota Betlehem. Akibatnya, banyak orang tidak mengenali siapa Yesus sebenarnya. Rasul Yohanes menulis, “Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (Yoh. 1:11).
Lebih dari sekadar pahlawan, Yesus datang sebagai Juruselamat kita. Dia lahir untuk membawa terang Allah ke dalam kegelapan dan untuk memberikan nyawa-Nya agar setiap orang yang menerima-Nya dapat diampuni dan dibebaskan dari kuasa dosa. Yohanes menyebut Yesus sebagai “Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (ay.14).
“Semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya” (ay.12). Sungguh, Yesus adalah pengharapan sejati dan satu-satunya bagi dunia ini. —David C. McCasland
Tuhan Yesus, Engkaulah Juruselamat kami. Kami memuji-Mu karena Engkau telah datang untuk mati agar kami beroleh hidup.
Di Betlehem, Allah menunjukkan bahwa mengasihi berarti memberi.

Thursday, December 14, 2017

Dengan Pertolongan Allah

Jadi sekarang, telah berumur delapan puluh lima tahun aku hari ini; . . . seperti kekuatanku pada waktu itu demikianlah kekuatanku sekarang untuk berperang. —Yosua 14:10-11
Dengan Pertolongan Allah
Memasuki usia lanjut, saya lebih sering mengalami nyeri sendi, terutama saat hawa dingin menerpa. Kadangkala saya merasa tidak berdaya menghadapi segala tantangan di usia senja.
Karena itulah, pahlawan saya adalah laki-laki tua bernama Kaleb—seseorang yang pernah dikirim Musa untuk mengintai Kanaan, Tanah Perjanjian (Bil. 13-14). Setelah para pengintai yang lain memberikan laporan yang kurang baik, hanya Kaleb dan Yosua—dari 12 pengintai—yang diperkenankan Allah untuk memasuki Kanaan. Di Yosua 14, tibalah saatnya bagi Kaleb untuk menerima bagian tanahnya. Namun, masih ada musuh-musuh yang perlu disingkirkan. Karena tidak mau menyerahkan tugas berperangnya pada generasi yang lebih muda, Kaleb yang menolak untuk pensiun itu menyatakan, “Engkau sendiri mendengar pada waktu itu, bahwa di sana ada orang Enak dengan kota-kota yang besar dan berkubu. Mungkin Tuhan menyertai aku, sehingga aku menghalau mereka, seperti yang difirmankan Tuhan” (Yos. 14:12).
“Tuhan menyertai aku.” Pola pikir itulah yang membuat Kaleb selalu siap berperang. Ia berfokus pada kekuatan Allah, bukan pada kekuatan-nya sendiri, dan juga bukan pada usianya yang lanjut. Allah saja yang akan menolongnya melakukan apa pun yang perlu dilakukannya.
Kebanyakan dari kita mungkin tidak terpikir akan mengerjakan sesuatu yang besar setelah mencapai usia lanjut. Namun sesungguhnya, kita masih dapat melakukan hal-hal besar bagi Allah, tak peduli berapa pun usia kita. Ketika kesempatan-kesempatan besar muncul, seperti kesempatan yang Kaleb terima, kita tidak perlu menghindarinya. Dengan pertolongan Allah, kita dapat menjadi pemenang! —Linda Washington
Bapa Surgawi, terima kasih karena Engkau telah memberiku kekuatan untuk menjalani hari demi hari. Tolong aku untuk setia melakukan kehendak-Mu.
Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku. —Filipi 4:13

Wednesday, December 13, 2017

Saya Tidak Layak

Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. —Galatia 2:20
Saya Tidak Layak
Sebagai salah satu pemimpin orkestra yang paling terkenal dari abad ke-20, Arturo Toscanini dikenang karena sikapnya yang senang memberikan pujian kepada orang-orang yang memang pantas mendapatkannya. Dalam buku Dictators of the Baton, penulis David Ewen menggambarkan bagaimana para anggota orkestra New York Philharmonic berdiri dan bertepuk tangan untuk Toscanini di akhir latihan mereka memainkan Simfoni No. 9 karya Beethoven. Ketika keriuhan itu mereda, dengan air mata yang menetes, Arturo berkata dengan suara parau: “Saya tidak layak . . . Beethoven yang layak! . . . Toscanini bukanlah siapa-siapa.”
Dalam surat-suratnya di Perjanjian Baru, Rasul Paulus juga menolak untuk menerima pujian atas pengaruh dan wawasan rohaninya. Paulus tahu bahwa ia bagaikan seorang ayah dan ibu rohani bagi banyak orang yang beriman kepada Kristus. Paulus mengakui bahwa ia telah bekerja keras dan sering menderita dalam upayanya menguatkan iman, pengharapan, dan kasih dalam diri banyak orang (1Kor. 15:10). Namun, ia sadar bahwa sesungguhnya ia tidak layak menerima pujian dari orang-orang yang telah diberkati lewat teladan iman, kasih, dan wawasannya.
Jadi demi kebaikan para pembaca suratnya, dan juga demi kebaikan kita, Paulus seakan berkata, “Aku tidak layak, saudara-saudaraku sekalian. Kristus saja yang layak . . . Paulus bukanlah siapa-siapa.” Kita semua hanyalah pembawa pesan yang diberikan oleh satu Pribadi yang memang layak untuk menerima segala pujian kita. —Mart DeHaan
Bapa di surga, tanpa-Mu, kami bukanlah apa-apa. Tanpa anugerah-Mu, kami tak punya pengharapan. Tanpa Roh Kudus, kami sungguh tak berdaya. Tunjukkanlah kepada kami bagaimana kami dapat memberi-Mu pujian yang memang selayaknya Engkau terima.
Bijaksanalah orang yang lebih suka memberikan pujian daripada menerimanya.

Tuesday, December 12, 2017

Mengobati Kekhawatiran

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. —Filipi 4:6
Mengobati Kekhawatiran
Kami sangat bersemangat saat akan pindah ke tempat yang baru, mengikuti pekerjaan suami saya. Namun, segala ketidakpastian dan kesulitan yang terbayang sempat membuat saya khawatir. Saya khawatir soal menyortir dan mengepak barang. Mencari tempat tinggal. Mencari pekerjaan baru untuk saya juga. Bagaimana melakukan perjalanan di kota yang baru dan akankah saya merasa kerasan di sana. Semua itu . . . sangat merisaukan. Saat memikirkan tentang segala hal yang “harus” saya kerjakan, kata-kata yang ditulis Rasul Paulus muncul di benak saya: Jangan khawatir, berdoalah (Flp. 4:6-7).
Paulus tentu juga pernah merasa khawatir di tengah ketidakpastian dan kesulitan. Ia pernah mengalami karam kapal. Ia pernah dipukuli. Ia pernah dipenjara. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Paulus menguatkan para sahabatnya yang juga menghadapi ketidakpastian dan mengatakan kepada mereka, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (ay.6).
Perkataan Paulus sangat menguatkan saya. Hidup ini tidak mungkin lepas dari ketidakpastian—baik itu berupa keputusan besar yang mempengaruhi hidup, masalah keluarga, kesehatan yang memburuk, atau kesulitan keuangan. Saya terus belajar untuk memahami bahwa Allah peduli. Dia mengundang kita untuk melepaskan kekhawatiran kita akan segala hal yang tidak pasti dengan menyerahkan semua itu kepada-Nya. Saat kita melakukannya, Allah yang Mahatahu menjanjikan bahwa damai sejahtera-Nya “yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiran [kita] dalam Kristus Yesus” (ay.7). —Karen Wolfe
Tuhan, alangkah indahnya menyadari bahwa kami tak perlu khawatir akan apa pun. Ingatkan kami bahwa kami boleh datang dan membawa segala hal kepada-Mu. Kami bersyukur untuk diri-Mu dan karya-Mu dalam hidup kami.
Kepedulian Allah sungguh menenangkan jiwa.

Monday, December 11, 2017

Semua Diberikan Cuma-Cuma

Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah. —Efesus 2:8
Semua Diberikan Cuma-Cuma
Kafe Rendezvous di London memiliki penerangan yang bagus, sofa-sofa yang nyaman, dan aroma kopi yang semerbak. Yang tidak dimilikinya hanyalah daftar harga. Kafe tersebut awalnya merupakan bisnis yang dikelola sebuah gereja lokal. Namun, kafe itu berubah setelah setahun berjalan. Para pengelola kafe merasa bahwa Allah memanggil mereka untuk melakukan sesuatu yang radikal—menyajikan semua makanan dan minuman yang ada di menu secara cuma-cuma. Kini kamu dapat memesan kopi, kue, atau roti isi tanpa membayar sepeser pun. Kotak donasi pun tidak tersedia. Semua yang disajikan itu diberikan cuma-cuma.
Saya bertanya kepada manajer kafe itu tentang motivasi dari kemurahan hati mereka. “Kami hanya berusaha memperlakukan siapa saja sebagaimana Allah telah memperlakukan kami,” katanya. “Allah terus memberi, baik kita berterima kasih kepada-Nya atau tidak. Dia begitu bermurah hati kepada kita, jauh melampaui apa pun yang dapat kita bayangkan.”
Yesus Kristus telah mati demi menyelamatkan kita dari dosa dan mendamaikan kita dengan Allah. Dia telah bangkit dari kematian dan hidup selamanya. Karena alasan itulah, setiap kesalahan yang telah kita lakukan dapat diampuni, dan kita dapat memiliki hidup baru sekarang (Ef. 2:1-5). Dan salah satu hal yang paling menakjubkan tentang itu adalah bahwa semua itu diberikan cuma-cuma. Kita tidak akan pernah dapat membayar hidup baru yang Yesus berikan. Tidak ada andil apa pun yang bisa kita tambahkan (ay.8-9). Seluruhnya diberikan cuma-cuma.
Ketika para pegawai di Kafe Rendezvous menyajikan kue dan kopi, mereka ikut menunjukkan kemurahan hati Allah kepada para pengunjung. Kamu dan saya menerima hidup kekal secara cuma-cuma karena Yesus telah lunas membayar harganya. —Sheridan Voysey
Dan barangsiapa yang haus, hendaklah ia datang, dan barangsiapa yang mau, hendaklah ia mengambil air kehidupan dengan cuma-cuma. —Wahyu 22:17
Hidup kekal adalah pemberian cuma-cuma yang boleh diterima siapa saja.

Sunday, December 10, 2017

Kegagalan yang Dipulihkan

Tuhan itu penopang bagi semua orang yang jatuh dan penegak bagi semua orang yang tertunduk. —Mazmur 145:14
Kegagalan yang Dipulihkan
Pada suatu waktu, pujian dan penyembahan di gereja kami dipimpin oleh sebuah grup musik tamu. Hasrat mereka dalam menyembah Tuhan sangat mengharukan dan jemaat dapat melihat serta ikut merasakan semangat mereka.
Kemudian para pemusik itu mengungkapkan bahwa mereka semua adalah bekas narapidana. Mengetahui hal itu membuat kami melihat makna yang baru dari puji-pujian yang mereka naikkan. Kata-kata dalam lagu pujian itu terasa begitu berarti bagi mereka. Penyembahan mereka menjadi kesaksian dari hidup yang tadinya rusak tetapi kini telah dipulihkan kembali.
Mungkin dunia lebih menghargai kisah-kisah keberhasilan. Namun, kisah-kisah tentang kegagalan masa lalu seseorang juga dapat memberikan pengharapan. Kisah-kisah kegagalan meyakinkan kita bahwa Allah tetap mengasihi kita meskipun kita telah gagal berulang kali. Pendeta Gary Inrig mengatakan bahwa apa yang kita sebut sebagai Galeri Pahlawan Iman dalam Ibrani 11 sebenarnya dapat juga diberi judul Galeri Karya Pemulihan Allah. “Hampir tidak ada seorang pun dalam pasal itu yang hidupnya bebas dari noda kegagalan,” menurut pengamatan beliau. “Namun, Allah berkarya memulihkan setiap kegagalan. . . . Itulah prinsip yang agung dari anugerah Allah.”
Saya sangat menyukai kata-kata penghiburan dalam Mazmur 145. Mazmur itu bercerita tentang “perbuatan-perbuatan [Allah] yang ajaib” (ay.5-6) dan kemuliaan kerajaan-Nya (ay.11). Pasal itu menggambarkan kasih sayang (ay.8-9) dan kesetiaan-Nya (ay.13)—kemudian langsung menyatakan kepada kita bahwa Tuhan adalah penopang bagi semua orang yang jatuh (ay.14). Seluruh sifat Allah dinyatakan-Nya ketika Dia mengangkat kita kembali. Allah memang sanggup memulihkan kita.
Pernahkah kamu gagal? Tentu kita semua pernah gagal. Namun, sudahkah kamu dipulihkan oleh-Nya? Hidup setiap orang yang sudah diselamatkan Allah merupakan kisah anugerah-Nya. —Leslie Koh
Setiap kisah kegagalan kita dapat menjadi kisah anugerah Allah.

Saturday, December 9, 2017

Dari Luar ke Dalam?

Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. —Galatia 3:27
Dari Luar ke Dalam?
“Perubahan: Dari Dalam ke Luar atau dari Luar ke Dalam?” merupakan judul tajuk utama tentang tren populer saat ini.Tren itu menyajikan ide bahwa perubahan tampilan luar seperti merias wajah atau memperbaiki postur dapat menjadi cara mudah untuk mengubah perasaan dalam hati kita—bahkan mengubah hidup kita.
Sungguh konsep yang menarik! Siapa yang tidak ingin meningkatkan kualitas hidup semudah mengubah penampilan? Kebanyakan dari kita sudah mengalami sendiri sulitnya mengubah kebiasaan yang sudah mengakar, bahkan itu adalah usaha yang nyaris mustahil. Mudahnya mengubah penampilan luar telah memberikan harapan bahwa upaya meningkatkan kualitas hidup kita bisa dilakukan dengan lebih cepat.
Meskipun perubahan semacam itu dapat meningkatkan hidup kita, Alkitab mengajak kita untuk mencari perubahan yang lebih berarti—sesuatu yang mustahil kita lakukan sendiri. Di Galatia 3, Paulus menyatakan bahwa hukum Allah—suatu pemberian tak ternilai yang menyatakan kehendak-Nya—tidak sanggup memulihkan kebobrokan umat Allah (ay.19-22). Pemulihan dan kemerdekaan sejati mengharuskan umat Allah, melalui iman, untuk “mengenakan Kristus” (ay.27) oleh Roh-Nya (5:5). Dengan dimerdekakan dan dibentuk oleh Kristus, mereka akan menemukan identitas dan nilai sejati mereka—yakni bahwa setiap orang percaya sama-sama merupakan ahli waris dari semua janji Allah (3:28-29).
Kita dapat dengan mudahnya mencurahkan banyak energi untuk meningkatkan kualitas diri. Namun, perubahan yang paling berarti dan memuaskan dalam hati kita berasal dari pengenalan kita akan kasih yang melampaui segala pengetahuan (Ef. 3:17-19)—suatu kasih yang sanggup mengubah segalanya. —Monica Brands
Tuhan, kami sangat bersyukur karena tidak perlu mengandalkan diri kami sendiri. Terima kasih karena Roh-Mu memperbarui kami setiap hari dan membawa kami semakin dekat pada-Mu dan kasih-Mu.
Dalam Yesus, perubahan yang sejati dan kekal tidaklah mustahil.

Friday, December 8, 2017

Kasih yang Tak Terduga

Dan dalam suatu penglihatan ia melihat, bahwa seorang yang bernama Ananias masuk ke dalam dan menumpangkan tangannya ke atasnya, supaya ia dapat melihat lagi. —Kisah Para Rasul 9:12
Kasih yang Tak Terduga
Pada suatu Sabtu pagi ketika saya masih bersekolah, saya sangat bersemangat pergi ke tempat kerja di arena boling lokal. Malam sebelumnya, saya bekerja sampai larut untuk membersihkan lantai ubin yang berlumpur karena petugas kebersihan tidak masuk. Saya tidak menceritakan tentang sakitnya petugas kebersihan itu kepada atasan saya dan ingin memberinya kejutan. Saya pikir, tidak ada salahnya ‘kan?
Namun setelah masuk, saya dikejutkan oleh genangan air setinggi beberapa sentimeter. Pin-pin boling, gulungan tisu, dan kotak-kotak papan skor mengambang di atas genangan air itu. Saya pun menyadari apa yang telah saya lakukan: Saat membersihkan lantai, saya lupa menutup keran sehingga air terus mengalir semalaman! Yang luar biasa, saat atasan saya datang, ia masih memeluk saya sambil tersenyum dan berkata, “Terima kasih untuk usahamu.”
Paulus sedang gencar menghukum dan menganiaya orang Kristen (Kis. 9:1-2) ketika ia bertemu langsung dengan Tuhan Yesus dalam perjalanannya ke Damsyik (ay.3-4). Pribadi yang akan diutus sebagai rasul itu terlebih dahulu dihadapkan Tuhan dengan perbuatannya yang berdosa. Karena buta akibat peristiwa tersebut, Saulus alias Paulus memerlukan bantuan seorang Kristen bernama Ananias untuk memulihkan penglihatannya. Ananias pun bertindak dengan penuh keberanian dan kasih (ay.17).
Saulus dan saya sama-sama menerima kasih yang tak terduga.
Banyak orang menyadari bahwa hidup mereka berantakan. Yang mereka butuhkan bukanlah ceramah melainkan pengharapan akan pemulihan. Sikap yang galak atau kata-kata yang pedas dapat menghalangi mereka untuk melihat pengharapan itu. Seperti Ananias, atau seperti atasan saya, para pengikut Yesus juga harus menampilkan kasih dalam pergaulan mereka dengan orang lain. —Randy Kilgore
Perbuatan seorang Kristen yang penuh kasih dapat membuka jalan bagi orang lain untuk bertemu dengan Sang Juruselamat.

Thursday, December 7, 2017

Mengutamakan yang Terpenting

Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. —1 Timotius 4:16
Mengutamakan yang Terpenting
Ketika kamu melakukan perjalanan udara, sebelum pesawat lepas landas, para pramugari dan pramugara biasanya memperagakan cara menggunakan alat-alat keselamatan. Mereka menjelaskan apa yang perlu dilakukan jika tekanan dalam kabin pesawat menurun. Para penumpang diberi tahu bahwa masker oksigen akan otomatis jatuh dari kompartemen atas dan mereka harus memakainya sendiri terlebih dahulu sebelum menolong penumpang lain. Mengapa demikian? Karena sebelum dapat menolong orang lain, kita perlu memperhatikan kesiapan fisik kita sendiri.
Dalam suratnya kepada Timotius, Rasul Paulus menekankan pentingnya Timotius menjaga kesehatan rohaninya sendiri sebelum menolong dan melayani orang lain. Ia mengingatkan Timotius tentang banyaknya tanggung jawab sebagai pemimpin jemaat: Ada ajaran palsu yang harus dihadapi (1Tim. 4:1-5) dan doktrin-doktrin sesat yang perlu diluruskan (ay.6-8). Namun, agar dapat menunaikan tugasnya dengan baik, hal terpenting yang harus dilakukan Timotius adalah mengawasi dirinya sendiri dan ajarannya serta tekun melakukan semuanya itu (ay.16). Timotius perlu menjaga persekutuan pribadinya dengan Tuhan terlebih dahulu sebelum ia dapat menolong orang lain.
Nasihat Paulus kepada Timotius juga berlaku bagi kita. Setiap hari kita bertemu dengan orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Ketika kita mengisi kerohanian kita terlebih dahulu lewat perenungan firman Tuhan dan doa serta kesanggupan yang diberikan Roh Kudus, persekutuan pribadi kita dengan Allah pun akan selalu terjaga. Dengan demikian, kita akan siap secara rohani untuk menolong orang lain. —C. P. Hia
Tuhan, ajarkanlah firman-Mu kepadaku sekarang. Perkenankan aku merasakan kesegarannya sebelum aku pergi menjadi terang-Mu bagi dunia.
Kehidupan orang Kristen bagaikan jendela terbuka yang melaluinya orang lain dapat melihat Yesus.

Wednesday, December 6, 2017

Mempercayai Allah meski Ragu

Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami. —Daniel 3:17
Mempercayai Allah meski Ragu
Karena cedera yang terjadi pada tahun 1992, saya mengalami sakit kronis pada punggung bagian atas, bahu, dan leher saya. Selama momen-momen yang paling menyiksa dan menyakitkan, tidaklah mudah untuk selalu mempercayai atau memuji Tuhan. Namun ketika rasa sakitnya tak tertahankan, kehadiran Allah yang setia selalu menghibur saya. Dia menguatkan dan meyakinkan saya akan kebaikan-Nya yang tidak berubah, kuasa-Nya yang tak terbatas, dan anugerah-Nya yang menopang saya. Ketika tergoda untuk meragukan Tuhan, saya dikuatkan oleh teladan iman dari Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Mereka menyembah Allah dan percaya bahwa Dia menyertai mereka, bahkan dalam situasi sulit yang sepertinya tanpa jalan keluar.
Raja Nebukadnezar mengancam akan melemparkan mereka ke dalam perapian yang menyala jika mereka terus menyembah Allah yang sejati dan tidak menyembah patung emasnya (Dan. 3:13-15). Ketiga pemuda itu menunjukkan iman yang sangat berani dan teguh. Mereka tidak pernah meragukan Allah yang mereka puja (ay.17), sekalipun “seandainya” Allah tidak melepaskan mereka dari kesulitan mereka (ay.18). Dan Allah tidak meninggalkan mereka sendirian di saat mereka membutuhkan; Dia mendampingi dan melindungi mereka di dalam tungku api (ay.24-25).
Allah juga tidak pernah meninggalkan kita sendirian. Dia selalu menyertai kita di hadapan segala ujian yang mengancam keberadaan kita layaknya tungku api Nebukadnezar. Namun seandainya penderitaan kita tak juga berakhir sampai akhir hayat kita, Allah tetap dan akan selalu baik, berkuasa, dan layak dipercaya. Kita dapat mengandalkan kehadiran-Nya yang penuh kasih dan tak berubah. —Xochitl Dixon
Tuhan, terima kasih karena Engkau selalu menyertai kami, apa pun yang kami alami.
Beriman berarti kita mengandalkan karakter Allah Mahakuasa yang tidak pernah berubah, dan bukan keadaan di sekeliling kita.

Tuesday, December 5, 2017

Yesus Sayang Padaku

Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita. —1 Yohanes 4:10
Yesus Sayang Padaku
Ketika adik saya Maysel masih kecil, ia suka menyanyikan lagu favoritnya dengan caranya sendiri: “Jesus loves me, this I know, for the Bible tells Maysel” (Yesus sayang padaku, Alkitab mengajar Maysel). Saya sangat jengkel mendengarnya! Sebagai kakak yang “lebih tahu”, saya tahu bahwa lirik lagu yang benar adalah “for the Bible tells me so” (Alkitab mengajarku), bukan “tells Maysel”. Namun, adik saya terus saja menyanyikan lagu itu sekehendak hatinya.
Sekarang saya pikir adik saya itu memang benar. Alkitab memang mengajar adik saya, dan kita semua, bahwa Yesus mengasihi kita. Berulang kali kita membaca tentang kebenaran kasih itu. Sebagai contoh, lihatlah tulisan-tulisan Rasul Yohanes, “murid yang dikasihi Yesus” (Yoh. 21:7,20). Ia mengatakan kepada kita tentang kasih Allah dalam salah satu ayat yang paling terkenal dari Alkitab, Yohanes 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”
Yohanes menegaskan kabar tentang kasih itu di 1 Yohanes 4:10, “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” Sama seperti Yohanes mengetahui bahwa Yesus mengasihinya, kita juga dapat memiliki jaminan yang sama: Yesus memang mengasihi kita. Itulah yang diajarkan Alkitab kepada kita. —Alyson Kieda
Ya Tuhan, terima kasih untuk jaminan bahwa Engkau mengasihi kami. Kami sangat bersyukur karena Engkau begitu mengasihi kami hingga Engkau rela mati bagi kami.
Yesus sayang padaku! Alkitab mengajarku.

Monday, December 4, 2017

Natal di MacPherson

Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umatNya dan membawa kelepasan baginya. —Lukas 1:68
Natal di MacPherson
Sekitar 230 keluarga dan individu tinggal di Apartemen MacPherson Gardens, Blok 72, di lingkungan tempat tinggal saya. Setiap dari mereka memiliki kisah hidup mereka masing-masing. Di lantai sepuluh, ada seorang wanita lanjut usia yang anak-anaknya sudah dewasa, menikah, dan tidak lagi tinggal di sana. Wanita tua itu tinggal sendirian sekarang. Beberapa pintu dari tempat tinggalnya, ada pasangan muda dengan dua anak, laki-laki dan perempuan. Beberapa lantai di bawah mereka, hidup seorang pria muda yang berprofesi sebagai tentara. Ia pernah datang ke gereja, dan mungkin akan datang beribadah lagi pada hari Natal. Saya bertemu dengan setiap dari mereka pada Natal tahun lalu ketika paduan suara gereja kami bernyanyi dari pintu ke pintu di lingkungan tersebut untuk membagikan sukacita Natal.
Setiap Natal—seperti juga pada Natal yang pertama—ada banyak orang yang tidak tahu bahwa Allah telah hadir ke dunia kita sebagai bayi yang bernama Yesus (Luk. 1:68; 2:21). Mungkin saja mereka juga tidak tahu arti penting dari peristiwa itu—bahwa Natal adalah “kabar baik . . . yang sangat menggembirakan semua orang” (2:10 BIS). Ya, semua orang! Apa pun kewarganegaraan, budaya, jenis kelamin, atau kondisi keuangan kita, Yesus datang untuk mati bagi kita dan memberikan pengampunan penuh kepada kita. Oleh karena karya-Nya itu, kita dapat didamaikan dengan Allah dan menikmati kasih, sukacita, damai sejahtera, dan pengharapan-Nya. Semua orang, baik itu tetangga kita maupun rekan kerja kita di kantor, perlu mendengar kabar yang mengagumkan itu!
Pada Natal yang pertama, para malaikatlah yang menjadi pembawa kabar sukacita itu. Di masa kini, Allah rindu berkarya melalui kita untuk membagikan kabar baik itu kepada sesama kita. —Poh Fang Chia
Tuhan, pakailah aku untuk menjangkau hidup sesamaku dengan menceritakan tentang kabar kelahiran-Mu kepada mereka.
Kabar baik tentang kelahiran Yesus Kristus membawa sukacita bagi semua orang.

Sunday, December 3, 2017

Menunggu

Hai Betlehem Efrata, . . . dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel. —Mikha 5:1
Menunggu
“Berapa hari lagi kita merayakan Natal?” Ketika anak-anak saya masih kecil, mereka sering mengulang-ulang pertanyaan itu. Walaupun kami menggunakan kalender pada masa Advent untuk menghitung mundur sampai hari Natal, masih saja mereka merasa bahwa menunggu itu sangat menyiksa.
Kita bisa dengan mudah memahami kesulitan anak-anak untuk menunggu. Namun, bisa jadi kita mengecilkan kesulitan yang dirasakan umat Allah dalam penantian mereka. Lihatlah umat Israel yang menerima berita dari Nabi Mikha. Ia menjanjikan bahwa dari Betlehem akan bangkit “seorang yang akan memerintah Israel” (5:1), yang akan “bertindak dan akan menggembalakan mereka dalam kekuatan TUHAN” (ay.3). Awal penggenapan dari nubuat tersebut terjadi pada saat Yesus lahir di Betlehem (Mat. 2:1)—dan itu terjadi setelah umat menunggu selama kurang lebih 700 tahun. Namun, ada sejumlah bagian dari nubuat itu yang belum digenapi. Kita masih menunggu dalam pengharapan akan kedatangan Yesus kembali, ketika semua umat Allah akan “hidup dengan aman” dan “seluruh dunia akan mengakui kebesaran-Nya” (Mi. 5:3 BIS). Pada saat itulah, kita akan sangat bersukacita karena penantian kita yang panjang akan berakhir.
Kebanyakan orang tidak suka menunggu. Namun, kita dapat percaya bahwa Allah akan menepati janji-Nya untuk menyertai kita selama kita menunggu kedatangan Yesus kembali (Mat. 28:20). Karena saat Yesus lahir di kota kecil bernama Betlehem, Dia datang membawa hidup dalam segala kelimpahannya (lihat Yoh. 10:10)—suatu hidup yang terbebas dari penghukuman. Saat ini, kita menikmati kehadiran-Nya sembari menunggu kedatangan-Nya dengan penuh harap. —Amy Boucher Pye
Ya Allah Bapa, kami menunggu dan berharap kepada-Mu. Ya Yesus yang terkasih, kami menunggu untuk datangnya kedamaian. Ya Roh Penghibur, kami menunggu hingga seluruh dunia mengenal kasih-Mu.
Kita menunggu janji-janji Allah, dengan meyakini bahwa semua janji itu akan digenapi.

Saturday, December 2, 2017

Ham dan Telur

Karena mata Tuhan menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia. —2 Tawarikh 16:9
Ham dan Telur
Dalam sebuah dongeng tentang ayam dan babi, kedua binatang itu berdiskusi soal rencana membuka restoran bersama. Saat merencanakan menu yang akan disajikan, ayam mengusulkan menu daging ham dan telur. Babi dengan cepat menolak, sembari berkata: “Aku tak setuju. Enak saja, aku harus mengorbankan diriku, sementara kamu hanya cukup bertelur dan tak sampai mati.”
Meskipun babi itu tidak rela menjadi santapan, pengertiannya tentang penyerahan diri membuat saya lebih memahami apa artinya mengikut Allah dengan sepenuh hati.
Untuk melindungi kerajaannya, Asa, raja Yehuda, berusaha memutuskan persekutuannya dengan raja-raja Israel dan Aram. Demi mencapai hal tersebut, ia mengirimkan “emas dan perak dari perbendaharaan rumah TUHAN dan dari perbendaharaan rumah raja” kepada Benhadad, raja Aram, agar ia mau bersekutu dengannya (2Taw. 16:2). Benhadad setuju dan gabungan pasukan kedua kerajaan mereka berhasil mengalahkan Israel.
Namun, Nabi Hanani menyebut Asa telah bersikap bodoh karena mengandalkan pertolongan manusia daripada berharap kepada Allah yang telah menyerahkan para musuh ke tangan mereka. Hanani menegaskan, “Mata TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia” (ay.9).
Ketika kita menghadapi pergumulan dan tantangan dalam hidup ini, ingatlah bahwa Allah merupakan sekutu dan pengharapan kita yang terbaik. Dia menguatkan kita ketika kita bersedia menyerahkan diri kepada-Nya dengan sepenuh hati. —Kirsten Holmberg
Tuhan, aku ingin bersandar lebih lagi kepada-Mu. Kadang aku hanya melihat apa yang ada di sekelilingku. Tolong aku berharap dan semakin percaya kepada-Mu.
Ketika kita sepenuhnya berserah kepada Allah, Dia dapat bekerja melalui diri kita kapan saja. —Oswald Chambers

Friday, December 1, 2017

Menjadi yang Terdahulu

Barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan. —Matius 23:12
Menjadi yang Terdahulu
Baru-baru ini saya termasuk dalam kelompok paling belakang dalam antrean penumpang yang akan naik ke pesawat dengan tempat duduk yang belum ditentukan. Saya mendapat kursi di bagian tengah, di dekat sayap. Namun, satu-satunya tempat untuk menyimpan tas saya adalah kompartemen di atas penumpang di bagian paling belakang. Itu artinya, ketika pesawat mendarat, saya harus menunggu sampai semua penumpang keluar sebelum saya dapat ke belakang untuk mengambil tas saya.
Saya duduk sambil tersenyum, dan sempat terlintas pemikiran yang sepertinya berasal dari Tuhan: “Tak ada ruginya kamu menunggu. Mungkin justru ada manfaatnya bagimu.” Saya pun memutuskan untuk menikmati waktu luang itu dengan membantu penumpang lain menurunkan bagasi mereka dan membantu pramugari untuk bersih-bersih. Ketika akhirnya dapat mengambil tas, saya tertawa saat seseorang mengira bahwa saya bekerja di penerbangan tersebut.
Pengalaman hari itu membuat saya merenungkan kata-kata Yesus kepada murid-murid-Nya: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya” (Mrk. 9:35).
Saya menunggu karena memang tidak ada pilihan lain. Namun, dalam kerajaan Yesus yang sangat bertolak belakang, tersedia tempat kehormatan bagi mereka yang secara sukarela mengesampingkan kepentingan mereka demi mendahulukan kepentingan orang lain.
Yesus datang ke dunia kita, di mana orang-orangnya serba terburu-buru dan selalu ingin didahulukan, “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:28). Pelayanan kita yang terbaik kepada-Nya adalah pelayanan yang kita berikan kepada sesama. Semakin kita merendahkan diri, semakin kita dekat kepada-Nya. —James Banks
Tuhan yang penuh kasih, tolonglah aku untuk meneladani-Mu dalam memenuhi kebutuhan sesama dan melayani-Mu sesuai kebutuhan mereka.
Kerajaan Yesus sangat bertolak belakang dengan dunia.
 

Total Pageviews

Translate