Pages - Menu

Tuesday, March 31, 2015

Mengapa Aku?

Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. —Roma 5:8
Mengapa Aku?
Seorang pendeta asal Inggris Joseph Parker ditanya, “Mengapa Yesus memilih Yudas menjadi murid-Nya?” Ia terus memikirkan pertanyaan itu, tetapi tidak juga menemukan jawabannya. Ia mengatakan bahwa ia justru menemukan pertanyaan yang lebih membingungkan, “Mengapa Yesus memilihku?”
Itulah pertanyaan yang telah ditanyakan orang selama berabad-abad. Ketika mereka sungguh-sungguh menyadari dosa mereka dan digelayuti oleh rasa bersalah, mereka pun berseru kepada Yesus untuk meminta belas kasihan-Nya. Dalam rasa takjub yang penuh sukacita, mereka mengalami kebenaran bahwa Allah mengasihi mereka, Yesus mati untuk mereka, dan semua dosa mereka telah diampuni. Sungguh ajaib dan tak terpahami!
Saya juga pernah bertanya, “Mengapa aku, Tuhan?” Saya menyadari bahwa perbuatan dosa yang kelam di dalam hidup saya dimotivasi oleh isi hati saya yang jauh lebih kelam, tetapi Allah masih mengasihi saya! (Rm. 5:8). Saya tidak layak, malang, dan tak berdaya, tetapi Dia membuka tangan-Nya dan hati-Nya untuk menyambut saya. Saya seakan mendengar-Nya berbisik, “Aku mengasihimu jauh lebih daripada kau mengasihi dosamu.”
Itu memang benar! Saya menikmati dosa saya. Saya memeliharanya. Saya bahkan menyangkal telah melakukan kesalahan. Namun Allah begitu mengasihi saya, Dia rela mengampuni dan membebaskan saya.
“Mengapa aku, Tuhan?” Mustahil untuk saya pahami. Namun yang saya tahu, Dia mengasihi saya—dan mengasihimu juga! —Dave Egner
Betapa indahnya anugerah-Mu, Yesus! Anugerah-Mu mengatasi segala dosaku. Kau telah mengangkat semua bebanku dan memerdekakan jiwaku. Terima kasih.
Allah mengasihi kita bukan karena kita, tetapi karena Dia adalah kasih.

Monday, March 30, 2015

Indah Sekali!

Tetapi Yesus berkata: “Biarkanlah dia. Mengapa kamu menyusahkan dia? Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku.” —Markus 14:6
Indah Sekali!
Setelah pergi untuk suatu urusan bisnis, Terry ingin membeli oleh-oleh untuk anak-anaknya. Pegawai toko di bandara mengusulkan sejumlah barang yang mahal harganya. “Saya tak punya uang sebanyak itu sekarang,” katanya. “Saya perlu sesuatu yang tidak semahal itu.” Pegawai itu berusaha membujuk Terry untuk tidak membeli sesuatu yang murah. Namun Terry tahu bahwa anak-anaknya akan senang dengan apa pun yang diberikannya, karena itu datang dari hati yang mengasihi. Dan Terry memang benar, karena anak-anaknya menyukai hadiah yang dibawanya bagi mereka.
Dalam kunjungan terakhir Yesus ke kota Betania, Maria ingin menunjukkan kasihnya kepada Yesus (Mrk. 14:3-9). Jadi ia membawa “suatu buli-buli pualam berisi minyak narwastu murni yang mahal harganya” dan mengurapi Yesus (ay.3). Para murid bertanya dengan gusar, “Untuk apa pemborosan ini?” (Mat. 26:8). Yesus meminta mereka untuk berhenti menyusahkan Maria, karena “ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku” (Mrk. 14:6). Alkitab versi Bahasa Indonesia Sehari-hari mengatakan, “Ia melakukan sesuatu yang baik dan terpuji terhadap-Ku.” Yesus sangat senang menerima pemberian Maria, karena itu datang dari hati yang mengasihi. Mengurapi Dia untuk persiapan penguburan-Nya pun merupakan sesuatu yang indah!
Apa yang hendak kamu berikan kepada Yesus untuk menunjukkan kasihmu? Waktu, talenta, hartamu? Bukan masalah besar apabila itu sesuatu yang mahal atau murah, entah itu dimengerti atau dicela oleh orang lain, karena apa pun yang diberikan dari hati yang mengasihi adalah sesuatu yang indah bagi-Nya. —Anne Cetas
Bapa, tak ada pemberianku yang sepadan dengan pengorbanan-Mu. Namun aku ingin memberikan sesuatu yang indah di mata-Mu. Kuberikan hatiku hari ini dalam rasa syukur atas kasih-Mu.
Hati yang sehat akan berlimpah dengan kasih untuk Yesus.

Sunday, March 29, 2015

Siapakah Kamu?

Dan ketika [Yesus] masuk ke Yerusalem, gemparlah seluruh kota itu dan orang berkata: “Siapakah orang ini?” —Matius 21:10
Siapakah Kamu?
Dari waktu ke waktu, kita membaca tentang orang-orang yang tersinggung karena merasa tidak dihormati dan disegani sebagaimana mestinya. “Kamu tidak tahu siapa saya?” teriak mereka dengan nada marah. Sikap itu membuat kita teringat pada pernyataan yang berbunyi, “Jika kamu sampai perlu memberi tahu orang tentang siapa dirimu, mungkin sebenarnya dirimu tidaklah sepenting yang kamu kira.” Kita melihat dalam diri Yesus suatu sikap yang sangat bertolak belakang dengan keangkuhan dan peninggian diri seperti itu. Sikap itu bahkan ditunjukkan Yesus ketika Dia mendekati akhir masa hidup-Nya di dunia.
Yesus memasuki Yerusalem dengan disambut seruan pujian dari orang banyak (Mat. 21:7-9). Ketika orang-orang di seluruh kota bertanya, “Siapakah orang ini?” orang banyak itu menjawab, “Inilah nabi Yesus dari Nazaret di Galilea” (ay.10-11). Yesus tidak datang dengan menuntut perlakuan khusus, tetapi dengan kerendahan hati, Dia datang untuk menyerahkan hidup-Nya dalam ketaatan pada kehendak Bapa-Nya.
Perkataan dan perbuatan Yesus layak mendapat penghormatan, tetapi tidak seperti para penguasa yang gila hormat, Dia tidak pernah menuntut orang untuk menghormati-Nya. Masa sengsara yang dialami- Nya mungkin terlihat seperti kelemahan dan kegagalan terbesar-Nya. Namun demikian, keyakinan yang kuat akan jati diri dan misi-Nya menopang Yesus sepanjang saat-saat terkelam itu, yaitu ketika Dia mati untuk menebus dosa kita agar kita bisa hidup dalam kasih-Nya.
Yesus layak menerima persembahan hidup kita dan penyembahan kita hari ini. Apakah kita mengenali diri-Nya? —David McCasland
Tuhan, aku takjub akan kerendahan hati, kekuatan, dan kasih-Mu. Aku merasa malu dengan keinginanku untuk mementingkan diri sendiri. Kiranya dengan mengenal-Mu, keegoisan hatiku bisa berubah menjadi kerinduan untuk hidup sebagaimana Engkau hidup di bumi.
Sekali berjumpa Yesus, kamu takkan pernah sama lagi. OSWALD CHAMBERS

Saturday, March 28, 2015

Pohon Jejak

Mereka menusuk tangan dan kakiku. . . . Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku. —Mazmur 22:17-19
Pohon Jejak
Beberapa tahun terakhir ini, putri saya begitu terpikat dengan sejarah penduduk asli dari Michigan Utara, tempat tinggalnya saat ini. Pada suatu sore di musim panas ketika saya ada di sana, ia menunjukkan sebuah jalan bertanda “Trail Trees” (Pohon Jejak). Ia menjelaskan kepada saya bahwa konon para penduduk asli Amerika pada zaman lampau melengkungkan pohon-pohon yang masih muda untuk menunjukkan arah ke tempat tujuan tertentu. Pohon-pohon tersebut kemudian akan terus bertumbuh dalam bentuk yang tidak lazim.
Alkitab Perjanjian Lama memiliki fungsi yang serupa. Ada banyak perintah dan ajaran dalam Alkitab yang mengarahkan hati kita pada jalan hidup yang dikehendaki Tuhan. Sepuluh Perintah Allah adalah contoh yang baik. Namun selain itu, nabi-nabi di Perjanjian Lama juga merujuk kepada Mesias yang akan datang. Ribuan tahun sebelum Yesus datang, mereka telah berbicara tentang Betlehem, tempat kelahiran Yesus (lihat Mik. 5:1 dan Mat. 2:1-6). Mereka melukiskan kematian Yesus di atas kayu salib dengan sangat rinci (lihat Mzm. 22:15-19 dan Yoh. 19:23-24). Dan Yesaya 53:1-12 merujuk pada pengorbanan yang akan Yesus lakukan ketika Allah “menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian” (ay.6; lihat Luk. 23:33).
Ribuan tahun lalu, para hamba Allah di Perjanjian Lama menunjukkan jalan yang terarah kepada Yesus, Anak Allah. Dialah yang telah menanggung penyakit kita dan memikul kesengsaraan kita (Yes. 53:4). Dialah jalan menuju kehidupan. —Cindy Hess Kasper
Terima kasih Tuhan atas pesan keselamatan yang sederhana. Yesus, Engkaulah jalan, kebenaran, dan hidup. Aku bersyukur karena hidup-Mu telah Engkau serahkan demi hidupku. Aku mengasihi-Mu.
Yesus menyerahkan hidup-Nya demi hidup kita.

Friday, March 27, 2015

Seniman Foley

Iblispun menyamar sebagai malaikat Terang. —2 Korintus 11:14
Seniman Foley
Kreezz, kreezz. Wuuss! Pada masa industri perfilman baru berkembang, para seniman Foley menciptakan bunyi-bunyian untuk mendukung adegan dalam cerita. Mereka meremas kantong kulit yang penuh berisi tepung maizena untuk menghasilkan bunyi salju berderak, menggoyangkan sepasang sarung tangan untuk mendapat bunyi yang mirip kepakan sayap burung, dan mengibaskan sebilah tongkat tipis untuk menghasilkan suara hembusan. Agar film yang dibuat sedekat mungkin dengan kenyataan, para seniman itu menggunakan teknik-teknik kreatif untuk menghasilkan bunyi tiruan.
Sama seperti bunyi, berita juga dapat ditiru. Satu teknik yang paling sering digunakan Iblis adalah meniru berita dengan cara yang berbahaya secara rohani. Paulus memperingatkan dalam 2 Korintus 11:13-14, “Sebab orang-orang itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus. Hal itu tidak usah mengherankan, sebab Iblispun menyamar sebagai malaikat Terang.” Ia memperingatkan kita tentang guru-guru palsu yang menyelewengkan perhatian kita dari Yesus Kristus dan kabar baik tentang anugerah-Nya.
Yesus mengatakan bahwa salah satu tujuan Roh Kudus tinggal di dalam hidup kita adalah supaya “apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin [kita] ke dalam seluruh kebenaran” (Yoh. 16:13). Dengan pertolongan dan tuntunan Roh Kudus, kita dapat menemukan jaminan kebenaran sejati di tengah dunia yang marak dengan berita-berita palsu. —Bill Crowder
Kami memerlukan-Mu, Roh Kudus, untuk menolong kami membedakan yang benar dan yang salah. Kami dapat dengan mudah diperdaya oleh orang lain atau bahkan oleh hati kami sendiri. Kiranya kami terbuka untuk belajar dari-Mu dan tidak mudah disesatkan.
Roh Kudus adalah Guru yang senantiasa hadir dalam hidup kita.

Thursday, March 26, 2015

Pilihan yang Pasti

Hanya kepada TUHAN saja kami akan beribadah. —Yosua 24:21
Pilihan yang Pasti
Ayah saya dahulu pernah menyembah dewa-dewa leluhur. Pernyataannya di penghujung hidupnya berikut ini sungguh luar biasa: “Ketika aku mati,” ucapnya dengan susah payah, “jangan ada yang melakukan sesuatu selain yang akan dilakukan oleh gereja. Tak perlu ramalan, tak perlu pengorbanan bagi leluhur, tak perlu macam-macam ritual. Hidupku ada di tangan Yesus Kristus, begitu juga kematianku.”
Ayah saya memilih untuk mengikut Kristus ketika ia mengundang Yesus untuk menjadi Juruselamat di masa tuanya. Teman-teman seusianya suka mengejeknya: “Orang tua seperti dirimu seharusnya tidak pantas pergi ke gereja!” Namun pilihan ayah saya untuk mengikut dan menyembah Allah yang sejati sudah bulat, sama seperti pilihan orang-orang yang ditantang oleh Yosua.
“Pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah,” tantang Yosua. “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (24:15). Tanggapan mereka sangat tegas—mereka pun memilih untuk menyembah Tuhan. Bahkan setelah Yosua memperingatkan mereka akan konsekuensi pilihan tersebut (ay.19-20), mereka tetap bertekad untuk mengikut Tuhan, dengan mengingat akan pembebasan, pemeliharaan, dan perlindungan-Nya atas mereka (ay. 16-17, 21).
Namun, pilihan bulat itu menuntut tindakan yang sama tegasnya, sebagaimana diingatkan Yosua dengan keras kepada mereka, “Maka sekarang, jauhkanlah allah asing . . . dan condongkanlah hatimu kepada TUHAN” (ay.23). Sudahkah kamu mengambil pilihan untuk menjalani hidup bagi Allah? —Lawrence Darmani
Tuhan, ajarku arti memilih untuk total mengikut Engkau. Aku mau perkataan, tindakan, tingkah lakuku menunjukkan kasihku yang tulus kepada-Mu dari lubuk hatiku. Engkau layak menerima jauh melebihi apa pun yang dapat kulakukan.
Pilihan yang bulat menuntut tindakan yang tegas.

Wednesday, March 25, 2015

Jam Allah Selalu Tepat

Pada ketika itu juga datanglah ia ke situ . . . dan berbicara tentang Anak itu kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem. —Lukas 2:38
Jam Allah Selalu Tepat
Saya sesekali pergi mengunjungi dua wanita lansia. Yang seorang sama sekali tidak memiliki masalah keuangan, sangat sehat untuk ukuran wanita seusianya, dan tinggal di rumahnya sendiri. Namun ia selalu mempunyai komentar yang negatif terhadap apa saja. Wanita yang satu lagi mengalami kelumpuhan akibat penyakit artritis dan agak pelupa. Ia tinggal di tempat sederhana dan mempunyai buku agenda agar ia tidak lupa dengan janji-janji yang dibuatnya. Namun kepada setiap orang yang mengunjungi apartemen mungilnya, komentar pertamanya selalu sama, “Allah begitu baik kepadaku.” Di kunjungan terakhir saya, saat menyerahkan buku agenda itu kepadanya, saya melihat bahwa pada hari sebelumnya ia telah menulis, “Besok makan siang di luar! Asyik! Satu lagi hari yang menyenangkan.”
Hana adalah seorang nabi perempuan pada masa kelahiran Yesus yang sudah sangat lanjut usia (Luk. 2:36-37). Menjanda di usia muda dan kemungkinan tidak mempunyai anak, Hana mungkin pernah merasa tidak berguna dan melarat. Namun ia tetap berfokus kepada Allah dan setia melayani-Nya. Ia merindukan Mesias, tetapi dalam penantiannya, ia tekun beribadah kepada Allah—berdoa, berpuasa, dan mengajarkan kepada orang lain semua yang dipelajarinya dari Allah.
Akhirnya hari yang istimewa pun tiba, ketika di usianya yang ke-80, ia melihat sang bayi Mesias di dalam pelukan ibu-Nya yang masih muda. Kesabaran Hana dalam menanti akhirnya membuahkan hasil. Hatinya meluap dengan sukacita sehingga ia memuji Allah dan kemudian menyampaikan berita sukacita itu kepada sesamanya. —Marion Stroud
Tuhan, aku tak ingin mengeluh lagi. Aku ingin menjadi orang yang melimpah dengan syukur atas kehadiran orang lain dan kehadiran-Mu. Kiranya aku menerima apa pun yang Engkau berikan sesuai dengan waktu-Mu. Tolonglah aku untuk memulainya hari ini.
Memang tidak mudah menyandingkan rencana Allah dengan rencana kita. Namun ketika keduanya menyatu, itulah pengalaman yang terbaik.

Tuesday, March 24, 2015

Percaya Saja

KomikStrip-WarungSaTeKaMu-20150324-Percaya-Saja
Waktu aku takut, aku ini percaya kepada-Mu. —Mazmur 56:4
Percaya Saja
Ketika anak-anak kami masih kecil, membawa mereka ke dokter adalah pengalaman yang menarik. Ruang tunggu dokter itu dipenuhi mainan yang bisa mereka mainkan dan majalah anak-anak yang suka saya bacakan untuk mereka. Sampai di situ tidak ada masalah. Namun begitu saya menggendong mereka masuk ke kamar praktek dokter, segalanya berubah. Keceriaan tiba-tiba berubah menjadi ketakutan, apalagi ketika perawat mendekati mereka dengan jarum suntik. Semakin dekat langkah si perawat, semakin erat mereka memeluk saya. Mereka memeluk saya dengan erat untuk mendapat kelegaan, atau mungkin mereka berharap tidak perlu disuntik, tanpa menyadari bahwa suntikan itu sebenarnya untuk kebaikan mereka sendiri.
Terkadang dalam dunia yang telah jatuh dalam dosa ini, kita silih berganti mengalami masa yang damai dan tenang menjadi masa yang menyakitkan dan penuh pergumulan. Pada saat itulah, kita bertanya, “Bagaimana seharusnya saya menanggapi semua ini?” Kita bisa merasa takut dan bertanya-tanya mengapa Allah membiarkan hal itu menimpa kita. Atau sebaliknya, kita dapat meyakini bahwa di tengah masalah tersebut, Allah sedang melakukan sesuatu yang pada akhirnya adalah untuk kebaikan kita juga, walaupun itu terasa menyakitkan. Kiranya kita juga mengingat perkataan yang ditulis sang pemazmur, “Waktu aku takut, aku ini percaya kepada-Mu” (Mzm. 56:4).
Seperti anak-anak saya, semakin sulit keadaannya, semakin erat kita harus bergantung kepada-Nya. Percayalah kepada-Nya. Kasih-Nya tidak pernah berkesudahan! —Joe Stowell
Datanglah segera, Tuhan, untuk menolongku. Ajarku untuk mempercayai-Mu di masa-masa sulit. Ingatkan aku akan kehadiran-Mu dan pada kenyataan bahwa Engkau memegangku dengan erat dalam tangan kasih-Mu.
Bergantunglah kepada Bapa di surga; Dialah satu-satunya harapanmu.

Monday, March 23, 2015

Cermin Pemantul

Ia datang sebagai saksi untuk memberi kesaksian tentang terang itu, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya. —Yohanes 1:7
Cermin Pemantul
Desa Rjukan yang kecil dan nyaman di Norwegia adalah wilayah yang menyenangkan untuk ditinggali—kecuali sepanjang hari-harinya yang gelap di musim dingin. Terletak di lembah pada kaki Gunung Gaustatoppen yang menjulang, desa ini tidak menerima pancaran sinar matahari secara langsung selama hampir setengah tahun. Warga sudah lama mempertimbangkan gagasan untuk menempatkan sejumlah cermin di puncak gunung untuk memantulkan sinar matahari. Namun konsep itu baru dapat direalisasikan akhir-akhir ini. Pada tahun 2005, seorang seniman lokal memulai proyek yang dinamai Proyek Cermin untuk mengumpulkan orang-orang yang bisa mengubah gagasan itu menjadi kenyataan. Delapan tahun kemudian, pada Oktober 2013, cermin-cermin tersebut mulai beroperasi. Warga pun memadati alun-alun kota untuk menikmati sinar matahari yang dipantulkan.
Dari perspektif rohani, sebagian besar dunia ini mirip dengan desa Rjukan—ada segunung masalah yang menghalangi pancaran terang Yesus. Namun Allah secara strategis menempatkan anak-anak-Nya untuk berperan sebagai pemantul terang-Nya. Salah satunya adalah Yohanes Pembaptis yang datang “untuk memberi kesaksian tentang terang itu”, yaitu Yesus yang memberikan terang “untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut” (Yoh. 1:7, Luk. 1:79).
Sama seperti sinar matahari berperan penting bagi kesehatan emosi dan fisik manusia, demikian juga pancaran terang Yesus berperan penting bagi kesehatan rohani manusia. Syukurlah, setiap orang percaya berada dalam posisi yang tepat untuk memantulkan terang-Nya agar menembus tempat-tempat gelap di dunia. —Julie Ackerman Link
Bapa terkasih, tolong aku untuk memantulkan terang-Mu ke dunia di sekitarku hari ini. Kiranya segala perkataan dan perbuatanku dapat menjadi saksi terang dan kebenaran-Mu. Kiranya orang lain melihat betapa menakjubkannya diri-Mu.
Dunia yang terperangkap di dalam gelap membutuhkan terang Yesus.

Sunday, March 22, 2015

Keluarga dalam Iman

Karena kamu telah kami kasihi. —1 Tesalonika 2:8
Keluarga dalam Iman
Pada dekade 1980-an, kelas pembinaan bagi kaum lajang di gereja kami menjadi sebuah keluarga yang akrab bagi banyak orang yang telah kehilangan pasangan akibat perceraian atau kematian. Ketika seseorang akan pindah, para anggota kelas itu akan membantu untuk mengemas barang-barang, mengangkut perabotan, dan menyediakan makanan. Hari ulang tahun dan hari libur tidak lagi dijalani seorang diri, karena iman dan persahabatan telah melebur menjadi suatu hubungan yang langgeng dan sangat menguatkan. Banyak dari ikatan yang terjalin pada masa-masa sulit tiga dekade lalu itu terus berkembang dan menopang sejumlah pribadi dan keluarga hingga saat ini.
Surat Paulus kepada para pengikut Yesus di Tesalonika melukiskan suatu hubungan yang rela berbagi hidup di dalam keluarga Allah. “Kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya” (1Tes. 2:7). “Sebab kamu masih ingat, saudara-saudara, akan usaha dan jerih lelah kami. . . . supaya jangan menjadi beban bagi siapapun juga di antara kamu” (ay.9). “Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang” (ay.11). Bagai seorang ibu, ayah, dan saudara, Paulus dan rekan-rekannya membagikan Injil dan hidup mereka dengan saudara-saudara seiman yang mereka kasihi (ay.8).
Dalam keluarga Allah, Dia mengaruniakan ibu, ayah, dan saudara-saudara kepada kita. Tuhan memberikan sukacita-Nya ketika kita berbagi hidup bersama dalam anugerah dan kasih-Nya. —David McCasland
Bapa, Engkau telah memanggil kami untuk saling melayani. Berilah aku hati yang bersedia menerima perhatian orang lain. Kiranya aku mau meminta tolong saat membutuhkan pertolongan dan menanggapi dengan senang hati saat mereka meminta pertolonganku.
Allah mengasihimu dan saya; marilah kita saling mengasihi.

Saturday, March 21, 2015

Keadilan dan Belas Kasihan

TUHAN itu baik; . . . tempat pengungsian pada waktu kesusahan. —Nahum 1:7
Keadilan dan Belas Kasihan
Ketika seorang terdakwa berdiri di hadapan hakim, nasibnya bergantung pada keputusan pengadilan. Jika ia tidak bersalah, pengadilan menjadi tempat perlindungan baginya. Namun jika ia bersalah, kita berharap pengadilan akan menjatuhkan hukuman.
Dalam kitab Nahum, kita melihat Allah sebagai tempat perlindungan sekaligus hakim. Tertulis demikian, “TUHAN itu baik, Ia adalah tempat pengungsian pada waktu kesusahan” (1:7). Namun dikatakan juga bahwa “Ia menghabisi sama sekali orang-orang yang bangkit melawan Dia, dan musuh-Nya dihalau- Nya ke dalam gelap” (1:8). Lebih dari 100 tahun sebelumnya, Niniwe pernah bertobat setelah Yunus memberitakan pengampunan Allah, dan bangsa itu diselamatkan (Yunus 3:10). Namun pada masa Nabi Nahum, Niniwe “merancang kejahatan terhadap TUHAN” (Nah. 1:11). Di pasal 3, Nahum menggambarkan secara rinci kehancuran Niniwe.
Banyak orang hanya mengenal satu sisi dari perbuatan Allah terhadap umat manusia tanpa mengenal sisi yang lainnya. Mereka berpikir bahwa Allah itu suci dan semata-mata ingin menghukum kita, atau bahwa Allah itu penuh belas kasihan dan semata-mata ingin menunjukkan kebaikan. Yang benar adalah Allah itu hakim sekaligus tempat perlindungan. Petrus menulis bahwa Yesus “menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil” (1Ptr. 2:23). Hasilnya, “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran” (ay.24).
Seluruh kebenaran tentang Allah merupakan kabar baik! Dia adalah hakim, tetapi karena Yesus, kita dapat datang kepada Allah sebagai tempat perlindungan kita. —Dave Branon
Tuhan, jangan biarkan kami merendahkan-Mu dengan melihat satu sisi saja dari peran-Mu dalam kehidupan kami. Tolong kami untuk menikmati kasih dan kebaikan-Mu sekaligus menyadari betapa Engkau sangat membenci dosa.
Keadilan dan belas kasihan Allah bertemu di kayu salib.

Friday, March 20, 2015

Anugerah Pengharapan

Dengan dia akan mulai penyelamatan orang Israel dari tangan orang Filistin. —Hakim-Hakim 13:5
Anugerah Pengharapan
Ketika topan yang sangat kuat menerjang kota Tacloban di Filipina pada tahun 2013, diperkirakan 10.000 orang meninggal, dan banyak dari mereka yang selamat telah kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Kebutuhan sehari-hari menjadi langka. Tiga bulan kemudian, ketika kota itu masih berjuang untuk bangkit dari kerusakan besar akibat topan tersebut, seorang bayi lahir di tepi jalan dekat Tacloban, di tengah derasnya hujan dan angin kencang. Meskipun cuaca saat itu mengingatkan mereka kembali pada peristiwa yang menyakitkan, warga setempat bekerja sama untuk mencari bidan, lalu mengantar ibu dan bayinya ke klinik. Sang bayi pun selamat, tumbuh sehat, dan menjadi lambang pengharapan di tengah masa sulit.
Penindasan bangsa Filistin selama 40 tahun menandai suatu masa yang suram dalam sejarah bangsa Israel. Pada masa itulah, seorang malaikat mengabarkan kepada seorang wanita Israel bahwa ia akan melahirkan seorang anak laki-laki yang istimewa (Hak. 13:3). Anak itu akan menjadi seorang nazir Allah, yaitu orang yang dikhususkan bagi Allah, dan dengannya “akan mulai penyelamatan orang Israel dari tangan orang Filistin” (ay.5). Anak laki-laki yang diberi nama Simson itu menjadi anugerah pengharapan yang lahir di tengah suatu masa yang sulit.
Kesulitan memang tak terhindari, tetapi Yesus sanggup melepaskan kita dari keputusasaan. Dia lahir “untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera” (Luk. 1:76-79). —Jennifer Benson Schuldt
Tuhan, tolonglah aku untuk melihat jauh melampaui keadaanku dan berharap kepada-Mu. Milik-Mulah segala otoritas dan kuasa. Ingatkan aku akan kebaikan- Mu, dan kiranya aku bersandar pada kasih-Mu.
Yesus adalah harapan yang meneduhkan badai kehidupan.

Thursday, March 19, 2015

Tempat Kita Kelak

Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. —Yohanes 14:2
Tempat Kita Kelak
Ribuan untaian waktu, peristiwa, dan orang terjalin menjadi selembar permadani yang kita sebut sebagai tempat. Lebih dari sekadar sebuah rumah, tempat adalah wadah meleburnya makna, rasa memiliki, dan rasa aman di bawah naungan usaha kita bersama untuk mengasihi tanpa pamrih. Tempat membekaskan kenangan yang merasuk ke dalam jiwa kita. Meskipun tempat kita tidak sempurna, kesan yang diberikannya begitu kuat memikat kita.
Alkitab sering berbicara mengenai tempat. Kita melihatnya dalam kerinduan Nehemia atas pulihnya Yerusalem (Neh. 1:3-4; 2:2). Maka tidak mengherankan apabila Yesus berbicara tentang tempat ketika Dia ingin menghibur kita. “Janganlah gelisah hatimu,” kata-Nya, yang dilanjutkan dengan: “Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu” (Yoh. 14:1-2).
Bagi mereka yang mempunyai kenangan indah akan berbagai tempat di dunia, janji tersebut menghubungkan kita pada sesuatu yang mudah untuk mereka pahami dan nanti-nantikan. Dan bagi mereka yang tinggal di suatu tempat yang jauh dari rasa nyaman dan aman, Yesus menjanjikan bahwa suatu hari nanti mereka akan mendengar dinyanyikannya kidung indah dari tempat itu, karena mereka akan tinggal di sana bersama-Nya.
Apa pun pergumulanmu, apa pun hal yang menggoyahkan perjalanan imanmu, ingatlah ini: Ada suatu tempat di surga yang sudah menantimu, yang disediakan khusus bagimu. Jika tidak demikian, tentu Yesus tidak akan mengatakannya. —Randy Kilgore
Yesus, aku ingin segera berdiam dalam tempat yang telah Kau sediakan bagiku. Aku bersyukur karena bagaimanapun tempat tinggalku di dunia, baik nyaman ataupun tidak mengenakkan, kediamanku bersama-Mu akan jauh lebih baik.
Kiranya kenangan akan kediaman duniawi kita membuat kita semakin merindukan kediaman surgawi kita dengan penuh harap.

Wednesday, March 18, 2015

Jalan Pintas yang Berbahaya

Tetapi Yesus menjawab: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” —Matius 4:4
Jalan Pintas yang Berbahaya
Baru-baru ini diadakan pemilihan umum di negara saya. Kenalan saya, seorang ibu, tengah mengalami kesulitan hidup sehingga ia rela menukarkan hak suaranya demi mendapat sekantong popok bayi. Kami sudah pernah membicarakan keunggulan dari setiap calon, sehingga pilihan ibu itu mengecewakan saya. Saya bertanya, “Lalu bagaimana dengan keyakinanmu?” Ia diam saja. Enam bulan setelah calon yang dipilihnya itu menang, pajak pun dinaikkan. Sekarang harga barang-barang menjadi lebih mahal daripada sebelumnya, termasuk popok bayi!
Di banyak negara, praktik korupsi dalam dunia politik bukanlah hal yang asing. Demikian juga halnya dengan korupsi rohani. Iblis berusaha memikat Yesus agar mau “menjual” keyakinan-Nya (Mat. 4:1-10). Si pencoba datang kepada Yesus ketika Dia sedang letih dan lapar. Iblis menawarkan kepada Yesus kepuasaan sesaat, roti segar yang bisa diciptakan dalam hitungan detik, kelepasan yang ajaib, dan seluruh kerajaan dunia beserta kemegahannya.
Namun Yesus lebih tahu. Dia tahu bahwa jalan pintas adalah musuh yang berbahaya. Jalan pintas mungkin menawarkan suatu pilihan tanpa penderitaan, tetapi pada akhirnya jalan itu mendatangkan penderitaan yang jauh lebih dalam dari yang pernah kita bayangkan. Sepanjang pencobaan-Nya, tiga kali Yesus mengatakan, “Ada tertulis” (ay. 4,7,10). Yesus teguh berpegang pada keyakinan akan kebenaran Allah dan firman-Nya.
Allah juga dapat menolong kita yang sedang dicobai. Kita dapat bergantung kepada-Nya dan pada kebenaran firman-Nya untuk menolong kita menghindari jalan pintas yang berbahaya. —Keila Ochoa
Jalan pintas apakah yang cenderung menggodaku untuk memperoleh kepuasan?
Apakah yang dapat kulakukan untuk menjaga diri?
Jalan Allah memang tidak mudah, tetapi akan membawa kita pada kepuasan kekal.

Tuesday, March 17, 2015

Tamu Tak Diundang

Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab . . . ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. —Yakobus 1:2-3
Tamu Tak Diundang
Baru-baru ini, saya dan istri saya, Marlene, menerima telepon bernada panik dari putra kami dan istrinya. Malam sebelumnya, mereka menemukan dua ekor kelelawar di dalam rumah mereka. Saya tahu bahwa kelelawar memang bagian penting dari ekosistem, tetapi di antara segala binatang yang ada, saya merasa paling geli dengan kelelawar, apalagi jika kelelawar itu beterbangan di dalam rumah.
Meskipun demikian, saya dan Marlene bersyukur karena kami bisa pergi ke rumah anak-anak kami dan menolong mereka. Kami menolong mereka dengan menutup lubang-lubang yang kemungkinan telah dipakai para tamu yang tak diundang itu untuk masuk ke dalam rumah.
Tamu lain yang tak diundang dan sering menyusup dalam hidup kita adalah penderitaan. Ketika pencobaan datang, kita mudah merasa panik atau putus asa. Namun keadaan-keadaan yang sulit itu dapat menjadi alat yang dipakai oleh Bapa Surgawi yang mengasihi kita guna menjadikan kita semakin serupa dengan Kristus. Itulah sebabnya Yakobus menulis, “Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang” (Yak. 1:2-4).
Kita tidak ingin mengalami pencobaan atau penderitaan. Namun bila tamu yang tak diundang itu datang, kita dapat memohon campur tangan Allah dan percaya bahwa Dia bisa memakai kesulitan itu untuk menjadikan kita semakin serupa dengan Anak-Nya. —Bill Crowder
Terima kasih, Bapa, karena setiap hari Engkau memberi kami yang terbaik sesuai kehendak-Mu. Kami bersyukur karena dapat mempercayai maksud hati-Mu yang sungguh amat baik.
Pencobaan mungkin datang dan pergi, tetapi Allah selalu bersama kita.

Monday, March 16, 2015

Nama Baik

Nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik dari pada perak dan emas. —Amsal 22:1
Nama Baik
Nama Charles Ponzi akan selamanya dikaitkan dengan kasus-kasus penipuan keuangan yang dijadikannya sebagai mata pencaharian. Setelah didakwa bersalah atas suatu tindak kejahatan keuangan kecil dan mendekam di penjara untuk sementara waktu, pada awal tahun 1920 ia mulai menawarkan kepada para investor laba sebesar 50 persen setelah 45 hari dan 100 persen setelah 90 hari. Meskipun gagasan ini kedengarannya agak kurang masuk akal, banyak orang yang tetap menyetorkan uang mereka. Ponzi memakai uang investor baru itu untuk membayar investor terdahulu dan membiayai gaya hidupnya yang mewah. Ketika penipuan ini terbongkar pada Agustus 1920, para investor telah menderita kerugian sampai 20 juta dolar dan lima bank mengalami pailit. Ponzi dihukum 3 tahun penjara, lalu dideportasi ke Italia, dan pada tahun 1949, ia meninggal di usia 66 tahun dalam keadaan miskin.
Kitab Amsal dalam Perjanjian Lama sering membandingkan reputasi orang yang bijaksana dan orang yang bodoh, “Kenangan kepada orang benar mendatangkan berkat, tetapi nama orang fasik menjadi busuk. . . . Siapa bersih kelakuannya, aman jalannya, tetapi siapa berliku-liku jalannya, akan diketahui” (Ams. 10:7,9). Salomo menyimpulkan, “Nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik dari pada perak dan emas” (22:1).
Kita ingin memiliki nama baik, bukan untuk meninggikan diri sendiri, melainkan untuk memuliakan Kristus, Tuhan kita, nama di atas segala nama. —David McCasland
Tuhan, Engkau tahu apa yang terbaik, dan Engkau ingin membimbing kami ke jalan yang lurus dan benar. Beri kami keberanian untuk percaya kepada-Mu dan mengikut-Mu di jalan hidup yang benar demi nama-Mu.
Nama baik kita memuliakan Allah kita yang besar.

Sunday, March 15, 2015

Allah Selalu Mendengar

Tuhan, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu, dan aku menunggu-nunggu. —Mazmur 5:4
Allah Selalu Mendengar
Sehari sebelum Billy Graham diwawancarai dalam acara televisi Amerika The Today Show, direktur humasnya, Larry Ross, meminta disediakan satu ruangan khusus yang dapat dipakai Graham untuk berdoa sebelum diwawancara. Namun ketika Graham tiba di studio, asistennya memberitahukan kepada Ross bahwa Graham tidak memerlukan ruangan khusus itu. Asisten itu berkata, “Tn. Graham mulai berdoa saat ia bangun tadi pagi, ia berdoa saat sarapan, ia berdoa di dalam mobil selama perjalanan menuju studio, dan kemungkinan Graham juga terus berdoa selama wawancara berlangsung.” Di kemudian hari, Ross mengatakan, “Itu menjadi pelajaran yang sangat penting yang saya terima sebagai seorang pemuda.”
Berdoa bukanlah suatu peristiwa, melainkan sebuah cara untuk menjalin hubungan dengan Allah. Hubungan yang dekat dengan Allah seperti itu terbangun ketika umat Allah menjadikan doa sebagai gaya hidup mereka. Ayat-ayat dalam kitab Mazmur mendorong kita untuk memulai setiap hari dengan seruan kepada Tuhan (Mzm. 5:4); untuk mengisi hari-hari kita dengan percakapan dengan Allah (55:18); dan untuk berserah sepenuhnya dalam doa tatkala kita menghadapi tuduhan dan fitnah (109:4). Kita menjadikan doa sebagai gaya hidup karena kita rindu bersama Allah (42:2-5; 84:2-3; 130:5-6).
Doa adalah cara kita untuk menjalin hubungan dengan Allah dalam segala kondisi kehidupan. Allah selalu mendengar doa kita. Kita dapat berdoa kepada-Nya setiap saat di sepanjang hari. —Marvin Williams
Satu hal apa yang menjadi penghalang utama dalam membangun kehidupan doamu? Perubahan apa yang kamu rasakan ingin dikerjakan Allah dalam hatimu agar kemudian kamu menghayati doa sebagai gaya hidup?
Ketika kita berdoa, Allah tidak hanya mendengarkan apa yang kamu ucapkan, tetapi Dia juga mendengarkan isi hatimu.

Saturday, March 14, 2015

Pengantara

Adapun bangsa itu berdiri jauh-jauh, tetapi Musa pergi mendekati . . . di mana Allah ada. —Keluaran 20:21
Pengantara
Bayangkan kamu berdiri di kaki gunung dan saling berdesakan dengan semua orang di komunitasmu. Terlihat kilat serta terdengar suara guruh dan bunyi sangkakala yang memekakkan telinga. Di tengah-tengah nyala api, Allah turun ke atas puncak gunung. Puncak gunung itu ditutupi seluruhnya oleh asap; seluruh gunung mulai bergetar dengan kuat, dan kamu pun gemetar (Kel. 19:16-20).
Ketika bangsa Israel mengalami peristiwa yang mengerikan itu di dekat gunung Sinai, mereka memohon kepada Musa, “Engkaulah berbicara dengan kami, maka kami akan mendengarkan; tetapi janganlah Allah berbicara dengan kami, nanti kami mati” (20:19). Bangsa Israel meminta Musa menjadi pengantara mereka dengan Allah yang Maha-kuasa. “Adapun bangsa itu berdiri jauh-jauh, tetapi Musa pergi mendekati embun yang kelam di mana Allah ada” (ay.21). Setelah pertemuannya dengan Allah, Musa meneruskan pesan yang diterimanya dari Allah kepada bangsa Israel yang menunggunya di kaki gunung.
Saat ini kita menyembah Allah yang sama, yaitu Allah yang pernah menunjukkan kebesaran-Nya yang menakjubkan di gunung Sinai. Karena Allah itu kudus sempurna dan kita penuh dengan dosa, kita tidak bisa berhubungan dengan-Nya. Kalau tergantung pada diri kita sendiri, kita akan (dan seharusnya) gemetar ketakutan. Namun Yesus memungkinkan kita untuk mengenal Allah ketika Dia menanggung dosa-dosa kita, mati, dan bangkit kembali (1Kor. 15:3-4). Hingga kini, Yesus terus menjadi Pengantara antara kita dengan Allah yang Mahakudus dan Mahasempurna (Rm. 8:34; 1TIm. 2:5). —Jennifer Benson Schuldt
Terima kasih Yesus, karena telah menyerahkan nyawa-Mu sehingga aku mengenal Allah. Aku menyembah-Mu sebagai Pribadi yang menjembatani kesenjangan antara Allah dan diriku.
Yesus menjembatani kesenjangan antara Allah dan kita.

Friday, March 13, 2015

Menyerahkan Cermin Kita

Dibuatnyalah [oleh Bezaleel] bejana pembasuhan dan juga alasnya dari tembaga, dari cermin-cermin para pelayan perempuan yang melayani. —Keluaran 38:8
Menyerahkan Cermin Kita
Ketika Musa mengumpulkan bangsa Israel untuk memulai pekerjaan membangun Kemah Suci (Kel. 35-39), ia memanggil Bezaleel, seorang tukang yang ahli, untuk membantu dalam membuat perabotannya. Kita membaca bahwa sejumlah pelayan perempuan diminta untuk memberikan cermin tembaga mereka yang berharga agar dibuat menjadi bejana pembasuhan (38:8). Mereka menyerahkan cermin-cermin itu untuk membantu dalam menyiapkan suatu tempat kediaman bagi Allah.
Bagi kebanyakan dari kita, menyerahkan cermin mungkin tidak mudah untuk dilakukan. Kita memang tidak diminta untuk menyerahkan cermin, tetapi saya terpikir bahwa terlalu banyak introspeksi diri mungkin dapat membawa dampak yang mengkhawatirkan. Akibatnya, bisa saja kita menjadi lebih suka memikirkan diri sendiri dan kurang memikirkan keadaan orang lain.
Ketika kita dapat segera melupakan keadaan kita dan mengingat bahwa Allah mengasihi kita apa adanya—dengan segala ketidaksempurnaan kita—kita dapat mulai untuk tidak hanya “memperhatikan kepentingan [kita] sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Flp. 2:4).
Agustinus pernah berkata, kita akan kehilangan jati diri bila kita mengasihi diri sendiri, tetapi kita menemukan jati diri sejati bila kita mengasihi orang lain. Dengan kata lain, rahasia kebahagiaan bukanlah dengan memuaskan diri sendiri, melainkan dengan memberikan hati kita, hidup kita, dan diri kita dalam kasih kepada sesama. —David Roper
Bapa, tolong aku untuk lebih mendahulukan orang lain daripada diriku sendiri. Kiranya aku tidak mementingkan diriku sendiri ketika memperhatikan orang lain dan kebutuhan mereka.
Hati yang berfokus kepada orang lain tidak akan berpikir untuk mendahulukan diri sendiri.

Thursday, March 12, 2015

Pinjam Teropongnya!

KomikStrip-WarungSaTeKaMu-20150312-Pekerjaan-Tangan-Nya
Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya. —Mazmur 19:2
Pinjam Teropongnya!
Waktu saya masih di sekolah dasar, saya dan teman saya, Kent, sering memandangi langit di malam hari dengan sebuah teropong buatan Jerman. Kami sangat kagum melihat bintang-bintang di langit dan gunung-gunung di bulan. Sepanjang malam kami bergantian berkata, “Pinjam teropongnya!”
Berabad-abad sebelumnya, seorang gembala muda Ibrani juga merasa kagum saat melihat langit di malam hari. Ia tidak memiliki teropong atau teleskop sebagai alat bantu, tetapi ia memiliki sesuatu yang jauh lebih penting, yaitu hubungan pribadi dengan Allah yang hidup. Saya membayangkan Daud memandang ke langit, dengan latar belakang embikan domba yang terdengar sayup-sayup. Lalu Daud menuliskan kalimat yang diilhami oleh Allah: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam” (Mzm. 19:2-3).
Di tengah hari-hari kita yang sibuk, kita dapat dengan mudahnya lupa untuk mengagumi keindahan langit yang telah diciptakan Allah untuk kita nikmati dan untuk kemuliaan-Nya. Bila kita menyediakan waktu untuk memandangi langit di malam hari dan mengagumi segala isinya yang indah, kita akan semakin mengenal Allah dan kuasa serta kemuliaan-Nya yang kekal. —Dennis Fisher
Kami percaya bahwa dunia ini milik-Mu, ya Tuhan. Saat melihat langit dan dunia di sekitar kami, kami kagum akan Engkau dan daya cipta-Mu. Engkau, dan karya ciptaan-Mu benar-benar luar biasa! Kami kagum dan hormat kepada-Mu.
Melalui keajaiban dari karya ciptaan Allah, kita dapat melihat keagungan dan karakter-Nya.

Wednesday, March 11, 2015

Kedekatan Luar Biasa

Tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: “ya Abba, ya Bapa!” —Roma 8:15
Kedekatan Luar Biasa
Ketika John F. Kennedy menjadi presiden Amerika Serikat, sesekali para fotografer menangkap suatu adegan yang menarik. Salah satu foto itu menunjukkan para anggota kabinet sedang duduk mengelilingi meja sang presiden di Kantor Oval dan memperdebatkan masalah-masalah dunia yang penting. Sementara itu, putra presiden yang baru berumur 2 tahun, yang bernama John, sedang merangkak di seputar dan di bawah meja presiden yang sangat besar, tanpa mempedulikan tata cara di Gedung Putih dan persoalan-persoalan negara yang serius. Ia hanya sedang mengunjungi ayahnya.
Demikianlah kedekatan luar biasa yang terkandung dalam kata Abba ketika Yesus berkata, “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu” (Mrk. 14:36). Meskipun Allah adalah Penguasa berdaulat atas alam semesta, tetapi melalui Anak-Nya, Allah menjadi begitu dekat sebagaimana seorang ayah manusia yang sangat mencintai anaknya. Paulus menggambarkan kedekatan ini dengan lebih jelas di Roma 8. Paulus berkata bahwa Roh Allah berdiam di dalam diri kita, dan ketika kita tidak tahu bagaimana harus berdoa, “Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (ay.26).
Yesus datang untuk menunjukkan bahwa Allah yang sempurna dan kudus mendengar seruan minta tolong dari seorang janda miskin yang mempunyai dua peser, seorang perwira Romawi, seorang pemungut cukai yang bersusah hati, dan si penjahat di kayu salib. Kita cukup memanggil-Nya “Abba” atau, jika itu pun tidak bisa, kita cukup berkeluh kesah kepada-Nya. Allah kini begitu dekat dengan kita. —Philip Yancey
Abba, Bapa, aku rindu mengenal-Mu dan dikenal oleh-Mu. Aku tak selalu tahu bagaimana mengungkapkan pikiranku dengan kata-kata. Aku bersyukur Engkau tahu isi hatiku, tetapi masih banyak lagi yang ingin kuungkapkan kepada-Mu.
Doa merupakan suatu percakapan yang akrab dengan Allah Bapa kita.

Tuesday, March 10, 2015

Pertemuan Tak Terduga

TUHAN kiranya membalas perbuatanmu itu, dan kepadamu kiranya dikaruniakan upahmu sepenuhnya oleh TUHAN, Allah Israel. —Rut 2:12
Pertemuan Tak Terduga
Drew, seorang anak muda yang penuh semangat, baru pertama kalinya memimpin pujian di sebuah gereja besar. Lois, anggota jemaat yang sudah lama beribadah di sana, ingin memberi Drew semangat. Namun Lois berpikir, tentu sulit untuk maju ke depan dan menemui Drew sebelum ia pergi. Lois lalu melihat bahwa ia dapat menyusup di antara kerumunan orang, dan ia pun berhasil menemui Drew dan berkata, “Aku senang melihat semangatmu dalam beribadah. Teruslah melayani-Nya!”
Saat Lois berjalan keluar, tiba-tiba ia bertemu dengan Sharon, teman yang sudah berbulan-bulan tidak dilihatnya. Setelah berbincang-bincang sesaat, Sharon berkata kepadanya, “Terima kasih atas apa yang telah kau lakukan untuk Tuhan. Teruslah melayani- Nya!” Karena Lois telah berupaya keras untuk memberikan semangat kepada Drew, tepatlah jika saat itu ia juga menerima dorongan semangat yang tak terduga.
Setelah Rut dan ibu mertuanya, Naomi, meninggalkan Moab dan kembali ke Israel, mereka menerima sebuah berkat yang tak terduga. Karena keduanya telah menjanda dan tidak ada seorang pun yang memelihara mereka, Rut pun pergi memungut bulir-bulir jelai di ladang (Rut 2:2-3). Ternyata ladang tersebut adalah milik Boas, kaum kerabat Naomi. Ia memperhatikan Rut, menyediakan kebutuhannya, dan kemudian menjadi suaminya (2:20; 4:13). Rut menerima berkat karena ia berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat (2:11-23).
Adakalanya Allah menggunakan pertemuan yang tak terduga untuk memberikan berkat-berkat yang tak terduga. —Anne Cetas
Ya Tuhan, tolong aku untuk menguatkan sesamaku dengan tanpa pamrih dan tidak setengah-setengah. Aku rindu dapat membantu orang lain agar akhirnya ia mengenal-Mu. Kiranya aku dapat menjadi perpanjangan tangan dan kaki-Mu.
Ketika ada kesempatan untuk menolong orang lain, lakukanlah dengan sepenuh hati, jangan setengah-setengah.

Monday, March 9, 2015

Pintu Kucing

Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput. —Yohanes 10:9
Pintu Kucing
Saya dan Jay, suami saya, memiliki anggota keluarga baru—seekor kucing berumur 2 bulan, bernama Jasper. Untuk menjaga keamanan anak kucing itu, kami harus meninggalkan beberapa kebiasaan lama, seperti membiarkan pintu terbuka. Akan tetapi, karena kucing gemar memanjat, kami masih menemui satu masalah. Anak kucing sudah tahu bahwa dunia terlihat lebih baik jika dilihat dari ketinggian. Setiap kali Jasper berada di lantai bawah bersama saya, ia berkeras naik ke lantai atas. Saya pun harus menyiasati cara untuk membatasi Jasper dan menjaganya di tempat yang aman di dekat saya. Pintu yang berguna untuk melindungi anak-anak dan anjing tidak berlaku bagi kucing.
Dilema pintu kucing ini mengingatkan saya akan sebuah kiasan yang digunakan Yesus untuk menggambarkan diri-Nya: “Akulah pintu untuk domba” (Yoh. 10:7 BIS). Kandang domba di Timur Tengah merupakan suatu tempat tertutup dengan sebuah celah sebagai pintu keluar-masuk bagi domba. Di malam hari, saat domba aman di dalam kandang, gembala berbaring di celah tersebut sehingga baik domba maupun pemangsa tidak akan dapat melewati dirinya.
Meskipun ingin menjaga Jasper, saya tidak mau menjadi pintu baginya, karena saya punya kegiatan lain. Namun, itulah karya Yesus Kristus bagi kita. Dia menempatkan diri-Nya di antara kita dan musuh jiwa kita, si Iblis, demi melindungi kita dari ancaman. —Julie Ackerman Link
Terima kasih, Yesus, karena Engkaulah pintuku. Melalui Engkau, aku memiliki keselamatan, dan oleh kuasa-Mu, aku aman dari ancaman bagi jiwaku. Lingkupilah aku dengan perlindungan-Mu. Aku percaya kepada-Mu.
Semakin dekat kita dengan sang Gembala, semakin menjauhlah serigala.

Sunday, March 8, 2015

Mengejar Kekudusan

Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan. —Ibrani 12:14
Mengejar Kekudusan
Kita sering melihat jajak pendapat yang menanyakan apakah seseorang merasa bahagia, puas dengan pekerjaan mereka, atau menikmati hidup mereka. Akan tetapi, saya tidak pernah melihat ada jajak pendapat yang menanyakan, “Kuduskah kamu?” Bagaimana kamu akan menjawab pertanyaan itu?
Sebuah kamus Alkitab menjabarkan definisi kekudusan sebagai “dikhususkan demi Allah dan mempunyai perilaku yang sesuai dengan kekhususan itu.” Penulis Frederick Buechner berkata bahwa saat menulis tentang sifat seseorang, “tidak ada yang lebih sulit daripada menjelaskan tentang kekudusan.” Tambahnya, “kekudusan sama sekali bukanlah kualitas manusia, seperti kebajikan. Kekudusan . . . bukan hasil perbuatan manusia, melainkan hasil karya Allah di dalam diri mereka.”
Roma 6 menyajikan karunia menakjubkan yang Allah berikan kepada kita oleh iman di dalam Kristus, “Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (ay.4). Mengejar kekudusan dilakukan hari demi hari ketika kita menyerahkan diri dalam ketaatan kepada Tuhan dan menjauhkan diri dari hidup lama yang ingin memuaskan diri sendiri. “Sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal” (ay.22).
Semakin kuduskah kamu? Oleh kasih karunia dan kuasa Allah, kita dapat menjawab dengan penuh keyakinan, “Ya! Aku bertambah kudus hari demi hari.” —David McCasland
Apa sajakah sifat-sifat Yesus? Bagaimana aku dapat bekerja sama dengan-Nya untuk menjadikan sifat-sifat tersebut semakin nyata dalam hidupku?
Pilihan untuk mengejar kekudusan merupakan masalah hidup atau mati.

Saturday, March 7, 2015

Kekuatan untuk Bertahan Hidup

Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit. —2 Korintus 4:8
Kekuatan untuk Bertahan Hidup
Ketika saya masih anak-anak, saya mempunyai sebuah balon tinju yang terbuat dari plastik. Balon bersosok boneka setinggi saya itu menampilkan wajah yang tersenyum. Saya tertantang untuk meninju boneka itu sekeras mungkin sampai boneka itu roboh. Namun sekeras apa pun pukulan saya, boneka itu akan selalu berdiri tegak kembali. Rahasianya? Ada pemberat berbahan timah di bagian dasar yang membuat boneka itu selalu tegak. Kapal layar beroperasi dengan prinsip yang sama. Pemberat-pemberat timah pada lambung kapal menjaga kapal tersebut agar tetap seimbang dan tegak ketika angin kencang melanda.
Demikian pula halnya dengan kehidupan orang yang percaya kepada Kristus. Kekuatan kita untuk bertahan di tengah terjangan badai hidup tidak terletak dalam diri kita, melainkan berasal dari Allah yang berdiam di dalam diri kita. Kita tidak terbebas dari pukulan-pukulan yang dilontarkan oleh kehidupan ini maupun dari badai yang sudah pasti mengancam stabilitas hidup kita. Namun, dengan keyakinan penuh dalam kuasa-Nya untuk menopang kita, kita dapat berkata bersama Paulus, “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa” (2Kor. 4:8-9).
Bersama dengan banyak pribadi yang telah mengalami lika-liku kehidupan yang penuh kesakitan dan penderitaan, marilah dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, kita menghayati kebenaran bahwa cukuplah kasih karunia Allah, dan dalam kelemahan kitalah, kuasa-Nya sempurna (12:9). Itulah yang akan menopang jiwamu. —Joe Stowell
Tuhan, beriku kasih karunia untuk mempercayai kuasa-Mu agar akhirnya aku bertahan menghadapi tantangan hidup. Kiranya oleh iman kepada-Mu, aku sanggup mengatasinya oleh kuasa-Mu yang menguatkanku.
Kuasa Allah di dalam dirimu jauh lebih besar daripada tekanan yang datang dari masalah-masalah di sekelilingmu.

Friday, March 6, 2015

Menyibak Misteri

Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. —Roma 5:8
Menyibak Misteri
Salah satu daya tarik wisata yang paling populer di Inggris ialah pilar-pilar batu raksasa Stonehenge. Pilar-pilar granit raksasa itu juga merupakan sumber misteri yang besar. Setiap tahun, orang-orang berkunjung ke Stonehenge dengan pertanyaan: Mengapa bangunan raksasa ini dibangun? Siapa yang menyelesaikan karya agung yang mengagumkan ini? Mungkin pertanyaan terbesarnya adalah bagaimana mereka membangunnya. Namun, para pengunjung tidak memperoleh jawaban apa pun dari batu-batu yang membisu itu. Semuanya tetap misterius.
Kitab Suci berbicara tentang misteri yang lebih agung—fakta bahwa Allah datang untuk tinggal di antara kita sebagai manusia. Paulus menulis di 1 Timotius 3:16, “Sesungguhnya agunglah rahasia ibadah kita: ‘Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia, dibenarkan dalam Roh; yang menampakkan diri-Nya kepada malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah; yang dipercayai di dalam dunia, diangkat dalam kemuliaan.’”
Penjabaran singkat tentang kehidupan Kristus itu—rahasia ibadah kita—sangatlah luar biasa. Namun, yang menggerakkan Sang Pencipta untuk datang, tinggal, dan mati bagi ciptaan-Nya, bukanlah sebuah misteri. “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rm. 5:8). Kasih Allah yang besar bagi kita adalah dasar rahasia ibadah kita, dan salib menjadi bukti nyata kasih itu bagi semua orang. —Bill Crowder
Tuhan, kami mungkin tak memahami semua yang telah Engkau lakukan bagi kami atau cara-Mu melakukannya. Namun, kami tahu Engkau mengasihi kami dengan memberikan Yesus untuk mati bagi kami. Itu sudah cukup bagi kami.
Penjelmaan Kristus menjadi manusia mungkin merupakan suatu misteri, tetapi tidak demikian dengan kasih Allah.

Thursday, March 5, 2015

Dimulai dari Saya

Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. —Filipi 2:4
Dimulai dari Saya
Saya menyebutnya Catatan Mell—catatan-catatan kecil yang dibuat putri saya, Melissa, di dalam Alkitab miliknya untuk membantunya menerapkan ayat-ayat Alkitab dalam hidupnya. Misalnya di Matius 7, Melissa menggambar sebuah kotak di sekeliling ayat 1 dan 2 yang berbicara tentang tidak menghakimi orang lain karena saat kamu menghakimi, “ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” Di samping kotak itu, Mell menuliskan: “Lihat apa yang kau sendiri lakukan sebelum kau melihat orang lain.”
Melissa adalah seorang remaja yang hidup untuk sesamanya. Ia menerapkan Filipi 2:4 dalam hidupnya. Matt adalah teman Melissa di kelas 11 yang mengenalnya sejak batita di gereja hingga peristiwa kecelakaan mobil yang merenggut nyawa Melissa. Dalam kebaktian untuk mengenang Melissa, Matt berkata, “Seingatku, tidak pernah aku melihatmu tanpa senyum atau tidak sedang melakukan sesuatu yang membawa keceriaan pada orang lain.” Seorang teman lain bernama Tara berkata, “Terima kasih karena kamu telah menjadi temanku, bahkan saat tak seorang pun bersikap sebaik dan seceria dirimu.”
Di zaman ketika penghakiman begitu marak seperti ini, ada baiknya untuk mengingat bahwa kasih bermula dari kita. Ingatlah perkataan Paulus, “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1Kor. 13:13).
Besar sekali pengaruh yang kita berikan, apabila ketika melihat orang lain, kita berkata, “Kasih bermula dariku.” Bukankah itu menjadi cerminan yang luar biasa akan kasih Allah kepada kita? —Dave Branon
Tuhan, terima kasih untuk kasih-Mu yang besar bagi kami. Engkau mengutus Anak-Mu untuk mati dan dibangkitkan agar kami dapat bersama-Mu selamanya. Tolong kami untuk mengasihi orang lain. Tuhan, kami ingin menjadi seperti-Mu.
Menghayati kasih Allah bagi kita menjadi kunci untuk mengasihi sesama.

Wednesday, March 4, 2015

Semut Pencari Rumah

TUHAN, Engkaulah tempat perteduhan kami turun-temurun. —Mazmur 90:1
Semut Pencari Rumah
Menurut para peneliti dari Universitas Bristol, semut-semut batu asal Eropa mungkin lebih maju daripada kita dalam mengikuti perkembangan pasar perumahan. Para peneliti menemukan bahwa koloni-koloni semut menggunakan semut-semut pencari untuk terus-menerus mengawasi kondisi kehidupan koloninya. Lewat kemampuan sosial yang begitu rumit hingga membuat takjub para ilmuwan, semut-semut batu itu bergotong-royong dalam mencari ruang, kegelapan, dan perlindungan yang pas untuk menemukan sarang yang terbaik bagi ratu semut dan larva-larvanya.
Pada zaman Musa, keluarga orang Israel sedang mencari tempat tinggal yang baru. Tanah perbudakan di Mesir sangatlah kejam dan padang gurun Sinai bukanlah tempat yang baik untuk didiami. Namun, ada masalah. Menurut para pengintai Israel, negeri yang akan diberikan Allah bagi mereka itu telah diduduki oleh kota-kota berkubu dan orang-orang raksasa yang membuat para pengintai merasa bagaikan belalang (Bil. 13:28,33).
Terkadang, mungkin ada gunanya membandingkan diri kita dengan serangga. Semut-semut batu yang bertugas mencari sarang mengikuti petunjuk Pencipta mereka secara naluriah. Akan tetapi, sering kali kita membiarkan ketakutan menghalangi kita untuk mengikuti dan mempercayai Allah. Dengan bersandar pada jaminan penyertaan dan kasih-Nya, kita dapat berkata, “Tuhan, Engkaulah tempat perteduhan kami turun-temurun.” —Mart DeHaan
Bapa di surga, tolong kami untuk melihat bahwa bagi kami pada saat ini, tidak ada kediaman yang lebih baik daripada hadirat-Mu dan kasih-Mu. Tolong kami untuk berdiam dengan nyaman di tempat tinggal kami di dalam Engkau.
Dengan berdiam di dalam Allah, kita berada di tempat tinggal yang baik.

Tuesday, March 3, 2015

Segala Sesuatu Ada Masanya

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. —Pengkhotbah 3:1
Segala Sesuatu Ada Masanya
Kamu mungkin pernah kesulitan untuk menolak tanggung jawab baru yang ditawarkan kepadamu, terutama jika hal itu bertujuan baik dan langsung memberi manfaat kepada orang lain. Kita mungkin memiliki alasan kuat untuk memilih-milih pekerjaan mana yang kita prioritaskan. Namun terkadang, setelah menolak untuk terlibat lebih jauh, kita bisa jadi merasa bersalah atau berpikir bahwa kita telah undur dalam perjalanan iman kita.
Namun menurut Pengkhotbah 3:1-8, berhikmat berarti menyadari bahwa segala sesuatu di hidup ini memiliki masanya sendiri, baik dalam aktivitas manusia maupun di alam. “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya” (3:1).
Mungkin kamu akan menikah atau sedang menantikan anakmu yang pertama. Mungkin kamu baru lulus sekolah dan memasuki dunia kerja, atau baru saja pensiun dari suatu pekerjaan penuh waktu. Dalam perpindahan dari satu masa ke masa berikutnya, prioritas kita pun berubah. Kita mungkin perlu mengesampingkan apa yang pernah kita lakukan di masa lalu dan menyalurkan energi kita untuk hal-hal lain.
Ketika hidup membawa perubahan dalam keadaan dan kewajiban kita, kita harus secara bertanggung jawab dan bijaksana membedakan komitmen apa saja yang akan kita ambil, dengan berusaha dalam apa pun yang kita lakukan untuk melakukan “semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1Kor. 10:31). Amsal 3:6 menjanjikan bahwa ketika kita mengakui Dia dalam segala sesuatu yang kita lakukan, Dia akan membimbing kita ke jalan yang harus kita tempuh. —Poh Fang Chia
Bapa Surgawi, beriku hikmat-Mu untuk mengetahui prioritas yang perlu kuambil dalam masa hidupku saat ini. Bimbingku dalam segala yang kulakukan. Kerinduanku hanyalah untuk menghormati-Mu melalui pilihan dan jalan hidupku.
Pengabdian hidup kepada Kristus merupakan panggilan yang menantang kita hari demi hari.

Monday, March 2, 2015

Senjata Mematikan

Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: . . . mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah. —Yesaya 40:31
Senjata Mematikan
Petinju legendaris Muhammad Ali memakai sejumlah taktik di atas ring untuk mengalahkan lawan; salah satunya dengan ejekan. Dalam pertarungan melawan George Foreman di tahun 1974, Ali mencecar Foreman, “Ayo, pukul lebih keras! Tunjukkan padaku, George. Tinjumu tak berasa. Kupikir kau lebih kejam dari itu.” Foreman pun bertinju dengan marah, sehingga tenaganya terbuang dan kepercayaan dirinya melemah.
Itu adalah taktik lama. Dengan mengejek upaya Nehemia dalam membangun kembali tembok Yerusalem yang runtuh itu sebagai membangun taman bermain bagi anjing hutan (Neh. 4:3), Tobia mencoba melemahkan para pekerja dengan kata-kata beracun yang mematahkan semangat. Goliat berusaha melemahkan Daud dengan menghina senjata sederhananya, yaitu umban dan batu (1Sam. 17:41-44).
Sebuah perkataan yang mematahkan semangat bisa menjadi sebuah senjata yang mematikan. Nehemia tidak mau tunduk pada ejekan Tobia, sama seperti Daud menolak ejekan keji dari Goliat. Dengan memusatkan perhatian kepada Allah dan pertolongan-Nya, dan bukan pada keadaan yang mematahkan semangat, baik Daud maupun Nehemia berhasil mencapai kemenangan.
Ejekan dapat datang dari siapa saja, termasuk dari orang yang dekat dengan kita. Menanggapi mereka dengan negatif hanya akan menguras energi kita. Namun, Allah menguatkan kita melalui janji-Nya: Dia tidak akan meninggalkan kita (Mzm. 9:11; Ibr. 13:5) dan Dia mengundang kita untuk bergantung pada pertolongan-Nya (Ibr. 4:16). —Lawrence Darmani
Tuhan, betapa mudahnya aku membiarkan kata-kata yang mematahkan semangat menguras energi dan sukacitaku. Tolong aku untuk menolak apa pun yang mematahkan semangat dalam hidupku dan mempercayakan penghiburan dan kekuatan kepada-Mu.
Jika kamu berada dalam sebuah terowongan gelap yang memudarkan semangat, teruslah berjalan menuju ke arah Terang.

Sunday, March 1, 2015

Sadari Harganya

Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. —1 Korintus 6:20
Sadari Harganya
Baru-baru ini kami memberikan sepasang sepatu bot baru untuk putra kami yang berumur 2 tahun. Ia sangat senang hingga ia tidak mau melepaskan sepatunya itu sampai tiba waktunya tidur. Namun keesokan harinya, ia sudah lupa sama sekali pada sepatu bot itu dan kembali memakai sepatu kets lamanya. Suami saya berkata, “Andai saja ia tahu berapa harga sepatu bot itu.”
Harga sepatu bot itu memang mahal, tetapi seorang anak kecil tidak paham soal jam kerja, gaji, dan pajak. Seorang anak mau menerima hadiah dengan senang hati, tetapi kita tahu bahwa anak itu tidak dapat diharapkan untuk sepenuhnya menghargai pengorbanan orangtuanya dalam membelikannya barang baru.
Saya sering bertingkah seperti anak kecil. Dengan senang hati, saya menerima pemberian-pemberian Allah yang diberikan lewat kasih-Nya, tetapi apakah saya bersyukur untuk itu semua? Apakah saya menyadari harga yang telah dibayar agar saya bisa menjalani hidup yang sejati?
Harganya begitu mahal—“bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas.” Seperti yang kita baca dalam kitab 1 Petrus, hal itu dibayar dengan “darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (1:18-19). Yesus memberikan nyawa-Nya, suatu harga tebusan yang mahal, demi menjadikan kita sebagai anggota keluarga-Nya. Allah lalu membangkitkan Dia dari antara orang mati (ay.21).
Ketika kita memahami mahalnya harga yang dibayar untuk keselamatan kita, kita belajar untuk benar-benar bersyukur. —Keila Ochoa
Tuhan, tolong aku untuk memahami dan menghayati apa artinya bagi-Mu, yang Mahakudus, untuk menanggung dosaku. Ingatkan aku untuk bersyukur kepada-Mu atas keselamatan dan semua hal yang Kau pakai untuk menunjukkan kasih-Mu kepadaku di sepanjang hari ini.
Keselamatan sungguh tak ternilai, tetapi sama sekali cuma-cuma.
 

Total Pageviews

Translate