Pages - Menu

Monday, April 30, 2018

Mematahkan Belenggu

Di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa. —Efesus 1:7
Mematahkan Belenggu
Kami merasakan kunjungan ke Christ Church Cathedral di Stone Town, Zanzibar, begitu menyentuh hati. Itu karena bangunan katedral tersebut tepat berada di lokasi yang sebelumnya merupakan pasar budak terbesar di Afrika Timur. Para perancang katedral itu ingin menunjukkan melalui simbol-simbol fisik bagaimana Injil telah mematahkan belenggu perbudakan. Lokasi tersebut tidak lagi menjadi lambang dari kekejaman dan kejahatan yang mengerikan, melainkan lambang dari anugerah Allah yang menjadi nyata.
Mereka yang membangun katedral tersebut ingin mengekspresikan bagaimana kematian Yesus di kayu salib memberikan kebebasan dari dosa. Itulah yang disampaikan Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, “Di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan” (Ef. 1:7). Dalam ayat tersebut, kata penebusan mengacu pada gagasan di Perjanjian Lama tentang tempat jual-beli, ketika orang membeli kembali seseorang atau suatu barang. Yesus membeli kembali manusia dari hidupnya yang diperbudak dosa dan kesalahan.
Dalam kata-kata pembuka Paulus di dalam suratnya tersebut (ay.3-14), kita membaca bagaimana ia begitu melimpah dengan sukacita saat memikirkan kemerdekaannya di dalam Kristus. Dalam pujian demi pujian, Paulus merujuk kepada karya anugerah Allah bagi kita melalui kematian Yesus, yang telah membebaskan kita dari belenggu dosa. Kita tidak perlu lagi diperbudak oleh dosa, karena kita telah dimerdekakan untuk hidup bagi Allah dan demi kemuliaan-Nya. —Amy Boucher Pye
Allah Bapa, melalui kematian Anak-Mu, Engkau telah memberi kami hidup kekal. Tolong kami untuk membagikan karunia tersebut kepada seseorang hari ini.
Yesus telah menebus kita dari perbudakan dosa.

Sunday, April 29, 2018

Pandanglah Yesus!

Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang bertanggung jawab atas Rumah Allah. Dan kita inilah Rumah Allah, kalau kita tetap bersemangat dan tetap yakin untuk mendapat apa yang kita harapkan. —Ibrani 3:6 BIS
Pandanglah Yesus!
Salah seorang yang saya kagumi kesetiaannya adalah Brother Justice. Ia setia dalam pernikahannya, berdedikasi dalam pekerjaannya sebagai karyawan kantor pos, dan setiap hari Minggu melayani sebagai pemimpin di gereja lokal kami. Baru-baru ini saya mengunjungi kembali gereja di masa kecil saya. Di atas piano gereja, masih ada satu lonceng yang biasa dibunyikan Brother Justice untuk memberitahukan kepada kami bahwa waktu pendalaman Alkitab akan segera berakhir. Ketahanan lonceng itu telah teruji oleh waktu. Meski Brother Justice telah lama berpulang kepada Tuhan, kesetiaannya masih dikenang oleh banyak orang.
Ibrani 3 menegaskan tentang seorang hamba yang setia dan seorang Anak yang setia. Kesetiaan Musa sebagai “pelayan” Allah memang tak terbantahkan, tetapi Yesus harus menjadi satu-satunya fokus bagi orang percaya. “Sebab itu, hai saudara-saudara yang kudus . . . pandanglah kepada . . . Yesus” (ay.1). Dorongan itu akan menguatkan siapa saja yang sedang menghadapi pencobaan (2:18). Kesetiaan itu hanya bisa mereka peroleh dengan mengikut Yesus, Anak Allah yang setia.
Apa yang akan kamu lakukan saat pencobaan menerpamu? Pernahkah kamu merasa kelelahan, tidak berdaya, dan ingin menyerah? Mari, “amat-amatilah . . . Yesus” (3:1 Alkitab Terjemahan Lama). Dengan kata lain, pandanglah Yesus berulang kali, terus-menerus. Ketika kita tekun merenungkan Yesus, kita akan bertemu dengan Anak Allah yang layak kita percayai, yang memberikan keberanian kepada kita untuk menjalani hidup sebagai umat dan anggota keluarga-Nya. —Arthur Jackson
Bapa, lewat Roh-Mu yang kudus, mampukan kami untuk dengan berani mengasihi, menghormati, dan mengikut Tuhan Yesus Kristus.
Memandang Yesus akan memberi kita keberanian untuk menghadapi beragam tantangan dalam hidup kita.

Saturday, April 28, 2018

Dipakai oleh Allah

Untuk Injil inilah aku telah ditetapkan sebagai pemberita, sebagai rasul dan sebagai guru. —2 Timotius 1:11
Dipakai oleh Allah
Ketika guru sekolah anak saya meminta saya untuk melayani sebagai pendamping dalam sebuah kamp, saya merasa ragu. Bagaimana saya bisa menjadi panutan bagi anak-anak dengan banyaknya kesalahan saya di masa lalu dan saya pun masih bergumul dengan kebiasaan-kebiasaan lama saya yang tidak baik? Allah memang menolong saya untuk mengasihi dan membesarkan anak saya, tetapi saya ragu Dia dapat memakai saya untuk melayani anak lain.
Saya masih sering gagal menyadari bahwa Allah—satu-satunya Pribadi yang sempurna dan yang sanggup mengubah hati dan hidup seseorang—terus mengubah kita seiring berjalannya waktu. Roh Kudus mengingatkan saya bagaimana Paulus menguatkan Timotius untuk menerima pelayanannya, bertekun dalam iman, dan memakai karunia yang telah diterimanya dari Allah (2Tim. 1:6). Timotius bisa berani karena Allah, Sumber kekuatannya, akan menolongnya untuk mengasihi dan menguasai diri sambil ia terus bertumbuh dan melayani mereka yang dipercayakan kepadanya (ay.7).
Kristus menyelamatkan dan memampukan kita untuk memuliakan-Nya dengan hidup kita, bukan karena kita memenuhi syarat tertentu, tetapi karena kita adalah anggota keluarga-Nya yang berharga (ay.9).
Kita dapat bertekun dengan penuh keyakinan ketika kita tahu bahwa kita dipanggil untuk mengasihi Allah dan sesama. Kristus menyelamatkan dan memberi kita suatu tujuan yang lebih luas daripada pandangan kita yang terbatas tentang dunia. Ketika kita mengikut Yesus hari demi hari, Dia mengubah sekaligus memakai kita untuk menguatkan sesama dengan membagikan kasih dan kebenaran-Nya ke mana pun Dia mengutus kita. —Xochitl Dixon
Tuhan, terima kasih karena Engkau meyakinkan kami untuk bergantung kepada-Mu sepenuhnya ketika kami menceritakan tentang Engkau dengan penuh sukacita, keyakinan, dan keberanian kepada orang lain.
Mengenal Sumber kekuatan kita secara pribadi akan memberi kita keyakinan diri dalam menjalani peran kita sebagai hamba Sang Raja.

Friday, April 27, 2018

Wejangan Hikmat

Karena hikmat lebih berharga dari pada permata, apapun yang diinginkan orang, tidak dapat menyamainya. —Amsal 8:11
Wejangan Hikmat
Malcolm Muggeridge adalah seorang wartawan dan kritikus sosial yang terkenal dari Inggris. Ia beriman kepada Kristus pada usia 60 tahun. Di ulang tahunnya yang ke-75, ia memberikan 25 butir hasil pengamatannya yang mendalam tentang kehidupan ini. Salah satunya adalah, “Saya tak pernah bertemu seorang kaya yang bahagia, tetapi saya sangat jarang bertemu orang miskin yang tidak ingin menjadi kaya.”
Kebanyakan dari kita tentu setuju bahwa uang tidak akan membuat kita bahagia. Namun menariknya, kita selalu ingin memiliki lebih banyak uang untuk memastikan pendapat kita itu.
Kekayaan bersih Raja Salomo konon berjumlah lebih dari dua triliun dolar AS. Meskipun sangat kaya, ia sadar bahwa uang memiliki banyak keterbatasan. Amsal 8 didasarkan pada pengalamannya dan berisi “Seruan Hikmat” yang ditujukan untuk semua orang. “Hai, umat manusia, kepadamu aku berseru; . . . Yang kukatakan, betul semua” (ay.4,7 bis). “Terimalah didikanku, lebih dari pada perak, dan pengetahuan lebih dari pada emas pilihan. Karena hikmat lebih berharga dari pada permata, apapun yang diinginkan orang, tidak dapat menyamainya” (ay.10-11).
Hikmat berkata, “Buahku lebih berharga dari pada emas, bahkan dari pada emas tua, hasilku lebih dari pada perak pilihan. Aku berjalan pada jalan kebenaran, di tengah-tengah jalan keadilan, supaya kuwariskan harta kepada yang mengasihi aku, dan kuisi penuh perbendaharaan mereka” (ay.19-21).
Itulah kekayaan yang sejati! —David C. McCasland
Tuhan, terima kasih untuk kekayaan hikmat-Mu yang memandu langkah kami hari ini.
Allah memberikan hikmat sebagai kekayaan sejati bagi semua orang yang mencari dan mengikut Dia.

Thursday, April 26, 2018

Iman Seorang Janda

Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapa-Mu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. —Matius 6:32
Iman Seorang Janda
Hari masih sangat gelap saat Ah-pi memulai aktivitasnya. Penduduk desa lainnya juga akan segera bangun untuk pergi ke perkebunan karet. Menyadap lateks (getah pohon karet) adalah salah satu sumber penghasilan utama bagi penduduk desa Hongzhuang, China. Untuk mengumpulkan lateks sebanyak mungkin, pohon karet harus disadap sebelum fajar merekah. Ah-pi akan bergabung dengan penyadap karet lainnya, tetapi ia mengambil waktu bersekutu dengan Allah terlebih dahulu.
Bersama menantu perempuannya, Ah-pi menafkahi ibunya yang sudah tua dan dua cucunya. Ayah, suami, dan putra tunggalnya telah meninggal dunia. Ah-pi mengingatkan saya kepada kisah dalam Alkitab tentang seorang janda yang mempercayai Allah.
Suami dari janda itu telah meninggal dan mewariskan utang (2Raj. 4:1). Dalam kesulitannya, ia mencari pertolongan Allah dengan mengadu kepada hamba-Nya, Nabi Elisa. Janda itu percaya bahwa Allah memperhatikannya dan Dia sanggup melakukan sesuatu untuk menolongnya. Dan Allah pun bertindak. Dia memenuhi kebutuhan janda itu secara ajaib (ay.5-6). Allah yang sama juga memenuhi kebutuhan Ah-pi—meski tidak dengan mukjizat, melainkan lewat setiap jerih lelahnya, hasil dari pohon karet, dan bantuan dari saudara seimannya.
Meskipun terkadang hidup membebani kita dengan beragam tuntutan, kita dapat selalu meminta kekuatan dari Allah. Kita dapat berserah sepenuhnya kepada Allah, melakukan yang terbaik, dan memperkenankan Allah bertindak dengan cara-Nya sendiri di dalam situasi yang sedang kita hadapi. —Poh Fang Chia
Bapa, terima kasih atas kesabaran-Mu bahkan di saat aku lebih mengandalkan diriku sendiri dan baru datang kepada-Mu sebagai pilihan terakhir. Ajarku untuk mencari pertolongan-Mu sebelum aku melakukan apa pun.
Situasi yang kita hadapi mungkin berada di luar kemampuan kita, tetapi sesungguhnya tidak pernah melampaui kesanggupan Allah.

Wednesday, April 25, 2018

Amnesia

Akal budiku kembali lagi kepadaku. Lalu aku memuji Yang Mahatinggi. —Daniel 4:34
Amnesia
Layanan Darurat di Carlsbad, California, berhasil menyelamatkan seorang wanita dengan aksen Australia yang tidak bisa mengingat siapa dirinya. Karena menderita amnesia (hilang ingatan) dan tidak memiliki kartu identitas, wanita itu tidak bisa menyebutkan namanya atau dari mana asalnya. Diperlukan bantuan dokter dan media internasional untuk memulihkan kesehatannya, menceritakan tentang kisahnya, dan menyatukan kembali ia dengan keluarganya.
Nebukadnezar, raja Babel, juga pernah lupa tentang diri dan asal-usulnya. Namun, yang dideritanya adalah “amnesia” rohani. Dengan meninggikan diri atas segala kehebatannya sebagai raja dari kerajaan yang diberikan Allah kepadanya, ia lupa bahwa Allah adalah Raja segala raja, dan segala sesuatu yang dimilikinya berasal dari Allah (Dan. 4:17,28-30).
Allah mendramatisasi pikiran sang raja dengan menempatkannya di tengah padang belantara untuk hidup dengan binatang liar dan merumput seperti lembu (ay.32-33). Akhirnya, setelah tujuh tahun berlalu, Nebukadnezar menengadah ke langit, dan kembalilah ingatan tentang dirinya dan siapa yang telah memberikan kerajaan itu kepadanya. Setelah akal budinya dipulihkan, ia menyatakan, “Aku, Nebukadnezar, memuji, meninggikan dan memuliakan Raja Sorga” (ay.37).
Bagaimana dengan kita? Bagaimana kita melihat diri kita sendiri? Dari mana kita berasal? Karena kita mudah untuk lupa diri, adakah yang dapat kita andalkan untuk menolong kita mengingat, selain dari Raja segala raja? —Mart DeHaan
Bapa, kami cenderung lupa dengan jati diri kami, dari mana kami berasal, dan bahwa kami adalah milik-Mu. Tolonglah kami untuk mengingat bahwa di dalam Kristus, kami adalah anak-anak-Mu—dikenal, dikasihi, diberkati, dan diperhatikan—sekarang dan selamanya.
Meski kita sering lupa diri, Bapa Surgawi tak pernah melupakan kita.

Tuesday, April 24, 2018

Tempat Penantian

Berdiam dirilah di hadapan Tuhan dan nantikanlah Dia. —Mazmur 37:7
Tempat Penantian
“Menanti ikan menggigit umpan atau menanti angin untuk menerbangkan layang-layang. Atau menanti datangnya akhir minggu . . . Setiap orang sedang menanti,” begitulah dikatakan Dr. Seuss, penulis buku anak yang terkenal.
Begitu banyak waktu dalam hidup ini yang diisi dengan menanti, tetapi Allah tidak pernah terburu-buru. “Allah memiliki waktu-Nya dan penundaan-Nya sendiri,” bunyi sebuah ungkapan kuno yang dapat dipercaya. Karena itulah, kita menanti.
Menanti itu sulit. Kita memain-mainkan jempol tangan, mengayun-ayun kaki, menahan diri untuk tidak menguap, menarik napas panjang, dan mengeluh dalam hati karena rasa frustrasi. Kita mungkin bertanya-tanya, mengapa aku harus hidup dengan orang yang tidak menyenangkan ini, pekerjaan yang membosankan ini, perilaku yang memalukan ini, masalah kesehatan yang tak kunjung berakhir ini? Mengapa Allah tidak berbuat sesuatu?
Allah menjawab, “Tunggu, dan lihatlah apa yang akan Kulakukan.”
Menanti adalah salah satu guru terbaik dalam hidup ini karena melalui penantian, kita belajar nilai dari penantian itu sendiri, yakni menanti saat-saat Allah bekerja di dalam diri kita dan bagi kebaikan kita. Dalam penantian itulah kita menumbuhkan ketahanan, yaitu kesanggupan untuk mempercayai kasih dan kebaikan Allah, sekalipun apa yang terjadi tidak sesuai dengan keinginan kita (Mzm. 70:6).
Namun, menanti bukanlah sikap menyerah yang terpaksa dan membosankan. Kita dapat “bergirang dan bersukacita karena [Tuhan]” sambil kita menanti (70:5). Kita menanti dalam pengharapan, dengan mengetahui bahwa Allah akan membebaskan kita pada waktunya—di kehidupan sekarang atau di kehidupan yang akan datang. Allah tidak pernah tergesa-gesa, dan Dia selalu tepat waktu. —David H. Roper
Tuhan, terima kasih untuk kehadiran-Mu yang penuh kasih. Tolong kami untuk menggunakan sebaik-baiknya masa penantian kami dengan mempercayai dan melayani-Mu.
Allah selalu menyertai kita dalam penantian kita.

Monday, April 23, 2018

Rahasia dari Damai Sejahtera

Ia, Tuhan damai sejahtera, kiranya mengaruniakan damai sejahtera-Nya terus-menerus, dalam segala hal, kepada kamu. —2 Tesalonika 3:16
Rahasia dari Damai Sejahtera
Grace adalah wanita yang sangat istimewa. Satu kata terlintas dalam benak saya saat memikirkan tentang dirinya: damai sejahtera. Ekspresi yang tenang dan teduh pada wajahnya sangat jarang berubah sepanjang enam bulan saya mengenalnya, walaupun suaminya didiagnosis mengidap penyakit langka dan kemudian dirawat di rumah sakit.
Saat saya bertanya kepada Grace apa rahasia dari damai sejahteranya, ia menjawab, “Itu bukan sebuah rahasia, tetapi seorang Pribadi. Yesus hidup di dalamku. Tidak ada alasan lain yang bisa menjelaskan ketenangan yang saya alami di tengah pergumulan ini.”
Rahasia dari damai sejahtera terletak pada hubungan kita dengan Yesus Kristus. Dialah damai sejahtera kita. Ketika Yesus menjadi Tuhan dan Juruselamat kita, dan saat kita diubah menjadi semakin serupa dengan-Nya, damai sejahtera itu menjadi nyata. Hal-hal seperti penyakit, kesulitan keuangan, atau bahaya lainnya mungkin saja kita alami, tetapi damai sejahtera meyakinkan kita bahwa Allah memegang hidup kita di tangan-Nya (Dan. 5:23). Kita percaya bahwa Dia bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan.
Pernahkah kamu mengalami damai sejahtera yang melampaui akal dan pemahaman manusia itu? Apakah kamu memiliki keyakinan iman bahwa Allah yang memegang kendali atas segala sesuatu? Saya berharap agar hari ini kita semua mengumandangkan kata-kata yang pernah ditulis Rasul Paulus: “Ia, Tuhan damai sejahtera, kiranya mengaruniakan damai sejahtera-Nya.” Dan kiranya kita merasakan damai sejahtera itu “terus-menerus, dalam segala hal” (2Tes. 3:16). —Keila Ochoa
Tuhan terkasih, berilah kami damai sejahtera-Mu di setiap waktu dan dalam setiap keadaan.
Mempercayai Yesus berarti menerima damai sejahtera.

Sunday, April 22, 2018

Allah Melihat Setiap Detail

Tuhan itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya. —Mazmur 145:9
Allah Melihat Setiap Detail
Saat anak anjing Labrador saya yang berwarna cokelat berumur tiga bulan, saya membawanya ke dokter hewan untuk diperiksa kesehatannya dan divaksin. Ketika dokter hewan kami memeriksa tubuh anak anjing itu dengan saksama, ia memperhatikan sebuah bercak kecil berwarna putih di telapak kaki kiri belakang anjing itu. Dokter itu tersenyum dan berkata kepada si anjing, “Di sinilah Allah memegangmu saat Dia mencelupkanmu ke dalam pewarna cokelat.”
Saya tidak dapat menahan tawa. Namun, dokter itu tanpa sadar telah menegaskan satu hal yang penting tentang perhatian Allah yang mendalam dan personal pada ciptaan-Nya.
Dalam Matius 10:30, Yesus mengatakan, “Rambut kepalamupun terhitung semuanya.” Begitu agung dan luar biasanya Allah hingga Dia sanggup memperhatikan setiap bagian dari hidup kita secara tak terhingga, bahkan sampai detail terkecil dalam hidup kita. Tidak ada yang begitu kecil hingga lolos dari perhatian Allah, dan tidak ada masalah yang terlalu sepele untuk dibawa ke hadapan-Nya. Demikian mendalamnya perhatian-Nya atas kita.
Allah tidak hanya menciptakan kita, tetapi juga menopang dan memelihara kita setiap saat. Alangkah baiknya ketika kita memahami bahwa Allah memperhatikan setiap detail dari kehidupan kita, bahkan terhadap hal-hal yang biasanya luput dari perhatian kita. Kita sungguh terhibur saat mengetahui bahwa Bapa Surgawi kita yang Mahabijaksana dan penuh perhatian menopang kita—bersama semua karya ciptaan lainnya—dengan tangan kasih-Nya yang perkasa. —James Banks
Tuhan yang penuh kasih, aku memuji-Mu karena keajaiban ciptaan-Mu. Tolong aku untuk memancarkan belas kasihan-Mu dengan memelihara apa yang telah Engkau ciptakan.
Allah memperhatikan setiap kebutuhan kita.

Saturday, April 21, 2018

Ke Mana Saja

Aku teringat kepada kasihmu pada masa mudamu, kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun. —Yeremia 2:2
Ke Mana Saja
Saat membuka foto-foto lama dari hari pernikahan saya, saya berhenti di selembar foto saya bersama suami ketika kami baru resmi menjadi suami-istri. Kesetiaan saya kepadanya terlihat jelas dari ekspresi wajah saya. Rasanya saat itu saya siap pergi ke mana saja bersamanya.
Hampir empat dekade berlalu, pernikahan kami diteguhkan oleh ikatan cinta dan komitmen yang telah memampukan kami melewati suka dan duka. Tahun demi tahun, saya memperbarui kesetiaan saya untuk pergi ke mana saja bersamanya.
Di Yeremia 2:2, Allah merindukan umat Israel yang dikasihi-Nya, meski mereka telah menyeleweng, “Aku teringat kepada kasihmu pada masa mudamu, kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku.” Kata kasih dalam bahasa Ibrani mengandung makna kesetiaan dan komitmen yang tertinggi. Awalnya, Israel pernah menunjukkan kesetiaan yang tak tergoyahkan seperti itu kepada Allah, tetapi lama-kelamaan mereka berpaling dari Allah.
Meski ada perasaan yang menggebu-gebu di awal komitmen, sikap berpuas diri bisa menumpulkan kasih kita. Berkurangnya semangat juga bisa menyeret kita kepada penyelewengan. Kita sadar pentingnya berjuang melawan kemunduran seperti itu dalam pernikahan. Namun, bagaimana dengan bara api kasih kita kepada Allah? Apakah kesetiaan kita masih sama seperti saat pertama kali kita beriman kepada-Nya?
Dengan setia, Allah memperkenankan umat-Nya untuk kembali kepada-Nya (3:14-15). Hari ini kita dapat memperbarui janji kita untuk setia mengikut-Nya—ke mana saja. —Elisa Morgan
Ya Tuhanku, tolonglah aku menepati janji-janji yang telah kubuat di hadapan-Mu. Aku rela mengikut-Mu ke mana saja.
Kamu tidak perlu tahu ke mana kamu akan pergi jika kamu tahu Allah yang memimpinmu.

Friday, April 20, 2018

Seni Mengampuni

Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. —Lukas 15:20
Seni Mengampuni
Suatu sore saya menghabiskan waktu dua jam menikmati pameran seni yang berjudul The Father & His Two Sons: The Art of Forgiveness (Bapa & Dua Putranya: Seni Mengampuni). Semua karya seni yang terpajang di sana berfokus pada perumpamaan Yesus tentang anak yang hilang (Luk. 15:11-31). Kesan paling kuat saya dapatkan dari lukisan karya Edward Riojas, The Prodigal Son (Anak yang Hilang). Lukisan itu menggambarkan anak yang hilang itu pulang, memakai baju yang compang-camping, dan berjalan dengan kepala tertunduk. Dengan dunia kematian di belakangnya, anak itu menapaki setapak jalan yang sama dengan yang dilalui sang ayah yang sudah berlari ke arahnya. Di bagian bawah lukisan itu, terdapat perkataan Yesus, “Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan” (ay.20).
Saya sangat tersentuh dan menyadari kembali bagaimana kasih Allah yang tidak berubah telah mengubah hidup saya. Ketika saya menjauh dari-Nya, Dia tidak mengabaikan saya. Dia terus melihat, memperhatikan, dan menanti. Kasih-Nya tidak layak kita terima, meski demikian, kasih itu tidak pernah berubah; kasih-Nya sering kita abaikan, tetapi tidak pernah ditarik-Nya kembali.
Kita semua telah berdosa, tetapi Bapa Surgawi mengulurkan tangan-Nya untuk menyambut kita, sama seperti bapa dalam perumpamaan ini merangkul anaknya yang hilang. “Marilah kita makan dan bersukacita,” kata sang bapa kepada hamba-hambanya. “Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali” (ay.23-24).
Tuhan masih bersukacita atas orang-orang yang datang kembali kepada-Nya hari ini—dan itu layak untuk dirayakan! —David C. McCasland
Bapa, karena kami telah menerima kasih dan pengampunan-Mu, kiranya kami juga dapat meneruskan kasih itu kepada orang lain dalam nama-Mu.
Kasih Allah tidak layak kita terima, meski demikian, kasih itu tak pernah berubah.

Thursday, April 19, 2018

Jangan Tergesa-gesa

Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya. —Yesaya 26:3
Jangan Tergesa-gesa
“Buanglah jauh ketergesa-gesaan.” Ketika dua teman saya mengulangi pepatah yang bijak dari Dallas Willard tersebut, saya tahu bahwa saya harus sungguh-sungguh memikirkannya. Apakah saya sedang berputar-putar tanpa arah sambil membuang-buang waktu dan energi? Yang lebih penting dari itu, apakah saya sedang tergesa-gesa dan tidak lagi mencari pimpinan dan pertolongan Allah? Berminggu-minggu setelah itu, bahkan berbulan-bulan kemudian, saya masih teringat pada pepatah itu dan mengarahkan kembali diri saya kepada Tuhan dan hikmat-Nya. Saya mengingatkan diri saya untuk lebih mempercayai-Nya daripada bersandar kepada pengertian saya sendiri.
Lagipula, tergesa-gesa dalam kepanikan sepertinya berlawanan dengan “damai sejahtera” yang sempurna, sebagaimana disebutkan oleh Nabi Yesaya. Tuhan mengaruniakan damai itu kepada mereka “yang hatinya teguh” karena mereka percaya kepada-Nya (ay.3). Dan Tuhan memang layak untuk dipercaya—hari ini, besok, dan sampai selamanya—karena “Tuhan Allah adalah gunung batu yang kekal” (ay.4). Mempercayai Allah dengan pikiran yang terpusat kepada-Nya merupakan obat yang manjur bagi hidup yang tergesa-gesa.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga merasa tergesa-gesa hingga pontang-panting dalam menjalani hidup ini? Atau sebaliknya, kita sering mengalami damai sejahtera. Atau mungkin kita sedang berada di antara kedua pengalaman tersebut.
Apa pun keadaan kita, hari ini saya berdoa agar kita dapat membuang jauh ketergesa-gesaan dengan mempercayai Tuhan, yang tidak akan pernah mengecewakan kita dan yang mengaruniakan damai sejahtera-Nya kepada kita. —Amy Boucher Pye
Tuhan Allah, Engkau memberikan damai sejahtera yang melampaui segala akal. Ajar aku untuk tidak menyia-nyiakan pemberian-Mu itu. Terima kasih.
Damai sejahtera Allah menolong kita untuk tidak tergesa-gesa.

Wednesday, April 18, 2018

Menilai Menurut Asal-Usul

Lalu Roh Tuhan menghinggapi Yefta. —Hakim-Hakim 11:29
Menilai Menurut Asal-Usul
“Dari mana asalmu?” Kami sering mengajukan pertanyaan itu untuk mengenal seseorang lebih dekat. Namun kebanyakan dari kita mungkin tidak merasa nyaman menjawab pertanyaan itu. Adakalanya kita tidak ingin membeberkan terlalu banyak tentang diri kita kepada orang lain.
Di kitab Hakim-Hakim, Yefta mungkin saja tidak ingin menjawab pertanyaan itu sama sekali. Saudara-saudara tiri Yefta mengusirnya dari kampung halamannya di Gilead karena asal-usulnya yang “tidak jelas”. Alasan mereka: “[Yefta] anak dari perempuan lain” (Hak. 11:2). Ayat 1 menegaskan bahwa “ibunya seorang pelacur” (BIS).
Namun, Yefta memiliki sifat-sifat alamiah sebagai pemimpin. Ketika sebuah suku hendak berperang melawan Gilead, orang-orang yang dahulu mengusir Yefta tiba-tiba menginginkannya kembali. Kata mereka kepada Yefta, “Mari, jadilah panglima kami” (ay.6). Yefta bertanya, “Bukankah kamu sendiri membenci aku dan mengusir aku dari keluargaku?” (ay.7). Setelah mendapatkan kepastian bahwa sikap mereka akan berubah, Yefta setuju untuk memimpin mereka. Kitab Suci menuliskan, “Lalu Roh Tuhan menghinggapi Yefta” (ay.29). Dengan iman, Yefta memimpin mereka untuk meraih kemenangan besar. Perjanjian Baru memasukkan nama Yefta dalam daftar pahlawan iman (Ibr. 11:32).
Bukankah Allah juga sering memilih orang-orang yang dipandang sebelah mata untuk melakukan pekerjaan-Nya? Allah tidak memandang dari mana kita berasal, bagaimana keadaan kita sekarang, atau apa yang pernah kita lakukan. Yang terpenting adalah bagaimana kita menanggapi kasih-Nya dengan iman. —Tim Gustafson
Tuhan, kami sangat terhibur saat tahu bahwa Engkau tidak pilih kasih dan membeda-bedakan asal-usul kami. Identitas kami ada di dalam-Mu. Terima kasih karena Engkau telah mengangkat kami menjadi anggota keluarga-Mu.
Banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu. - Matius 19:30

Tuesday, April 17, 2018

Belajar Mengenal Allah

Tetapi Ia berkata kepada mereka: “Aku ini, jangan takut.” —Yohanes 6:20
Belajar Mengenal Allah
Seumur hidup saya, saya ingin sekali menjadi seorang ibu. Saya sering membayangkan bahwa saya akan menikah, mengandung, dan menggendong bayi saya untuk pertama kalinya. Setelah menikah, saya dan suami bahkan tidak pernah berpikir untuk menunda waktu kehamilan. Namun setiap kali tes kehamilan memberikan hasil yang negatif, kami menyadari bahwa kami bergumul dengan ketidaksuburan. Bulan demi bulan kami berkonsultasi dengan dokter, melakukan tes, dan mendapatkan hasil yang lagi-lagi negatif. Badai seakan telah menerjang kehidupan kami. Menghadapi ketidaksuburan itu bagaikan menelan pil pahit yang membuat saya mempertanyakan kebaikan dan kesetiaan Allah.
Ketika merenungkan kembali perjuangan kami, saya terpikir tentang kisah para murid yang diterjang badai di Yohanes 6. Ketika mereka berjuang keras melawan terjangan ombak di tengah malam yang gelap, tiba-tiba Yesus datang kepada mereka dengan berjalan di atas air yang bergolak. Dia menenangkan mereka dengan kehadiran-Nya, dan berkata, “Aku ini, jangan takut!” (ay.20).
Seperti para murid Yesus, saya dan suami tidak tahu apa yang terjadi di tengah badai kehidupan kami. Namun, kami memperoleh penghiburan saat kami belajar semakin mengenal Allah sebagai Pribadi yang selalu setia dan benar. Meskipun kami tidak juga memiliki anak yang kami dambakan, kami belajar bahwa di dalam seluruh pergumulan kami, kami dapat mengalami kuasa kehadiran-Nya yang meneduhkan jiwa. Karena Allah bekerja dalam hidup kita dengan penuh kuasa, kita tidak perlu lagi merasa cemas. —Karen Wolfe
Tuhan, terima kasih karena kehadiran-Mu maka aku tidak perlu menghadapi badai hidup ini seorang diri. Terima kasih atas kehadiran-Mu yang meneduhkan jiwa dan kuasa-Mu yang menguatkanku dalam menghadapi apa pun yang mungkin terjadi.
Kita dapat mengalami kehadiran Allah yang penuh kuasa bahkan di tengah badai kehidupan yang menerjang kita.

Monday, April 16, 2018

Hanya Sedetik

Tuhan, . . . betapa pendek hidupku. —Mazmur 39:5 BIS
Hanya Sedetik
Para ilmuwan cukup cerewet jika menyangkut soal waktu. Pada akhir 2016, para ilmuwan di Goddard Space Flight Center di Maryland, Amerika Serikat, menambahkan satu detik pada tahun itu. Jadi, jika kamu merasa tahun itu berjalan sedikit lebih lama dari biasanya, kamu tidak salah.
Mengapa mereka melakukan penambahan waktu itu? Karena rotasi bumi melambat dari waktu ke waktu, tahun demi tahun pun berjalan sedikit lebih lama. Ketika para ilmuwan melacak keberadaan benda-benda buatan manusia yang diluncurkan ke luar angkasa, mereka harus memastikan pengukurannya sangat akurat hingga hitungan milidetik. Itu dilakukan “untuk memastikan bahwa program yang kami buat untuk menghindari terjadinya tabrakan benar-benar akurat,” tutur salah seorang ilmuwan.
Tambahan atau pengurangan sedetik seperti itu rasanya tidak terlalu berpengaruh bagi sebagian besar dari kita. Namun, menurut Kitab Suci, waktu yang kita miliki dan bagaimana kita menggunakannya sangatlah penting. Misalnya, Paulus mengingatkan kita di 1 Korintus 7:29 bahwa waktu itu singkat. Waktu yang kita miliki untuk melakukan pekerjaan Allah sangat terbatas, karena itu kita harus memanfaatkannya dengan bijak. Paulus mendorong kita untuk menggunakan “sebaik-baiknya setiap kesempatan yang ada . . . , karena masa ini adalah masa yang jahat” (Ef. 5:16 bis).
Itu tidak berarti bahwa kita harus menghitung detik demi detik yang berlalu seperti yang dilakukan oleh para ilmuwan itu. Namun jika kita menyadari betapa pendeknya masa hidup kita (Mzm. 39:5 bis), kita dapat diingatkan kembali tentang pentingnya menggunakan waktu yang ada dengan bijaksana. —Dave Branon
Tuhan, terima kasih atas setiap waktu yang Engkau berikan kepada kami. Kiranya kami senantiasa menghormati-Mu dengan menggunakan waktu-waktu pemberian-Mu secara bijaksana untuk menghormati dan memuliakan-Mu.
Jangan sekadar menghabiskan waktu, tetapi manfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya.

Sunday, April 15, 2018

Alasan Kita Bernyanyi

Nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan, sebab Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib. —Mazmur 98:1
Alasan Kita Bernyanyi
Ketika saya berumur tiga belas tahun, sekolah saya mewajibkan semua siswa untuk mengikuti empat kelas eksplorasi, di antaranya tentang mengelola rumah tangga, seni, paduan suara, dan pertukangan kayu. Pada hari pertama saya mengikuti kelas paduan suara, pengajarnya memanggil satu demi satu siswa untuk mendekat ke piano dan mendengarkan suara mereka. Ia kemudian akan menempatkan mereka di salah satu bagian ruangan yang sesuai dengan rentang vokal mereka. Saat tiba giliran saya, saya berulang-ulang menyanyikan nada-nada yang dimainkan di piano, tetapi tidak juga diarahkan ke salah satu bagian di ruangan itu. Setelah mendengarkan suara saya, sang pengajar justru mengirim saya ke kantor konseling siswa agar saya diarahkan untuk mengambil kelas eksplorasi yang lain. Sejak saat itu, saya merasa tidak pantas sama sekali untuk bernyanyi karena suara saya yang sumbang.
Saya menyimpan pemikiran itu lebih dari sepuluh tahun lamanya sampai kemudian saya membaca Mazmur 98. Pemazmur mengawali tulisannya dengan ajakan untuk bernyanyi bagi Tuhan (Mzm. 98:1). Ajakan itu sama sekali tidak bergantung pada kualitas suara kita. Kita diajak untuk bernyanyi karena Allah “telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib” (ay.1). Allah senang mendengar nyanyian syukur dan pujian dari anak-anak-Nya.
Pemazmur menunjukkan dua alasan indah untuk memuji Allah dengan penuh sukacita melalui nyanyian dan perilaku kita: karya penyelamatan-Nya dalam hidup kita dan kesetiaan-Nya yang terus-menerus ditunjukkan-Nya kepada kita. Dalam paduan suara Allah, selalu ada tempat bagi setiap dari kita untuk bernyanyi dan memuji segala perbuatan ajaib yang telah dilakukan-Nya. —Kirsten Holmberg
Tuhan, Engkau telah melakukan perbuatan-perbuatan ajaib dalam hidupku. Sekalipun suaraku tidak seindah orang lain, aku mau ikut menaikkan pujian untuk mensyukuri perbuatan-perbuatan ajaib yang telah Engkau lakukan.
Allah senang mendengar nyanyian anak-anak-Nya.

Saturday, April 14, 2018

Menghadapi Badai

Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu, “Diam! Tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. —Markus 4:39
Menghadapi Badai
Angin menderu, petir menyambar, gelombang ombak menerjang. Saya mengira saya akan mati. Hari itu, saya sedang memancing di danau bersama kakek dan nenek, tetapi kami terlalu lama di luar. Saat matahari terbenam, gelombang air yang bergulung cepat menghantam perahu kami yang kecil. Kakek memerintahkan saya duduk di depan untuk menjaga agar perahu kami tidak terbalik. Rasa ngeri memenuhi hati saya. Namun kemudian, entah bagaimana, saya mulai berdoa. Waktu itu saya baru berumur empat belas tahun.
Dalam doa itu, saya meminta Allah untuk memberikan kepastian dan perlindungan kepada kami. Badai memang tidak mereda, tetapi kami berhasil sampai ke pantai. Hingga hari ini, rasanya belum pernah lagi saya mengalami kepastian akan kehadiran Allah yang begitu kuat seperti pada malam itu.
Yesus tidak asing dengan badai. Dalam Markus 4:35-41, Dia menyuruh murid-murid-Nya untuk menyeberangi danau yang tidak lama kemudian diterjang angin dan ombak besar. Badai pada malam itu menguji iman dan kelihaian para nelayan berpengalaman tersebut. Mereka mengira akan mati. Namun, Yesus menenangkan danau itu dan mendesak murid-murid-Nya untuk lebih beriman.
Demikian juga, Yesus mengundang kita untuk mempercayai-Nya di tengah badai yang kita alami. Adakalanya Dia secara ajaib meneduhkan angin dan ombak yang menerjang. Adakalanya Dia memilih untuk melakukan sesuatu yang sama ajaibnya: Dia menguatkan hati kita dan menolong kita untuk mempercayai-Nya. Yesus meminta kita untuk teguh berpegang pada keyakinan bahwa Dia memiliki kuasa untuk menghardik angin dan ombak, “Diam! Tenanglah!” —Adam Holz
Tuhan, adakalanya badai kehidupan yang kami alami seolah akan menerkam kami. Tolong kami untuk percaya bahwa Engkau berkuasa atas alam dan badai, sehingga kami tetap beriman kepada-Mu saat badai kehidupan menerjang dengan dahsyatnya.
Allah mendampingi kita di hadapan bahaya yang mengancam kita.

Friday, April 13, 2018

Satu Menderita, Semua Menderita

Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. —1 Korintus 12:26
Satu Menderita, Semua Menderita
Ketika seorang rekan kerja tidak masuk karena sakit parah, setiap orang di kantor merasa khawatir. Setelah memeriksakan diri ke rumah sakit dan istirahat sepanjang hari, ia dapat kembali bekerja dan menunjukkan penyebab dari sakitnya, yakni batu ginjal. Ia meminta dokternya untuk memberikan batu dari dalam ginjalnya itu sebagai suvenir. Melihat batu itu, saya bisa ikut merasakannya, karena saya pun pernah menderita batu empedu bertahun-tahun lalu. Rasa sakitnya sungguh sangat menyiksa.
Bukankah menarik bahwa sesuatu yang begitu kecil bisa menyebabkan seluruh tubuh menderita? Namun, seperti itulah maksud Rasul Paulus dalam 1 Korintus 12:26: “Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita.” Sepanjang pasal 12, Paulus menggunakan metafora sebuah tubuh untuk menggambarkan orang-orang Kristen di dunia. Ketika berkata, “Allah telah menyusun tubuh kita begitu rupa” (ay.24), Paulus mengacu pada keseluruhan tubuh Kristus—semua orang Kristen. Kita semua memiliki karunia dan peran yang berbeda-beda. Namun karena kita semua adalah bagian dari satu tubuh, maka jika satu menderita, kita semua ikut menderita. Ketika seorang saudara seiman mengalami penganiayaan, dukacita, atau pencobaan, kita merasakan sakitnya seolah-olah kita sendiri mengalami penderitaan itu.
Rasa sakit yang dialami rekan kerja saya mendorongnya untuk mencari bantuan yang dibutuhkan tubuhnya. Sebagai tubuh Kristus, penderitaan saudara seiman membangkitkan belas kasihan kita dan mendorong kita untuk berbuat sesuatu. Kita dapat mendoakan, memberikan kata-kata penguatan, atau melakukan apa saja yang diperlukan untuk memulihkannya. Demikianlah caranya kita semua hidup sebagai satu tubuh. —Linda Washington
Tuhan, berikanlah damai kepada orang-orang yang dianiaya atau menderita. Keluarga-Mu adalah keluargaku juga.
Semua ditanggung bersama sebagai satu tubuh.

Thursday, April 12, 2018

Iman, Kasih, dan Pengharapan

Kami selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu semua. —1 Tesalonika 1:2
Iman, Kasih, dan Pengharapan
Selama 10 tahun, bibi saya, Kathy, merawat ayahnya (kakek saya) di rumahnya. Ia sudah biasa memasak dan membersihkan rumah saat kakek masih sehat, dan kemudian menjadi perawat bagi kakek saat kesehatan kakek menurun.
Pelayanan bibi saya merupakan salah satu contoh di masa kini dari perkataan Rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika. Ia menulis bahwa ia mengucap syukur kepada Allah atas “pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita” (1Tes. 1:3).
Bibi saya memberikan pelayanannya dalam iman dan dengan kasih. Perhatiannya yang konsisten setiap hari merupakan buah dari keyakinannya bahwa Allah memanggilnya untuk melakukan pekerjaan yang penting itu. Jerih payah yang ia berikan terlahir dari kasihnya kepada Allah dan ayahnya.
Bibi saya juga bertahan dalam pengharapan. Kakek adalah seorang yang baik hati, tetapi tidaklah mudah melihat kondisinya yang semakin menurun. Bibi harus merelakan waktunya bersama keluarga dan teman-teman, dan membatasi perjalanannya demi merawat kakek. Ia sanggup bertahan karena mempunyai pengharapan bahwa Allah akan menguatkannya hari demi hari, bersama dengan pengharapan akan surga yang menanti kakek saya.
Baik merawat kerabat, menolong tetangga, atau memberikan waktumu secara sukarela, kiranya kamu dikuatkan dalam melakukan pekerjaan yang dipercayakan Allah kepadamu. Jerih payahmu dapat menjadi kesaksian yang luar biasa tentang iman, pengharapan, dan kasih di dalam Tuhan. —Lisa Samra
Tuhan, kiranya hari ini aku melihat kebutuhan sesamaku, menerima petunjuk dari-Mu bagaimana aku dapat menolongnya, dan dimampukan oleh Roh untuk taat. Kiranya aku hidup dalam iman, kasih, dan pengharapan yang Engkau berikan kepadaku.
Keindahan hidup ini dialami ketika kita mengasihi, bukan dikasihi; memberi, bukan diberi; melayani, bukan dilayani.

Wednesday, April 11, 2018

Berapa Lama Lagi?

Berapa lama lagi, Tuhan, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku? —Mazmur 13:2
Berapa Lama Lagi?
Dalam karya klasik Lewis Carroll yang berjudul Alice in Wonderland, Alice bertanya, “Berapa lamakah selamanya itu?” Si Kelinci Putih menyahut, “Adakalanya, hanya sedetik.”
Demikianlah rasanya waktu berjalan ketika saudara laki-laki saya, David, tiba-tiba meninggal. Hari-hari menjelang pemakamannya terasa begitu lambat, sehingga kehilangan dan kepedihan yang kami alami pun terasa berlipat ganda. Setiap detik terasa seperti selamanya.
Raja Daud juga mengungkapkan perasaan yang sama, “Berapa lama lagi, Tuhan, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku? Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari? Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku?” (Mzm. 13:2-3). Hanya dalam dua ayat, ia empat kali bertanya kepada Allah, “Berapa lama lagi?” Adakalanya penderitaan hidup seakan-akan tidak akan pernah berakhir.
Di dalam kepedihan seperti itu, Bapa Surgawi memberikan penyertaan dan perhatian-Nya. Seperti Raja Daud, kita dapat datang dengan terbuka kepada-Nya untuk mengungkapkan kepedihan dan rasa kehilangan yang kita alami, karena kita menyadari bahwa Dia tidak akan pernah membiarkan atau meninggalkan kita (Ibr. 13:5). Pemazmur juga menemukan kebenaran itu sehingga ia mengubah ratapannya yang pilu menjadi deklarasi kemenangan, “Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu” (Mzm. 13:6a).
Dalam momen-momen pergumulan kita yang seakan tiada akhir, kasih setia-Nya akan selalu menopang kita. Kita dapat bersukacita di dalam keselamatan-Nya. —Bill Crowder
Di dalam penderitaan dan kehilangan, Allah yang kekal menjadi sumber penghiburan kita yang sejati.

Tuesday, April 10, 2018

Hanya dengan Doa

Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya! —Markus 9:23
Hanya dengan Doa
Di suatu malam yang larut, seorang teman yang sedang menjalani perawatan kanker menelepon saya. Isak tangisnya yang tak tertahankan membuat saya ikut menitikkan air mata dan berdoa dalam hati. Apa yang harus kulakukan, Tuhan?
Ratapannya memilukan hati saya. Saya tidak dapat menghentikan rasa sakitnya, memperbaiki situasinya, bahkan tidak menemukan satu kata pun yang dapat menghiburnya. Namun, saya tahu siapa yang bisa menolongnya. Saat menangis bersamanya, dalam doa yang tersendat-sendat saya terus membisikkan, “Yesus. Yesus. Yesus.”
Tangisnya perlahan mereda dan napasnya melambat. Suara suaminya mengagetkan saya. “Ia sudah tidur,” katanya. “Kami akan meneleponmu besok.”
Saya menutup telepon, sambil terus berdoa dengan tangisan yang membasahi bantal saya.
Injil Markus menceritakan tentang seseorang yang juga ingin menolong orang yang dikasihinya. Seorang ayah yang putus asa membawa anaknya yang menderita kepada Yesus (Mrk. 9:17). Keraguan mewarnai permohonannya, sembari ia menceritakan keadaan mereka yang tampaknya mustahil untuk disembuhkan (ay.20-22). Sang ayah menyadari bahwa ia membutuhkan Yesus untuk membuatnya percaya (ay.24). Ia dan anaknya pun menerima kelepasan, pengharapan, dan kedamaian setelah Yesus turun tangan dan memulihkan mereka (ay.25-27).
Saat orang-orang yang kita kasihi menderita, memang manusiawi untuk ingin melakukan apa yang benar dan mengucapkan kata-kata yang tepat. Namun, hanya Kristus yang sanggup menolong kita dengan pasti. Saat kita menyerukan nama Yesus, Dia memampukan kita untuk percaya dan mengandalkan kuasa kehadiran-Nya. —Xochitl Dixon
Yesus. Yesus. Yesus. Betapa kami membutuhkan-Mu, ya Tuhan Yesus.
Berdoa di dalam nama Tuhan Yesus akan membawa kita masuk ke dalam hadirat-Nya yang penuh kuasa.

Monday, April 9, 2018

Meninggalkan Warisan

Sebuah kitab peringatan ditulis di hadapan-Nya bagi orang-orang yang takut akan Tuhan dan bagi orang-orang yang menghormati nama-Nya. —Maleakhi 3:16
Meninggalkan Warisan
Beberapa tahun lalu, saya dan ketiga anak laki-laki saya meluangkan waktu seminggu penuh di sebuah peternakan yang telah terabaikan di daerah pedalaman dekat Sungai Salmon, Idaho.
Suatu hari, ketika menjelajahi peternakan itu, saya melewati sebuah kuburan kuno dengan nisan kayu. Tulisan yang tadinya tertera pada nisan tersebut telah terhapus oleh cuaca. Seseorang pernah hidup pada masa lampau, lalu meninggal, dan sekarang telah dilupakan. Kuburan itu begitu menyedihkan. Setelah sampai di rumah, saya menghabiskan waktu beberapa jam untuk membaca sejarah tentang peternakan tua dan wilayah itu, tetapi tidak menemukan informasi apa pun tentang orang yang dikuburkan di sana.
Ada ungkapan menyatakan bahwa orang-orang yang “terbaik” akan diingat kurang lebih 100 tahun lamanya. Orang-orang yang “biasa” akan segera dilupakan. Kenangan tentang generasi yang lalu, seperti tulisan pada nisan kita, akan memudar. Namun sesungguhnya, kita sedang mewariskan sesuatu kepada keluarga Allah. Kasih kita kepada Allah dan orang lain semasa kita hidup akan senantiasa hidup. Maleakhi 3:16-17 mengatakan, “Sebuah kitab peringatan ditulis di hadapan-Nya bagi orang-orang yang takut akan Tuhan dan bagi orang-orang yang menghormati nama-Nya. Mereka akan menjadi milik kesayangan-Ku sendiri, firman Tuhan semesta alam, pada hari yang Kusiapkan.”
Paulus menyebutkan tentang Daud yang “melakukan kehendak Allah pada zamannya” lalu mangkat (Kis. 13:36). Seperti Daud, kiranya kita mengasihi Tuhan, melayani-Nya pada generasi kita, serta mempercayakan kepada Allah warisan iman yang kita tinggalkan. Dia berkata, “Mereka akan menjadi milik kesayangan-Ku sendiri.” —David H. Roper
Tuhan, kiranya aku tetap setia kepada-Mu dalam upayaku mengasihi sesama dengan kasih-Mu. Tolonglah aku untuk mempercayakan kepada-Mu warisan iman yang kutinggalkan dalam hidup mereka.
Hidup yang dijalani bagi Tuhan akan meninggalkan warisan yang kekal.

Sunday, April 8, 2018

Kekuatan dalam Penderitaan

Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya. —1 Petrus 2:21
Kekuatan dalam Penderitaan
Ketika Sammy yang berumur 18 tahun menerima Yesus sebagai Juruselamat, keluarga menolaknya karena secara turun-temurun mereka menganut kepercayaan yang berbeda. Namun, Sammy diterima oleh jemaat Tuhan yang memberikan dorongan dan bantuan keuangan untuk pendidikannya. Lalu saat kesaksian Sammy diterbitkan di suatu majalah, penganiayaan yang dialaminya semakin meningkat.
Meski demikian, Sammy tidak pernah lalai menemui keluarganya. Ia mengunjungi mereka kapan pun ia bisa dan berbicara dengan ayahnya, meskipun saudara-saudaranya ngotot menghalanginya ikut dalam urusan keluarga. Saat ayahnya sakit, Sammy mengabaikan hinaan keluarganya dan memperhatikan ayahnya, sambil mendoakannya segera sembuh. Ketika Allah menyembuhkan ayah Sammy, keluarga pun mulai menerimanya. Seiring berjalannya waktu, kesaksian Sammy yang penuh kasih melembutkan perlakuan mereka terhadapnya—dan beberapa anggota keluarganya mulai terbuka untuk mendengar tentang Yesus.
Keputusan kita untuk mengikut Kristus mungkin menimbulkan kesulitan bagi kita. Petrus menuliskan, “Adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung” (1Ptr. 2:19 bis). Saat mengalami ketidaknyamanan atau penderitaan karena iman kita, kita rela menanggungnya karena “Kristuspun telah menderita untuk [kita] dan telah meninggalkan teladan bagi [kita], supaya [kita] mengikuti jejak-Nya” (ay.21).
Bahkan saat orang mengejek Yesus, “Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil (ay.23). Yesus adalah teladan kita dalam penderitaan. Kita dapat berpaling kepada-Nya untuk menerima kekuatan. —Lawrence Darmani
Tuhan Yesus, tolong aku meneladani-Mu dalam sikap dan penderitaanku bagi-Mu.
Saat kita menderita bagi Yesus, Dia menyertai kita dalam menghadapinya.

Saturday, April 7, 2018

Sportivitas

Jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. —Titus 2:7
Sportivitas
Saat pelari asal Singapura, Ashley Liew, menyadari bahwa ia berlari paling depan dalam perlombaan maraton di Pesta Olahraga Asia Tenggara, ia langsung tahu ada yang salah. Ia melihat bahwa para pelari lain yang tadinya memimpin perlombaan itu telah berbelok ke jalan yang salah dan sekarang mereka tertinggal di belakangnya. Ashley bisa saja memanfaatkan kesalahan mereka, tetapi semangat sportivitas yang dipegangnya teguh mengajarkan bahwa cara itu tidak akan menjadikannya pemenang sejati. Ia ingin menang karena berlari lebih cepat, bukan karena para pelari lainnya salah jalan. Karena keyakinan itulah Ashley memperlambat larinya agar mereka dapat menyusul.
Pada akhirnya, Ashley kalah dalam perlombaan itu dan tidak memperoleh medali. Namun, ia mendapat penghormatan dari warga sebangsanya serta penghargaan internasional atas sikapnya yang sportif. Sikap Ashley juga memberikan kesaksian iman yang baik, sehingga tentu ada yang tergerak untuk bertanya, “Apa yang mendorongnya berbuat demikian?”
Sikap Ashley menantang saya untuk membagikan iman saya melalui perbuatan nyata. Perbuatan kita yang sederhana—seperti menunjukkan perhatian, membagikan kebaikan, atau membawa pengampunan—dapat memuliakan Allah. Itu seperti yang dikatakan Paulus, “Kalau engkau mengajar, engkau harus jujur dan bersungguh-sungguh. Pakailah kata-kata yang bijaksana, yang tidak dapat dicela orang” (TiT. 2:7-8 bis).
Sikap kita yang positif terhadap orang lain dapat menunjukkan kepada dunia bahwa kita mampu tampil beda dalam hidup ini karena Roh Kudus berkarya di dalam kita. Dia akan memberi kita kesanggupan untuk menjauhi dosa dan keinginan duniawi, serta untuk menjalani hidup benar yang mengarahkan orang kepada Allah (ay.11-12). —Leslie Koh
Bapa Surgawi, kiranya perilaku kami membuat orang lain ingin tahu mengapa kami mampu tampil beda. Tolonglah kami untuk mengikuti pimpinan Roh-Mu yang kudus saat kami menjelaskan kepada mereka tentang pengharapan yang kami miliki.
Jalanilah hidup sedemikian rupa sehingga orang lain ingin mengenal Yesus.

Friday, April 6, 2018

Berbagi Penghiburan

Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu. —Yohanes 20:21
Berbagi Penghiburan
“Allah telah membawa kamu untuk menghibur hati saya!”
Itulah kata-kata perpisahan dari wanita yang berdiri di depan saya saat kami keluar dari pesawat di Chicago. Selama penerbangan, ia duduk di seberang saya dan bercerita bahwa ia sedang dalam perjalanan pulang setelah melakukan beberapa penerbangan sepanjang hari itu. “Kalau boleh tahu, mengapa kamu melakukan perjalanan pulang-pergi yang sangat singkat seperti ini?” tanya saya. Sambil menunduk, ia berkata, “Hari ini, saya baru saja mengantar putri saya ke tempat rehabilitasi bagi pecandu narkoba.”
Setelah itu, saya mulai menceritakan kisah pergumulan putra saya, Geoff, dengan heroin dan bagaimana Yesus telah membebaskannya. Saat wanita itu mendengarkan cerita saya, senyum merekah di wajahnya yang berlinang air mata. Setelah mendarat, kami sempat berdoa bersama sebelum berpisah dan memohon Allah membebaskan putrinya dari kecanduan.
Malam hari itu, saya memikirkan kata-kata Paulus di 2 Korintus 1:3-4, “Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.”
Di sekitar kita, ada orang-orang yang membutuhkan penghiburan yang hanya dapat diberikan oleh Allah. Allah ingin kita menjangkau mereka dengan belas kasihan yang tulus dan meneruskan kasih yang telah diberikan-Nya kepada kita. Kiranya Allah membawa kita kepada mereka yang membutuhkan penghiburan-Nya hari ini. —James Banks
Tuhan Yesus, aku memuji-Mu untuk belas kasihan-Mu kepada kami dari atas kayu salib. Tolong kami menghibur orang lain dengan kebaikan dan kasih-Mu hari ini.
Kebaikan Allah menjawab kebutuhan kita yang terdalam.

Thursday, April 5, 2018

Menyenangkan Telinga Kita

Aku membenci dia, sebab tidak pernah ia menubuatkan yang baik tentang aku, melainkan selalu malapetaka. —2 Tawarikh 18:7
Menyenangkan Telinga Kita
Sebagai manusia, kita cenderung mencari informasi yang mendukung pendapat kita. Riset menunjukkan bahwa kita sebenarnya berusaha dua kali lipat untuk mencari informasi yang mendukung posisi kita. Kita cenderung menjauhi pemikiran lain yang menentang pemikiran yang kita pegang dengan teguh.
Demikianlah yang terjadi di masa pemerintahan Raja Ahab di Israel. Ketika ia dan Yosafat, raja Yehuda, mempertimbangkan untuk berperang melawan Ramot-Gilead, Ahab mengumpulkan 400 nabi untuk menolongnya mengambil keputusan. Mereka adalah orang-orang yang ditunjuk Ahab sendiri menjadi nabi. Oleh karena itu, mereka selalu mengatakan apa yang menyenangkan telinga sang raja. Masing-masing dari nabi itu menjawab bahwa Ahab harus berperang, dengan mengatakan, “Allah akan menyerahkannya ke dalam tangan raja” (2Taw. 18:5). Yosafat bertanya apakah masih ada nabi lain yang telah dipilih Allah untuk memberikan petunjuk-Nya. Ahab menjawab dengan ogah-ogahan karena nabi Allah yang bernama Mikha “tidak pernah . . . menubuatkan yang baik tentang [dirinya], melainkan selalu malapetaka” (ay.7). Dan memang, Mikha pun menubuatkan bahwa mereka tidak akan menang, dan bangsa Israel akan “bercerai-berai di gunung-gunung” (ay.16).
Saat membaca kisah mereka, saya menyadari bahwa saya pun cenderung menghindari nasihat yang bijak apabila itu tidak menyenangkan telinga saya. Bagi Ahab, mendengarkan 400 nabi yang selalu mengatakan apa yang menyenangkan hatinya itu ternyata berakibat fatal (ay.34). Kiranya kita selalu rindu mencari dan mau mendengarkan suara kebenaran, firman Allah dalam Alkitab, walaupun suara itu bertentangan dengan kemauan dan pemikiran kita sendiri. —Kirsten Holmberg
Tuhan, tolonglah aku untuk mencari dan memperhatikan nasihat-Mu, sekalipun nasihat itu bertentangan dengan keinginanku atau pendapat umum.
Nasihat Allah sungguh bijaksana dan dapat dipercaya.

Wednesday, April 4, 2018

Kesegaran di Teras Depan

Saya sudah mengenal rahasianya untuk menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga. —Filipi 4:12 BIS
Kesegaran di Teras Depan
Pada suatu hari yang sangat panas, Carmine McDaniel yang berusia 8 tahun ingin memastikan tukang pos yang berkeliling di kompleks rumahnya tidak kepanasan atau mengalami dehidrasi. Jadi, ia menaruh tempat pendingin berisi sekaleng minuman berenergi dan beberapa botol air mineral di teras depan rumahnya. Kamera keamanan di rumahnya merekam reaksi tukang pos itu: “Wow, minuman dingin. Sangat menyegarkan! Terima kasih, Tuhan!”
Ibunda Carmine berkata, “Carmine merasa sudah menjadi ‘kewajibannya’ menyediakan minuman dingin bagi tukang pos, bahkan saat kami sedang tidak berada di rumah.”
Kisah itu menyentuh hati kita, sekaligus juga mengingatkan kita bahwa ada satu Pribadi yang akan “memenuhi segala keperluanmu,” sebagaimana dikatakan oleh Rasul Paulus. Meski mendekam di penjara dan tidak memiliki kepastian akan masa depannya, Paulus bersukacita atas jemaat di Filipi karena melalui bantuan finansial yang mereka berikan, Allah telah memenuhi segala keperluannya. Jemaat itu tidak kaya, bahkan sangat miskin, tetapi dengan murah hati mereka memberikan bantuan kepada Paulus dan orang lain (lihat 2 Korintus 8:1-4). Sebagaimana jemaat di Filipi telah memenuhi keperluan Paulus, Allah juga akan memenuhi segala keperluan mereka “menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus” (Flp. 4:19).
Allah kerap mengirimkan pertolongan ilahi melalui sarana manusiawi. Dengan kata lain, Allah memenuhi keperluan kita melalui pertolongan orang lain. Saat kita mempercayakan kebutuhan kita kepada-Nya, seperti Paulus, kita belajar mengenal rahasia dari kepuasan sejati dan kesanggupan untuk menghadapi keadaan apa pun (ay.12-13). —Marvin Williams
Mungkinkah Allah sedang menggerakkanmu untuk memenuhi kebutuhan orang lain? Bagaimana dan melalui siapa Allah memenuhi kebutuhanmu? Ambillah waktu untuk bersyukur kepada Allah atas segala pemeliharaan-Nya.
Pemeliharaan Allah selalu lebih besar daripada masalah kita.

Tuesday, April 3, 2018

Manis dan Pahit

Engkau baik dan berbuat baik. —Mazmur 119:68
Manis dan Pahit
Sejumlah orang menyukai cokelat pahit dan yang lain lebih menyukai cokelat manis. Bangsa Maya kuno di Amerika Tengah menikmati cokelat sebagai minuman dan menambahi rasanya dengan cabai. Mereka menyebut minuman itu sebagai “air pahit”. Bertahun-tahun kemudian cokelat dibawa ke Spanyol, tetapi orang Spanyol lebih menyukai cokelat manis. Oleh karena itu, mereka menambahkan gula dan madu untuk menyeimbangkan rasa pahit alami dari cokelat.
Seperti cokelat, hari-hari yang kita jalani dapat terasa manis atau pahit. Pada abad ke-17, biarawan asal Prancis yang bernama Brother Lawrence menulis, “Jika kita tahu betapa [Allah] sangat mengasihi kita, kita akan selalu siap menerima dengan sikap yang sama . . . pemberian-Nya, baik yang manis maupun yang pahit.” Selalu siap menerima baik yang manis maupun yang pahit dengan sikap yang sama? Itu tidak mudah! Apa yang dimaksud oleh Brother Lawrence? Kuncinya terletak pada karakter Allah. Sang pemazmur berkata kepada Allah, “Engkau baik dan berbuat baik” (Mzm. 119:68)
Bangsa Maya kuno juga menghargai cokelat pahit karena khasiatnya sebagai obat yang memberikan kesembuhan. Hari-hari pahit yang kita alami pun berharga. Hari-hari seperti itu membuat kita menyadari kelemahan-kelemahan kita dan menolong kita untuk makin bergantung kepada Allah. Pemazmur menulis, “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu” (ay.71). Marilah kita menerima hidup ini dengan beragam rasa yang ditawarkannya—dan dengan meyakini kebaikan Allah. Marilah kita mengatakan, “Engkau telah memenuhi janji-Mu, ya Tuhan, dan berbuat baik kepada hamba-Mu” (ay.65 bis). —Keila Ochoa
Bapa, tolong aku untuk melihat kebaikan-Mu bahkan di masa-masa yang sulit.
Allah itu baik.

Monday, April 2, 2018

Kebaikan Orang yang Tak Dikenal

Jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. —Matius 6:3
Kebaikan Orang yang Tak Dikenal
Ketika baru lulus kuliah, keadaan mengharuskan saya untuk membatasi uang belanja saya tidak lebih dari 25 dolar seminggu. Suatu hari, saat sedang antre membayar, saya merasa bahwa total harga dari barang-barang yang saya ingin beli lebih besar daripada sisa uang yang saya kantongi. Oleh karena itu, saya berkata kepada kasir, “Tolong berhenti kalau total harganya sudah 20 dolar.” Ternyata saya dapat membeli semua barang yang saya pilih, kecuali sebungkus merica.
Saat saya hendak pulang, tiba-tiba seseorang menghentikan mobil saya. Ia berkata, “Ini merica untuk Ibu,” sembari memberikan bungkusan itu kepada saya. Sebelum saya sempat mengucapkan terima kasih, ia sudah melangkah pergi.
Mengenang indahnya kebaikan yang sederhana itu sungguh menyegarkan hati saya. Saya pun teringat pada kata-kata Yesus dalam Matius 6. Setelah mengecam mereka yang menggembar-gemborkan sedekah mereka kepada orang miskin (ay.2), Yesus mengajar murid-murid-Nya suatu sikap yang berbeda. Yesus menekankan, daripada menjadikan pemberian sebagai suatu pameran atas kemurahan hati pemberinya, hal itu sepatutnya dilakukan secara diam-diam, begitu tersembunyinya hingga seperti tangan kiri mereka tidak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanannya (ay.3)!
Seperti yang diingatkan lewat kebaikan seseorang yang tidak saya kenal itu, fokus dari pemberian bukanlah diri kita. Kita memberi hanya karena Allah yang Maha Pemurah telah memberi dengan limpahnya kepada kita (2Kor. 9:6-11). Saat memberi dengan diam-diam dan murah hati, kita mencerminkan diri Allah—dan Dia pun menerima ucapan syukur yang memang layak diterima-Nya (ay.11). —Monica Brands
Memberi dengan diam-diam dan murah hati mencerminkan kemurahan hati Allah.

Sunday, April 1, 2018

Dihina karena Semua Dosa Kita

Ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak. —Yesaya 53:12
Dihina karena Semua Dosa Kita
Susannah Cibber dikenal luas pada abad ke-18 karena bakatnya sebagai penyanyi. Namun, ia juga terkenal karena masalah-masalah dalam pernikahannya. Itulah sebabnya ketika oratorio karya Handel yang berjudul Messiah (Mesias) pertama kali ditampilkan di Dublin pada April 1742, banyak penonton mengecam keterlibatan Cibber sebagai solois dalam pertunjukan tersebut.
Dalam pertunjukan perdananya, Cibber bernyanyi tentang Sang Mesias: “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan” (Yes. 53:3). Kata-kata tersebut begitu menyentuh hati Pdt. Patrick Delany hingga ia langsung berdiri dan berkata, “Ibu, karena semua itu dosa-dosamu dapat diampuni!”
Hubungan antara Susannah Cibber dan tema dari Messiah karya Handel itu sangat jelas. “Seorang yang penuh kesengsaraan”—Yesus, Sang Mesias—“dihina dan dihindari orang” karena dosa. Nabi Yesaya berkata, “Hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul” (ay.11).
Hubungan antara Sang Mesias dan kita juga sama jelasnya. Baik kita berada di pihak Susannah Cibber atau di pihak para penonton yang mengecamnya, bagaimanapun keadaan kita, kita semua perlu bertobat dan menerima pengampunan Allah. Melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya, Yesus telah memulihkan hubungan kita dengan Allah Bapa.
Karena semua itu—karena semua yang telah Yesus lakukan, seluruh dosa kita dapat diampuni. —Tim Gustafson
Bapa di surga, kami semua membutuhkan pengampunan-Mu. Kami sungguh mengagumi Anak-Mu, Yesus, yang telah dihina dan dihindari karena dosa-dosa kami. Terima kasih karena Tuhan Yesus telah datang ke dunia 2.000 tahun yang lalu sehingga kami dapat mengenal-Mu sekarang.
Haleluya! Karena Tuhan, Allah kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi raja. —Wahyu 19:6
 

Total Pageviews

Translate