Pages - Menu

Tuesday, June 30, 2015

Kristus Penebus

Aku tahu: Penebusku hidup. —Ayub 19:25
Kristus Penebus
Di atas kota Rio de Janeiro, terletak patung Kristus Penebus yang terkenal. Patung itu mengambil rupa Kristus dengan kedua tangan yang terentang lebar sehingga tubuh patung itu membentuk sebuah salib. Seorang arsitek asal Brazil bernama Heitor da Silva Costa adalah perancang patung tersebut, dan ia membayangkan bahwa penduduk kota akan melihat patung itu sebagai bayangan yang pertama kali muncul dari kegelapan di waktu subuh. Sedangkan pada senja hari, ia berharap para penduduk kota itu akan melihat matahari yang sedang terbenam sebagai suatu lingkaran cahaya di belakang kepala patung tersebut.
Alangkah pentingnya bagi kita untuk tetap memusatkan pandangan kepada Penebus kita hari demi hari, baik di masa senang maupun di masa sulit. Saat menderita, Ayub berkata, “Aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu” (Ayb. 19:25).
Seruan hati Ayub mengarahkan kita kepada Yesus—Juruselamat kita yang hidup dan yang suatu hari nanti akan datang kembali ke dunia (1Tes. 4:16-18). Tetap mengarahkan pandangan kita kepada Yesus berarti mengingat bahwa kita telah diselamatkan dari dosa kita. Yesus “telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik” (Tit. 2:14).
Setiap orang yang telah menerima Yesus sebagai Juruselamatnya mempunyai alasan untuk bersukacita pada hari ini. Apa pun yang kita alami di dunia ini, kita dapat tetap mempunyai harapan di masa kini sekaligus juga menantikan saatnya kelak kita akan menikmati kekekalan bersama-Nya. —Jennifer Benson Schuldt
Yesus yang terkasih, Engkaulah Juruselamatku. Karena Engkau mati dan bangkit kembali, kini aku bebas dari segala akibat dosaku selamanya. Terima kasih, Engkau telah menebus hidupku.
Melalui salib dan kebangkitan-Nya, Yesus menyelamatkan dan menebus.

Monday, June 29, 2015

Menolong Mereka yang Enggan

Tangannya . . . dipegang oleh kedua orang itu, sebab TUHAN hendak mengasihani dia; lalu kedua orang itu menuntunnya ke luar kota. —Kejadian 19:16
Menolong Mereka yang Enggan
Bertahun-tahun lalu, saat mengikuti pelatihan untuk memberikan pertolongan di dalam air, kepada kami diajarkan cara menolong orang yang sedang tenggelam tetapi melawan saat hendak diselamatkan. “Dekati orang tersebut dari belakang,” kata si pelatih itu kepada kami. “Lingkarkan salah satu lenganmu menyilang di dada dan tangannya yang sedang meronta-ronta, lalu berenanglah menuju ke tempat yang aman. Jika kamu mendekatinya dari depan, orang yang sedang panik itu mungkin akan meraihmu dan menarik kalian berdua ke bawah air.“ Kepanikan dan rasa takut bisa melumpuhkan daya pikir dan kemampuan orang untuk bertindak dengan bijaksana.
Ketika dua malaikat yang diutus Allah datang untuk menyelamatkan Lot dan keluarganya dari kehancuran yang akan terjadi atas kota Sodom dan Gomora (Kej. 19:12-13), mereka juga menghadapi perlawanan. Dua calon menantu Lot berpikir bahwa peringatan itu hanyalah sebuah lelucon (ay.14). Sewaktu dua malaikat tersebut mendesak Lot untuk segera pergi, ia ragu-ragu (ay.15). Pada titik yang kritis itu, kedua malaikat itu memegang “tangan [Lot], tangan isteri dan tangan kedua anaknya” dan menuntun mereka hingga ke luar kota dengan selamat karena Allah mengasihani mereka (ay.16).
Saat menengok kembali perjalanan iman kita bersama Kristus, kita dapat menyaksikan kesetiaan Allah dalam mengatasi keraguan dan perlawanan kita sendiri. Ketika kita menghadapi seseorang yang memberikan perlawanan dalam keputusasaan rohani dan ketakutan mereka, kiranya kita memiliki hikmat Allah untuk menunjukkan kasih-Nya kepada mereka—dan kepada setiap orang yang masih enggan diselamatkan oleh-Nya. —David McCasland
Bapa, saat melihat isi hatiku, aku tahu telah melawan-Mu dan aku kadang enggan untuk datang kepada-Mu. Terima kasih untuk belas kasihan-Mu. Tolonglah aku agar bisa membagikan tentang diri-Mu kepada orang lain.
Belas kasihan Allah dapat mengatasi perlawanan kita.

Sunday, June 28, 2015

Suara di Malam Hari

Angkatlah tanganmu ke tempat kudus dan pujilah TUHAN! —Mazmur 134:2
Suara di Malam Hari
Walaupun Mazmur 134 hanya terdiri dari tiga ayat, hal itu membuktikan bahwa hal yang kecil sekalipun dapat berarti besar. Dua ayat yang pertama merupakan himbauan bagi para hamba Tuhan yang melayani di rumah Tuhan setiap malam. Bangunan itu gelap dan kosong, dan seakan tidak ada kegiatan penting yang sedang mereka lakukan. Namun para pelayan Allah itu mendapat dorongan, “Angkatlah tanganmu ke tempat kudus dan pujilah TUHAN!” (ay.2). Ayat ketiga merupakan suara dari jemaat yang berseru di tengah kegelapan dan kesunyian malam: “Kiranya Tuhan yang menjadikan langit dan bumi, memberkati engkau.”
Saya terpikir tentang para hamba Tuhan lainnya saat ini, yakni para gembala gereja dan keluarga mereka yang melayani gereja-gereja kecil di tempat-tempat terpencil. Mereka sering merasa patah semangat dan tergoda untuk tawar hati, tetapi mereka terus melakukan yang terbaik, melayani dengan setia tanpa ada yang melihat dan menghargai. Mereka mungkin bertanya-tanya, adakah yang peduli dengan apa yang mereka kerjakan; adakah orang yang memikirkan mereka, mendoakan mereka, atau menganggap mereka sebagai bagian dari hidup orang tersebut.
Saya hendak mengatakan kepada mereka—dan kepada siapa pun yang merasa kesepian atau tidak berarti: Meskipun tempatmu kecil, itu adalah tempat yang kudus. Allah yang menjadikan dan menopang langit dan bumi sedang bekerja di dalam dan melalui dirimu. “Angkatlah tanganmu” dan pujilah Dia. —David Roper
Ya Tuhan, tunjukkan kepadaku bagaimana aku dapat menguatkan mereka yang mungkin merasa berada di tempat yang “kecil.” Tolonglah mereka menyadari bahwa hidup mereka memberi dampak kekal bagi orang yang mereka layani.
Setiap orang yang melakukan pekerjaan Allah dengan cara-Nya sangatlah berharga di mata-Nya.

Saturday, June 27, 2015

Keseluruhan Cerita

Filipus berbicara dan bertolak dari nas itu ia memberitakan Injil Yesus kepadanya. —Kisah Para Rasul 8:35
Keseluruhan Cerita
Baru-baru ini Dallas, cucu laki-laki saya yang berusia 5 tahun, bertanya, “Mengapa Yesus mati di kayu salib?” Jadi kami membahasnya sejenak. Saya menjelaskan kepadanya tentang dosa dan kerelaan Yesus menjadi korban bagi kita. Setelah itu ia lari ke luar untuk bermain.
Tidak lama kemudian, saya mendengar Dallas berbicara dengan Katie, sepupunya yang sebaya dengannya. Ia menjelaskan kepada Katie mengapa Yesus mati. Katie berkata, “Tetapi Yesus tidak mati.” Dallas menjawab, “Ya, Dia sudah mati. Kakek yang bilang begitu. Dia mati di kayu salib.”
Saya sadar belum menyelesaikan ceritanya. Jadi saya mengajak Dallas bicara lagi untuk menjelaskan bahwa Yesus telah bangkit dari kematian. Kami membahas segalanya dari awal lagi sampai ia mengerti bahwa saat ini Yesus hidup, meskipun memang Dia pernah mati bagi kita. Ini mengingatkan kita bahwa orang perlu mendengar Injil secara utuh. Ketika seorang pria asal Etiopia bertanya kepada Filipus tentang satu bagian Kitab Suci yang tidak ia mengerti, Filipus “berbicara dan bertolak dari nas itu ia memberitakan Injil Yesus kepadanya” (Kis. 8:35).
Bagikanlah kepada orang lain kabar baik tentang Yesus: bahwa kita semua adalah orang berdosa yang memerlukan keselamatan, bahwa Anak Allah yang sempurna telah mati untuk menyelamatkan kita; dan bahwa Dia telah bangkit dari kubur dan membuktikan kuasa-Nya atas kematian. Yesus, Juruselamat kita, kini hidup dan rindu menyatakan hidup-Nya itu melalui diri kita.
Ketika seseorang ingin mengetahui tentang Yesus, pastikan bahwa kamu membagikan kisah tentang Dia secara utuh. —Dave Branon
Tuhan, kisah-Mu sungguh menakjubkan. Tolonglah kami untuk membagikannya secara utuh sehingga orang lain dapat percaya kepada-Mu dan menikmati keselamatan yang Engkau tawarkan bagi semua orang yang mau percaya.
Jawab Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.” —Yohanes 11:25

Friday, June 26, 2015

Misteri yang Tersembunyi

Jangan takut, sebab lebih banyak yang menyertai kita dari pada yang menyertai mereka. —2 Raja-Raja 6:16
Misteri yang Tersembunyi
Sebagian besar yang terjadi di alam semesta ini tidak pernah dapat kita lihat. Banyak yang ukurannya terlalu kecil, bergerak terlalu cepat, atau bahkan terlalu lambat untuk dapat kita lihat. Namun dengan bantuan teknologi modern, seorang pembuat film bernama Louis Schwartzberg bisa menangkap gambar-gambar bergerak yang menakjubkan dari benda dan gerakan seperti mulut seekor ulat bulu, mata seekor lalat, dan proses bertumbuhnya sebuah jamur.
Keterbatasan kita untuk melihat bagian yang sangat kecil, rumit, dan menakjubkan dari benda-benda di alam yang kasat mata ini mengingatkan bahwa kemampuan kita untuk dapat melihat dan memahami apa yang sedang terjadi di alam rohani juga sama terbatasnya. Di sekitar kita, Allah terus mengerjakan hal-hal yang jauh lebih indah daripada yang dapat kita bayangkan. Namun demikian, pandangan rohani kita terbatas dan kita tidak dapat melihatnya. Akan tetapi, Nabi Elisa dapat melihat karya supernatural yang sedang Allah kerjakan. Allah juga membuka mata bujang Elisa yang ketakutan agar ia juga dapat melihat balatentara surga yang diutus-Nya untuk berperang bagi mereka (2Raj. 6:17).
Rasa takut membuat kita merasa lemah dan tak berdaya. Kita juga dibuat berpikir bahwa kita hanya seorang diri di dunia ini. Namun Allah telah meyakinkan kita bahwa Roh-Nya, yang ada di dalam kita, lebih besar daripada kuasa mana pun yang ada di dunia ini (1Yoh. 4:4).
Ketika kita merasa kecil hati karena melihat segala kejahatan yang terjadi, kita justru perlu memikirkan segala pekerjaan baik, yang tidak kasatmata, yang sedang dikerjakan Allah. —Julie Ackerman Link
Ya Tuhan, aku cenderung merasa takut terhadap sesuatu yang tak bisa kumengerti atau kukendalikan. Namun jaminanku ada di dalam Engkau dan bukan pada segala yang terjadi padaku atau di sekitarku. Tolonglah aku untuk tinggal tenang di dalam kasih-Mu yang tiada berkesudahan.
Dengan mata iman, kita melihat Allah berkarya dalam segala sesuatu.

Thursday, June 25, 2015

Semua Itu Layak

Apa yang engkau sendiri taburkan, tidak akan tumbuh dan hidup, kalau ia tidak mati dahulu. —1 Korintus 15:36
Semua Itu Layak
Pada akhir abad ke-4, para pengikut Kristus tidak lagi dijadikan santapan singa untuk menghibur warga Roma. Namun hiburan yang berujung maut itu masih berlanjut sampai suatu hari seorang pria dengan berani melompat keluar dari tempat duduk penonton dan berusaha mencegah dua gladiator yang saling membunuh.
Nama orang itu adalah Telemachus. Sebagai seorang biarawan yang tinggal di gurun, ia datang ke Roma untuk berlibur. Namun ia tidak dapat menerima pertunjukan haus darah yang populer itu. Menurut Theodoret, seorang uskup abad ke-5 dan ahli sejarah gereja, Telemachus berteriak meminta kekejaman itu dihentikan. Namun ia justru dilempari batu sampai mati oleh para penonton. Kaisar Honorius mendengar tentang tindakannya yang berani itu dan memerintahkan diakhirinya hiburan maut tersebut.
Mungkin ada sebagian orang yang mempertanyakan tindakan Telemachus. Apakah itu satu-satunya cara untuk memprotes kekejaman olahraga berdarah tersebut? Rasul Paulus menanyakan pertanyaan serupa mengenai dirinya sendiri: “Mengapakah kami setiap saat membawa diri kami ke dalam bahaya?” (1Kor. 15:30). Di 2 Korintus 11:22-33, Paulus memaparkan perjuangan berat yang harus dialaminya dalam melayani Kristus, dan banyak di antaranya membuatnya berhadapan dengan maut. Apakah semua itu layak diperjuangkan?
Paulus tidak pernah menyangsikan hal itu. Menukarkan hal-hal yang fana dengan kehormatan yang bernilai kekal merupakan investasi yang cemerlang. Kelak dalam kebangkitan kita, kehidupan yang telah dijalani demi Kristus dan sesama menjadi benih bagi kekekalan yang tidak akan pernah kita sesali. —Mart DeHaan
Bapa, berilah kami keberanian mengambil dan menjalani keputusan kami untuk menyatakan pengaruh yang diperbuat kasih Yesus dalam hidup kami. Tolonglah kami untuk tidak menukarkan nilai-nilai kekekalan dengan tawaran yang membawa kemudahan dan kenyamanan hidup.
Sekaranglah saat yang tepat untuk berinvestasi dalam kekekalan.

Wednesday, June 24, 2015

Berjalan di Atas Air

Tenanglah! Aku ini, jangan takut! —Matius 14:27
Berjalan di Atas Air
Ketika belajar berlayar, saya harus berjalan di atas sebilah papan yang mengapung dan bergoyang untuk mencapai perahu-perahu kecil tempat kami akan belajar. Saya tidak suka melakukannya. Keseimbangan tubuh saya tidak terlalu baik, dan saya takut akan terjatuh di celah antara papan dan perahu dalam usaha saya untuk menaikinya. Hampir-hampir saya menyerah. “Arahkan pandanganmu padaku,” kata sang instruktur. “Aku di sini, dan aku akan menangkapmu jika kamu tergelincir.” Saya melakukan apa yang dikatakannya, dan sekarang saya sudah mengantongi sertifikat kecakapan berlayar tingkat dasar!
Apakah kamu sama sekali tidak berani mengambil risiko? Banyak dari kita enggan untuk melangkah keluar dari zona nyaman kita, karena takut akan gagal, terluka, atau terlihat bodoh. Akan tetapi, jika kita membiarkan rasa takut itu membelenggu kita, pada akhirnya kita tidak akan berani melakukan apa-apa.
Kisah usaha Petrus berjalan di atas air dan mengapa ia dianggap gagal merupakan pilihan topik yang populer bagi para pengkhotbah (Mat. 14:22-33). Namun rasanya saya belum pernah mendengar satu pun dari mereka membahas perilaku murid-murid yang lainnya. Menurut pendapat saya, Petrus sudah berhasil. Meskipun merasa takut, ia tetap menanggapi panggilan Yesus. Mungkin yang gagal justru adalah mereka yang tidak pernah mencoba sama sekali.
Yesus telah mempertaruhkan segalanya bagi kita. Risiko apa yang siap kita tanggung demi Dia? —Marion Stroud
Bapa, terima kasih karena Engkau telah mengulurkan tangan kepada kami dan berkata, “Marilah.” Tolonglah aku untuk berani keluar dari perahu, karena aku tahu aku benar-benar aman berjalan di atas air bersama-Mu.
“Kita dapat memilih untuk berani menghadapi tantangan hidup
atau tidak melakukan apa-apa.” —Helen Keller

Tuesday, June 23, 2015

Berbelanja dengan Liam

Keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya. —Kejadian 3:15
Berbelanja dengan Liam
Anak saya Liam suka sekali memetik dandelion (sejenis bunga rumput liar) untuk ibunya. Sampai sekarang, ibunya tak pernah bosan menerima pemberiannya. Rumput liar bahkan bisa dianggap sebagai bunga oleh seorang anak kecil.
Suatu hari saya mengajak Liam berbelanja. Saat kami terburu-buru dan melewati kios penjualan bunga, ia menunjuk dengan penuh semangat pada satu rangkaian bunga tulip berwarna kuning. “Ayah,” serunya, “Ayah harus membeli dandelion itu untuk Ibu!” Anjurannya membuat saya tertawa. Saya pun membeli rangkaian bunga tulip itu, dan karena gembiranya, istri saya memuat foto bunga itu di halaman Facebook miliknya.
Sebagian orang melihat rumput liar sebagai pengingat akan dosa Adam. Dengan memakan buah terlarang, Adam dan Hawa menimpakan atas diri mereka sendiri kutuk dari sebuah dunia yang telah jatuh dalam dosa—kerja keras, kesakitan dalam persalinan, dan akhirnya kematian (Kej. 3:16-19).
Namun sudut pandang seorang anak seperti Liam mengingatkan saya akan sesuatu yang lain, yakni bahwa rumput liar sekalipun mengandung keindahan. Kesakitan dalam persalinan memberi harapan bagi kita semua. Kematian akhirnya dikalahkan. “Keturunan” yang Allah sebutkan di Kejadian 3:15 akan berperang melawan keturunan ular. Keturunan yang dimaksud itu adalah Yesus sendiri, dan Dialah yang menyelamatkan kita dari kutuk kematian (Gal. 3:16).
Dunia mungkin tidak sempurna, tetapi keajaiban menanti di setiap lika-liku hidup kita. Bahkan rumput liar mengingatkan kita pada janji penebusan dan Sang Pencipta yang mengasihi kita. —Tim Gustafson
Ya Bapa, tolonglah kami untuk melihat kehadiran-Mu bahkan di tengah kepedihan hidup dan keadaan yang tidak menyenangkan. Ampunilah kami yang sering gagal melihat keindahan yang telah Engkau tempatkan di mana-mana.
Alam ciptaan Allah mengingatkan kita akan janji penebusan-Nya.

Monday, June 22, 2015

Tantangan Masa Peralihan

Kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh. —Yosua 1:7
Tantangan Masa Peralihan
Chris Sanders, seorang mantan atlet profesional, pernah mengalami cedera yang membuat kariernya harus berakhir. Kepada sekelompok veteran militer, ia mengatakan bahwa meskipun ia tidak pernah terjun dalam medan pertempuran, “Saya memahami perasaan tertekan di tengah masa peralihan.”
Baik itu kehilangan pekerjaan, kegagalan dalam pernikahan, penyakit yang berat, atau kemerosotan keuangan, tiap perubahan besar membawa tantangannya tersendiri. Mantan atlet itu menambahkan bahwa kunci keberhasilan dalam mengarungi masa peralihan menuju tahapan hidup yang baru adalah dengan membuka tangan lebar-lebar untuk menerima pertolongan.
Kitab Yosua sangat baik dibaca ketika kita berada dalam masa peralihan. Setelah 40 tahun mengembara dan mengalami sejumlah kemunduran, umat Allah bersiaga untuk memasuki Tanah Perjanjian. Musa, pemimpin besar mereka, telah meninggal. Dan Yosua, abdi Musa, yang sekarang memimpin mereka.
Allah berfirman kepada Yosua, “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, bertindaklah hati-hati sesuai dengan seluruh hukum yang telah diperintahkan kepadamu oleh hamba-Ku Musa; janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, supaya engkau beruntung, ke manapun engkau pergi” (YOS. 1:7). Pedoman firman Allah itu harus menjadi fondasi bagi kepemimpinan Yosua dalam segala situasi.
Perintah dan janji Tuhan bagi Yosua juga berlaku bagi kita: “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu. Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke manapun engkau pergi” (ay.9).
Allah menyertai kita di setiap masa peralihan. —David McCasland
Ya Bapa, kuserahkan pencobaan dan keputusasaanku kepada-Mu. Engkau tahu segalanya. Hanya Engkau yang bisa menghiburku, dan menyediakan apa yang kuperlukan hari ini. Tolonglah aku menyerahkan segala harapanku yang belum terpenuhi kepada-Mu, karena aku yakin Engkau merancang yang terbaik bagiku.
Allah tetap setia di setiap perubahan.

Sunday, June 21, 2015

Ayah yang Sayang

Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. —Mazmur 103:13
Ayah yang Sayang
Setelah menempuh perjalanan panjang, kedua orangtua itu terlihat kewalahan menghadapi dua anak balita mereka yang tak bisa duduk diam, apalagi sekarang penerbangan terakhir mereka harus ditunda. Selagi mengamati kedua anak itu berlarian di ruang tunggu yang padat, saya bertanya-tanya dalam hati bagaimana sang ibu dan ayah akan menenangkan mereka selama setengah jam di pesawat dalam penerbangan kami ke Grand Rapids. Ketika kami akhirnya berada di dalam pesawat, ternyata sang ayah dan salah seorang anaknya duduk di belakang saya. Lalu saya mendengar ayah yang kelelahan itu berkata kepada sang anak, ”Kamu mau Ayah bacakan cerita dari salah satu buku ceritamu?” Dan di sepanjang penerbangan tersebut, ayah yang penuh kasih sayang itu membacakan cerita untuk anaknya dengan perlahan dan sabar sehingga anaknya dapat menjadi tenang dan memperhatikan cerita.
Dalam salah satu mazmurnya, Daud menyatakan, “Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia” (Mzm. 103:13). Kata sayang berarti menunjukkan cinta dan belas kasih. Kata yang lembut itu memberi kita sebuah gambaran tentang betapa dalamnya kasih Bapa Surgawi kepada anak-anak-Nya, dan juga mengingatkan kita akan anugerah luar biasa yang kita terima ketika kita dapat memandang Allah dan berseru, “Ya Abba, ya Bapa” (Rm. 8:15).
Allah rindu agar kamu mendengarkan lagi kisah kasih-Nya bagimu di tengah kegelisahan hidup yang kamu alami. Bapa Surgawi selalu dekat dan siap menguatkanmu dengan firman-Nya. —Bill Crowder
Aku bersukacita dalam hadirat-Mu dan kasih-Mu kepadaku, ya Tuhan. Hari ini aku mau bersukacita karena kasih-Mu yang tetap dan tidak berubah selamanya.
Salah satu anugerah Allah yang terbesar adalah kasih-Nya yang begitu besar bagi anak-anak-Nya.

Saturday, June 20, 2015

Domba yang Hilang

Punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya. —Mazmur 100:3
Domba yang Hilang
Laura menaikkan seekor kambing dan domba pinjaman ke atas truk panjang yang akan dibawa ke gereja untuk latihan pementasan Natal. Awalnya, kedua binatang itu saling menyeruduk dan kejar-kejaran sebelum akhirnya bisa tenang. Namun Laura harus berhenti dahulu di pompa bensin untuk mengisi bahan bakar.
Di sana, ia melihat kambingnya sedang berdiri di tempat parkir! Dan dombanya hilang! Dalam kesibukannya, ia lupa menggembok pintu bak truknya. Laura pun menelepon polisi dan beberapa teman untuk membantunya mencari domba tersebut di seputar pertokoan, ladang jagung, dan pepohonan sebelum sore tiba. Banyak yang ikut berdoa agar Laura menemukan binatang yang dipinjamnya itu.
Keesokan paginya, Laura dan seorang temannya pergi untuk menempelkan pengumuman tentang domba yang hilang itu di toko-toko setempat. Mereka mulai dari sebuah pompa bensin. Seorang pelanggan mendengar mereka meminta izin pada kasir untuk menempelkan pengumuman itu dan berkata, “Rasanya aku tahu di mana dombamu!” Ternyata domba itu mengembara sampai ke peternakan tetangganya, lalu tetangganya menempatkan domba itu di dalam gudangnya sepanjang malam.
Tuhan peduli pada domba yang hilang—termasuk padamu dan saya. Yesus datang dari surga ke dunia untuk menunjukkan kasih-Nya dan memberikan keselamatan (Yoh. 3:16). Dia bersusah payah mencari dan menyelamatkan kita (Luk. 19:10).
Ketika domba itu ditemukan, Laura pun menamainya Miracle (Keajaiban). Dan keselamatan yang dianugerahkan Allah bagi kita merupakan bukti keajaiban kasih karunia-Nya. —Anne Cetas
Bapa Surgawi, seperti kami menyayangi barang kami yang berharga, terlebih lagi Engkau menyayangi kami, anak-anak-Mu! Terima kasih untuk jawaban doa dan kasih karunia-Mu yang ajaib.
Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. —Yohanes 10:11

Friday, June 19, 2015

Lihatlah Jumbai-Jumbai Itu

Jumbai itu akan mengingatkan kamu, apabila kamu melihatnya, kepada segala perintah TUHAN, sehingga kamu melakukannya. —Bilangan 15:39
Lihatlah Jumbai-Jumbai Itu
Chaim Potok, seorang penulis ternama, memulai novelnya yang berjudul The Chosen (Yang Terpilih) dengan menggambarkan sebuah pertandingan bisbol antara dua tim berlatar belakang Yahudi di kota New York. Reuven Malter, tokoh utama dalam novel itu, memperhatikan bahwa pada seragam yang dikenakan para pemain lawan terdapat sebuah aksesori unik, yakni empat utas jumbai-jumbai panjang yang terjulur dari bawah kaos setiap pemain tim itu. Reuven mengenali jumbai-jumbai itu sebagai sebuah tanda ketaatan yang ketat pada hukum Allah di Perjanjian Lama.
Sejarah dari jumbai atau rumbai itu—disebut sebagai tzitzit—dimulai dengan sebuah pesan dari Allah. Melalui Musa, Allah memerintahkan umat-Nya untuk membuat jumbai-jumbai yang terdiri dari sejumlah benang biru pada keempat ujung pakaian mereka (Bil. 15:38). Allah berfirman, “Maka jumbai itu akan mengingatkan kamu, apabila kamu melihatnya, kepada segala perintah TUHAN, sehingga kamu melakukannya” (ay.39).
Sarana pengingat Allah bagi bangsa Israel kuno itu mirip dengan apa yang kita miliki sekarang. Kita bisa memandang Kristus yang dengan tekun menaati seluruh hukum bagi kita dan selalu menaati Bapa-Nya (Yoh. 8:29). Setelah menerima karya yang dilakukan-Nya bagi kita, sekarang kita mengenakan “Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan [tidak] merawat tubuh [kita] untuk memuaskan keinginannya” (Rm. 13:14). Memusatkan perhatian kepada Anak Allah akan menolong kita untuk menghormati Bapa kita di surga. —Jennifer Benson Schuldt
Tuhan Yesus, terima kasih telah menjadi teladan rohaniku. Tolonglah aku agar mengikuti jalan-Mu sehingga aku bisa menghormati dan menaati Allah dengan pertolongan Roh Kudus.
Apabila Kristus menjadi pusat hidupmu, kamu akan selalu memusatkan perhatian kepada-Nya.

Thursday, June 18, 2015

Kegagalan Bukan Akhir Segalanya

Engkau adalah Yang Kudus dari Allah. —Yohanes 6:69
Kegagalan Bukan Akhir Segalanya
Perdana Menteri Winston Churchill punya cara yang ampuh untuk membangkitkan semangat warga Inggris pada masa Perang Dunia II. Pada tanggal 18 Juni 1940, kepada rakyatnya yang sedang ketakutan, ia mengatakan, “Hitler tahu bahwa ia harus menghancurkan kita . . . atau ia akan kalah perang. . . . Jadi marilah kita memperkuat diri . . . dan mempertahankan diri, hingga seandainya Kerajaan Inggris [bertahan] selama seribu tahun, orang akan tetap berkata, ‘Inilah saat terbaik mereka!’”
Kita semua pasti suka dikenang karena “saat terbaik” yang pernah kita alami. Mungkin saat terbaik yang pernah dialami Rasul Petrus adalah ketika ia menyerukan, “Engkau adalah yang Kudus dari Allah” (Yoh. 6:69). Namun, terkadang kita membiarkan kegagalan menjadi penentu jalan hidup kita. Setelah Petrus berulang kali menyangkal bahwa ia mengenal Yesus, ia pergi dan menangis dengan sedihnya (Mat. 26:75; Yoh. 18).
Seperti Petrus, kita semua pernah gagal—dalam hubungan kita, dalam pergumulan kita terhadap dosa, dan dalam kesetiaan kita kepada Allah. Namun “kegagalan bukanlah akhir segalanya,” seperti juga pernah dikatakan Churchill. Syukurlah, hal itu juga berlaku dalam kehidupan rohani kita. Yesus mengampuni Petrus yang bertobat dari kegagalannya (Yoh. 21) dan memakai dirinya untuk mengabarkan Injil serta membawa banyak jiwa kepada Sang Juruselamat.
Kegagalan bukanlah akhir segalanya. Dengan cara yang penuh kasih, Allah memperbarui setiap orang yang mau datang kembali kepada-Nya. —Cindy Hess Kasper
Bapa, terima kasih atas pengampunan-Mu. Kami mengucap syukur atas belas kasih dan anugerah yang sudah Engkau berikan secara cuma-cuma melalui darah yang dicurahkan Anak-Mu, Yesus.
Ketika Tuhan mengampuni, Dia menghapus dosa dan memperbarui jiwa.

Wednesday, June 17, 2015

Kata-Kata Bijak

Lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan. —Amsal 12:18
Kata-Kata Bijak
Otot apakah yang paling kuat dalam tubuh manusia? Sebagian orang mengatakan itu lidah, tetapi sebenarnya sulit untuk menentukan otot yang paling kuat, karena otot-otot dalam tubuh tidak terpisahkan fungsinya antara satu dengan lainnya.
Namun, kita tahu bahwa lidah memang kuat. Walaupun ototnya kecil,banyak kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh lidah. Organ otot yang kecil dan aktif tersebut tidak hanya membantu kita untuk makan, menelan, mengecap, dan memulai proses pencernaan, tetapi juga mempunyai kecenderungan yang mendorong kita untuk mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya kita ucapkan. Lidah bersalah apabila digunakan untuk mengucapkan sanjungan yang berlebihan, mengutuk, berbohong, menyombongkan diri, melukai orang lain, dan masih banyak lagi.
Jadi, lidah memang berbahaya, bukan? Namun lidah tidak harus digunakan seperti itu. Ketika kita dikendalikan oleh Roh Kudus, lidah kita bisa diubahkan supaya dapat memberikan manfaat yang besar. Kita bisa berbicara tentang keadilan Allah (Mzm. 35:28) dan hukum Tuhan (37:30). Kita bisa mengatakan kebenaran (15:2), menunjukkan kasih (1Yoh. 3:18), dan mengakui dosa (1Yoh. 1:9).
Penulis Amsal 12:18 mengemukakan tentang salah satu manfaat terbaik dari lidah: “Lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan.” Bayangkan, betapa kita dapat memuliakan Allah pencipta lidah itu ketika Dia menolong kita memakainya untuk mendatangkan kesembuhan—dan bukan luka hati—pada setiap orang yang kita ajak bicara. —Dave Branon
Ya Tuhan, jagalah setiap ucapan kami agar dapat mencerminkan pribadi-Mu dan kasih-Mu. Tolonglah agar lidah kami mengucapkan kata-kata yang membawa kesembuhan dan bukan luka hati.
Nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu. —1 Tesalonika 5:11

Tuesday, June 16, 2015

Sauh Bagi Kita

Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita. —Ibrani 6:19
Sauh Bagi Kita
Setelah Estella Pyfrom pensiun mengajar, ia membeli sebuah bus yang dilengkapinya dengan sejumlah komputer dan meja, lalu dikemudikannya di sekitar Palm Beach County, Florida, Amerika Serikat. Melalui bus yang dinamainya Brilliant Bus (Bus Pintar), Estella menyediakan sebuah tempat bagi anak-anak yang rentan tersandung masalah agar mereka dapat mengerjakan pekerjaan rumah mereka dan mempelajari teknologi. Estella telah memberikan kestabilan dan pengharapan bagi anak-anak yang terancam gagal untuk memiliki masa depan yang lebih baik itu.
Pada abad pertama, beratnya beban penderitaan dan rasa putus asa mengancam keberlangsungan jemaat Tuhan. Penulis kitab Ibrani berusaha meyakinkan para pengikut Kristus itu untuk tidak membuang keyakinan mereka akan pengharapan masa depan mereka (2:1). Pengharapan mereka—iman kepada Allah untuk jaminan keselamatan dan masuk surga—didapatkan dalam diri dan pengorbanan Kristus. Ketika Yesus naik ke surga setelah kebangkitan-Nya, Dia telah menjamin pengharapan masa depan mereka (6:19-20). Seperti sauh yang dilabuhkan ke laut untuk mencegah hanyutnya kapal, kematian, kebangkitan, dan kembalinya Yesus ke surga telah memberikan kepastian dan kestabilan bagi hidup orang percaya. Harapan akan masa depan itu tidak dapat dan tidak akan pernah tergoyahkan.
Yesus adalah sauh bagi jiwa kita, sehingga kita tidak akan terhanyut jauh dari pengharapan kita di dalam Tuhan. —Marvin Williams
Ya Yesus, di hadapan berbagai masalah dan ketidakpastian, tolonglah aku untuk mempunyai pengharapan pasti yang dilandaskan pada kasih-Mu yang tidak berkesudahan bagiku.
Harapan kita ditambatkan pada Yesus.

Monday, June 15, 2015

Lihat ke Atas!

Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi. —Mazmur 121:2
Lihat ke Atas!
Di sebuah taman dekat rumah kami, ada jalan setapak yang suka saya lalui. Di sepanjang salah satu bagiannya, bisa terlihat pemandangan yang sangat indah berupa batuan pasir merah di Garden of the Gods (Taman Para Dewa) dengan latar belakang Puncak Pikes yang megah setinggi 4,300 m. Namun, sesekali saya berjalan melintasi bagian taman itu dengan pikiran yang penuh dengan masalah sembari tertunduk memandangi jalan setapak yang lebar itu. Jika tak ada orang lain di situ, adakalanya saya berhenti dan berseru kepada diri sendiri, “David, lihat ke atas!”
Sekumpulan mazmur yang dikenal sebagai “Nyanyian Ziarah” (Mzm. 120–134) biasa dinyanyikan oleh umat Israel ketika mereka menempuh perjalanan naik ke Yerusalem untuk menghadiri tiga hari raya tahunan di sana. Mazmur 121 dimulai dengan, “Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?” (ay.1). Jawabannya, “Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi” (ay.2). Pencipta kita bukanlah Allah yang jauh dan tidak acuh, melainkan Sahabat yang selalu menyertai kita, selalu mengetahui segala keadaan kita (ay.3-7), membimbing dan menjaga sepanjang perjalanan hidup kita “dari sekarang sampai selama-lamanya” (ay.8).
Di sepanjang jalan hidup kita, alangkah perlunya kita tetap memusatkan pandangan kita kepada Allah, sumber pertolongan kita. Ketika kita merasa kewalahan dan putus asa, sudah sepantasnya kita berseru kepada diri sendiri, “Lihat ke atas!” —David McCasland
Aku memandang-Mu, ya Bapa, karena Engkaulah satu-satunya yang sanggup menolongku. Terima kasih untuk sukacita dan ujian dalam hidupku saat ini. Aku bersyukur aku tak pernah berjalan sendiri.
Arahkanlah pandanganmu kepada Allah, sumber pertolonganmu.

Sunday, June 14, 2015

Tak Pernah Berhenti Belajar

Hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan . . . juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci. —2 Timotius 3:14-15
Tak Pernah Berhenti Belajar
Sheryl bisa disebut sebagai seorang kutu buku. Ketika yang lain menonton televisi atau bermain video game, ia terus asyik membaca bukunya.
Semangat yang besar itu bisa ditelusuri akarnya hingga ke masa kanak-kanak Sheryl. Ia sering dibawa orangtuanya mengunjungi paman dan bibi mereka yang memiliki sebuah toko buku. Di sanalah Sheryl biasanya duduk di pangkuan Paman Ed sembari mendengarkan beliau membacakan buku untuknya dan membawanya mengalami keajaiban dan kenikmatan dari membaca buku.
Berabad-abad yang lalu, seorang pemuda bernama Timotius juga menerima bimbingan yang telah membentuk jalan hidupnya. Dalam suratnya yang terakhir, Paulus menyatakan bahwa Timotius pertama kalinya mengenal Alkitab dari nenek dan ibunya (2Tim. 1:5). Kemudian Paulus mendorong Timotius untuk terus berpegang pada kebenaran Tuhan karena “dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci” (2Tim. 3:14-15).
Bagi orang percaya, belajar untuk hidup dalam iman sepatutnya tidak pernah membuat kita bosan dan justru mendorong kita semakin bertumbuh. Membaca dan mendalami Kitab Suci bisa berperan besar dalam pertumbuhan rohani kita, tetapi selain itu, kita juga membutuhkan orang lain untuk menguatkan dan mengajar kita.
Siapa sajakah yang sudah menolongmu bertumbuh di dalam iman? Siapa yang bisa kamu tolong sekarang? Itulah cara yang sangat baik untuk menunjukkan perhormatan kita yang mendalam kepada Allah dan meneguhkan hubungan kita dengan Dia. —Dennis Fisher
Tuhan, beri kami keinginan untuk belajar seumur hidup kami, sehingga kami bertumbuh semakin dekat kepada-Mu setiap hari. Terima kasih untuk mereka yang telah menginspirasi kami untuk belajar mengenal-Mu.
Membaca Alkitab tidak dimaksudkan untuk menyerap informasi melainkan untuk mentransformasi hidup.

Saturday, June 13, 2015

Itu Bukan Urusanmu

Jawab Yesus: “Tetapi engkau: ikutlah Aku.” —Yohanes 21:22
Itu Bukan Urusanmu
Media sosial memang bermanfaat untuk banyak hal, tetapi tidak untuk mendapatkan kepuasan hati. Setidaknya bagi saya. Meskipun niat saya baik, saya bisa merasa putus asa karena terus-menerus diingatkan bahwa orang lain telah mencapai sesuatu mendahului saya atau melakukannya dengan lebih baik. Hati saya begitu mudah kecewa, jadi saya harus berulang kali mengingatkan diri bahwa Allah telah memberikan segala yang saya butuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan-Nya kepada saya.
Itu berarti saya tidak butuh anggaran yang lebih besar atau jaminan keberhasilan. Saya tidak butuh lingkungan pekerjaan yang lebih baik atau pindah kerja. Saya tidak butuh persetujuan atau izin orang lain. Saya tidak perlu kesehatan yang baik atau lebih banyak waktu. Allah bisa saja memberikan hal-hal tersebut, tetapi saya sudah memiliki segala yang saya butuhkan, karena ketika Dia menugaskan saya, Dia juga menyediakan sumber dayanya. Saya hanya perlu menggunakan apa pun talenta saya dan seberapa pun waktu yang telah Dia berikan dengan sedemikian rupa untuk memberkati orang lain dan memuliakan Allah.
Yesus dan Petrus pernah bercakap-cakap mengenai hal itu. Setelah membuat sarapan di pantai Galilea, Yesus memberitahukan Petrus tentang apa yang akan terjadi di akhir hidupnya. Sambil menunjuk murid yang lain, Petrus bertanya, “Apakah yang akan terjadi dengan dia ini?” Yesus menjawab, ”Itu bukan urusanmu” (Yoh. 21:21-22).
“Itu bukan urusanku.” Itulah yang perlu saya katakan kepada diri sendiri apabila saya mulai membandingkan diri dengan orang lain. Urusan saya adalah mengikut Yesus dengan setia. —Julie Ackerman Link
Dalam hal apa kamu perlu belajar untuk tidak membandingkan diri dengan sesama? Bagaimana Allah telah memberkatimu untuk menggenapi tujuan-Nya?
Membandingkan diri dengan orang lain menimbulkan kepahitan, tetapi memandang Allah memberikan kepuasan hati.

Friday, June 12, 2015

Jangan Menjadi Lemah

Apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. —Galatia 6:9
Jangan Menjadi Lemah
Memasak bisa menjadi pekerjaan yang membosankan ketika saya mengerjakannya tiga kali sehari dari Minggu ke Minggu. Saya lelah harus mengupas, memotong, mengiris, mencampur, dan kemudian menunggu makanan itu selesai dipanggang, dibakar, atau direbus. Namun, saya tidak pernah bosan menyantap makanan! Menyantap makanan adalah sesuatu yang benar-benar kita nikmati sekalipun kita harus melakukannya dari hari ke hari.
Paulus menggunakan ilustrasi tabur tuai karena ia tahu bahwa melakukan perbuatan baik bisa membuat lelah (Gal. 6:7-10). Ia menulis, ”Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah” (ay.9). Memang sulit untuk mengasihi musuh kita, mendidik anak-anak kita, atau berdoa terus-menerus. Namun demikian, menuai kebaikan yang kita tabur tidak pernah membosankan! Alangkah sukacitanya kita ketika melihat kasih yang berhasil meredakan permusuhan, ketika anak-anak mau mengikuti jalan Tuhan, atau ketika kita menerima jawaban atas doa-doa kita.
Memang kegiatan memasak dapat menghabiskan waktu berjam-jam, dan keluarga kami biasanya menyantap makanan hanya dalam waktu 20 menit atau kurang. Namun penuaian yang Paulus maksudkan bersifat abadi. Selagi masih ada kesempatan, marilah kita giat berbuat baik dan menunggu berkat Tuhan menurut waktu-Nya. Ketika kamu mengikuti jalan Tuhan hari ini, janganlah merasa kecil hati. Ingatlah bahwa sukacita tersedia bagi kita sampai selamanya. —Keila Ochoa
Tuhan, tolonglah aku untuk tidak menjadi lemah ketika aku berbuat baik hari ini. Aku bersyukur suatu hari nanti aku akan bersama-Mu dalam sukacita abadi!
Teruslah berlomba dengan mata yang tertuju pada kekekalan.

Thursday, June 11, 2015

Kekuatan dalam Ketenangan

Dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu. —Yesaya 30:15
Kekuatan dalam Ketenangan
Di masa-masa saya baru mengenal Tuhan, tuntutan hidup sebagai orang percaya pernah membuat saya bertanya-tanya apakah saya bisa melewati satu tahun tanpa kembali ke kehidupan saya yang lama. Namun ayat firman Tuhan ini membantu saya: “TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja” (Kel. 14:14). Itulah kata-kata Musa kepada bangsa Israel ketika mereka baru saja terlepas dari perbudakan di Mesir dan sedang dikejar-kejar Firaun. Mereka sedang merasa putus asa dan ketakutan.
Sebagai seorang petobat baru yang menghadapi berbagai cobaan di sekitar saya, nasihat untuk “diam saja” itu menguatkan saya. Sekarang, kira-kira 37 tahun kemudian, bersikap tenang dan diam sambil percaya penuh kepada-Nya di tengah berbagai keadaan yang serba menekan selalu menjadi kerinduan saya di dalam menjalani kehidupan iman.
“Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!” kata pemazmur (Mzm. 46:11). Ketika kita tinggal tenang, kita akan mengenal Allah sebagai “tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan” (ay.2). Kita melihat kelemahan kita sendiri di luar Allah dan menyadari kebutuhan kita untuk berserah kepada-Nya. “Sebab jika aku lemah, maka aku kuat,” kata Rasul Paulus (2Kor. 12:10).
Setiap hari kita berjuang melawan stres dan berbagai keadaan lain yang membuat kita frustrasi. Namun kita bisa meyakini bahwa Allah selalu setia pada janji-Nya untuk memelihara kita. Kiranya kita pun belajar untuk tinggal tenang. —Lawrence Darmani
Bapa, Engkaulah yang empunya surga dan Engkau telah berjanji untuk selalu bersamaku. Aku tak perlu takut, karena Engkaulah Allahku. Tenangkanlah aku dengan kasih-Mu.
Tuhan dapat meneduhkan badai di sekitarmu, tetapi yang lebih sering dilakukan-Nya adalah meneduhkan hatimu.

Wednesday, June 10, 2015

Yang Tak Terduga

Apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat. —1 Korintus 1:27
Yang Tak Terduga
Fanny Kemble adalah seorang aktris Inggris yang pindah ke Amerika di awal 1800-an dan kemudian menikah dengan Pierce Butler, seorang pemilik perkebunan di bagian selatan negeri itu. Fanny menikmati kehidupan yang mewah di perkebunan tersebut, sampai ia melihat besarnya harga yang harus dibayar para budak yang bekerja di sana demi kemewahan itu.
Kemble akhirnya bercerai dari suaminya setelah ia menulis tentang perlakuan kejam yang sering diderita para budak. Tulisannya itu beredar luas di kalangan gerakan yang mendorong dihapuskannya perbudakan dan diterbitkan tahun 1863 dengan judul Journal of a Residence on a Georgian Plantation in 1838–1839 (Catatan Pengalaman di Perkebunan Georgia Tahun 1838–1839). Karena sikapnya itu, mantan istri pemilik budak tersebut dikenal sebagai “Penentang Perbudakan yang Tak Terduga”.
Di dalam tubuh Kristus, Allah sering memberikan kejutan-kejutan yang indah. Dia terus-menerus memakai beragam orang dan keadaan yang tak terduga demi menggenapi rencana-Nya. Paulus menulis, “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti” (1Kor. 1:27-28).
Hal ini mengingatkan kita bahwa dengan kasih karunia-Nya, Allah bisa memakai siapa saja. Jika kita mau mengizinkan Allah berkarya di dalam kita, mungkin kita akan tercengang melihat apa yang dapat diperbuat Allah melalui kita! —Bill Crowder
Bagaimana kamu akan mengizinkan Allah memakaimu hari ini?
Allah merindukan adanya hati yang siap untuk dipakai.

Tuesday, June 9, 2015

Arus yang Mengecoh

Ketika mereka makan rumput, maka mereka kenyang; setelah mereka kenyang, maka hati mereka meninggi. —Hosea 13:6
Arus yang Mengecoh
Di buku berjudul The Hidden Brain (Otak yang Tersembunyi), penulis ilmiah Shankar Vedantam menceritakan pengalamannya berenang ke pantai. Air saat itu tenang dan jernih, dan ia merasa kuat dan bangga karena dapat menempuh jarak yang jauh dengan mudah. Lalu ia memutuskan untuk berenang menjauh dari teluk menuju laut lepas. Namun saat berusaha untuk kembali, ia tak bisa bergerak maju. Ia telah dikecoh oleh arus air. Yang membuatnya berenang dengan mudah bukanlah kekuatannya sendiri melainkan pergerakan air.
Situasi serupa juga bisa terjadi dalam hubungan kita dengan Allah. “Mengikuti arus” bisa mengecoh hingga kita merasa lebih kuat daripada keadaan kita yang sebenarnya. Ketika hidup berjalan lancar, kita berpikir itu karena kekuatan kita sendiri. Kita menjadi sombong dan tinggi hati. Namun pada saat masalah-masalah menimpa, kita baru menyadari betapa kecilnya kekuatan kita dan betapa tidak berdayanya diri kita.
Itulah pengalaman bangsa Israel. Allah telah memberkati mereka dengan kemenangan, kedamaian dan kemakmuran. Namun jika mereka pikir semua itu diraih dengan kekuatan mereka sendiri, mereka menjadi sombong dan merasa tak membutuhkan siapa pun (Ul. 8:11-12). Karena merasa tak lagi memerlukan Allah, mereka menempuh jalan mereka sendiri, sampai akhirnya musuh menyerang barulah mereka sadar bahwa tanpa pertolongan Allah, mereka tidak berdaya sama sekali.
Saat hidup berjalan mulus, kita juga perlu waspada agar tidak terkecoh. Kesombongan akan menjerumuskan kita. Hanya kerendahan hati yang membuat kita mempunyai sikap yang sepatutnya—bersyukur kepada Allah dan bergantung pada kekuatan-Nya. Julie Ackerman Link
Tuhan, kami tak berani mengandalkan kekuatan sendiri untuk tugas kami hari ini. Engkau yang memberi kami talenta dan kesempatan. Tolonglah agar kami memakai semua itu bukan demi kami sendiri, tetapi untuk menolong orang lain.
Kerendahan hati yang sejati berarti mengakui Allah sebagai sumber setiap keberhasilan.

Monday, June 8, 2015

Yang Terbaik

Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya. —Lukas 10:39
Yang Terbaik
Dalam suatu kebaktian gereja, saya melihat seorang bayi yang ada beberapa baris di depan saya. Bayi itu melongok dari balik pundak ayahnya, matanya penuh keingintahuan sembari ia memandangi orang-orang yang sedang berbakti. Ia tersenyum pada beberapa orang, mengiler, dan menggigiti jari-jarinya yang gemuk, tetapi tidak berhasil menemukan ibu jarinya. Lama-kelamaan, suara sang pendeta yang sedang berkhotbah tidak lagi saya perhatikan karena mata saya berulang kali tertuju kepada si bayi yang lucu itu.
Pengalih perhatian datang dalam berbagai bentuk dan ukuran. Bagi Marta, gangguan itu berupa keinginannya melayani Kristus dengan memasak dan membersihkan rumah daripada mendengarkan-Nya dan berbicara dengan-Nya. Namun Maria tidak mau perhatiannya teralihkan. “Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya” (Luk. 10:39). Pada saat Marta menggerutu karena Maria tidak membantunya, Yesus berkata, “Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya” (ay.42).
Kata-kata Yesus mengingatkan kita bahwa hubungan kita dengan-Nya jauh lebih penting daripada semua hal baik yang dapat memikat perhatian kita untuk sementara waktu. Ada yang mengatakan bahwa sesuatu yang baik adalah penghalang bagi hal-hal yang terbaik. Bagi pengikut Kristus, yang terbaik dalam hidup ini adalah untuk mengenal Kristus dan berjalan bersama-Nya. —Jennifer Benson Schuldt
Menurutmu, apa saja yang mengalihkan perhatian Marta? Apakah ia ingin dilihat sebagai tuan rumah yang baik? Ataukah ia cemburu terhadap Maria? Sikap apa saja yang membuatmu gagal mengutamakan Yesus?
Tuhan, ajar aku untuk mengenal-Mu, karena dengan demikian aku akan belajar mengasihi-Mu lebih dari segalanya.

Sunday, June 7, 2015

Nun di Bukit yang Jauh

Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak. —Kejadian 22:2
Nun di Bukit yang Jauh
Saya sering teringat pada masa sewaktu anak-anak saya masih kecil. Salah satu kenangan yang indah adalah tentang rutinitas kami saat bangun pagi. Tiap pagi, saya biasanya masuk ke kamar mereka, memanggil nama mereka dengan lembut, dan mengingatkan mereka bahwa sudah waktunya mereka bangun dan bersiap-siap untuk kegiatan hari itu.
Ketika saya membaca bahwa Abraham sudah bangun pagi-pagi sekali untuk menjalankan perintah Allah, saya pun teringat pada masa-masa saya membangunkan anak-anak saya. Saya pun berpikir apakah rutinitas Abraham di pagi hari itu juga termasuk mendatangi tempat tidur Ishak untuk membangunkannya. Alangkah berbedanya hari itu setelah Abraham diminta untuk mengorbankan anaknya. Pastilah pagi itu Abraham membangunkan anaknya dengan hati yang terkoyak dan sangat sedih.
Abraham telah mengikat putranya dan meletakkannya di atas mezbah, tetapi kemudian Allah menyediakan korban pengganti. Beratus-ratus tahun kemudian, Allah memberikan satu korban yang lain—korban terakhir—yaitu Anak-Nya sendiri. Bayangkan betapa menyakitkannya bagi Allah ketika Dia mengorbankan Anak-Nya yang tunggal yang sangat dikasihi-Nya! Allah bersedia menanggung itu semua karena Dia mengasihimu.
Jika kamu bertanya-tanya apakah kamu memang dikasihi oleh Allah, jangan pernah meragukan-Nya lagi. —Joe Stowell
Bapa, aku kagum akan kasih-Mu yang sedemikian besar kepadaku hingga Engkau rela menyerahkan Anak-Mu bagiku. Ajar aku agar selalu hidup bersyukur dalam naungan kasih-Mu yang tidak berkesudahan.
Allah sudah membuktikan kasih-Nya bagimu.

Saturday, June 6, 2015

Mulai dari Sini!

Tuhan, apakah yang harus kuperbuat? —Kisah Para Rasul 22:10
Mulai dari Sini!
Pada 6 Juni 1944, tiga tentara Amerika meringkuk di sebuah lubang bekas ledakan bom di Pantai Utah, Normandia, Prancis. Saat menyadari bahwa air pasang telah membawa mereka ke tempat yang salah di pantai itu, ketiganya langsung membuat keputusan: “Kita akan mulai bertempur dari sini.” Keadaan membuat mereka harus bergerak maju dari suatu titik awal yang sulit.
Saulus berada dalam keadaan yang sulit dan ia perlu mengambil keputusan setelah bertemu dengan Yesus dalam perjalanannya ke Damsyik (Kis. 9:1-20). Tiba-tiba, ia menyadari bahwa hidupnya telah salah jalan, dan apa yang telah dijalaninya selama ini terasa sia-sia. Bagi Paulus, melangkah maju pastilah sulit dan membutuhkan kerja keras dan perjuangan, bahkan mungkin ia harus berhadapan dengan keluarga-keluarga Kristen yang telah dihancurkannya. Namun ia menjawab, “Tuhan, apakah yang harus kuperbuat?” (Kis. 22:10).
Kita juga sering mengalami keadaan-keadaan yang tidak terduga, sesuatu yang tidak pernah kita rencanakan atau harapkan. Mungkin kita sedang terlilit utang, terhambat oleh keterbatasan fisik, atau menderita karena harus menanggung konsekuensi dosa. Baik kita sekarang sedang terpuruk atau sedang jaya, baik kita sedang gagal, patah arang, atau dikuasai oleh keinginan egois kita sendiri, Kitab Suci mendorong kita agar memperhatikan nasihat Paulus untuk melupakan apa yang di belakang kita dan mengarahkan diri kepada Kristus (Flp. 3:13-14). Masa lalu bukanlah halangan untuk maju bersama-Nya. —Randy Kilgore
Apakah kamu dilumpuhkan oleh masa lalu? Apakah kamu sedang menjauh dari Kristus? Atau bahkan mungkin kamu belum pernah bertemu dengan Dia? Hari ini adalah waktunya untuk memulai sesuatu yang baru dengan Kristus bahkan ketika kamu pernah gagal sebelumnya.
Tidak pernah ada kata terlambat untuk bangkit kembali.

Friday, June 5, 2015

Apa yang Kita Lakukan

Ini yang kulakukan . . . [aku] berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus. —Filipi 3:13-14
Apa yang Kita Lakukan
Untuk mengenang mendiang Roger Ebert—kritikus film peraih Anugerah Pulitzer—seorang rekan wartawan menuliskan: “Dengan segala ketenarannya, penghargaan yang diterimanya, dan status selebritasnya, wawancara eksklusifnya, dan kedekatannya dengan para tokoh film, Ebert tak pernah lupa akan esensi dari apa yang kami lakukan, yaitu mengulas film. Dan ia mengulas film dengan semangat yang menular dan pemikiran yang tajam” (Dennis King, The Oklahoman).
Rasul Paulus tidak pernah melupakan esensi dari panggilan dan tugas yang dipercayakan Allah atas dirinya. Fokus dan antusiasme menjadi ciri dari persekutuannya dengan Kristus. Baik ketika bertukar pendapat dengan para filsuf di Atena, atau ketika didera karam kapal di laut Mediterania, atau ketika dibelenggu bersama seorang prajurit Romawi di penjara, Paulus tetap berfokus pada panggilannya untuk “mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya” dan mengajar tentang nama Yesus (Flp. 3:10).
Dalam surat yang ditulisnya dari penjara itu, Paulus berkata, “Aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus” (3:13-14). Apa pun keadaan yang dialaminya, Paulus terus mengarahkan dirinya untuk maju dalam panggilannya sebagai seorang murid Kristus.
Kiranya kita senantiasa mengingat esensi dan ciri dari panggilan kita dan tugas panggilan kita sebagai pengikut Yesus. —David McCasland
Bapa Surgawi, kiranya aku selalu bersedia melakukan apa yang bisa kulakukan dengan segala yang kupunya, di mana pun aku berada.
Kesungguhan Rasul Paulus hanya pada satu hal, yaitu dalam persekutuannya dengan Yesus Kristus. —Oswald Chambers

Thursday, June 4, 2015

Bapaku Bersamaku

Lihat, saatnya datang, bahkan sudah datang, bahwa kamu diceraiberaikan masing-masing ke tempatnya sendiri dan kamu meninggalkan Aku seorang diri. Namun Aku tidak seorang diri, sebab Bapa menyertai Aku. —Yohanes 16:32
Bapaku Bersamaku
Seorang teman yang sedang berjuang melawan kesepian memuat kata-kata berikut ini pada halaman Facebook-nya: “Aku merasa sendirian bukan karena aku tak punya teman. Temanku banyak. Aku punya teman yang bisa memelukku, menguatkanku, bicara padaku, peduli padaku, dan memikirkanku. Hanya saja mereka tidak bisa selalu bersamaku di setiap waktu dan untuk selamanya.”
Yesus memahami rasa kesepian seperti itu. Saya membayangkan, di sepanjang pelayanan-Nya di bumi, Dia melihat rasa kesepian di mata para penderita kusta dan mendengarnya dalam seruan orang yang buta. Namun lebih dari itu, Dia tentu pernah mengalaminya ketika semua murid-Nya meninggalkan Dia (Mrk. 14:50).
Meskipun demikian, ketika Dia menubuatkan bahwa murid-murid itu akan meninggalkan-Nya, Yesus juga menegaskan keyakinan-Nya yang teguh akan kehadiran Bapa-Nya. Yesus berkata kepada para murid-Nya: “Kamu meninggalkan Aku seorang diri. Namun Aku tidak seorang diri, sebab Bapa menyertai Aku” (Yoh. 16:32). Tak lama setelah Yesus mengucapkan perkataan itu, Dia memikul salib demi kita semua. Kematian-Nya memungkinkan kita untuk mempunyai hubungan yang dipulihkan dengan Allah dan untuk menjadi anggota keluarga-Nya.
Sebagai manusia, kita semua akan mengalami saat-saat kesepian. Namun Yesus menolong kita untuk mengerti bahwa Allah Bapa akan selalu hadir bersama kita. Dialah Allah yang kekal dan mahahadir. Hanya Dia yang dapat selalu menyertai kita di setiap waktu dan untuk selama-lamanya. —Poh Fang Chia
Bapa Surgawi, terima kasih karena Engkau berjanji tidak akan membiarkan atau meninggalkan aku. Saat aku merasa kesepian, tolong ingatkan aku bahwa Engkau selalu bersamaku.
Bila kamu mengenal Yesus, kamu takkan pernah berjalan sendiri.

Wednesday, June 3, 2015

Sesuatu yang Baru

Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya. —Efesus 2:10
Sesuatu yang Baru
Bagi Charles Hooper, kayu-kayu bekas masih mempunyai nilai tertentu. Ia membuat sebuah rancangan sederhana dengan memanfaatkan batang-batang kayu tua yang diambilnya dari rumah pengeringan jagung yang telah lama terabaikan. Lalu ia menebang sejumlah pohon dari hutan miliknya, dan bersusah payah memotongnya menjadi persegi empat dengan kapak besar milik kakeknya. Sepotong demi sepotong, ia menyusun dan memadukan kayu-kayu yang tua dengan yang baru.
Sekarang kita bisa melihat indahnya pondok kayu milik Charles dan Shirley Hooper yang terletak di balik pepohonan di Tennessee Ridge. Bangunan kayu yang digunakan sebagai tempat penginapan sekaligus museum untuk menyimpan warisan keluarga itu menjadi bukti nyata dari visi, keahlian, dan kesabaran Charles.
Dalam suratnya kepada orang bukan Yahudi, Paulus menyampaikan kepada jemaat di Efesus bagaimana Yesus sedang mendirikan suatu bangunan baru dengan menyatukan orang percaya, baik Yahudi maupun bukan Yahudi. “Sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu ‘jauh’, sudah menjadi ‘dekat’ oleh darah Kristus,” tulis Paulus (Ef. 2:13). Jemaat baru itu “dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan” (ay.20-21).
Pekerjaan pembangunan itu terus berlangsung sampai sekarang. Allah mengangkat hidup kita yang terpuruk, lalu dengan keahlian-Nya memadukan kita dengan orang-orang lain yang juga terpuruk dan telah diselamatkan, serta dengan sabar terus mengikis sifat-sifat buruk kita. Dia mengerjakan itu semua dengan sukacita. —Tim Gustafson
Tuhan, kami tidak henti-hentinya berterima kasih atas kasih-Mu yang besar bagi kami. Tolonglah kami untuk melihat bahwa Engkau menyatukan kami dalam satu tubuh yang indah ini, yaitu jemaat-Mu.
Sifat-sifat kita yang buruk harus dikikis habis agar kita dapat menampilkan citra Kristus.

Tuesday, June 2, 2015

Merasa Tidak Berarti?

Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib. —Mazmur 139:14
Merasa Tidak Berarti?
Kita berada di antara tujuh milyar orang yang hidup bersama di atas sebuah planet mungil yang merupakan bagian kecil dari tata surya kita yang tidak terlalu berarti. Memang pada kenyataannya, bumi kita hanyalah satu titik biru yang kecil di antara jutaan benda-benda angkasa yang diciptakan Allah. Di alam semesta yang luar biasa luasnya itu, bumi kita yang indah dan megah terlihat seperti setitik kecil debu.
Kenyataan itu dapat membuat kita merasa sangat tidak berharga dan tidak berarti. Akan tetapi, firman Allah justru mengatakan yang sebaliknya. Allah kita yang Mahabesar, yang “menakar air laut dengan lekuk tangan-[Nya]” (Yes. 40:12), telah menempatkan setiap orang di planet bumi ini sebagai pribadi yang amat berharga, karena kita diciptakan menurut gambar-Nya.
Misalnya, Allah telah menciptakan segala sesuatu untuk kita nikmati (1Tim. 6:17). Selain itu, bagi semua orang yang telah mempercayai Yesus sebagai Juruselamat, Allah telah menetapkan tujuan hidupnya (Ef. 2:10). Kemudian juga hal ini: Walaupun dunia ini begitu luas, Allah tetap memperhatikan dengan dekat manusia satu demi satu. Mazmur 139 menyatakan bahwa Allah tahu apa yang akan kita ucapkan dan yang sedang kita pikirkan. Kita tidak dapat lari dari hadapan-Nya, dan Dia telah merancang keberadaan kita di bumi jauh sebelum kita lahir.
Janganlah kita merasa tidak berarti, karena Allah yang empunya alam semesta begitu memperhatikan kita! —Dave Branon
Tuhan, aku telah memandang luasnya angkasa, dan kulihat kebesaran dari kuasa-Mu yang tak terbatas. Namun, Engkau memandangku dari surga sebagai pribadi yang Engkau kenal, kasihi, dan perhatikan. Terima kasih Tuhan karena telah menganggapku berharga.
Allah yang menciptakan alam semesta adalah Allah yang mengasihimu.

Monday, June 1, 2015

Cahaya dalam Kegelapan

Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang, supaya setiap orang yang percaya kepada-Ku, jangan tinggal di dalam kegelapan. —Yohanes 12:46
Cahaya dalam Kegelapan
Dalam suatu perjalanan ke Peru, saya mengunjungi salah satu gua yang banyak terdapat di negara pegunungan itu. Menurut pemandu wisata kami, gua yang satu itu sudah pernah dijelajahi hingga kedalaman 14 km—dan kedalamannya jauh lebih dalam lagi. Di gua itu, kami melihat banyak kelelawar dan burung malam yang mengagumkan serta beragam bentuk karang yang menarik. Akan tetapi lama-kelamaan, kegelapan gua itu membuat saya gelisah—terasa begitu mencekam. Saya merasa sangat lega ketika kami tiba kembali ke mulut gua dan melihat terang cahaya matahari.
Pengalaman tersebut menjadi pengingat yang sangat jelas tentang betapa menakutkannya kegelapan itu dan betapa kita begitu membutuhkan terang. Kita hidup di dalam dunia yang digelapkan oleh dosa—suatu dunia yang menentang Penciptanya. Dan kita memerlukan Terang itu.
Yesus datang ke dalam dunia untuk memulihkan seluruh ciptaan—termasuk umat manusia—pada maksudnya yang semula, dan Dia menyebut diri-Nya sebagai “terang” (Yoh. 8:12). Yesus berkata, “Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang, supaya setiap orang yang percaya kepada-Ku, jangan tinggal di dalam kegelapan” (12:46).
Di dalam Yesus, kita tidak saja memiliki terang keselamatan, tetapi juga satu-satunya terang yang dapat menuntun kita ke jalan yang harus kita tempuh—jalan-Nya—di tengah gelapnya dunia kita. —Bill Crowder
Bagaimana pengalamanmu melihat terang Allah terpancar di dunia kita yang berdosa ini? Bagaimana caramu meneruskan terang-Nya kepada sesama?
Berjalan di dalam Terang membuat kita takkan tersandung dalam gelap.
 

Total Pageviews

Translate