Pages - Menu

Friday, July 31, 2020

Cahaya yang Bersinar Terang

Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga. —Matius 5:16

Cahaya yang Bersinar Terang

Saya pernah merasa cemas sebelum mulai mengajar kelas doa selama lima minggu di sebuah gereja lokal. Apakah para murid akan menikmati kelasnya? Apakah mereka akan menyukaiku? Kekhawatiran yang salah fokus itu membuat saya terlalu sibuk mempersiapkan rencana pelajaran, materi presentasi, dan bahan bacaan di kelas. Namun, seminggu sebelum jadwal, saya belum mengajak banyak orang untuk menghadiri kelas tersebut.

Namun demikian, saat berdoa, saya diingatkan bahwa kelas tersebut adalah bentuk pelayanan yang berfokus kepada Allah. Karena Roh Kudus akan memakai kelas kami untuk mengarahkan pandangan orang kepada Bapa Surgawi, saya dapat mengesampingkan kegugupan saya untuk berbicara di depan umum. Ketika Tuhan Yesus mengajar murid-murid-Nya dalam Khotbah di Bukit, Dia berfirman, “Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu” (Mat. 5:14-15).

Membaca perkataan Yesus itu, saya pun memutuskan untuk mengunggah undangan menghadiri kelas tersebut ke media sosial. Tidak lama kemudian, orang-orang mulai mendaftarkan diri sambil mengungkapkan rasa syukur dan semangat mereka. Melihat reaksi mereka, saya kembali terpikir akan pengajaran Yesus: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (ay.16).

Dengan perspektif itu, saya bisa mengajar dengan sukacita. Saya berdoa agar perbuatan sederhana saya menjadi mercusuar yang mendorong orang lain untuk ikut memancarkan terang mereka bagi Allah.—Patricia Raybon

WAWASAN
Meskipun konsep terang yang bercahaya di tengah kegelapan merupakan salah satu tema utama tulisan-tulisan Yohanes, hal itu juga memiliki tempat strategis dalam Injil Matius. Matius bercerita tentang awal mula pelayanan Yesus sekembalinya Dia dari pencobaan oleh Iblis di padang gurun, dengan mengutip kata-kata Nabi Yesaya: “Bangsa yang diam dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang” (Matius 4:16; Yesaya 9:2). Kata-kata inilah yang menjadi konteks dari perintah-Nya pada ayat Kitab Suci hari ini yang mendorong kita menjadi terang bagi sesama. —Bill Crowder

Kapan kamu pernah merasa cemas atau khawatir berlebihan saat melakukan pelayananmu bagi Allah? Lewat cara apa perbuatan dan pemberianmu dapat menolong orang lain?

Tuhan Yesus, mampukanlah aku memancarkan terang yang Kauberikan, supaya orang lain dapat melihat dan memuliakan-Mu.

Thursday, July 30, 2020

Jamahan yang Dibutuhkan

Ia meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan seketika itu juga berdirilah perempuan itu, dan memuliakan Allah. —Lukas 13:13

Jamahan yang Dibutuhkan

Tidak ada yang kaget ketika Bunda Teresa menerima hadiah Nobel Perdamaian dengan mengabdikannya “kepada mereka yang kelaparan, telanjang, tidak punya rumah, tidak bisa melihat, menderita kusta, semua yang merasa tidak diinginkan, tidak dikasihi, tidak dipedulikan di tengah masyarakat.” Merekalah yang dilayani Bunda Teresa di sepanjang hidupnya.

Tuhan Yesus memberikan teladan dalam mempedulikan dan mengasihi orang-orang yang terpinggirkan, bagaimanapun keadaan mereka. Tidak seperti pemimpin rumah ibadat yang lebih mementingkan hukum Sabat ketimbang orang sakit (Luk. 13:14), Yesus tergerak oleh belas kasihan ketika melihat seorang perempuan yang sakit di rumah ibadat. Yesus melihatnya lebih daripada seorang yang sakit fisik melainkan sebagai makhluk ciptaan Allah yang membutuhkan kelepasan. Dia memanggil perempuan itu dan mengatakan kepada-Nya bahwa ia telah sembuh. Dia lalu “meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan seketika itu juga berdirilah perempuan itu, dan memuliakan Allah” (ay.13). Jamahan Yesus membuat si kepala rumah ibadat gusar karena hari itu Sabat. Yesus, Tuhan atas hari Sabat (Luk. 6:5), dengan penuh belas kasihan memilih menyembuhkan perempuan itu—pribadi yang telah digelisahkan dan dipermalukan selama hampir dua puluh tahun.

Saya bertanya-tanya, berapa sering kita melihat seseorang membutuhkan pertolongan tetapi menganggapnya tidak layak menerima uluran tangan kita. Barangkali kita sendiri pernah ditolak orang karena tidak memenuhi standar mereka. Kiranya kita tidak menjadi sama dengan si pemimpin agama yang lebih mementingkan aturan daripada sesama manusia. Sebaliknya, marilah kita mengikuti teladan Yesus dan memperlakukan sesama kita dengan penuh rahmat, belas kasihan, dan penghormatan.—Estera Pirosca Escobar

WAWASAN
Hari Sabat merupakan topik yang sering menjadi perdebatan antara Yesus dan para pemimpin agama Yahudi. Sebabnya bisa bermacam-macam, baik Yesus menyembuhkan orang di hari Sabat (Lukas 6:6-11; 13:10-17) maupun murid-murid-Nya memetik dan memakan bulir gandum di hari tersebut (Matius 12:1-14). Yesus sering menentang orang Farisi mengenai hari Sabat dengan memberikan wawasan baru tentang bagaimana seharusnya seseorang memahami hari itu.
Yesus menyoroti kemunafikan kaum Farisi dalam perikop hari ini tentang penyembuhan seorang perempuan yang bungkuk punggungnya. Mereka memperlakukan hewan peliharaan mereka lebih baik daripada orang miskin di sekitar mereka. Secara konsisten Yesus lebih memilih mengukuhkan harga diri orang yang Dia layani daripada menegakkan hukum-hukum buatan manusia yang mungkin dilanggar-Nya. Dengan demikian, Yesus menunjukkan bahwa Dia memang Tuhan atas hari Sabat. —J. R. Hudberg

Kapan kamu pernah mengalami pemulihan dan jamahan Allah? Siapa yang membutuhkan belas kasihanmu minggu ini?

Tuhan Yesus, terima kasih untuk kasih-Mu yang tak berkesudahan dan belas kasihan-Mu yang luar biasa bagi seluruh umat manusia, termasuk mereka yang terbelenggu oleh penyakit dan kesulitan.

Wednesday, July 29, 2020

Kasih yang Tidak Lazim

Mefiboset makan sehidangan dengan Daud sebagai salah seorang anak raja. —2 Samuel 9:11
Kasih yang Tidak Lazim
Tom bekerja di sebuah biro hukum yang memberikan konsultasi bagi perusahaan milik Bob. Tom dan Bob lalu berteman, tetapi kemudian Tom ketahuan menggelapkan uang ribuan dolar dari perusahaan Bob. Bob marah dan sakit hati, tetapi ia menerima nasihat bijak dari seorang Kristen yang menjabat sebagai wakil presiden perusahaannya. Wakilnya itu melihat bahwa Tom benar-benar menyesal dan sangat malu, maka ia menasihati Bob untuk mencabut gugatan dan justru mempekerjakan Tom. “Beri gaji yang cukup supaya ia bisa mengganti uang yang dicurinya. Engkau akan mendapat karyawan yang setia karena merasa berutang budi kepadamu.” Bob setuju, dan Tom pun menjadi karyawan yang setia dan sangat berterima kasih kepadanya.
Mefiboset, anak Yonatan dan cucu Raja Saul, berada dalam posisi sulit ketika Daud menjadi raja. Kebanyakan raja akan membunuh keturunan raja sebelumnya, tetapi Daud mengasihi Yonatan, dan memperlakukan putranya yang masih hidup sebagai anaknya sendiri (baca 2 Sam. 9:1-13). Kemurahan hati membuatnya memiliki teman yang setia seumur hidup. Mefiboset takjub karena walaupun ia “patut dihukum mati oleh tuanku raja, tuanku telah mengangkat hambamu ini” (19:28). Ia tetap setia, bahkan ketika Absalom, putra Daud, mengusir Daud dari Yerusalem (2 Sam. 16:1-4; 19:24-30).
Apakah kamu menginginkan teman yang setia seumur hidup? Untuk mendapatkan teman yang luar biasa, kamu perlu melakukan yang luar biasa pula. Ketika kamu mendapat pilihan untuk menghukum, berilah pengampunan. Mereka tetap perlu bertanggung jawab, tetapi berikanlah kesempatan kepada mereka yang telah bersalah itu untuk memperbaiki diri. Dengan demikian, kamu akan memperoleh teman yang setia dan sangat berterima kasih kepadamu. Tunjukkanlah kasih dan pengampunan yang tidak lazim.—Mike Wittmer
WAWASAN
Karena Saul menjadi raja sebelum Daud, semua keturunan Saul dapat menjadi ancaman bagi kedudukan Daud sebagai raja. Selama hidupnya, Saul menganggap Daud sebagai musuhnya (1 Samuel 18:29; 19:17) dan mencoba membunuhnya (lihat pasal 19-23). Meskipun demikian Daud tidak mau mencelakakan Saul karena Allah pernah mengurapi Saul sebagai raja (lihat pasal 24). Akan tetapi, setelah Saul mati, ketegangan dengan anak-anak Saul masih terus berlangsung (2 Samuel 2:8-9; 3:1).
Karena tidak mengherankan seandainya Daud berniat memusnahkan keluarga Saul, Daud harus meyakinkan Mefiboset tentang kasihnya (2 Samuel 9:7). Meskipun ada ketegangan, ketulusan hati Daud terungkap saat ia menunjukkan kebaikan kepada salah seorang anggota keluarga Saul, yang ia lakukan demi sahabatnya, Yonatan (ay.1). —Julie Schwab
Siapakah orang yang telah bersalah kepadamu? Bagaimana caramu meminta mereka bertanggung jawab, sembari tetap mengampuni mereka?
Ya Bapa, aku telah menerima kasih karunia yang luar biasa dari-Mu. Tolonglah aku menunjukkan kasih itu kepada sesamaku, terutama kepada mereka yang benar-benar menyesali perbuatan mereka.

Tuesday, July 28, 2020

Mempercayai Allah di Masa Sulit

Aku tahu kepada siapa aku percaya. —2 Timotius 1:12
Mempercayai Allah di Masa Sulit
Ketika John mengetahui bahwa ia mengidap kanker stadium akhir, ia dan Carol, istrinya, merasa bahwa Allah memanggil mereka untuk membagikan kisah perjuangan mereka dengan penyakit itu di dunia maya. Karena percaya bahwa Allah akan bekerja melalui keterbukaan itu, mereka pun mengunggah momen-momen sukacita maupun kesedihan dan penderitaan yang mereka alami selama dua tahun.
Ketika akhirnya Carol memberi kabar bahwa suaminya telah meninggal dunia, ratusan orang merespons dan mengucapkan terima kasih atas keterbukaan mereka. Ada yang bersyukur membaca tentang sudut pandang iman Kristen dalam menyambut ajal karena “toh kita semua pasti meninggal” suatu saat nanti. Ada pula yang mengatakan bahwa meski tidak pernah berjumpa secara langsung, ia sangat dikuatkan oleh pasangan itu lewat kesaksian mereka dalam mempercayai Allah.
Meski adakalanya John merasakan sakit yang luar biasa, ia dan Carol menceritakan kisah mereka agar dapat menunjukkan kepada banyak orang bagaimana Allah telah menopang mereka. Mereka tahu kesaksian mereka akan berbuah bagi Allah, seperti yang dikatakan Paulus saat ia menderita: “Aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan” (2 Tim. 1:12).
Allah bahkan dapat memakai kematian seseorang yang kita kasihi untuk menguatkan iman kita (dan iman orang lain) kepada-Nya, melalui kasih karunia yang kita terima dalam Yesus Kristus (ay.9). Bila kamu sedang mengalami penderitaan dan kesulitan yang berat, ketahuilah bahwa Allah sanggup melimpahkan penghiburan dan damai sejahtera bagimu.—Amy Boucher Pye
WAWASAN
Timotius adalah seorang gembala muda yang ditugaskan Paulus untuk memimpin gereja di Efesus. Paulus mendorong Timotius agar tidak menjadikan usia mudanya sebagai halangan untuk melayani (1 Timotius 4:12). Walaupun Paulus tidak malu menjadi tahanan demi Kristus, tampaknya Timotius merasa agak takut dan malu karena pembimbingnya ada di penjara (2 Timotius 1:8,12). Alasan inilah yang mendorong Paulus mengajak Timotius untuk turut menderita bersamanya bagi Injil, sebab hanya oleh kekuatan Allah mereka diizinkan untuk menderita demi Kristus (ay.8). J. R. Hudberg
Bagaimana pengalamanmu menerima sukacita dari Allah, sekalipun di tengah kesedihan yang mendalam? Bagaimana kamu memahami hal tersebut? Bagaimana kamu dapat berbagi dengan orang lain tentang hikmah yang telah kamu terima?
Bapa Surgawi, kobarkanlah karunia iman di dalam diriku, supaya dengan penuh kasih dan kuasa, aku dapat membagikan kesaksianku tentang karya-Mu dalam hidupku.

Monday, July 27, 2020

Mengelola Dunia Milik Allah

Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. —Kejadian 2:15
Mengelola Dunia Milik Allah
“Mengapa Ayah harus berangkat kerja?” Pertanyaan itu diutarakan anak perempuan saya karena ia ingin terus bermain dengan saya. Saya pun lebih senang tidak pergi agar bisa menghabiskan waktu bersamanya, tetapi banyak pekerjaan di kantor yang membutuhkan perhatian saya. Namun, itu pertanyaan yang bagus. Untuk apa kita bekerja? Apakah hanya untuk memenuhi kebutuhan kita dan orang-orang yang kita cintai? Bagaimana dengan pekerjaan yang tidak dibayar—mengapa kita melakukannya?
Kitab Kejadian pasal 2 mengungkapkan bahwa Allah menempatkan manusia pertama di taman Eden untuk “mengusahakan dan memelihara taman itu” (ay.15). Ayah mertua saya seorang petani, dan ia sering berkata bahwa ia bertani karena menyukai tanah pertaniannya dan hewan yang diternakkannya. Itu jawaban yang indah, tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak menyukai pekerjaannya? Mengapa Allah menempatkan kita di tempat tertentu dengan tugas tertentu?
Jawabannya ada di Kejadian pasal 1. Kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah untuk menjaga dan mengelola dunia yang diciptakan-Nya dengan baik (ay.26). Hikayat paganisme tentang asal mula dunia menceritakan bahwa “dewa-dewa” menciptakan manusia untuk menjadi budak mereka. Namun, kitab Kejadian menyatakan bahwa satu-satunya Allah yang sejati menciptakan manusia untuk menjadi wakil-wakil-Nya—dipercayakan Allah untuk mengurus ciptaan-Nya. Kiranya kita dapat mencerminkan kekuasaan Allah yang bijaksana dan penuh kasih kepada dunia. Bekerja merupakan panggilan untuk mengelola dunia milik Allah untuk kemuliaan-Nya.—Glenn Packiam
WAWASAN
Pada empat hari pertama dari penciptaan, Allah menciptakan semua prasarana fisik—alam semesta dan bumi—langit, darat, dan laut (Kejadian 1:1-19). Pada hari kelima dan keenam, Allah menciptakan semua makhluk hidup—burung-burung, ikan, dan semua binatang di darat untuk mengisi ketiga alam tersebut (ay.20-25). Namun, puncak proses penciptaan adalah pada hari keenam ketika Allah menciptakan manusia. Manusia diberi keistimewaan, tujuan, dan tempat khusus dalam rencana Allah, satu-satunya makhluk yang diciptakan “menurut gambar dan rupa [Allah]” (ay.26). Hanya manusia yang memiliki kepribadian, kesadaran diri, kehendak, akal budi, pengetahuan, emosi, kreativitas, moralitas, dan spiritualitas, sama seperti Allah. Keistimewaan manusia di antara ciptaan lain itulah yang mendorong Ayub bertanya kepada Allah, “Apakah gerangan manusia, sehingga dia Kauanggap agung, dan Kauperhatikan” (Ayub 7:17; lihat Mazmur 8:5-7; 144:3). —K.T. Sim
Pekerjaan apa yang diberikan Tuhan kepadamu? Bagaimana kamu bisa mengelola “ladang” itu dengan menatanya dan menghasilkan yang baik darinya oleh anugerah-Nya?
Ya Allah, terima kasih untuk kehormatan bisa turut bekerja bersama-Mu di ladang dunia milik-Mu. Tolonglah aku agar dapat mencerminkan kasih, hikmat, dan kuasa-Mu dalam hidupku dan di tempat kerjaku.

Sunday, July 26, 2020

Dikhianati

Bahkan sahabat karibku yang kupercayai, yang makan rotiku, telah mengangkat tumitnya terhadap aku. —Mazmur 41:10
Dikhianati
Pada tahun 2019 diselenggarakan berbagai pameran seni di seluruh dunia untuk memperingati lima ratus tahun wafatnya Leonardo da Vinci. Meski banyak gambar dan penemuan ilmiahnya dipamerkan, tetapi sebenarnya hanya ada lima lukisan yang diakui luas sebagai karya da Vinci yang telah tuntas, dan salah satunya lukisan The Last Supper (Perjamuan Terakhir).
Karya yang detail tersebut menggambarkan perjamuan terakhir Yesus bersama murid-murid-Nya, seperti yang dituliskan dalam Injil Yohanes. Lukisan ini memperlihatkan kebingungan para murid atas pernyataan Yesus, “Seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku” (Yoh. 13:21). Karena bingung, para murid bertanya-tanya siapa di antara mereka yang akan menjadi pengkhianat—sementara Yudas diam-diam menyelinap pergi untuk memberi tahu pihak berwenang tentang keberadaan guru dan rekan-rekannya.
Dikhianati. Kepedihan yang dirasakan Yesus karena pengkhianatan Yudas terlihat jelas dalam kata-kata-Nya, “Orang yang makan roti-Ku, telah mengangkat tumitnya terhadap Aku” (ay.18). Orang yang dekat dengan Yesus, bahkan makan bersama Dia, tega memanfaatkan kedekatan itu untuk mencelakakan Yesus.
Mungkin kita juga pernah dikhianati orang lain, bahkan teman. Bagaimana kita menghadapi kepedihan yang timbul? Kita bisa terhibur oleh Mazmur 41:10, yang dikutip Yesus untuk menunjukkan kehadiran pengkhianat-Nya dalam perjamuan bersama itu (Yoh. 13:18). Setelah Daud mencurahkan kesedihannya atas pengkhianatan teman dekatnya, ia memperoleh penghiburan lewat kasih dan kehadiran Allah yang akan menopang dan membuatnya berdiri tegak di hadapan Allah untuk selama-selamanya (Mzm. 41:12-13).
Ketika dikecewakan seseorang, biarlah kita terhibur saat menyadari bahwa kasih Allah yang menopang dan hadirat-Nya yang penuh kuasa akan menyertai serta menolong kita menanggung kepedihan yang mendalam.—LISA M. SAMRA
WAWASAN
Baik Mazmur 41:10 maupun Yohanes 13 merujuk kepada pengkhianatan terhadap Yesus. Dalam Yohanes, kita mengetahui bahwa yang mengkhianati itu adalah Yudas, satu dari dua belas murid Yesus (13:26-27). Nama Yudas adalah bentuk Yunani dari nama Ibrani, Yehuda. Yudas diyakini berasal dari Keriot, sebuah kota yang terletak di sebelah selatan Yerusalem, Yudea. Dengan demikian, ia satu-satunya murid yang tidak berasal dari Galilea. Yudas adalah bendahara (ay.29) dan “sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya” (12:6). Tampaknya pengkhianatan Yudas dengan menjual Yesus kepada pemimpin agama Yahudi seharga tiga puluh keping perak adalah bentuk kekecewaannya terhadap Yesus, yang ternyata tidak seperti anggapan umum tentang Mesias yang akan membebaskan bangsa Yahudi dari penjajah Romawi. —Alyson Kieda
Bagaimana pengalamanmu dikhianati oleh teman? Bagaimana jaminan kasih dan kehadiran Allah telah menguatkanmu?
Bapa Surgawi, aku bersyukur bahwa kasih-Mu lebih kuat daripada pengkhianatan apa pun. Ketika aku ditolak, tolonglah aku memperoleh kekuatan karena aku tahu Engkau selalu besertaku.

Saturday, July 25, 2020

Bertekunlah!

“Bukankah Aku mengutus engkau?” —Hakim-hakim 6:14
Bertekunlah!
Allah senang memakai orang-orang yang mungkin diabaikan oleh dunia. William Carey dibesarkan di sebuah desa kecil di abad ke-18 dan tidak memiliki pendidikan formal yang tinggi. Ia kurang berhasil dalam pekerjaan dan hidup miskin. Namun, Allah memberinya dorongan untuk memberitakan kabar baik dan memanggilnya menjadi misionaris. Carey belajar bahasa Yunani, Ibrani, dan Latin hingga akhirnya dapat menerjemahkan Perjanjian Baru untuk pertama kalinya ke dalam bahasa Bengali di India. Sekarang Carey dikenal sebagai “bapak gerakan misi modern,” tetapi dalam surat yang ditulisnya untuk keponakannya, ia menilai kemampuan dirinya dengan begitu rendah hati: “Yang bisa kulakukan adalah bekerja keras dan bertekun.”
Ketika Allah memanggil kita untuk mengerjakan suatu tugas, Dia juga memberi kita kekuatan untuk menyelesaikannya, terlepas dari apa pun keterbatasan kita. Dalam Hakim-Hakim 6:12, Malaikat Tuhan menampakkan diri kepada Gideon dan berkata, “Tuhan menyertai engkau, ya pahlawan yang gagah berani.” Kemudian malaikat itu menyuruhnya untuk menyelamatkan orang Israel dari bangsa Midian yang merampok kota dan merampas hasil panen mereka. Namun, Gideon yang belum pantas mendapatkan gelar “pahlawan yang gagah berani” itu dengan rendah hati menjawab, “Dengan apakah akan kuselamatkan orang Israel? . . . Akupun seorang yang paling muda di antara kaum keluargaku” (ay.15). Namun, Allah tetap memakai Gideon untuk membebaskan umat-Nya.
Kunci kesuksesan Gideon terletak dalam kata-kata, “Tuhan menyertai engkau” (ay.12). Saat dengan rendah hati kita berjalan bersama Juruselamat kita dan mengandalkan kekuatan-Nya, kita akan dimampukan-Nya untuk mencapai tujuan yang hanya mungkin diperoleh melalui Dia.—JAMES BANK
WAWASAN
Masa Hakim-Hakim terjadi dalam masa 330 tahun antara kematian Yosua (Hakim-Hakim 2:8) sampai awal pengangkatan Saul sebagai raja (1 Samuel 13:1). Ini merupakan masa penuh kekacauan ketika generasi baru Israel yang tidak mengenal Allah berpaling dari-Nya untuk menyembah berhala (Hakim-Hakim 2:10-14). “Setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (17:6; 21:25), maka Allah memakai berbagai bangsa untuk mendisiplinkan mereka. Ketika mereka bertobat, Allah membangkitkan hakim-hakim (pemimpin politik dan militer) untuk memimpin mereka. Gideon adalah hakim kelima dari tiga belas hakim yang ada dalam kitab ini (Otniel, Ehud, Samgar, Debora, Gideon, Abimelekh, Tola, Yair, Yefta, Elon, Abdon, dan Simson). —K.T. Sim
Dalam hal apa Allah memanggilmu untuk melakukan sesuatu yang tidak dapat kamu lakukan dengan kekuatan sendiri? Bagaimana kamu dapat mengandalkan kuasa-Nya hari ini?
Terima kasih karena Engkau telah menguatkanku, ya Juruselamat dan kekuatanku! Tolonglah aku untuk terus dekat dan setia mengikut-Mu.

Friday, July 24, 2020

Bekas-Bekas Luka-Nya

Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, . . . dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. —Yesaya 53:5
Bekas-Bekas Luka-Nya
Setelah mengobrol dengan teman saya, Grady, baru terpikir oleh saya mengapa ia lebih senang menyapa dengan saling membenturkan tinju daripada berjabat tangan. Berjabat tangan akan memperlihatkan bekas luka di pergelangan tangannya yang disebabkan oleh upayanya menyakiti diri sendiri. Kita terbiasa menyembunyikan luka-luka kita—baik yang terlihat dari luar ataupun yang ada di dalam batin—yang disebabkan oleh orang lain atau diri kita sendiri.
Setelah berinteraksi dengan Grady, saya memikirkan bekas-bekas luka pada tubuh Yesus, yakni luka-luka yang diakibatkan oleh paku yang ditancapkan ke tangan dan kaki-Nya, serta tombak yang ditusukkan ke lambung-Nya. Kristus memilih untuk menunjukkan daripada menyembunyikan bekas-bekas luka-Nya.
Setelah awalnya Tomas meragukan kebangkitan Tuhan Yesus dari kematian, Yesus berkata kepadanya, “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah” (Yoh. 20:27). Ketika Tomas melihat sendiri bekas-bekas luka Kristus dan mendengar perkataan-Nya yang luar biasa itu, ia pun yakin itu memang Yesus. Ia percaya dan berseru, “Ya Tuhanku dan Allahku!” (ay.28). Lalu Yesus mengucapkan berkat khusus untuk mereka yang belum pernah melihat-Nya atau luka-luka pada tubuh-Nya tetapi tetap percaya kepada-Nya: “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (ay.29).
Kabar terbaiknya: bekas-bekas luka-Nya itu adalah untuk penebusan dosa kita—dosa kita terhadap diri sendiri maupun orang lain. Kematian Yesus adalah untuk pengampunan dosa semua orang yang percaya kepada-Nya dan mengaku seperti Tomas, “Ya Tuhanku dan Allahku!”—Arthur Jackson
WAWASAN
Kita dapat mengetahui banyak tentang kebangkitan Tuhan Yesus dengan menjalin peristiwa-peristiwa yang dicatat oleh Injil. Sebelum menampakkan diri kepada Tomas dalam Yohanes 20:24-29, Yesus telah menampakkan diri kepada Maria Magdalena dan “Maria yang lain” (lihat Matius 28:1), dua murid dalam perjalanan mereka ke Emaus (Lukas 24:13-32), dan semua murid kecuali Tomas (Yohanes 20:19-24). Lukas menyampaikan apa yang dikatakan Yesus, “Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku: Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku” (Lukas 24:39). Para murid melihat Yesus makan sepotong ikan goreng. Yohanes 20:19 mengatakan “pintu-pintu . . . terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi” lalu “datanglah Yesus dan berdiri di tengah-tengah mereka.” Satu minggu kemudian, Tomas melihat sendiri Kristus yang sudah bangkit (ay.26-27), yang membuat Tomas menyatakan iman percayanya. Semua peristiwa ini menunjukkan sisi kemanusiaan dan keilahian Yesus, serta menegaskan fakta bahwa Yesus benar-benar bangkit secara jasmani. —Tim Gustafson
Keadaan atau peristiwa apa yang membuatmu percaya bahwa luka-luka Yesus adalah untuk menebus dosamu? Jika kamu belum mempercayai-Nya untuk pengampunan dosamu, adakah yang menghalangimu untuk melakukannya hari ini?
Ya Bapa, aku percaya bekas-bekas luka Kristus adalah untuk menebus dosa-dosaku. Aku sungguh bersyukur!

Thursday, July 23, 2020

Kerlip Lampu di Laut

Waktu itu kamu tanpa Kristus, . . . tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia. —Efesus 2:12
Kerlip Lampu di Laut
“Saya berbaring di tempat tidur, berkubang dalam minuman keras dan diselimuti perasaan putus asa,” tulis jurnalis Malcolm Muggeridge, tentang suatu malam yang sangat suram yang dialaminya saat bekerja sebagai mata-mata pada Perang Dunia II. “Sendirian di alam semesta, di keabadian, tanpa setitik pun cahaya.”
Dalam kondisi seperti itu, ia melakukan satu-satunya hal yang sepertinya paling masuk akal; ia berusaha menenggelamkan dirinya sendiri. Setelah mengendarai mobilnya ke pesisir pantai Madagaskar, Muggeridge mulai berenang jauh ke laut lepas sampai ia merasa kelelahan. Lalu saat menoleh ke belakang, ia melihat kerlip lampu-lampu pantai di kejauhan. Entah mengapa, tanpa alasan yang jelas, ia mulai berenang kembali menuju cahaya lampu-lampu itu. Meski sangat kelelahan, Muggeridge ingat dirinya merasakan “sukacita yang luar biasa.”
Muggeridge tidak tahu bagaimana persisnya, tetapi yang ia tahu, Allah menggapainya di momen yang gelap itu dan memenuhinya dengan pengharapan yang bersifat supranatural. Rasul Paulus sering menulis mengenai pengharapan semacam itu. Dalam surat Efesus, ia menulis bahwa, sebelum mengenal Kristus, setiap dari kita “sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosa [kita] . . . tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia” (2:1,12). Namun, “Allah yang kaya dengan rahmat, . . . telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita” (ay.4-5).
Dunia ini berusaha menenggelamkan kita ke dalam keputusasaan, tetapi tidak ada alasan bagi kita untuk menyerah. Inilah yang dikatakan Muggeridge tentang pengalamannya di tengah laut, “Akhirnya saya mengerti bahwa sesungguhnya tidak ada kegelapan, melainkan sayalah yang gagal melihat cahaya yang bersinar abadi.”—Tim Gustafson
WAWASAN
Orang-orang Israel percaya bahwa hanya mereka yang diselamatkan dan dipilih oleh Allah “dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya” (Ulangan 7:6; 14:2). Sunat, yang menandai mereka sebagai umat Allah (Kejadian 17:10), kemudian menjadi lambang keunggulan mereka secara rohani dan nasional dibandingkan bangsa-bangsa lain, sehingga tercipta sikap eksklusif yang menghalangi mereka menjadi “terang untuk bangsa-bangsa” yang membawa keselamatan-Nya sampai ke seluruh dunia (Yesaya 42:6; 49:6). Orang-orang Yahudi menjuluki bangsa-bangsa di luar mereka sebagai “orang-orang tak bersunat” (Efesus 2:11), dan salah paham dengan meyakini bahwa Allah tidak akan pernah mengasihi orang-orang bukan Yahudi. Rasul Paulus mengoreksi ini dengan berkata bahwa “orang-orang bukan Yahudi, karena Berita Injil, turut menjadi ahli-ahli waris dan anggota-anggota tubuh dan peserta dalam janji yang diberikan dalam Kristus Yesus” (3:6). Baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi sama-sama diselamatkan karena kasih karunia oleh iman (2:1-9; Roma 3:29-30). Dengan salib-Nya, Yesus telah meruntuhkan tembok permusuhan yang memisahkan orang Yahudi dan bukan Yahudi, serta menempatkan mereka dalam satu tubuh, keluarga Allah, yang disebut gereja (Efesus 2:14-22). K.T. Sim
Apa momen tergelap dalam hidupmu? Di mana sajakah kamu telah melihat secercah “cahaya yang bersinar abadi”?
Bapa, Engkaulah sumber seluruh pengharapan kami yang sejati. Penuhilah kami dengan sinar dan sukacita-Mu.

Wednesday, July 22, 2020

Anugerah yang Menghapus Semuanya

Aku telah menghapus segala dosa pemberontakanmu. —Yesaya 44:22
Anugerah yang Menghapus Semuanya
Alexa, perangkat keluaran Amazon yang dioperasikan dengan perintah suara, memiliki satu fitur menarik: perintah untuk menghapus semua ucapanmu. Apa pun yang kamu perintahkan kepada Alexa, dan apa pun informasi yang kamu tanyakan, satu kalimat sederhana (“Hapus semua ucapan saya hari ini”) dapat menghapus seluruhnya sampai bersih, seakan-akan semua itu tidak pernah kamu ucapkan. Sayang sekali tidak ada fitur seperti ini dalam kehidupan kita. Andai saja, untuk setiap salah ucap, setiap tindakan tercela, setiap momen yang seandainya saja bisa kita hapus—kita tinggal mengucapkan perintah dan semua kekacauan itu akan lenyap tak berbekas.
Namun, ada kabar baik. Allah memang menawarkan awal baru untuk kita. Hanya saja Dia melakukan jauh lebih banyak daripada menghapus kesalahan atau perbuatan buruk kita. Allah memberikan penebusan, yaitu pemulihan total yang mengubah dan memperbarui kita. “Kembalilah kepada-Ku,” kata-Nya, “sebab Aku telah menebus engkau!” (Yes. 44:22). Walaupun bangsa Israel memberontak dan tidak taat, Allah merangkul mereka kembali dengan belas kasihan yang berlimpah-limpah. Dia “menghapus segala dosa pemberontakan [mereka] seperti kabut diterbangkan angin dan segala dosa [mereka] seperti awan yang tertiup” (ay.22). Allah mengumpulkan semua kesalahan dan kegagalan mereka, lalu menghapuskan semuanya dengan anugerah-Nya yang menyucikan.
Allah akan melakukan yang sama terhadap dosa dan kesalahan kita. Tidak ada kesalahan yang tak dapat diperbaiki-Nya, tidak ada luka yang tak dapat disembuhkan-Nya. Belas kasihan Allah menyembuhkan dan menebus luka-luka paling menyakitkan dalam jiwa kita—bahkan luka yang telah lama kita sembunyikan. Belas kasihan-Nya mengenyahkan semua kesalahan dan penyesalan kita. —Winn Collier
WAWASAN
Yesaya adalah nabi yang paling banyak menulis, tetapi isi kitabnya jauh lebih penting daripada ukurannya yang besar. Penafsir John Gill menulis: “Yesaya lebih pantas disebut sebagai penginjil daripada nabi . . . tidak ada yang menulis sedemikian lengkap dan jelas tentang pribadi, jabatan, anugerah, dan kerajaan Kristus; tentang inkarnasi dan kelahiran dari seorang anak dara; tentang penderitaan dan kematian-Nya, dan kemuliaan yang akan diterima-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh [Yesaya].” Fokus Yesaya pada Mesias dan misi-Nya sangat penting untuk menyiapkan jalan bagi kedatangan Yesus, karena semua itu membuat bangsa Israel akan dapat mengenali identitas-Nya dan memberikan pengharapan tertentu atas kemenangan yang dijanjikan-Nya. —Bill Crowder
Kegagalan diri apa yang paling kamu sadari? Bagaimana gambaran Allah yang menghapus semua kesalahanmu dapat memberikan pengharapan baru kepadamu?
Begitu banyak penyesalan atas apa yang seharusnya dapat kulakukan dengan berbeda. Ya Allah, Engkau berkata Kau dapat mengampuni dan memulihkanku. Terima kasih untuk belas kasihan dan anugerah-Mu.

Tuesday, July 21, 2020

Peran Anggota Kerajaan

Semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya. —Yohanes 1:12
Peran Anggota Kerajaan
Dalam keluarga kerajaan, semakin dekat seseorang dengan takhta, semakin ia dikenal luas. Anggota keluarga lainnya hampir pasti terlupakan. Deretan pewaris takhta Kerajaan Inggris berjumlah hampir enam puluh orang. Salah satunya adalah Lord Frederick Windsor, pewaris takhta yang berada di urutan keempat puluh sembilan. Karena jauh dari sorotan publik, ia pun bisa menjalani hidupnya dengan tenang. Meski bekerja sebagai seorang analis keuangan, ia tidak terhitung sebagai “anggota keluarga kerajaan yang bekerja”, yakni para anggota keluarga yang digaji untuk menjalankan tugas mewakili keluarga kerajaan.
Natan, salah seorang anak Raja Daud (2 Sam. 5:14), juga merupakan anggota keluarga kerajaan yang hidup jauh dari sorotan. Sangat sedikit yang diketahui tentang dirinya. Namun, meski pada silsilah Yesus di Injil Matius nama anaknya, Salomo, disebut (menelusuri garis keturunan Yusuf, Matius 1:6), dalam silsilah di kitab Lukas, yang oleh para ahli diyakini sebagai garis keturunan keluarga Maria, nama Natan disebut (Luk. 3:31). Walaupun Natan tidak memegang tampuk kekuasaan, ia tetap memiliki peran di dalam Kerajaan Allah yang kekal.
Sebagai umat yang percaya kepada Kristus, kita juga menjadi anggota keluarga kerajaan. Rasul Yohanes menulis bahwa Allah memberi kita “kuasa supaya menjadi anak-anak Allah” (Yoh. 1:12). Meski tidak dikenal dan disorot, kita sungguh anak-anak Raja! Allah menganggap setiap dari kita sangat berarti untuk mewakili-Nya di dunia ini dan untuk memerintah bersama-Nya kelak (2 Tim. 2:11-13). Seperti Natan, mungkin kita tidak mengenakan mahkota di dunia ini, tetapi kita tetap mempunyai peran dalam Kerajaan Allah.—Linda Washington
WAWASAN
Kata-kata pembuka dari Injil Yohanes merupakan salah satu pernyataan paling mencengangkan dalam Perjanjian Baru. Setelah selama tiga tahun hidup bersama Yesus dan kemudian selama beberapa dekade berikutnya merenungkan kembali apa yang pernah ia saksikan sendiri, Yohanes membayangkan Gurunya pada momen-momen awal penciptaan. Kitab Kejadian dibuka dengan menyatakan bahwa pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi, tetapi Yohanes melihat Yesus sebagai Firman Kekal yang menciptakan segala sesuatu (ay.1-3,14). Satu-satunya hal yang lebih mencengangkan dari itu adalah drama penyelamatan yang jauh lebih sulit dipahami daripada peristiwa penciptaan itu sendiri. Menurut Yohanes, Yesus—Anak Allah yang menciptakan kita menurut gambar-Nya—datang dalam rupa manusia dan membiarkan diri-Nya dihina, difitnah, dan disalibkan oleh manusia. Mengapa? Menurut Injil Yohanes, Dia melakukan itu semua untuk menunjukkan betapa besar kasih-Nya kepada kita (3:14-17). —Mart DeHaan
Bagaimana perasaanmu saat mengetahui bahwa sebagai anak Allah, kamu adalah anggota keluarga Kerajaan-Nya? Sebagai anak Raja, apa tanggung jawabmu terhadap orang-orang di sekelilingmu?
Bapa di surga, aku bersyukur karena Engkau telah mengangkatku menjadi anggota keluarga-Mu yang abadi.

Monday, July 20, 2020

Cara untuk Menunggu

Dengarlah, Tuhan, seruan yang kusampaikan, kasihanilah aku dan jawablah aku! —Mazmur 27:7
Cara untuk Menunggu
Karena merasa frustrasi dan kecewa dengan gereja, Trevor yang berumur tujuh belas tahun mulai berkelana mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Namun, pencarian itu tak kunjung memuaskan hasratnya atau menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Pengalaman itu memang membawa Trevor lebih dekat dengan orangtuanya. Namun, ia tetap sulit menerima iman Kristen. Dalam sebuah diskusi, ia pernah dengan getir berkata, “Alkitab itu penuh janji-janji kosong.”
Daud juga menghadapi kekecewaan dan kesulitan hidup yang menimbulkan keragu-raguan dalam dirinya. Namun, ketika lari dari para musuh yang ingin membunuhnya, reaksi Daud bukanlah menjauh dari Allah melainkan justru memuji-Nya. “Sekalipun timbul peperangan melawan aku, dalam hal itupun aku tetap percaya” (Mzm. 27:3).
Meski demikian, masih ada sedikit keraguan yang tersirat dalam syair Daud. Seruannya, “Kasihanilah aku dan jawablah aku” (ay.7), terdengar seperti keluar dari seseorang yang takut dan ragu. “Janganlah menyembunyikan wajah-Mu kepadaku,” seru Daud. “Janganlah membuang aku dan janganlah meninggalkan aku” (ay.9).
Namun, Daud tidak membiarkan keraguan melumpuhkan dirinya. Di tengah keraguannya sekalipun, ia tetap berseru, “Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan Tuhan di negeri orang-orang yang hidup” (ay.13). Lalu Daud menyerukan kepada orang-orang yang membaca mazmur ini—kamu, saya, dan orang-orang seperti Trevor: “Nantikanlah Tuhan! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah Tuhan!” (ay.14).
Mungkin kita tidak segera mendapatkan jawaban yang tepat dan sederhana bagi pertanyaan-pertanyaan kita yang kompleks. Namun, kita akan bertemu dengan Allah yang bisa diandalkan—bila kita menantikan-Nya.—Tim Gustafson
WAWASAN
Dua kali penulis Mazmur 27:14, yang dipercaya adalah Daud, mendorong umat di segala generasi: “Nantikanlah TUHAN!” Kata Ibrani untuk “nantikan” adalah qavah yang berarti “menanti, menunggu-nunggu, mengharapkan, mendambakan.” Kata inilah yang dipakai dalam Yesaya 40:31, ayat terkenal dalam Perjanjian Lama yang menceritakan tentang menantikan Allah: “Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah”. Seorang ahli Alkitab menjelaskan “menanti-nantikan” sebagai hidup “dalam kegelisahan yang bercampur dengan keyakinan dan semangat. . . . Hidup dengan berpegang pada janji-janji yang sudah dinyatakan tetapi belum terpenuhi. . . . [Menanti] dengan kerinduan yang menggebu-gebu” (Ortlund, Isaiah: God Saves Sinners). —Arthur Jackson
Apa yang kamu lakukan terhadap segala pertanyaan kompleks dalam pikiranmu? Kapan kamu mendapatkan jawaban “di negeri orang-orang yang hidup” (Mzm. 27:13), dan apakah masih ada pertanyaanmu yang belum terjawab?
Ya Bapa, lembutkanlah hatiku supaya reda takut dan amarahku.

Sunday, July 19, 2020

Harus Kita Perhatikan

Apa yang kuperintahkan kepadamu . . . haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu. —Ulangan 6:6-7
Harus Kita Perhatikan
Ketika seorang anak menghadapi banyak kesulitan dalam studinya, sang ayah mulai mengajarkannya untuk mengucapkan kalimat motivasi setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah: “Aku bersyukur kepada Tuhan karena sudah membangunkan aku hari ini. Aku akan berangkat ke sekolah untuk belajar . . . dan menjadi pemimpin seperti yang Tuhan kehendaki dariku.“ Mengucapkan kalimat motivasi merupakan salah satu cara sang ayah membantu anaknya menghadapi berbagai tantangan yang tak terelakkan dalam hidup ini.
Cara ayah itu menolong anaknya untuk menghafal kalimat penguatan tersebut kurang lebih sama dengan yang Allah perintahkan kepada bangsa Israel di padang gurun: “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu” (Ulangan 6:6-7).
Setelah berkeliling di padang gurun selama empat puluh tahun, generasi penerus bangsa Israel akan memasuki Tanah Perjanjian. Allah tahu bahwa tidak akan mudah bagi bangsa Israel untuk berhasil—kecuali mereka tetap percaya kepada-Nya. Karena itu, melalui Musa, Dia memerintahkan mereka untuk selalu ingat dan patuh kepada-Nya—dan untuk menolong anak-anak mereka mengenal dan mengasihi Allah dengan membicarakan firman-Nya “apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” (ay.7).
Setiap hari baru, kita pun dapat berkomitmen untuk mengizinkan Kitab Suci menuntun hati dan pikiran kita seiring kita menjalani hidup dengan penuh syukur kepada-Nya.—Alyson Kieda
WAWASAN
Ulangan 6:4-9, yang dikenal sebagai Shema, dari kata Ibrani Å¡?ma? atau “dengar” (ay.4), merupakan pengakuan dasar iman Yahudi yang diucapkan oleh setiap orang Yahudi yang taat dua kali sehari untuk mengingatkan mereka kepada hukum Allah yang pertama dan kedua (Keluaran 20:2-6). Setelah memberikan Sepuluh Perintah Allah (Ulangan 5:1-21), Musa menyampaikan kepada umat Allah prinsip kegenapan hati yang mendasari seluruh Hukum Allah: “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (6:5). Allah menuntut kesetiaan dan pengabdian kita yang penuh, mutlak, dan segenap hati. Yesus menegaskan bahwa mengasihi Allah dengan segala keberadaan kita adalah “hukum yang terutama” (Markus 12:29-30), dan mengatakannya sebagai “hukum . . . yang pertama” (Matius 22:36-38). Kaum Yahudi Ortodoks melaksanakan perintah dalam Ulangan 6:8-9 secara harafiah, menempatkan bagian dari Taurat (seperti Shema atau Sepuluh Perintah) dalam sebuah kotak kecil (mezuzahs) dan menggantungkannya pada tiang pintu rumah atau dalam phylacteries (disebut juga tefillin) yang diikatkan pada lengan atau kening mereka (Keluaran 13:9,16; Ulangan 11:18-20). —K.T. Sim
Apa yang dapat kamu lakukan untuk menyimpan firman-Nya di dalam hatimu? Mengapa penting membaca dan membicarakan firman-Nya dengan orang-orang terdekat kita?
Ya Allah, terima kasih untuk tiap hari baru yang Engkau anugerahkan. Tolonglah aku menyimpan hikmat-Mu di dalam hati dan pikiranku.

Saturday, July 18, 2020

Ketika Keindahan Itu Pergi

Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya. —Ratapan 3:22
Ketika Keindahan Itu Pergi
Saya tidak akan pernah mendapatkan kembali keindahan putri kami Melissa. Kenangan indah saat kami melihatnya bermain voli dengan riang di sekolahnya mulai pudar dari ingatan saya. Terkadang sulit mengingat kembali senyum malu-malu yang muncul di wajahnya yang gembira ketika kami melakukan kegiatan bersama sebagai keluarga. Kematiannya di usia 17 tahun seakan memadamkan sukacita kehadirannya dalam hidup kami.
Dalam kitab Ratapan, kata-kata Yeremia menunjukkan bahwa ia mengerti bagaimana kita dapat mengalami hancur hati. “Hilang lenyaplah kemashyuranku,” katanya, “dan harapanku kepada Tuhan” (3:18). Situasi yang dialaminya jauh berbeda dari apa yang kamu dan saya alami. Ia pernah memberitakan kabar penghakiman Allah, dan juga melihat Yerusalem ditaklukkan. Kemashyuran telah lenyap karena ia merasa kalah (ay.12), terkucil (ay. 14) dan ditinggalkan Allah (ay.15-20).
Namun, cerita Yeremia tidak berakhir di situ. Terang akhirnya datang. Dalam keadaan penuh beban dan hancur, Yeremia dengan susah payah menyatakan: “Aku akan berharap” (ay.21). Itulah pengharapan yang berasal dari kesadaran bahwa “tak berkesudahan kasih setia Tuhan” (ay.22). Persis inilah yang harus kita ingat ketika keindahan kita lenyap: “Tak habis-habisnya rahmat [Allah], selalu baru tiap pagi” (ay.22-23).
Di hari-harimu yang tergelap sekalipun, kesetiaan Allah yang besar terus bersinar terang.—Dave Branon
WAWASAN
Ratapan 3 memang agak membingungkan. Penulisnya, Nabi Yeremia, banyak menjelaskan penderitaan yang ia alami: ditinggalkan, patah tulang, kepahitan, kesulitan, dicemooh. Di ayat 1 sang nabi dengan jelas mengatakan bahwa ia merasa Allah adalah penyebab semua sakit yang ia rasakan, yang menyebabkan ia menderita. Namun, terlepas dari semua penderitaan yang dialaminya, Yeremia tetap memiliki harapan pada satu hal—kasih setia Allah yang besar. “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya” (3:22). Suatu penegasan yang luar biasa! Seseorang yang merasa dihancurkan oleh Allah berkata bahwa ia tidak dibinasakan karena belas kasihan Allah. Kita tidak bisa memahami kasih Allah hanya dengan melihat keadaan yang kita alami. Belas kasihan-Nya menyelamatkan dan melindungi kita, bukan dari segala mara bahaya tetapi dari kebinasaan total. —J. R. Hudberg
Bagaimana Allah telah menguatkanmu di saat kamu merasa putus asa? Bagaimana Dia dapat memakaimu untuk menguatkan orang lain dengan penguatan yang diberikan-Nya?
Terima kasih, ya Bapa, karena Engkau Allah yang penuh rahmat. Bahkan di saat aku berjalan dalam lembah kekelaman, fajar pasti akan datang di saat aku mengingat rahmat dan kesetiaan-Mu.

Friday, July 17, 2020

Terang di Tengah Kegelapan

Karena Engkaulah yang membuat pelitaku bercahaya; Tuhan, Allahku, menyinari kegelapanku. —Mazmur 18:29
Terang di Tengah Kegelapan
Hujan badai yang dahsyat menyapu kota yang baru kami tinggali, hingga meninggalkan kelembaban tinggi dan langit yang gelap gulita. Malam hari itu, saya mengajak anjing kami, Callie, berjalan-jalan. Pikiran saya dibuat kalut oleh menggunungnya pergumulan yang harus dihadapi keluarga kami setelah pindah ke kota ini. Dalam perasaan frustrasi karena begitu banyaknya hal yang tidak tercapai atau tidak sesuai dengan harapan kami, saya memperlambat langkah agar Callie dapat mengendus-endus di rerumputan. Saya mendengarkan bunyi kecipak air anak sungai yang mengalir di sebelah rumah kami. Tiba-tiba, muncul beberapa cahaya kecil berkedip-kedip di antara bunga-bunga liar yang tumbuh di tepian anak sungai itu. Kunang-kunang.
Damai sejahtera Tuhan kemudian melingkupi hati saat saya memandangi kelip cahaya yang menari-nari di tengah kegelapan. Saya pun teringat kepada nyanyian Daud sang pemazmur, “Engkaulah yang membuat pelitaku bercahaya” (Mzm. 18:29). Dengan menyatakan bahwa Allah mengubah kegelapannya menjadi terang, Daud menunjukkan iman yang teguh akan pemeliharaan dan perlindungan Tuhan (ay.30-31). Oleh kekuatan Allah, ia sanggup mengatasi segala hal yang dihadapinya (ay.33-36). Dengan mempercayai penyertaan Tuhan yang hidup untuk melewati segala keadaan, Daud berjanji untuk selalu menyanyikan syukur dan memuji nama-Nya di antara bangsa-bangsa (ay.37-50).
Entah kita sedang berada dalam badai hidup yang tak terduga atau menikmati ketenangan setelah berlalunya hujan, damai sejahtera dari kehadiran Tuhan yang terus-menerus akan menerangi jalan kita di tengah kegelapan. Allah kita yang hidup akan selalu menjadi kekuatan, perlindungan, penyokong, dan penyelamat kita.—Xochitl Dixon
WAWASAN
Mazmur 18 merupakan mazmur perenungan diri. Dalam banyak mazmur yang ditulis oleh Daud, kita sering menemukan dirinya sedang dikejar dan diburu, pertama oleh Saul dan kemudian oleh Absalom. Selama masa-masa pelarian dan bahaya itu, Daud sering mempertanyakan kesetiaan, kasih, dan pemeliharaan Allah—ia bertanya-tanya kenapa Allah tidak turun tangan dan menolongnya. Namun di Mazmur 18, kita melihat Daud yang lebih banyak melakukan perenungan diri. Ia melihat kembali perjalanan hidupnya yang telah lalu dan menyaksikan bukti kehadiran serta perlindungan Allah di sepanjang hidupnya (ay.2-4,17-20,26-30,36-37,48-51), bahkan di musim kehidupan ketika bukti itu seolah tidak ada. Sekarang, setelah melihat ke belakang, Daud menegaskan kembali apa yang selama ini ia pertanyakan—kesetiaan Allah. —Bill Crowder
Ayat Alkitab apa saja yang bisa menolongmu meyakini kehadiran Allah yang terus-menerus? Bagaimana sikap kita yang bergantung kepada kebaikan Allah dapat menolong kita melewati badai kehidupan dengan iman yang teguh?
Ya Bapa, tolonglah aku mempercayai kebaikan dan kasih-Mu, bahkan di saat aku sulit melihat kehadiran-Mu di tengah kekelaman hidup ini.

Thursday, July 16, 2020

Sukacita yang Mahal

Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu. —Matius 13:44
Sukacita yang Mahal
Begitu alunan musik digital itu terdengar, kami berenam langsung berdiri dan bergerak. Ada yang sempat mengenakan sepatu, tetapi yang lain langsung berlari ke arah pintu tanpa mengenakan alas kaki. Dalam hitungan detik kami semua berhamburan ke luar rumah untuk mengejar tukang es krim. Itu hari pertama musim panas, dan tidak ada yang lebih mengasyikkan daripada merayakannya dengan menikmati es krim yang manis dan dingin! Seperti mengejar tukang es kirim itu, ada banyak hal yang kita lakukan hanya karena kita terdorong oleh rasa sukacita ketika melakukannya, bukan karena kebiasaan atau keharusan.
Dalam sepasang perumpamaan di Matius 13:44-46, yang menjadi penekanan adalah perbuatan menjual segala sesuatu untuk mendapatkan yang lain. Kita mungkin mengira fokus dari kisah-kisah tersebut adalah pengorbanan. Padahal bukan itu intinya. Sebenarnya, perumpamaan pertama menyebutkan bahwa rasa sukacitalah yang membuat orang menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu. Sukacitalah yang mendorong perubahan—bukan rasa bersalah atau kewajiban.
Yesus bukan hanya satu bagian kecil dari hidup kita; Dia menuntut hidup kita seluruhnya. Kedua orang dalam kisah-kisah ini “menjual seluruh miliknya” (ay.44). Namun, inilah bagian terbaiknya: menjual seluruhnya justru menghasilkan keuntungan. Mungkin itu di luar dugaan kita. Kita berpikir, bukankah seorang Kristen harus memikul salib dalam hidupnya? Memang benar. Namun, ketika kita mati, kita hidup; ketika kita kehilangan hidup kita, kita justru mendapatkannya. Saat kita “menjual” seluruhnya, kita mendapatkan harta yang paling berharga, yaitu Yesus! Sukacitalah alasan kita, dan melepaskan semuanya menjadi respons kita. Hasilnya: mengenal Yesus sebagai harta yang paling berharga.—Glenn Packiam
WAWASAN
Kedelapan perumpamaan yang diajarkan Yesus dalam Matius 13 dikenal sebagai perumpamaan “kerajaan” karena sebagian besar perumpamaan ini dimulai dengan kalimat “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama” (ay.24,31,33,44,45,47,52). Perumpamaan-perumpaman ini juga menyingkapkan kebenaran yang mendalam tentang “rahasia (mysterion, dalam bahasa Yunani) Kerajaan Sorga” (13:11). Dalam Perjanjian Baru, kata mysterion atau rahasia dipakai untuk menyatakan kebenaran alkitabiah yang telah kita ketahui dan berkenan dinyatakan Allah kepada kita oleh Roh Kudus, berkat anugerah-Nya dan dengan kedatangan Yesus Kristus (Daniel 2:18, 27-28, 47; Roma 16:25-26; Efesus 1:9; 3:3-6; Kolose 1:25-27; 2:2). —K.T. Sim
Sukacita apa yang kamu rasakan dalam hubunganmu dengan Yesus? Apa saja yang Dia minta kamu serahkan kepada-Nya?
Tuhan Yesus, biarlah aku melihat berharganya diri-Mu! Arahkan hatiku kepada-Mu, sumber sukacita sejati, dan biarlah mataku terus tertuju kepada-Mu. Mampukanku untuk berserah sepenuhnya kepada-Mu.

Wednesday, July 15, 2020

Momen-Momen Berharga

[Allah] membuat segala sesuatu indah pada waktunya. —Pengkhotbah 3:11
Momen-Momen Berharga
Su Dongpo (juga dikenal dengan nama Su Shi) adalah salah seorang penyair dan pengarang esai terbesar di Tiongkok. Saat sedang berada di pengasingan dan menatap bulan purnama, ia menulis puisi untuk menggambarkan kerinduannya kepada saudara laki-lakinya. “Kami bersuka dan bersedih, berkumpul dan berpisah, sementara bulan membesar dan mengecil. Sejak masa silam, tidak ada yang tinggal sempurna,” tulisnya. “Kiranya orang-orang yang kita cintai panjang umur, dan bersama menyaksikan pemandangan indah ini meski terpisah jarak ribuan mil.”
Puisinya mengusung tema-tema yang juga kita temukan dalam kitab Pengkhotbah. Penulis kitab mengamati bahwa “ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa . . . ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk” (3:4-5). Dengan memasangkan dua kegiatan yang berlawanan, seperti Su Dongpo, Pengkhotbah tampaknya bermaksud mengatakan bahwa segala sesuatu yang baik mau tidak mau pasti akan berakhir.
Seperti Su Dongpo melihat perubahan bentuk bulan sebagai pertanda bahwa tidak ada satu hal pun yang tinggal sempurna, demikian pula Pengkhotbah melihat alam semesta sebagai tanda bahwa Allah berdaulat mengatur dunia yang diciptakan-Nya. Allah mengatur segala sesuatu yang terjadi, dan “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (ay.11).
Kehidupan adakalanya berjalan tak terduga dan dipenuhi sejumlah perpisahan yang menyakitkan, tetapi kita dapat terhibur dengan menyadari bahwa segala sesuatunya terjadi di bawah kendali Allah. Kita dapat menikmati hidup dan menghargai momen-momen yang ada—yang baik ataupun buruk—karena Allah yang Maha Pengasih itu selalu menyertai kita.—Poh Fang Chia
WAWASAN
Kitab Pengkhotbah adalah kitab untuk dunia postmodern. Sang “Pengkhotbah”, yang oleh banyak ahli dipercaya sebagai Salomo, berbicara tentang rasa frustrasi dan kekecewaan terhadap hidup. Dua frasa kunci dalam buku ini adalah “segala sesuatu adalah sia-sia” (1:2) dan “di bawah matahari” (ay.3). Frasa “segala sesuatu adalah sia-sia” berbicara mengenai kehidupan yang dijalani dengan cara manusiawi dan menurut nilai-nilai dunia ini, yang digambarkan dengan frasa “di bawah matahari.” Pada akhirnya, Pengkhotbah mengatakan bahwa jawaban dari kesia-siaan ini adalah melihat melampaui dunia dan “ingatlah akan Penciptamu” (12:1), satu-satunya pemberi makna sejati hidup ini. —Bill Crowder
Hal apa saja yang tak berani kamu coba lakukan karena merasa hidup ini tidak terduga? Bagaimana kamu dapat bersandar pada Tuhan Yesus sembari berani melangkah maju untuk menjalin persahabatan baru dan mempererat hubungan yang ada?
Terima kasih, Bapa yang Pengasih, karena Engkau berdaulat atas seluruh masa hidupku. Tolonglah aku mempercayai-Mu dan menikmati kehidupan yang Engkau anugerahkan kepadaku.

Tuesday, July 14, 2020

Hikmah dari Rasa Malu

Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati. —Yakobus 4:6
Hikmah dari Rasa Malu
Pengalaman saya yang paling memalukan terjadi ketika saya menyampaikan kata sambutan di hadapan para dosen, mahasiswa, dan sahabat dari suatu seminari pada perayaan hari jadinya yang kelima puluh. Saya maju ke mimbar sambil memegang naskah pidato dan memandang para hadirin, tetapi mata saya tertuju kepada para guru besar terhormat yang duduk di deretan depan dengan mengenakan toga dan terlihat sangat serius. Tiba-tiba saja saya merasa gugup. Mulut saya mendadak kering dan tak terhubung lagi dengan otak. Saya mengucapkan beberapa kalimat pertama dengan tergagap-gagap dan kemudian saya mulai berimprovisasi. Karena tidak tahu pidato saya sudah sampai di mana, dengan panik saya mulai membolak-balik catatan sambil berbicara sekenanya dan membuat bingung semua orang. Entah bagaimana akhirnya saya berhasil menyelesaikan pidato, kembali ke tempat duduk, lalu tertunduk memandangi lantai dengan perasaan malu yang luar biasa. Rasanya saya ingin mati saja saat itu.
Meski demikian, saya belajar bahwa perasaan malu dapat bermanfaat jika hal tersebut membawa kita kepada sikap rendah hati, karena itulah kunci untuk berkenan di hati Tuhan. Alkitab berkata, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati” (Yak. 4:6). Orang yang rendah hati dilimpahi-Nya dengan anugerah. Allah sendiri berkata, “Kepada orang inilah Aku memandang: kepada orang yang tertindas dan patah semangatnya dan yang gentar kepada firman-Ku” (Yes. 66:2). Saat kita merendahkan diri di hadapan Allah, Dia akan meninggikan kita (Yak. 4:10).
Perasaan malu dan aib dapat membawa kita kepada Allah agar kita dibentuk oleh-Nya. Baiklah ketika kita jatuh, kita jatuh ke dalam tangan-Nya.—David H. Roper
WAWASAN
Penekanan surat Yakobus tentang melawan pencobaan cocok dengan pengajarannya yang lebih luas tentang perilaku orang-orang yang percaya kepada Yesus. Bagi Yakobus, “menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja” (1:22) adalah inti menjadi orang percaya, yang sesuai dengan perkataan Kristus tentang iman sejati yang dibuktikan dengan ketaatan melakukan firman Tuhan (Lukas 6:49; 11:28).
Dalam perikop hari ini, Yakobus menolong orang percaya memahami bahwa satu-satunya cara hidup berintegritas adalah dengan kerendahan hati. Yakobus 4:6, yang mengacu kepada Amsal 3:34, cocok dengan banyak tulisan bijak orang Yahudi yang menekankan hubungan antara kerendahan hati dan hidup saleh. Kerendahan hati memampukan kita menundukkan diri secara alamiah kepada Allah dan rencana-Nya (ay.7). Menyerahkan diri kepada Allah berarti kita menjalin “persahabatan” dengan-Nya, dan bukan dengan dunia (ay.4). Ketika bersahabat dengan Allah, kita pun hidup seturut dengan nilai-nilai kerajaan-Nya, dan bukan nilai-nilai dunia (3:15,17). Jika kita hidup rendah hati dengan Allah (lihat Mikha 6:8), maka Dia akan meninggikan kita (Yakobus 4:10), mendekat kepada kita (ay.8), dan membuat Iblis tidak berdaya. —Monica La Rose
Peristiwa apa yang paling membuat kamu merasa malu? Hikmah apa yang dapat kamu petik dari kejadian tersebut?
Allah Maha Pengasih, tolonglah aku untuk rela merasa malu jikalau melaluinya nama-Mu dapat ditinggikan dan dimuliakan.

Monday, July 13, 2020

Lihat ke Atas!

Sebab malam tidak akan ada lagi di sana. —Wahyu 21:25
Lihat ke Atas!
Ketika pembuat film Wylie Overstreet menunjukkan kepada orang-orang tayangan bulan secara langsung melalui teleskop dengan pembesaran yang tajam, mereka berbisik-bisik penuh kekaguman karena sangat takjub dapat melihat bulan dari dekat. Overstreet berkata bahwa pemandangan yang begitu menakjubkan itu “membuat hati kami diliputi kekaguman saat menyadari bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar daripada diri kami.”
Daud sang pemazmur juga mengagumi terang surgawi Allah. Ia berkata, “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” (MzM. 8:4-5)
Pertanyaan Daud yang menunjukkan kerendahan hatinya itu menempatkan kekaguman kita dalam sudut pandang yang benar, karena kita mengetahui bahwa setelah Allah menciptakan bumi dan langit yang baru, kita tidak lagi membutuhkan bulan atau matahari. Namun, kata Rasul Yohanes, kemuliaan Allah yang gilang-gemilang akan menghadirkan seluruh terang yang dibutuhkan. “Kota itu tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba itu adalah lampunya. . . . Sebab malam tidak akan ada lagi di sana” (Why. 21:23-25).
Gambaran yang sungguh menakjubkan! Namun, kita dapat mengalami terang surgawi-Nya sekarang juga—kamu hanya perlu mencari Kristus, Sang Terang Dunia. Overstreet berkata, “Kita harus lebih sering melihat ke atas.” Ketika kita melakukannya, kiranya kita melihat kebesaran Allah.—PATRICIA RAYBON
WAWASAN
Mazmur 8:4-5 mengutarakan kekaguman Raja Daud bahwa Allah, Pencipta alam semesta, mengindahkan umat manusia. Namun, sebagian besar sisa mazmur tersebut mengungkapkan apa yang mengagumkan dari manusia. Kita telah diciptakan “hampir sama seperti Allah,” bahkan telah dimahkotai oleh Pencipta kita “dengan kemuliaan dan hormat” (8:6). Sejak awal sejarah, Dia telah memerintahkan manusia untuk menguasai dan memelihara bumi (Kejadian 1:28). Pemazmur menyatakan bahwa Allah membuat kita “berkuasa atas buatan tangan-[Nya],” termasuk semua makhluk hidup di bumi (Mazmur 8:7-9). Namun, pada akhirnya, kemuliaan bukanlah milik kita. Benarlah Daud memulai dan mengakhiri mazmurnya dengan mengumandangkan pujian: “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” —Tim Gustafson
Apa yang kamu pelajari tentang Allah dari terang surgawi-Nya? Apa yang kamu rasakan ketika kamu memuji kebesaran Allah?
Ya Allah kami yang ajaib, aku takjub oleh kemuliaan-Mu yang kudus, dan aku memuji Engkau atas terang-Mu yang ajaib.

Sunday, July 12, 2020

Bersatu dalam Perpisahan

Janganlah kiranya ada perkelahian antara aku dan engkau, . . . sebab kita ini kerabat. —Kejadian 13:8
Bersatu dalam Perpisahan
Ketika ditugaskan menangani sebuah proyek bersama rekan sekantornya, Tim, Alvin sangat bergumul. Hal itu karena masing-masing dari mereka memiliki ide yang sangat berbeda tentang cara mengerjakan proyek tersebut. Meski menghargai pendapat satu sama lain, gaya kerja mereka sangat berbeda sehingga konflik tampaknya takkan terhindarkan. Namun, sebelum konflik pecah, keduanya sepakat mendiskusikan perbedaan tersebut dengan atasan mereka, lalu mereka pun ditempatkan di tim kerja yang berbeda. Sungguh keputusan yang bijaksana. Hikmah yang diterima Alvin dari pengalaman tersebut adalah bahwa bersatu tidak selalu berarti melakukan sesuatu bersama-sama.
Abraham pasti juga menyadari kebenaran ini saat menyarankan agar ia dan Lot berpisah jalan di Betel (Kej. 13:5-9). Ketika melihat bahwa tidak ada cukup ruang untuk kawanan ternak mereka berdua, Abraham secara bijaksana menyarankan perpisahan itu. Namun, pertama-tama, ia menekankan bahwa mereka adalah “kerabat” (ay.8) guna mengingatkan Lot akan hubungan mereka. Kemudian, dengan sangat rendah hati, Abraham membiarkan keponakannya memilih terlebih dahulu (ay.9) meskipun ia lebih tua. Seperti yang digambarkan oleh seorang pendeta, ini adalah “perpisahan yang harmonis.”
Karena setiap dari kita diciptakan unik oleh Allah, tak jarang kita mendapati bahwa adakalanya kita bisa bekerja lebih baik secara terpisah demi tercapainya tujuan bersama. Berbeda-beda tetapi tetap satu. Kiranya kita tidak pernah lupa, bahwa sejatinya kita masih bersaudara dalam keluarga Allah. Mungkin saja cara kerja kita berbeda-beda, tetapi kita tetap satu dalam tujuan.—Leslie Koh
WAWASAN
Abram dan Lot sama-sama kaya, mempunyai banyak ternak, domba, dan gembala. Tanah yang tadinya cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup mereka tidak lagi memadai. Rupanya selama mereka tinggal di Mesir, harta mereka bertambah sangat banyak, sehingga tanahnya tidak lagi cukup untuk kehidupan mereka. Sebagai orang yang lebih tua dan pemimpin seluruh kelompok, Abram mempunyai hak untuk memilih, tetapi ia mengalah terhadap Lot. Mengapa?
Mungkin itu karena Abram bertindak dengan iman, seperti yang ia lakukan sepanjang sisa hidupnya (baca kisahnya mengorbankan Ishak di Kejadian 22). Ia menyerahkan hasilnya ke dalam tangan Allah, karena percaya bahwa apa yang telah dijanjikan, yaitu bahwa keturunannya akan menduduki negeri itu, pasti akan digenapi. Ia meyakini bahwa sekalipun ia sendiri tidak menerima tanah perjanjian itu, keturunannya pasti akan mendapatkannya. Jadi mungkin bagi Abram, harta milik di depan mata bukan hal yang penting. Ia dapat menanti dengan iman. —J.R. Hudberg
Bagaimana sikap rendah hati dapat mendukung terjadinya “perpisahan yang harmonis”? Bagaimana kamu dapat tetap bersatu dalam tujuan yang sama meskipun kamu tidak setuju dan berbeda pendapat dengan seseorang? (Rm. 14:1-10).
Ya Allah, tolonglah aku untuk dapat bekerja sama dengan orang lain dalam kesatuan, dan tolonglah aku untuk mengerti kapan sebaiknya kami berpisah jalan agar masing-masing dapat melayani lebih baik.

Saturday, July 11, 2020

Keberagaman yang Indah

Dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa. —Wahyu 5:9
Keberagaman yang Indah
Sudah sejak lama London disebut-sebut sebagai salah satu kota paling kaya warna di dunia. Pada tahun 1933, jurnalis Glyn Roberts menulis tentang ibukota Inggris itu, “Menurut saya, keberadaan orang-orang dengan beragam warna kulit dan bahasa adalah hal terbaik dari kota London.” Keragaman masih terlihat hingga kini dengan berbaurnya beragam aroma, suara, dan pemandangan dari penduduk kota yang datang dari berbagai penjuru dunia. Indahnya keberagaman menjadi daya tarik salah satu kota terbesar di dunia itu.
Seperti halnya kota mana pun yang dihuni banyak manusia, London bukanlah kota tanpa masalah. Perubahan membawa banyak tantangan. Benturan budaya pun kadang terjadi. Oleh sebab itu, kita bisa memahami mengapa tak satu pun kota yang dibangun oleh manusia dapat dibandingkan dengan keindahan kediaman abadi kita kelak.
Ketika Rasul Yohanes dibawa ke hadirat Allah, keberagaman menjadi salah satu unsur dalam penyembahan surgawi yang dilakukan oleh orang-orang yang telah ditebus Tuhan. Mereka bernyanyi, “Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka materai-materainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa. Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi” (Why. 5:9-10).
Bayangkanlah di surga kelak akan hadir setiap kelompok manusia yang ada di dunia, bersama-sama merayakan keajaiban karya Allah yang telah menjadikan mereka anak-anak-Nya! Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, kiranya kita merayakan keberagaman itu hari ini.—Bill Crowder
WAWASAN
Di Wahyu 4-5 kita membaca tentang adegan dramatis yang terjadi di ruang takhta Allah. Tergambar di sana bagaimana para tua-tua dan berbagai makhluk hidup menyembah-Nya. Namun, di kedua pasal itu kita melihat dua peran Allah yang memotivasi penyembahan. Dalam 4:11, peran-Nya sebagai Pencipta yang mendorong orang menyembah-Nya dengan berkata, “Sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan.” Di 5:9, Sang Anak Domba dinyatakan layak karena Dialah Juruselamat yang “telah disembelih dan dengan darah-[Nya] [Dia] telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa.” Sebagai Pencipta dan Juruselamat, Allah layak menerima semua pujian. —Bill Crowder
Apa saja hal-hal baik yang dinikmati gereja Tuhan yang sangat beragam? Apa saja tantangan yang kadang dihadapi karena keberagaman tersebut?
Ya Bapa, aku berterima kasih kepada-Mu karena tak satu kelompok manusia pun terluput dari kasih-Mu yang ajaib. Ajar kami untuk benar-benar saling mengasihi, seperti Engkau telah begitu mengasihi kami.

Friday, July 10, 2020

Tidak Aji Mumpung

Jangan celakakan dirimu, sebab kami semuanya masih ada di sini! —Kisah Para Rasul 16:28
Tidak Aji Mumpung
Ketika sejumlah narapidana sedang bekerja mengangkut sampah di pinggir jalan untuk mendapatkan pengurangan masa hukuman, pengawas mereka, James, mendadak pingsan. Mereka bergegas menghampiri James dan menyadari bahwa ia harus segera mendapatkan pertolongan medis. Salah seorang tahanan meminjam telepon James untuk meminta bantuan. Di kemudian hari, kepala rutan berterima kasih kepada para tahanan yang telah membantu pengawas mereka mendapatkan bantuan medis dengan segera, terutama karena mereka bisa saja tidak mempedulikan James—yang pasti akan membahayakan nyawanya karena terserang stroke—atau aji mumpung dengan memanfaatkan keadaan itu untuk melarikan diri.
Kebaikan para narapidana itu tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Paulus dan Silas ketika mereka dipenjara. Setelah mereka ditelanjangi, didera, dan dilemparkan ke dalam penjara, terjadilah gempa bumi hebat sehingga terlepaslah rantai yang membelenggu mereka dan menggoncangkan pintu-pintu penjara dari engselnya (Kis. 16:23-26). Ketika kepala penjara itu terbangun, ia mengira semua tahanan sudah kabur, sehingga ia bermaksud bunuh diri (daripada dihukum mati karena kaburnya para tahanan). Ketika Paulus berseru dengan suara nyaring, “Kami semuanya masih ada di sini!” (ay.28), kepala penjara itu begitu tersentuh oleh tindakan mereka yang menolak melarikan diri—sesuatu yang tidak lazim dilakukan oleh para tahanan—sehingga ia ingin tahu tentang Allah yang disembah Paulus dan Silas. Pada akhirnya ia pun mau percaya kepada Yesus (ay.29-34).
Cara kita memperlakukan orang lain menunjukkan kepada siapa kita percaya dan nilai apa yang kita anut. Ketika kita memilih untuk berbuat baik daripada melakukan hal yang tidak benar, tindakan kita mungkin akan membuat orang lain ingin mengenal Allah yang kita kenal dan kasihi.—Kirsten Holmberg
WAWASAN
Kisah kepala penjara dalam Kisah Para Rasul 16:19-34 sangatlah menarik. Kemungkinan ia seorang hamba yang ditugaskan menjaga penjara. Menurut hukum Roma, seorang kepala penjara yang membiarkan orang-orang hukuman melarikan diri harus dihukum mati (lihat 12:19). Rupanya lebih baik bunuh diri daripada dihukum mati. Namun, Paulus menghentikan niat kepala penjara itu tepat pada waktunya (16:28). Alhasil, kepala penjara bertanya bagaimana caranya supaya ia bisa selamat. Ia dan seisi rumahnya pun percaya kepada Allah dan memberi diri dibaptis (ay.31-34). Julie Schwab
Dalam situasi apa kamu dapat memilih untuk tidak aji mumpung demi menguntungkan diri sendiri? Bagaimana keputusan itu dapat memberi manfaat bagi orang lain?
Allah Maha Pengasih, tolonglah aku memilih untuk melakukan hal-hal yang akan menarik orang lain mendekat kepada-Mu.

Thursday, July 9, 2020

Kebodohan Hidup Baru

Pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah. —1 Korintus 1:18
Kebodohan Hidup Baru
Ada saja hal-hal yang terasa tidak masuk akal sampai kita mengalaminya sendiri. Saat sedang mengandung anak pertama, saya membaca sejumlah buku tentang persalinan dan mendengar cerita-cerita tentang pengalaman melahirkan dari banyak teman perempuan. Namun, saya tetap tidak dapat membayangkan seperti apa nanti pengalaman saya sendiri. Rasanya mustahil memikirkan apa yang akan terjadi dengan tubuh saya!
Paulus menulis dalam 1 Korintus bahwa kelahiran baru ke dalam Kerajaan Allah, yaitu keselamatan yang ditawarkan-Nya kepada kita melalui Kristus, sama sulitnya untuk dipahami oleh mereka yang belum mengalaminya. Mengatakan bahwa keselamatan dapat datang melalui salib—suatu kematian yang dianggap sebagai kelemahan, kekalahan, dan kenistaan—terdengar seperti sebuah “kebodohan”. Akan tetapi, justru “kebodohan” inilah keselamatan yang diberitakan oleh Paulus!
Tak seorang pun pernah membayangkan cara Allah tersebut. Sebagian orang mengira keselamatan akan datang melalui pemimpin politik yang kuat atau tanda-tanda ajaib. Sebagian lagi mengira mereka bisa diselamatkan oleh pencapaian akademis atau kepandaian hikmat mereka (1Kor. 1:22). Namun, Allah mengejutkan semua orang dengan membawa keselamatan melalui cara yang hanya masuk akal bagi mereka yang mempercayainya dan mengalaminya sendiri.
Allah memakai sesuatu yang memalukan dan lemah—kematian di kayu salib—dan menjadikannya sebagai dasar hikmat dan kekuatan. Allah melakukan yang tak terbayangkan. Dia memilih yang lemah dan bodoh dari dunia untuk memalukan orang-orang yang berhikmat (ay.27). Cara-cara-Nya yang mengejutkan dan mengherankan itu selalu merupakan cara yang terbaik.—Amy Peterson
WAWASAN
Para penulis Perjanjian Baru sendiri mempelajari Kitab Suci, dan tulisan mereka mencerminkan pengenalan mereka terhadap Perjanjian Lama. Terkadang mereka menunjukkan kaitan dengan Perjanjian Lama melalui kata-kata seperti “supaya genaplah” (Matius 1:22) atau “ada tertulis” (1 Korintus 1:19,31). Paulus menggunakan kutipan dari Yesaya dan Yeremia untuk membuka dan menutup pengajarannya di 1 Korintus 1:19-31 tentang hikmat dan kuasa Allah yang melekat dengan pekabaran Injil. Bagian tersebut dimulai dengan kutipan dari Yesaya 29:14 dan diakhiri dengan kata-kata yang didasarkan pada Yeremia 9:24, “Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan.” —Arthur Jackson
Bagaimana Allah mengejutkanmu hari ini? Mengapa benar bahwa jalan Allah lebih baik daripada jalanmu?
Ya Allah, aku berdoa, seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Mu dari jalanku, dan rancangan-Mu dari rancanganku.

Wednesday, July 8, 2020

Sahabat dalam Kegagalan

Paulus dengan tegas berkata, bahwa tidak baik membawa serta orang yang telah meninggalkan mereka. —Kisah Para Rasul 15:38
Sahabat dalam Kegagalan
Pada tanggal 27 November 1939, tiga pemburu harta karun yang ditemani oleh sekelompok kru film menggali jalan beraspal di depan amfiteater Hollywood Bowl di California Selatan. Mereka sedang mencari harta karun Cahuenga Pass berupa emas, berlian, dan mutiara yang menurut desas-desus telah dikubur di sana selama tujuh puluh lima tahun.
Namun, harta karun itu tidak pernah ditemukan. Setelah menggali selama dua puluh empat hari, mereka membentur batu besar dan berhenti. Yang mereka hasilkan hanyalah lubang selebar hampir tiga meter dan kedalaman tiga belas meter. Mereka pun pulang dengan kecewa.
Melakukan kesalahan merupakan hal yang manusiawi—kita semua pasti pernah gagal. Kitab Suci mencatat bahwa seorang pemuda bernama Markus meninggalkan Paulus dan Barnabas dalam suatu perjalanan misi “dan tidak mau turut bekerja bersama-sama dengan mereka.” Karena hal ini, “Paulus dengan tegas berkata, bahwa tidak baik membawa serta” Markus dalam perjalanan berikutnya (Kis. 15:38). Sikapnya mengakibatkan perselisihan besar dengan Barnabas. Namun, meski awalnya gagal, Markus muncul kembali bertahun-tahun kemudian secara mengejutkan. Ketika Paulus kesepian dan mendekam di penjara menjelang akhir hidupnya, ia meminta Markus datang dan menyatakan bahwa “pelayanannya penting bagiku” (2 Tim. 4:11). Allah bahkan mengilhami Markus untuk menulis Injil yang kemudian menyandang namanya.
Hidup Markus menunjukkan bahwa Allah tidak membiarkan kita menghadapi kesalahan dan kegagalan kita seorang diri. Kita memiliki Sahabat yang lebih besar daripada segala kesalahan kita. Saat kita mengikuti Sang Juruselamat, Dia akan menyediakan pertolongan dan kekuatan yang kita butuhkan.—James Banks
WAWASAN
Mengapa isu tentang sunat muncul di Kisah Para Rasul 16:3? Bagi orang Yahudi, sunat melambangkan mereka sebagai bangsa pilihan Allah (lihat Kejadian 17:9-14). Meski demikian, perhatikan bahwa Paulus tidak menyunatkan Timotius sebagai tanda bahwa ia percaya kepada Yesus. Di surat Galatia, Paulus menulis, “Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih” (5:6). Dalam hal ini, Paulus menyunatkan Timotius supaya ia tidak menyinggung perasaan orang-orang Yahudi yang tinggal di Galatia Selatan (sekarang bagian dari Turki). Paulus menunjukkan kepekaan budaya yang besar agar kabar baik tentang Yesus Kristus dapat menjangkau lebih banyak orang. —Tim Gustafson
Kesalahan atau kegagalan apa yang kamu hadapi akhir-akhir ini? Bagaimana kamu mengalami kembali kekuatan dari Allah ketika kamu menyerahkan kegagalan itu kepada-Nya di dalam doa?
Tuhan Yesus, terima kasih Engkau selalu hadir saat aku ingin berbicara dengan-Mu. Aku memuji-Mu untuk penghiburan dan pengharapan yang kuterima hanya dari-Mu!

Tuesday, July 7, 2020

Telur-Telur Doa

Apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh. —Habakuk 2:3
Telur-Telur Doa
Dari balik jendela dapur, saya melihat seekor burung robin sedang membangun sarangnya di bawah atap teras rumah kami. Saya senang melihat burung itu menganyam rerumputan supaya menjadi sarang yang aman lalu duduk mengerami telur-telurnya. Setiap pagi saya memeriksa perkembangannya, tetapi tidak melihat ada kemajuan yang berarti. Telur burung robin memang membutuhkan waktu dua minggu untuk menetas.
Saya memang bukan tipe orang yang sabar. Saya paling tidak suka menunggu, apalagi dalam hal berdoa. Bersama suami, kami menantikan jawaban doa selama hampir lima tahun untuk mengadopsi anak kami yang pertama. Beberapa dekade lalu, penulis Catherine Marshall menulis, “Doa, seperti telur, tidak langsung menetas begitu kita meletakkannya.”
Nabi Habakuk juga bergumul menantikan jawaban doa. Dalam perasaan frustrasi karena Allah seolah bungkam melihat kebrutalan Babel terhadap Kerajaan Yehuda, Habakuk bertekad untuk “berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara,” untuk “menantikan apa yang akan difirmankan-Nya kepadaku” (Hab. 2:1). Allah menjawab Habakuk dengan menyuruhnya menantikan “saatnya” (ay.3) dan menuliskan “penglihatan itu” supaya orang-orang dapat segera membacanya (ay.2).
Hanya saja, Allah tidak menyebutkan bahwa “saatnya” Babel jatuh baru akan terjadi enam dekade lagi. Sungguh suatu rentang waktu yang lama antara janji dan penggenapannya. Layaknya telur, doa sering kali tidak langsung menetas tetapi mengalami pengeraman dahulu sebelum seluruh tujuan Allah bagi dunia dan bagi kehidupan kita terpenuhi.—Elisa Morgan
WAWASAN
Kita tidak tahu banyak tentang Nabi Habakuk. Ada yang menduga bahwa ia anak lelaki dari perempuan Sunem yang dibangkitkan dari kematian oleh Elisa (2 Raja-Raja 4:8-37). Mengenai nubuatannya, satu-satunya unsur sejarah yang kita miliki adalah ketika ia menyebut tentang orang Babel (atau Kasdim, lihat Habakuk 1:6). Nubuatan Habakuk biasanya dianggap terjadi pada abad ke-7 SM. The New Bible Commentary mengatakan bahwa kitab Habakuk bertujuan untuk “membahas pergulatan moral dari tindakan Allah mendatangkan orang Kasdim untuk menjatuhkan hukuman atas Yehuda.” Kemungkinan bagian kunci Habakuk adalah ayat 2:4: “tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.” Pernyataan itu dikutip dalam Roma 1:17, Galatia 3:11, dan Ibrani 10:38, sehingga pernyataan tersebut menjadi bagian inti Perjanjian Baru, meskipun pertama kali diutarakan dalam kitab nabi-nabi kecil Perjanjian Lama. —Bill Crowder
Sesulit apakah kamu menantikan jawaban Allah? Dalam penantian, bagaimana kamu dapat menaati Allah dengan mengerjakan apa yang telah Allah percayakan kepadamu?
Ya Allah, tolong aku untuk percaya bahwa Engkau masih terus bekerja dalam masa penantianku.

Monday, July 6, 2020

Pohon yang Subur

Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh; tetapi orang benar akan tumbuh seperti daun muda. —Amsal 11:28
Pohon yang Subur
Saya hobi mengoleksi. Semasa kecil, saya mengoleksi prangko, kartu bisbol, dan buku komik. Sekarang, sebagai orangtua, saya melihat anak-anak saya juga memiliki ketertarikan yang sama. Terkadang saya bertanya-tanya, Benarkah anak saya butuh satu lagi boneka beruang? Bukannya sudah banyak?
Tentu saja, ini bukan soal kebutuhan, melainkan daya tarik dari sesuatu yang baru. Atau terkadang daya tarik dari barang yang sudah kuno atau langka. Apa pun yang memikat imajinasi kita, kita tergoda untuk mempercayai bahwa andai saja kita memiliki hal tersebut maka hidup kita pasti akan menjadi lebih baik. Kita akan bahagia. Kita akan puas.
Hanya saja, hal-hal tersebut tidak akan pernah bisa memenuhi harapan kita. Mengapa? Karena Allah menciptakan kita untuk dipenuhi oleh-Nya, bukan oleh hal-hal yang dikatakan dunia akan dapat memuaskan hasrat hati kita.
Pergumulan ini bukan hal baru. Amsal membedakan dua gaya hidup: kehidupan yang dihabiskan untuk mengejar kekayaan dan kehidupan yang didasarkan pada Allah yang penuh kasih dan kemurahan. Dalam The Message, Eugene Peterson membahasakan kembali Amsal 11:28 demikian: “Kehidupan yang diabdikan kepada materi adalah hidup yang mati, ibarat tanggul pohon yang habis ditebang; hidup yang dibentuk Allah adalah pohon yang subur.”
Perumpamaan yang luar biasa! Dua gaya hidup: yang satu bertumbuh dan berbuah, sementara yang satu lagi kosong dan mandul. Dunia menegaskan bahwa kelimpahan materi sama dengan “hidup bahagia.” Sebaliknya, Allah mengundang kita untuk berakar di dalam Dia, mengalami kebaikan-Nya, dan bertumbuh hingga berbuah lebat. Ketika kita dibentuk oleh hubungan kita dengan-Nya, Allah pun membentuk hati dan hasrat kita, sampai kita diubah seluruhnya.—Adam Holz
WAWASAN
Kata tumbuh di Amsal 11:28 adalah terjemahan kata parach dalam bahasa Ibrani, yang bisa berarti “bertunas” seperti kuntum atau kuncup; atau bertumbuh, berkembang, dan bersemi. “Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh; tetapi orang benar akan tumbuh seperti daun muda.” Dinamika pertumbuhan positif itu mencirikan orang yang memiliki hubungan yang benar dengan Allah (“orang benar”). Kita juga melihat kata itu dalam Mazmur 92: “Orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon; mereka yang ditanam di bait TUHAN akan bertunas di pelataran Allah kita” (ay.13-14). —Arthur Jackson
Pernahkah kamu bergumul secara rohani ketika kamu terlalu berfokus kepada hal-hal duniawi? Apa yang dapat menjagamu agar tetap mempunyai perspektif yang sepantasnya?
Ya Bapa, terima kasih untuk segala kebaikan yang Engkau karuniakan. Tolong aku tetap mempercayai-Mu melebihi hal-hal lain di dunia ini.

Sunday, July 5, 2020

Kekuatan yang Diperbarui

Pujilah Tuhan . . . yang memuaskan hasratmu dengan kebaikan. —Mazmur 103:1,5
Kekuatan yang Diperbarui
Psikiater Robert Coles memperhatikan adanya pola dari orang-orang yang mengalami burnout (kondisi stres yang berkepanjangan) di tengah kesibukan melayani orang lain. Tanda peringatan pertama adalah kelelahan. Berikutnya, muncul sinisme yang meragukan keadaan akan membaik, disusul dengan kepahitan, putus asa, depresi, dan akhirnya burnout.
Setelah menulis buku tentang bangkit kembali dari mimpi yang kandas, saya pernah memasuki masa-masa sibuk ketika diundang berbicara di berbagai seminar. Membantu orang menemukan harapan setelah mengalami kekecewaan memang membuat saya sangat senang, tetapi ada harga yang harus dibayar. Suatu hari, saat hendak naik ke atas panggung, saya merasa mau pingsan. Karena kurang tidur dan baru kembali dari liburan yang semakin melelahkan, membayangkan harus mendengarkan cerita orang tentang kesusahan mereka membuat saya ngeri. Ternyata saya mengalami pola yang dikatakan Coles.
Alkitab memberikan dua strategi untuk mengatasi burnout. Dalam Yesaya 40, jiwa yang letih akan diperbarui ketika kita berharap kepada Tuhan (ay.29-31). Saya perlu beristirahat di dalam Allah dan percaya bahwa Dia tetap berkarya, daripada terus memaksa dengan kekuatan diri yang semakin berkurang. Selain itu, Mazmur 103 mengatakan bahwa Allah akan memperbarui kita dengan memuaskan hasrat kita dengan segala yang baik (ay.5). Selain pengampunan dan penebusan (ay.3-4), Dia juga mengaruniakan sukacita dan kegembiraan. Setelah mengatur ulang jadwal saya agar memiliki lebih banyak waktu untuk berdoa, beristirahat, dan menekuni hobi fotografi, saya mulai merasa sehat kembali.
Burnout bermula dari kelelahan. Jangan biarkan itu semakin berkembang. Kita akan dapat melayani orang lain dengan lebih baik ketika hidup kita meliputi penyembahan kepada Allah dan peristirahatan di dalam Dia.—Sheridan Voysey
WAWASAN
Pembaruan adalah salah satu tema Mazmur 103 (lihat ay.3-5), yang juga merupakan tema menonjol dalam bagian-bagian Perjanjian Lama yang lain: “Orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya” (Yesaya 40:31); “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” (Mazmur 51:12), dan “Bawalah kami kembali kepada-Mu, ya TUHAN, maka kami akan kembali, baharuilah hari-hari kami seperti dahulu kala!” (Ratapan 5:21). Dalam Perjanjian Baru, kita belajar bahwa pembaruan segala sesuatu akan terjadi ketika Yesus datang kembali: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel” (Matius 19:28). Sementara itu, orang-orang yang percaya kepada Yesus diperbarui setiap hari oleh Roh Kudus yang bekerja di dalam hidup mereka (Roma 12:2; 2 Korintus 4:16). —Alyson Kieda
Beban apa yang perlu kamu serahkan kepada Allah saat ini? Bagaimana kekuatanmu dapat diperbarui melalui doa, firman Tuhan dan melakukan kegemaran yang sehat?
Ya Allah, aku ingin bangkit dengan kekuatan seperti rajawali hari ini. Aku percaya Engkau bekerja dalam situasi yang melelahkan ini dan kuterima anugerah-Mu yang mengisi jiwaku dengan sukacita.

Saturday, July 4, 2020

Seorang yang Baik Hati

Ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan. —Lukas 7:13
Seorang yang Baik Hati
Karena kecewa dan menginginkan kehidupan yang lebih bermakna, Leon berhenti dari pekerjaannya di bidang keuangan. Suatu hari ia melihat seorang pria tunawisma di tikungan jalan mengangkat papan yang bertuliskan: kebaikan adalah obat yang terbaik. Leon berkata, “Kalimat itu langsung mengena ke hati saya. Saya seperti mendapat pencerahan.”
Leon memutuskan untuk memulai kehidupan barunya dengan mendirikan sebuah organisasi internasional yang bertujuan mendorong kebaikan. Ia melakukan perjalanan keliling dunia dan mengandalkan kebaikan orang asing untuk menyediakan baginya makanan, bahan bakar, dan tempat tinggal. Kemudian ia membalas kebaikan mereka, melalui organisasinya, dengan perbuatan baik seperti memberi makan anak yatim piatu atau membangun sekolah untuk anak-anak kurang mampu. Ia berkata, “Meski terkadang dipandang sebagai sesuatu yang lembek, kebaikan sebenarnya merupakan kekuatan yang luar biasa. “
Hakikat Kristus sebagai Allah adalah kebaikan, sehingga kebaikan mengalir secara alami dari-Nya. Saya senang membaca kisah dalam Alkitab tentang apa yang Yesus lakukan ketika Dia bertemu dengan rombongan pelayat yang mengusung jenazah anak lelaki satu-satunya dari seorang janda (Luk. 7:11-17). Wanita yang berduka itu kemungkinan besar sangat bergantung pada putranya dalam hal keuangan. Dalam kisah itu, kita tidak membaca ada orang yang meminta kepada Yesus untuk campur tangan. Murni karena kebaikan hati-Nya (ay.13), Dia tergerak dan kemudian menghidupkan kembali anak lelaki itu. Lalu, orang-orang yang melihat itu berkata tentang Kristus, “Allah telah melawat umat-Nya” (ay.16).—Anne Cetas
WAWASAN
Di dalam Alkitab, kota Nain hanya pernah disebut di Lukas pasal 7. Kota tersebut terletak kurang lebih 32 km barat daya Kapernaum (markas pelayanan Yesus di utara di Danau Galilea) dan sekitar 11 kilometer di selatan Nazaret (tempat tinggal Yesus semasa kecil). Jadi, kota Nain terletak di tengah-tengah daerah asal Kristus. Namun, sebagai tempat terjadinya mukjizat kebangkitan dari kematian, Nain memiliki makna lebih penting lagi. Nain terletak di dekat situs kuno Sunem, suatu kota yang sudah lenyap, kecuali di ingatan orang-orang. Mengapa masih diingat? Di Sunem, Nabi Elisa membangkitkan anak seorang perempuan dari kematian (2 Raja-Raja 4:8-36). Oleh karena itu, tidak mengherankan, ketika Yesus membangkitkan anak laki-laki seorang janda di kota Nain, tanggapan orang-orang adalah, “Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita” (Lukas 7:16). Mereka masih ingat apa yang dilakukan Elisa! —Bill Crowder
Kebaikan apa saja yang sudah Tuhan Yesus limpahkan bagimu? Catat semua kebaikan itu dan berterimakasihlah kepada-Nya.
Ya Allah, Engkau selalu melimpahkan karunia kasih-Mu kepadaku. Aku memuji-Mu, karena Engkau telah memperhatikan aku.

Friday, July 3, 2020

Hanya Percikan Kecil

Lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. —Yakobus 3:5
Hanya Percikan Kecil
“Kami sedang berada di perpustakaan, dan kami lihat ada kobaran api di luar!” Ia ketakutan. Kami mengenali suaranya, karena itu suara anak perempuan kami. Namun, di saat yang bersamaan kami tahu kampusnya adalah tempat yang paling aman baginya dan bagi hampir 3.000 mahasiswa lain. Kebakaran Woolsey yang terjadi pada tahun 2018 itu menjalar begitu cepat melebihi perkiraan siapa pun—terutama para petugas pemadam kebakaran. Suhu panas yang tercatat paling tinggi sepanjang sejarah, ditambah kondisi kering di kawasan ngarai California, dan tiupan angin kencang Santa Ana yang legendaris sudah cukup untuk membuat percikan kecil api meluap hingga akhirnya membakar kawasan hutan seluas tiga puluh sembilan ribu hektar, menghanguskan lebih dari 1.600 bangunan, dan menewaskan tiga orang. Dalam foto-foto yang diambil setelah pemadaman api, garis pantai yang dahulu hijau dan subur kini gersang seperti permukaan bulan.
Dalam kitab Yakobus, penulis menyebutkan beberapa hal yang kecil tetapi dahsyat, seperti: “kekang pada mulut kuda” dan “kemudi” kapal (3:3-4). Walaupun contoh-contoh itu cukup lazim bagi kita, tetapi masih terkesan jauh. Namun kemudian, ia menyebutkan contoh lain yang lebih umum, suatu hal kecil yang dipunyai setiap orang, yaitu lidah. Meskipun pasal ini awalnya ditujukan terutama bagi para guru (ay.1), tetapi penerapannya juga berlaku kepada setiap dari kita. Lidah, walaupun kecil, dapat menyebabkan kehancuran fatal.
Lidah kecil kita begitu dahsyat dan berkuasa, tetapi Allah kita yang besar jauh lebih berkuasa. Pertolongan-Nya yang kita alami setiap hari memberikan kekuatan untuk mengendalikan dan mengarahkan ucapan kita.—JOHN BLASÉ
WAWASAN
Dalam surat Yakobus, penulis menggambarkan tentang orang yang beragama tetapi tidak mengekang lidahnya, sehingga ibadahnya sia-sia (1:26). Namun, kemudian ia menambahkan bahwa tidak seorang pun berkuasa menjinakkan lidah (3:8). Apa yang dimaksud oleh Yakobus? Karena menulis sebagai hamba Kristus (1:1), ia mungkin sedang mengingat-ingat apa yang Yesus katakan ketika Dia mengingatkan para pemimpin agama di masa itu bahwa apa yang diucapkan mulut meluap dari hati (Matius 12:34). Hati kita, dan bukan semata-mata perkataan, yang perlu dikendalikan oleh Sumber di luar kita. Di akhir pasal 3, Yakobus membandingkan hikmat yang mementingkan diri sendiri dengan hikmat pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik—suatu kerohanian hati, perkataan, dan perbuatan yang berasal dari Roh Yesus yang mengubahkan hidup (3:17-18). —Mart DeHaan
Kapan terakhir kalinya kamu gagal menguasai lidahmu? Bagaimana kekuatan Allah akan dapat menolongmu mengendalikan ucapanmu?
Tuhan Yesus, aku pernah menerima kata-kata orang lain yang menyakitkan. Namun, entah sudah berapa kali aku pun mengucapkan kata-kata yang menyebabkan orang lain sedih atau sakit hati. Tolonglah aku agar dapat mengendalikan lidahku.

Thursday, July 2, 2020

Pisang yang Berbicara

[Barnabas] menasihati mereka, supaya mereka semua tetap setia kepada Tuhan. —Kisah Para Rasul 11:23
Pisang yang Berbicara
Jangan pernah menyerah. Buatlah orang lain tersenyum karena kehadiranmu. Yang penting bukanlah masa lalumu, melainkan masa depan yang akan kamu raih. Beberapa murid sebuah sekolah di Virginia Beach, Virginia, menemukan pesan-pesan tersebut dan banyak lagi pesan lain ditulis pada kulit pisang yang menjadi salah satu menu makan siang mereka. Stacey Truman, sang manajer kantin, sengaja menuliskan pesan-pesan itu pada buah tersebut, yang oleh anak-anak kemudian dijuluki sebagai “pisang yang berbicara.”
Pelayanan yang menunjukkan kepedulian itu mengingatkan saya kepada Barnabas yang memperhatikan para petobat yang masih muda dalam iman di kota kuno Antiokhia (Kis. 11:22-24). Barnabas terkenal karena kemampuannya memberikan semangat kepada orang lain. Barnabas dikenal sebagai orang baik yang penuh dengan Roh Kudus dan iman, dan ia menasihati mereka yang baru percaya untuk “tetap setia kepada Tuhan” (ay.23). Saya membayangkan bagaimana ia menghabiskan waktu bersama-sama mereka yang membutuhkan bantuannya dan mengucapkan kata-kata yang menguatkan seperti: Tetaplah berdoa. Percayalah kepada Tuhan. Tetaplah setia kepada Allah walaupun hidup ini sulit.
Seperti anak-anak, orang-orang yang baru percaya kepada Allah membutuhkan banyak dukungan. Mereka penuh dengan potensi dan masih mencari tahu apa saja kecakapan mereka. Mungkin mereka belum sepenuhnya menyadari apa yang ingin Allah lakukan di dalam dan melalui diri mereka, dan sering kali Iblis berupaya keras untuk menghambat pertumbuhan iman mereka.
Kita yang sudah sekian lama mengikut Tuhan Yesus tentu mengerti betapa tidak mudahnya hidup bagi Dia. Kiranya kita semua mampu memberi dan menerima dorongan yang menguatkan bersama Roh Allah yang menuntun serta mengingatkan kita akan kebenaran iman yang kita yakini. —JENNIFER BENSON SCHULDT
WAWASAN
Barnabas, yang nama sebenarnya Yusuf, seorang Lewi yang kaya dari pulau Siprus (Kisah Para Rasul 4:36-37). Barnabas artinya “anak penghiburan”, dan ia berperilaku sesuai namanya. Melalui Barnabas, Saulus (Paulus) diterima dan dipercaya oleh orang-orang Kristen di Yerusalem (Kisah Para Rasul 9:26-30), sehingga terbuka pintu bagi Saulus untuk melayani dengan lebih luas. Dalam perikop hari ini, Barnabas dikirim ke Antiokhia untuk memberi semangat kepada orang-orang percaya yang bukan Yahudi (11:22). Ia kemudian mendorong Paulus untuk datang mengajar orang-orang yang baru percaya tersebut. Di Antiokhia murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen (ay.26). Barnabas juga menguatkan Yohanes yang disebut Markus, seorang anak muda yang dianggap gagal oleh Paulus (Kisah Para Rasul 13:13; 15:36-39), dan berperan penting dalam memulihkan Markus hingga berguna kembali dalam pelayanan (Kolose 4:10; 2 Timotius 4:11). —K.T. Sim
Bagaimana cara Allah menyemangatimu dahulu? Bagaimana Allah dapat bekerja melalui kamu untuk menguatkan orang lain?
Bapa di surga, berikanlah seseorang yang bisa kukuatkan hari ini. Tunjukkan kepadaku apa yang harus kukatakan dan bagaimana aku bisa menjawab kebutuhannya supaya nama-Mu dipermuliakan.
 

Total Pageviews

Translate