Pages - Menu

Friday, November 30, 2018

Bersyukur Memuliakan Allah

Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku. —Mazmur 50:15
Bersyukur Memuliakan Allah
Dokter tidak mengerutkan keningnya, meskipun ia sedang berbicara dengan suami saya tentang hasil diagnosis kankernya yang baru keluar. Sambil tersenyum, dokter memberikan saran: awalilah setiap hari dengan bersyukur. “Setidaknya untuk tiga hal,” kata dokter itu. Suami saya, Dan, setuju karena ia tahu bahwa ucapan syukur membuka hati kita untuk dikuatkan dalam kebaikan Allah. Jadi, Dan mengawali setiap harinya dengan kata-kata pujian. Allah, terima kasih untuk tidur malam yang nyenyak, tempat tidur yang bersih, sinar matahari, sarapan yang terhidang, dan bibir yang masih bisa tersenyum.
Setiap kata tersebut diucapkannya dengan tulus. Namun, tidakkah itu terdengar sepele? Apakah pujian kita untuk hal-hal kecil dalam hidup ini ada artinya bagi Allah yang Mahakuasa? Dalam Mazmur 50, Asaf, pemimpin pujian di kerajaan Daud, memberikan jawaban yang jelas. Allah tidak memerlukan lembu atau kambing jantan dari kandang kita (ay.9). Alih-alih mempersembahkan korban syukur secara formal seperti yang dilakukan bangsa Israel, Allah rindu umat-Nya memberikan hati dan hidup mereka dengan ucapan syukur kepada Dia (ay.14,23).
Seperti yang dialami suami saya, ucapan syukur yang tulus akan membangkitkan semangat kita. Kemudian, saat kita berseru kepada Tuhan “pada waktu kesesakan,” Dia akan “meluputkan” kita (ay.15). Apakah ini berarti Dan akan disembuhkan, secara rohani dan jasmani, selama dua tahun perawatannya? Atau tidak disembuhkan pada masa hidupnya sekarang? Kami tidak tahu. Namun, untuk saat ini, Dan senang menunjukkan kepada Allah betapa ia bersyukur atas kasih-Nya dan atas keberadaan-Nya: Dialah Penebus. Penyembuh. Sahabat. Tuhan senang mendengar kata-kata indah ini: Terima kasih. —Patricia Raybon
Ucapan syukurku diterima-Nya dengan sukacita.

Thursday, November 29, 2018

Tuhan atas Masa Hidup Kita

Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya. —Amsal 16:9
Tuhan atas Masa Hidup Kita
Belum lama ini saya mengerjakan proyek konstruksi di rumah putra saya yang berjarak tempuh tiga jam dari rumah saya. Pekerjaan itu memakan waktu berhari-hari, lebih lama daripada yang direncanakan, dan tiap pagi saya berdoa agar bisa menyelesaikan pekerjaan saat matahari terbenam. Namun, tiap malam selalu saja ada pekerjaan yang harus dilakukan.
Saya bertanya-tanya. Mengapa pekerjaan itu bisa terus tertunda? Jawaban datang pada pagi berikutnya. Saya baru mau mulai bekerja saat telepon berdering dan ada suara mengatakan: “Putri kamu tertimpa kecelakaan. Kamu perlu datang segera.”
Putri saya tinggal di dekat rumah putra saya, dan hanya butuh 14 menit untuk tiba di rumahnya. Jika saya ada di rumah sendiri, saya pasti memerlukan tiga jam perjalanan. Saya mengikuti ambulans ke rumah sakit dan menenangkan putri saya sebelum operasi. Saat saya duduk memegang tangannya, saya menyadari bahwa jika proyek saya tidak tertunda, saya tidak akan bisa menemani putri saya.
Masa-masa hidup kita dimiliki oleh Allah. Itulah yang dialami perempuan yang anaknya telah dibangkitkan Allah melalui Nabi Elisa (2Raj. 4:18-37). Perempuan itu meninggalkan kotanya karena wabah kelaparan dan pulang bertahun-tahun kemudian untuk memohon kepada raja agar dapat memperoleh kembali tanahnya. Tepat pada waktu raja sedang berbicara dengan Gehazi, hamba sang nabi, “tentang Elisa menghidupkan anak yang sudah mati itu, tampaklah perempuan yang anaknya dihidupkan itu datang” (8:5). Permohonannya dikabulkan.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang, tetapi Allah yang penuh rahmat bisa memakai situasi apa saja untuk kebaikan. Kiranya Allah memampukan kita berjalan bersama-Nya dengan penuh pengharapan akan kehendak-Nya bagi kita hari ini. —James Banks
Tuhan, terima kasih atas hidup yang Engkau karuniakan kepadaku. Tolonglah aku untuk menjadi hamba-Mu yang setia.
Hidup kita jauh lebih baik di tangan Allah daripada di tangan kita sendiri.

Wednesday, November 28, 2018

Fondasi yang Kuat

Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. —Matius 7:24
Fondasi yang Kuat
Musim panas yang lalu, saya dan suami mengunjungi Fallingwater, sebuah rumah di kawasan pedesaan Pennsylvania yang dirancang oleh arsitek Frank Lloyd Wright pada tahun 1935. Saya belum pernah melihat rumah seperti itu. Wright ingin menciptakan rumah yang tumbuh secara organik dari lanskap alam yang ada, seolah-olah rumah itu benar-benar tumbuh di tempat itu—dan ia berhasil melakukannya. Ia membangun rumah di sekitar air terjun alami dan gaya rumah itu menyerupai tebing batu di dekatnya. Pemandu wisata kami menjelaskan apa yang membuat bangunan itu aman: “Penyangga vertikal utama dari rumah itu bertumpu di atas batu karang.”
Mendengarkan penjelasannya membuat saya langsung teringat pada perkataan Yesus kepada murid-murid-Nya. Dalam Khotbah di Bukit, Yesus mengatakan kepada mereka bahwa apa yang Dia ajarkan akan menjadi fondasi yang teguh bagi kehidupan mereka. Apabila mereka mendengarkan dan menerapkan perkataan-Nya, mereka akan dapat bertahan menghadapi badai apa pun. Sebaliknya, mereka yang mendengar, tetapi tidak taat, akan menjadi seperti rumah yang dibangun di atas pasir (Mat. 7:24-27). Kemudian, Paulus mengulang kembali pemikiran tersebut, dengan menyatakan bahwa Kristus adalah fondasi, dan kita harus membangun di atas fondasi itu suatu pekerjaan yang tahan uji (1Kor. 3:11).
Ketika kita mendengarkan perkataan Yesus dan menaatinya, kita sedang membangun hidup kita di atas fondasi sekuat batu karang. Kiranya hidup kita dapat menyerupai Fallingwater, indah dan kukuh bertahan karena dibangun di atas Batu Karang. —Amy Peterson
Ya Allah, tolonglah kami untuk mendengar dan menaati perkataan Yesus.
Apa yang menjadi fondasi hidupmu?

Tuesday, November 27, 2018

Menumpuk Jerami

Berbahagialah orang yang diampuni pelanggaran-pelanggarannya, dan yang ditutupi dosa-dosanya. —Roma 4:7
Menumpuk Jerami
Semasa kuliah, pada suatu musim panas, saya bekerja di sebuah pertanian di Colorado. Pada satu sore, karena lelah dan lapar setelah bekerja seharian memangkas jerami, saya mencoba untuk mengarahkan traktor masuk ke halaman. Dengan gaya yang sok, saya membanting setirnya jauh ke kiri, menginjak rem kiri, dan memutar balik traktornya.
Tanpa saya ketahui, alat pemotong jerami pada traktor itu sedang dalam posisi di bawah. Akibatnya, kaki-kaki penyangga tangki berisi 500 galon bensin yang ada di dekatnya tersapu oleh alat pemotong itu. Seketika juga, tangki itu jatuh menghantam tanah dengan suara keras, sambungan-sambungannya terbelah, dan semua bensinnya menyembur keluar.
Di saat yang sama, pemilik pertanian tersebut berdiri di dekat situ sambil menyaksikan peristiwa itu.
Saya turun dari traktor, meminta maaf dengan terbata-bata, dan menawarkan diri untuk bekerja sepanjang musim panas itu tanpa dibayar—karena itulah yang muncul pertama kali dalam pikiran saya.
Pemilik berusia lanjut itu menatap kekacauan itu sejenak, lalu berbalik menuju ke rumahnya. “Ayo, kita makan malam,” ajaknya dengan suara pelan.
Sepenggal kisah yang diceritakan Yesus terlintas di benak saya—kisah tentang seorang pemuda yang telah melakukan perbuatan yang sangat buruk: “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa,” serunya. Pemuda itu bermaksud melanjutkan penyesalannya dengan kata-kata, ”Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.” Namun, sebelum seluruh kalimat itu terucap, bapanya menyela, seolah-olah berkata, “Ayo, kita makan malam” (Luk. 15:17-24).
Demikianlah ajaibnya anugerah Allah. —David H. Roper
Ya Bapa, kami mensyukuri pengampunan-Mu yang murah hati dan berlimpah. Terima kasih untuk damai sejahtera dan kemerdekaan yang kami terima dengan pengampunan itu sembari menikmati indahnya menjadi anggota keluarga-Mu.
Alangkah istimewanya kita boleh menjadi anak-anak Sang Raja!

Monday, November 26, 2018

Allah di Sini

Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal Tuhan. —Hosea 6:3
Allah di Sini
Sebuah plakat di rumah kami mencantumkan tulisan “Diundang atau tidak, Allah hadir di sini.” Versi modern dari pernyataan tersebut kira-kira seperti ini, “Disadari atau tidak, Allah hadir.”
Hosea, seorang nabi dalam Perjanjian Lama yang hidup pada akhir abad ke-8 SM (755-715), menuliskan kata-kata yang serupa pada bangsa Israel. Hosea mendorong orang Israel untuk “berusaha sungguh-sungguh” (Hos. 6:3) mengenal Allah karena mereka telah melupakan-Nya (4:1). Ketika bangsa Israel melupakan kehadiran Allah, mereka mulai meninggalkan-Nya (4:12) dan tidak lama kemudian Allah tak akan ada lagi dalam pikiran mereka (lihat Mzm. 10:4)
Perkataan Hosea yang sederhana, tetapi mendalam, tentang perlunya mengenal Allah itu mengingatkan kita bahwa Allah selalu menyertai kita dan berkarya dalam hidup kita, baik dalam masa sukacita maupun masa pergumulan.
Mengenal atau menyadari Allah bisa berarti ketika kita memperoleh promosi di tempat kerja, kita menyadari bahwa Allah sajalah yang memberi kita hikmat untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan sesuai dengan dana yang ada. Jika pengajuan kredit kepemilikan rumah kita ditolak, pengenalan akan Allah dapat menguatkan kita karena kita percaya Allah bekerja dalam situasi tersebut untuk kebaikan kita.
Jika kita tidak diterima di universitas pilihan kita, kita menyadari bahwa Allah terus menyertai dan, meski kecewa, kita terhibur oleh penyertaan-Nya itu. Saat menikmati makan malam, kesadaran akan Allah mungkin mengingatkan kita bahwa Allah saja yang telah menyediakan bahan makanan dan dapur untuk memasak makanan itu.
Ketika kita mengenal dan menyadari Allah, kita mengingat kehadiran-Nya dalam setiap suka dan duka, baik kecil atau besar, dalam kehidupan kita. —Lisa Samra
Tuhan Yesus, ampunilah aku untuk saat-saat aku cenderung melupakan-Mu. Tolong aku untuk menyadari kehadiran-Mu dalam hidupku.
Allah selalu hadir dan berkarya.

Sunday, November 25, 2018

Kesaksian Tanpa Kata

Kelakuanmu di antara orang yang tidak mengenal Tuhan haruslah sangat baik. —1 Petrus 2:12 BIS
Kesaksian Tanpa Kata
Amy tinggal di negara yang melarang penyebaran Injil. Ia bekerja di sebuah rumah sakit besar sebagai seorang perawat yang merawat bayi-bayi yang baru lahir. Amy begitu mencintai pekerjaannya sehingga prestasinya sangat menonjol dan banyak rekan kerja wanita yang bertanya-tanya tentang dirinya. Mereka mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara diam-diam. Saat itulah Amy secara terbuka menceritakan tentang Juruselamatnya.
Karena hasil kerja Amy yang baik, beberapa rekan kerja merasa iri dan menuduhnya mencuri sejumlah obat. Atasan Amy tidak percaya kepada mereka dan pihak berwenang pun akhirnya menemukan pencurinya. Peristiwa tersebut membuat beberapa rekan kerjanya mulai bertanya tentang iman Amy. Teladan Amy mengingatkan saya pada perkataan Petrus, “Saudara-saudara yang tercinta! . . . Kelakuanmu di antara orang yang tidak mengenal Tuhan haruslah sangat baik, sehingga apabila mereka memfitnah kalian sebagai orang jahat, mereka toh harus mengakui perbuatanmu yang baik, sehingga mereka akan memuji Allah pada hari kedatangan-Nya” (1Ptr. 2:11-12 BIS).
Kehidupan kita sehari-hari di rumah, di tempat kerja, atau di sekolah bisa memberikan dampak kepada orang lain, jika kita mengizinkan Allah bekerja dalam diri kita. Orang-orang di sekitar kita memperhatikan perkataan dan perbuatan kita. Marilah mengandalkan Allah dan mengizinkan-Nya mengarahkan perbuatan dan pikiran kita. Dengan demikian kita dapat memberikan pengaruh kepada mereka yang belum mengenal Tuhan dan mungkin membawa beberapa dari mereka untuk beriman kepada Yesus. —Keila Ochoa
Ya Bapa, tolong aku menjalani hidup sedemikian rupa sehingga nama-Mu dimuliakan ke mana pun aku melangkah.
Perbuatan kita berbicara lebih kuat daripada perkataan kita.

Saturday, November 24, 2018

Selalu Siap Menolong

Penghibur, yaitu Roh Kudus, . . . akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu. —Yohanes 14:26
Selalu Siap Menolong
Setelah cedera tulang belakang membuatnya lumpuh, Marty memutuskan kembali kuliah untuk meraih gelar MBA. Judy, ibu Marty, menolong untuk mewujudkan impian Marty. Ia duduk di samping Marty dalam setiap kelas dan kelompok belajar, sambil mencatat dan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan teknologi. Ia bahkan membantu Marty untuk naik ke panggung menerima gelar diplomanya. Apa yang mustahil menjadi mungkin dilakukan berkat pertolongan praktis yang selalu siap diberikan sang ibu bagi Marty.
Yesus tahu murid-murid-Nya akan membutuhkan dukungan serupa setelah Dia meninggalkan dunia ini. Saat memberitahukan kepada mereka mengenai kepergian-Nya, Yesus berkata bahwa mereka akan menerima bentuk hubungan yang baru dengan Allah melalui Roh Kudus. Roh itu akan menjadi penolong mereka dari momen ke momen—menjadi pengajar dan penuntun yang tidak hanya tinggal bersama mereka, tetapi juga berdiam dalam diri mereka (Yoh. 14:17,26).
Roh Kudus akan menyediakan pertolongan internal dari Allah bagi murid-murid Yesus, dan itu akan memampukan mereka untuk tetap memikul apa yang tidak dapat mereka pikul dengan kekuatan mereka sendiri saat mereka diutus untuk memberitakan Injil. Di tengah pergumulan, Roh Kudus akan mengingatkan mereka tentang semua yang telah Yesus katakan kepada mereka (ay.26): Janganlah gelisah hatimu . . . Kasihilah sesamamu . . . Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.
Apakah kamu sedang menghadapi sesuatu yang melebihi kekuatan dan kemampuanmu? Kamu dapat mengandalkan Roh Kudus yang selalu siap menolong. Roh Allah yang bekerja di dalam dirimu akan membawa kemuliaan yang layak diterima-Nya. —Jennifer Benson Schuldt
Ya Allah, terima kasih untuk pertolongan yang terus tersedia melalui Roh Kudus. Tolong aku untuk mengandalkan Roh-Mu di saat aku memerlukan pertolongan.
Jika Roh Allah yang Mahakuasa bekerja, jangan pernah berkata, “Aku tak bisa.” Oswald Chambers

Friday, November 23, 2018

Kasih Ibu

Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab, Aku akan menyertai dia dalam kesesakan, Aku akan meluputkannya dan memuliakannya. —Mazmur 91:15
Kasih Ibu
Ketika orangtua Sue bercerai saat ia masih kecil, urusan hukum mengenai hak asuh dan hal-hal lainnya membuat Sue harus dikirim ke panti asuhan untuk sementara waktu. Karena sering diintimidasi oleh anak-anak yang lebih besar, Sue merasa kesepian dan terabaikan. Ibunya hanya mengunjunginya sekali sebulan, dan ia jarang bertemu ayahnya. Namun, bertahun-tahun kemudian, Sue baru tahu dari cerita sang ibu bahwa ternyata peraturan panti asuhan melarangnya berkunjung lebih dari sekali sebulan. Meski demikian, ibunya selalu berdiri di depan pagar panti itu setiap hari, dengan harapan dapat sekilas melihat putrinya. “Kadang-kadang,” ia berkata, “Aku hanya bisa melihatmu bermain di taman, untuk memastikan bahwa kamu baik-baik saja.”
Saat Sue menceritakan hal itu, saya pun mendapat sekilas gambaran tentang kasih Allah. Adakalanya kita mungkin merasa terabaikan dan sendirian di dalam pergumulan kita. Betapa terhiburnya kita saat mengetahui bahwa sesungguhnya Allah memperhatikan kita setiap saat! (Mzm. 33:18). Walau kita tidak dapat melihat-Nya, Dia senantiasa hadir bagi kita. Seperti orangtua yang penuh kasih, mata dan hati-Nya terus tertuju kepada kita ke mana pun kita pergi. Namun, tidak seperti ibunya Sue, Allah dapat bertindak demi kita kapan saja.
Mazmur 91 menggambarkan Allah yang meluputkan, melindungi, dan mengangkat anak-anak-Nya. Dia lebih dari sekadar tempat perlindungan dan kubu pertahanan. Berjalan dalam lembah kelam kehidupan ini, kita terhibur karena kita tahu bahwa Allah Mahakuasa memperhatikan kita dan aktif berkarya dalam hidup kita. “Aku akan menjawab [engkau],” sabda Allah. “Aku akan menyertai [engkau] dalam kesesakan, Aku akan meluputkan [engkau]” (ay.15). —Leslie Koh
Tuhan, terima kasih untuk jaminan bahwa kami selalu berada dalam pengawasan-Mu.
Bapa Surgawi kita senantiasa dekat.

Thursday, November 22, 2018

Apa yang Ada pada Kita

Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu. —2 Korintus 8:12
Apa yang Ada pada Kita
Teman saya ingin sekali mengumpulkan keluarga dan teman-temannya untuk merayakan Thanksgiving di rumahnya. Setiap tamu menanti-nantikan waktu untuk berkumpul bersama di seputar meja makan. Mereka juga ingin membantu meringankan biaya dengan berkontribusi membawa makanan. Ada tamu yang membawa roti, tamu yang lain membawa salad atau makanan ringan. Namun, ternyata ada satu orang yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Ia ingin menikmati waktu bersama di sana, tetapi ia tidak punya cukup uang untuk membeli makanan. Jadi, ia pun menawarkan diri untuk membersihkan kediaman si tuan rumah sebagai pemberian darinya.
Sebenarnya ia akan tetap disambut meski datang dengan tangan kosong. Namun, ia melihat apa yang bisa ia berikan—waktu dan keahliannya—dan memberikannya dengan sepenuh hati. Menurut saya, itulah semangat yang dimaksud oleh Paulus dalam 2 Korintus 8. Jemaat Korintus pernah bertekad untuk memberikan bantuan kepada saudara-saudara seiman mereka, dan kini Paulus mendorong mereka untuk menyelesaikan upaya itu. Ia memuji keinginan dan kerelaan mereka, dengan mengatakan bahwa motivasi mereka untuk memberi itulah yang menjadikan pemberian mereka diterima, berapa pun besar atau jumlahnya (ay.12).
Kita sering membanding-bandingkan pemberian kita dengan pemberian orang lain, terutama saat keuangan kita tidak memungkinkan untuk memberi sebanyak yang kita inginkan. Namun, Allah memandang pemberian kita dengan berbeda: Kerelaan kita untuk memberikan apa yang ada pada kitalah yang menyenangkan hati-Nya. —Kirsten Holmberg
Ya Tuhan, tolong kami melihat apa yang telah Engkau berikan kepada kami, meski bagi dunia itu tidak seberapa. Tolong kami untuk memberi dengan murah hati.
Allah menyukai pemberian yang sepenuh hati, seberapa pun jumlahnya.

Wednesday, November 21, 2018

Pelayanan Tersembunyi

Kepada-Nya kami menaruh pengharapan kami, bahwa Ia akan menyelamatkan kami lagi, karena kamu juga turut membantu mendoakan kami. —2 Korintus 1:10-11
Pelayanan Tersembunyi
Sebuah proyek akademis yang besar sedang membebani saya, dan saya merasa resah apakah mampu menyelesaikannya sesuai tenggat. Di tengah kegalauan tersebut, saya menerima tiga pesan dari kawan-kawan yang berusaha menyemangati saya. Masing-masing dari mereka mengatakan, “Saat aku berdoa hari ini, Allah mengingatkanku padamu.” Saya merasa terharu sekaligus dikuatkan karena kawan-kawan tersebut telah menghubungi saya tanpa tahu apa yang sedang saya alami, dan saya percaya Allah telah memakai mereka sebagai utusan kasih dari-Nya.
Rasul Paulus tahu tentang kuasa doa ketika ia menulis surat kepada jemaat di Korintus. Ia menyatakan keyakinannya kepada Allah, yakni bahwa Dia akan terus menyelamatkan mereka dari mara bahaya “karena kamu juga turut membantu mendoakan kami” (2Kor. 1:10-11). Lalu, ketika Allah menjawab doa-doa mereka, Dia akan dimuliakan ketika banyak orang mengucap syukur kepada-Nya atas “karunia yang kami peroleh berkat banyaknya doa mereka” (ay.11).
Kawan-kawan saya dan para pendukung pelayanan Rasul Paulus sama-sama melayani dengan cara berdoa syafaat, sesuatu yang disebut Oswald Chambers sebagai “pelayanan tersembunyi yang menghasilkan buah dan yang melaluinya Allah Bapa dimuliakan”. Ketika kita mengarahkan segenap pikiran dan hati kepada Yesus, kita akan melihat Dia membentuk kita, termasuk dalam cara kita berdoa. Dia memampukan kita untuk mengaruniakan doa-doa yang tulus kepada kawan-kawan, anggota keluarga, dan orang-orang yang tidak kita kenal sekalipun.
Adakah seseorang yang Allah taruh dalam hati dan pikiranmu untuk kamu doakan? —Amy Boucher Pye
Allah mendengar doa-doa umat-Nya.

Tuesday, November 20, 2018

Kondisi yang Tidak Ideal?

Apa yang terjadi atasku ini justru telah menyebabkan kemajuan Injil. —Filipi 1:12
Kondisi yang Tidak Ideal?
Ketika jembatan yang digunakan untuk mencapai kota Techiman, Ghana, dihanyutkan banjir, penduduk New Krobo yang tinggal di sisi lain dari Sungai Tano pun terjebak. Jumlah kehadiran dalam kebaktian gereja yang digembalakan Pendeta Samuel Appiah di Techiman juga menurun drastis karena banyak anggota jemaat yang tinggal di New Krobo. Sungguh suatu kondisi yang tidak ideal.
Di tengah krisis tersebut, Pendeta Samuel berusaha memperluas panti asuhan milik gereja agar bisa menampung lebih banyak anak yatim piatu. Ia pun berdoa. Kemudian gerejanya mengadakan kebaktian alam terbuka di tepi sungai di New Krobo. Lalu mereka mulai membaptis jemaat yang baru percaya kepada Yesus. Sebuah gereja baru mulai berakar di sana. Bukan hanya itu, New Krobo juga memiliki tempat penampungan sementara bagi anak-anak yatim piatu. Allah sedang merajut karya pemulihan-Nya di tengah krisis.
Saat Rasul Paulus berada kondisi yang tidak ideal, yakni sedang dipenjara, ia tidak meratapi situasinya. Dalam suratnya yang luar biasa kepada jemaat di Filipi, ia menulis, “Aku menghendaki, saudara-saudara, supaya kamu tahu, bahwa apa yang terjadi atasku ini justru telah menyebabkan kemajuan Injil” (Flp. 1:12). Paulus menuliskan bagaimana pemenjaraannya telah membuat “seluruh istana dan semua orang lain” mengetahui tentang Kristus (ay.13). Selain itu, saudara-saudara seiman lainnya makin berani memberitakan kabar baik tentang Yesus (ay.14).
Walau menghadapi rintangan, Pendeta Samuel dan Rasul Paulus menyaksikan bagaimana Allah menunjukkan kepada mereka cara-cara baru untuk berkarya di tengah krisis yang melanda. Apa yang mungkin sedang Allah lakukan di tengah situasi kita yang sulit saat ini? —Tim Gustafson
Tuhan, terkadang kami merasa seperti berada dalam situasi yang tidak ideal. Namun, kami tahu Engkau hadir di mana saja. Tolonglah kami untuk melihat-Mu.
Allah bekerja di tengah kekacauan. Itulah inti dari Alkitab. - Matt Chandler

Monday, November 19, 2018

Memberikan Teguran

Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang! —Roma 12:18
Memberikan Teguran
Suatu kali saya pernah berkendara hampir 90 km demi menegur staf saya yang bekerja di kota lain. Saya mendapat laporan bahwa staf tersebut telah memberikan kesan yang kurang baik tentang perusahaan kami, dan saya tidak ingin reputasi perusahaan kami rusak. Saya merasa tergerak untuk memberikan pendapat yang mungkin akan mengubah keputusannya.
Dalam 1 Samuel 25, ada seseorang yang di luar dugaan berani mengambil risiko besar untuk menghadapi calon raja Israel yang sedang berencana melakukan tindakan yang sangat membahayakan. Abigail adalah istri Nabal, orang yang pribadinya sesuai dengan arti namanya (“bebal”) (ay.3,25). Nabal menolak membalas jasa Daud dan pasukannya yang telah menjaga keamanan ternaknya (ay.10-11). Ketika mendengar bahwa Daud akan membalas dendam, dan menyadari bahwa suaminya yang bebal tidak akan mendengar pendapatnya, Abigail mempersiapkan tawaran damai. Dengan menunggang keledai, Abigail menjumpai Daud dan membujuknya untuk memikirkan ulang rencananya (ay.18-31).
Bagaimana Abigail menyelesaikan masalah itu? Setelah terlebih dahulu mengirimkan makanan yang dibawa sejumlah keledai sebagai pelunasan atas jasa-jasa Daud dan pasukannya, Abigail dengan bijak mengingatkan Daud akan panggilan Allah. Apabila Daud mampu menahan diri dari keinginan untuk membalas dendam, saat Allah menjadikannya raja kelak, Daud tak perlu “bersusah hati dan menyesal karena menumpahkan darah tanpa alasan” (ay.31).
Mungkin kamu mengenal seseorang yang hampir membuat kesalahan besar yang dapat membahayakan orang lain dan menodai efektivitasnya bagi Allah di masa depan. Mungkinkah kamu, seperti Abigail, dipanggil Allah untuk menegurnya? —Elisa Morgan
Ya Allah, tolong aku mengetahui saat yang tepat untuk menegur sesamaku dengan penuh kasih.
Adakalanya dalam mengikut Allah, kita harus siap memberikan teguran.

Sunday, November 18, 2018

Terus Membangun!

Mata Allah mengamat-amati [mereka], sehingga mereka tidak dipaksa berhenti. —Ezra 5:5
Terus Membangun!
Saat terbuka peluang untuk menduduki posisi baru di kantor, Simon meyakini itu sebagai berkat dari Tuhan. Setelah mendoakan keputusan itu dan mencari nasihat, ia merasa bahwa Tuhan sedang memberikan kesempatan itu agar ia dapat memikul tanggung jawab yang lebih besar. Semua berjalan lancar dan atasannya mendukung keputusannya. Namun kemudian keadaan berubah. Ada sejumlah rekan kerja Simon yang tidak menyukai promosi yang diterimanya dan menolak bekerja sama. Simon mulai berpikir apakah sebaiknya ia mundur saja.
Saat bangsa Israel kembali ke Yerusalem untuk membangun rumah Allah, ada pihak musuh yang berusaha menakut-nakuti dan melemahkan semangat mereka (Ezr. 4:4). Bangsa Israel sempat menghentikan pembangunan itu, tetapi melanjutkannya lagi setelah Allah menguatkan mereka melalui nubuat Nabi Hagai dan Zakharia (4:24-5:2).
Namun, sekali lagi, musuh kembali datang mengganggu. Kali ini bangsa Israel tetap bertahan, karena mereka menyadari bahwa “mata Allah mengamat-amati [mereka]” (5:5). Mereka memegang teguh instruksi Allah dan percaya bahwa Dia akan menuntun mereka melewati tantangan apa pun yang mereka hadapi. Benar saja, Allah kemudian menggerakkan raja Persia untuk mendukung penyelesaian bait Allah (ay.13-14).
Itu pula yang dilakukan oleh Simon. Ia mencari hikmat Allah untuk memutuskan apakah ia harus tetap pada posisi barunya atau pindah ke posisi yang lain. Setelah merasakan panggilan Allah untuk tetap bertahan, Simon mengandalkan kekuatan Allah untuk bertekun dalam pekerjaannya. Perlahan-lahan ia pun diterima oleh rekan-rekan kerjanya.
Saat kita berusaha mengikut Allah, di mana pun Dia menempatkan kita, mungkin saja kita akan menghadapi tantangan. Pada saat itulah kita perlu terus mengikut Dia. Allah akan menuntun dan menyertai kita melewati tantangan tersebut. —Leslie Koh
Tetaplah teguh, karena mata Allah mengamat-amati kamu.

Saturday, November 17, 2018

Pengaruh Sentuhan

Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu. —Markus 1:41
Pengaruh Sentuhan
Dokter Paul Brand, perintis misionaris medis abad ke-20 di India, telah melihat langsung stigma yang dikaitkan dengan kusta. Saat bertemu dengan seorang pasien, Dr. Brand menyentuhnya untuk meyakinkan pasien itu bahwa ia bisa sembuh. Air mata pun membasahi wajah pria itu. Asisten Dr. Brand menjelaskan kepadanya, “kamu menyentuhnya dan sudah bertahun-tahun tak seorang pun pernah melakukannya. Air mata itu tanda sukacitanya.”
Di awal pelayanan-Nya, Yesus ditemui seorang yang sakit kusta, nama yang digunakan pada zaman kuno untuk seluruh jenis penyakit kulit yang menular. Menurut hukum Perjanjian Lama, karena penyakit itu, si penderita harus tinggal di luar komunitasnya. Jika penderita itu tanpa sengaja berada di dekat orang-orang sehat, ia harus berseru, “Najis! Najis!” agar mereka dapat menjauhinya (Im. 13:45-46). Akibatnya, penderita itu mungkin tak lagi bersentuhan dengan orang lain selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Dengan hati yang berbelas kasihan, Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menjamah orang itu. Dia sanggup menyembuhkan orang dengan satu kata saja (Mrk. 2:11-12). Namun, saat Yesus bertemu seseorang yang dikucilkan dan ditolak karena penyakit fisiknya, sentuhan Yesus meyakinkan orang itu bahwa ia tidak lagi sendirian dan telah diterima.
Saat Allah memberi kita kesempatan, kita dapat meneruskan anugerah dan menunjukkan belas kasihan kepada orang lain dengan sentuhan lembut yang menyatakan bahwa kita menjunjung martabat dan keberadaan mereka. Sentuhan kita yang sederhana, tetapi membawa penghiburan, akan mengingatkan orang-orang yang terluka bahwa kita mempedulikan dan mengasihi mereka. —Lisa Samra
Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau secara personal mengulurkan tangan-Mu untuk menolong mereka yang terluka. Tolonglah aku untuk mengikuti teladan-Mu dan meneruskan belas kasihan-Mu lewat tindakanku.
Sentuhan yang penuh kasih merupakan salah satu bentuk perhatian kita kepada sesama.

Friday, November 16, 2018

Mensyukuri Diri Allah

Biarlah kita menghadap wajah-Nya dengan nyanyian syukur . . . sebab Tuhan adalah Allah yang besar. —Mazmur 95:2-3
Mensyukuri Diri Allah
Dari ribuan pesan yang tercetak dalam kartu ucapan, salah satu pernyataan yang mungkin paling menyentuh adalah kalimat sederhana ini: “Terima kasih untuk dirimu.” Jika kamu menerima kartu dengan ucapan itu, kamu tahu bahwa orang tersebut mempedulikanmu bukan karena kamu telah melakukan sesuatu yang luar biasa baginya, tetapi karena kamu hadir sebagai dirimu sendiri.
Saya berpikir, apakah ucapan seperti itu menjadi salah satu cara terbaik bagi kita untuk mengungkapkan terima kasih kepada Allah. Tentu, di saat-saat Allah berkarya dengan nyata dalam hidup kita, kita dapat berkata seperti ini, “Terima kasih, Tuhan, karena aku boleh mendapat pekerjaan itu.” Namun, yang lebih perlu kita lakukan adalah cukup dengan berkata, “Terima kasih, ya Allah, untuk diri-Mu.”
Ketika kita membaca ayat seperti 1 Tawarikh 16:34, “Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya,” kita dapat berkata: Terima kasih, ya Allah, untuk diri-Mu—Engkau baik dan penuh kasih. Atau Mazmur 7:18, “Aku hendak bersyukur kepada Tuhan karena keadilan-Nya,” kita dapat berkata: Terima kasih, ya Allah, untuk diri-Mu—Engkau kudus. Atau Mazmur 95:2-3, “Biarlah kita menghadap wajah-Nya dengan nyanyian syukur, . . . Sebab Tuhan adalah Allah yang besar,” kita dapat berkata: Terima kasih, ya Allah, untuk diri-Mu—Penguasa alam semesta yang Mahakuasa.
Diri Allah. Itu cukup untuk membuat kita berhenti sejenak dan memuji serta menaikkan syukur kita kepada-Nya. Terima kasih, ya Allah, untuk diri-Mu! —Dave Branon
Ya Allah, kami bersyukur untuk diri-Mu—Allah Mahakuasa yang mengasihi kami dan menerima ungkapan kasih kami. Terima kasih untuk segala sesuatu yang membuat Engkau layak dimuliakan. Kami dibuat takjub oleh diri-Mu saat kami memuji-Mu dengan perkataan dan nyanyian kami.
Ada begitu banyak alasan untuk bersyukur kepada Allah, dan salah satunya adalah karena diri-Nya sendiri!

Thursday, November 15, 2018

Gangguan Berbahaya

Semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi. —Yohanes 13:35
Gangguan Berbahaya
Seniman Sigismund Goetze mengejutkan masyarakat Inggris pada zaman kekuasaan Ratu Victoria dengan lukisannya “Despised and Rejected of Men” (Dihina dan Dihindari Orang). Di lukisan itu, ia menggambarkan Yesus yang dihukum dan menderita sambil dikelilingi oleh orang dari generasi Goetze sendiri. Orang-orang itu tampak sibuk dengan urusan pribadi mereka—bisnis, percintaan, politik—hingga mereka sama sekali tak menyadari pengorbanan Sang Juruselamat. Kerumunan orang yang tak acuh terhadap Kristus itu, sama seperti kerumunan orang di bawah salib Yesus, tak memahami apa—atau siapa—yang telah mereka abaikan.
Demikian pula pada masa kini, orang yang percaya dan yang tidak percaya sama-sama mudah teralihkan dari hal-hal yang bersifat kekal. Bagaimana pengikut Yesus bisa menembus kabut ketidakpedulian itu dengan kebenaran tentang kasih Allah yang ajaib? Kita dapat memulai dengan saling mengasihi sebagai sesama anak-anak Allah. Yesus berkata, “Semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:35).
Namun, kasih yang sejati tidak berhenti sampai di situ. Kita memperluas jangkauan kasih tersebut dengan membagikan Injil agar orang lain tertarik untuk mengenal Sang Juruselamat. Itulah yang disebutkan Paulus, “Kami ini adalah utusan-utusan Kristus” (2Kor. 5:20).
Dengan cara itulah, kita sebagai tubuh Kristus dapat mencerminkan sekaligus memancarkan kasih Allah, kasih yang sungguh-sungguh kita butuhkan, kepada satu sama lain di dalam umat Tuhan maupun kepada dunia kita. Kiranya dengan kesanggupan dari Roh-Nya, kedua upaya itu dapat menembus kabut ketidakpedulian yang menghalangi kita melihat keajaiban kasih Allah dalam diri Yesus. —Bill Crowder
Kita membawa terang kabar baik tentang Yesus ke dalam dunia yang diselimuti oleh kabut ketidakpedulian.

Wednesday, November 14, 2018

Mari Saling Mendorong

Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. —Ibrani 10:24
Mari Saling Mendorong
The Steven Thompson Memorial Centipede adalah lomba lari lintas alam yang unik. Tiap tim yang beranggotakan tujuh orang harus berlari sebagai satu rangkaian dengan memegang seutas tali sampai jarak 3,2 km dari total jarak 4,8 km. Saat mencapai titik 3,2 km, tali itu mereka lepaskan dan tiap pelari menyelesaikan perlombaannya masing-masing. Oleh karena itu, waktu tempuh setiap pelari merupakan kombinasi dari kecepatan bersama sebagai tim dan kecepatannya sendiri.
Tahun ini, tim putri saya memilih strategi yang belum pernah saya lihat: Mereka menempatkan pelari yang paling lambat tepat di belakang pelari tercepat yang ada di posisi terdepan. Tujuannya adalah agar pelari tercepat itu cukup dekat sehingga ia dapat menyemangati pelari yang paling lambat di belakangnya.
Bagi saya, rencana mereka menggambarkan satu bagian dari kitab Ibrani. Penulis kitab itu mendorong kita untuk “teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita” (Ibr. 10:23) sambil kita “saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik” (ay.24). Tentu ada banyak cara untuk menerapkan hal tersebut, tetapi penulis menekankan salah satunya: “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati” (ay.25). Berkumpul dengan sesama saudara seiman selagi kita masih bisa melakukannya merupakan bagian yang sangat vital dalam kehidupan iman kita.
Adakalanya perlombaan hidup ini terasa terlalu sulit untuk kita jalani, dan kita mungkin tergoda untuk “melepaskan talinya” karena putus asa. Saat kita berlari bersama, marilah kita juga saling mendorong agar kita tetap kuat untuk terus berlari! —Kirsten Holmberg
Tuhan Yesus, terima kasih untuk harapan yang Kauberikan. Terima kasih karena Engkau tak pernah melemahkan semangat kami. Tolong kami meneladani-Mu dengan menguatkan satu sama lain hari ini.
Dorongan semangat merupakan penyegar bagi jiwa.

Tuesday, November 13, 2018

Domba Bodoh, Gembala yang Baik

Seperti seorang gembala mencari dombanya pada waktu domba itu tercerai dari kawanan dombanya, begitulah Aku akan mencari domba-domba-Ku. —Yehezkiel 34:12
Domba Bodoh, Gembala yang Baik
Kawan saya, Chad, pernah bekerja selama setahun sebagai gembala di Wyoming. “Domba itu begitu bodoh sehingga mereka hanya makan apa yang ada di depan mereka,” ceritanya kepada saya. “Bahkan ketika domba telah memakan habis semua rumput yang ada di depan mereka, bukannya mencari rerumputan segar di tempat lain, mereka justru akan makan tanah!”
Kami tertawa, dan saya pun terpikir tentang seberapa seringnya Alkitab membandingkan manusia dengan domba. Memang tidak heran jika kita membutuhkan gembala! Namun, karena domba sangat bodoh, tidak bisa sembarang gembala yang menuntun mereka. Domba membutuhkan seorang gembala yang mempedulikan mereka. Ketika Nabi Yehezkiel menuliskan pesan kepada umat Allah yang menjadi tawanan dalam pembuangan di Babel, ia membandingkan mereka dengan domba yang dituntun oleh gembala yang jahat. Alih-alih mempedulikan kawanan dombanya, para pemimpin Israel telah memeras dan memanfaatkan mereka (ay.3), lalu meninggalkan mereka menjadi mangsa bagi segala binatang di hutan (ay.5).
Namun, umat Allah masih memiliki pengharapan. Allah, Sang Gembala yang Baik, berjanji untuk menyelamatkan bangsa itu dari para pemimpin yang telah memeras mereka. Dia berjanji untuk membawa mereka pulang, menuntun mereka ke padang rumput yang subur, dan memberi mereka ketenangan. Allah akan menyembuhkan yang terluka dan mencari yang hilang (ay.11-16). Dia akan mengusir binatang liar, sehingga kawanan domba-Nya akan diam dengan aman tenteram (ay.28).
Kawanan domba Allah sangat membutuhkan perhatian dan tuntunan yang lemah lembut. Kita sungguh diberkati karena memiliki Gembala yang selalu menuntun kita ke padang rumput yang subur dan baik! (ay.14). —Amy Peterson
Apakah saya mendengarkan suara Gembala saya?

Monday, November 12, 2018

Siapa yang Menyetir?

Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh. —Galatia 5:25
Siapa yang Menyetir?
Di atas dasbor mobil tetangga saya, Tim, terdapat miniatur tokoh “wild thing” (makhluk liar) yang diambil dari buku cerita anak favorit berjudul Where the Wild Things Are (Tempat Tinggal Makhluk Liar) karya Maurice Sendak.
Belum lama ini, Tim berkendara di belakang saya dan beberapa kali bermanuver mendadak agar tak tertinggal jauh dari mobil saya. Saat kami tiba di tujuan, saya bertanya kepadanya dengan bercanda, “Apakah tadi ‘makhluk liar’-mu yang sedang menyetir?”
Hari Minggu berikutnya, catatan khotbah saya tertinggal di rumah. Saya pun berkendara pulang dengan mengebut, dan berpapasan dengan Tim di perjalanan. Ketika kami bertemu kembali, Tim membalas saya dengan bercanda, “Apakah tadi ‘makhluk liar’ yang sedang menyetir?” Kami sama-sama tertawa, tetapi pertanyaannya benar-benar tepat pada sasaran—saya memang lalai memperhatikan batas kecepatan saat mengemudi.
Ketika Alkitab menjelaskan apa artinya hidup dalam persekutuan dengan Allah, kita dinasihati untuk “[menyerahkan] anggota-anggota tubuh [kita] kepada Allah” (Rm. 6:13). Saya melihat tanggapan Tim sebagai pengingat yang lembut dari Tuhan agar saya menyerahkan kebiasaan saya mengebut kepada-Nya, karena sudah seharusnya saya menyerahkan diri seluruhnya kepada Allah di dalam kasih.
Pertanyaan “siapa yang menyetir?” berlaku untuk seluruh bidang kehidupan. Apakah kita membiarkan watak lama kita yang “liar” dan berdosa untuk mengendalikan kita—segala kekhawatiran, ketakutan, atau kehendak diri sendiri—atau kita berserah kepada Roh Allah yang Mahakasih dan anugerah-Nya yang akan menolong kita bertumbuh?
Berserah kepada Allah memang baik. Alkitab berkata bahwa hikmat Allah membawa kita menuju “jalan penuh bahagia, segala jalannya sejahtera” (Ams. 3:17). Mengikuti Allah selalu lebih baik. —James Banks
Tuhan terkasih, terima kasih untuk anugerah-Mu yang menolong kami menaati-Mu, dan untuk damai yang Kauberikan selama kami hidup dekat dengan-Mu.
Ketika Allah menuntut, Dia juga yang memampukan.

Sunday, November 11, 2018

Harapan yang Pasti

Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. —Filipi 1:21
Harapan yang Pasti
Dr. William Wallace pernah melayani sebagai misionaris dengan profesi ahli bedah di Wuzhou, Tiongkok, di dekade 1940-an, tepat pada saat Jepang menyerang negara itu. Wallace, yang saat itu memimpin Rumah Sakit Stout Memorial, memberikan instruksi kepada pihak rumah sakit untuk mengangkut peralatan medis ke atas kapal tongkang agar dapat terus berfungsi sebagai rumah sakit sambil berlayar menyusuri sungai guna menghindari serangan dari darat.
Selama masa-masa berbahaya itu, Filipi 1:21—salah satu ayat favorit Wallace—mengingatkannya bahwa jika ia masih hidup, ia mempunyai tugas untuk terus melayani Juruselamatnya; tetapi jika ia mati, ia telah memiliki janji kekekalan bersama Kristus. Ayat tersebut kemudian menjadi sangat berarti ketika Wallace wafat saat dipenjarakan karena tuduhan palsu pada tahun 1951.
Ayat yang ditulis Paulus tersebut mencerminkan kedalaman pengabdian yang ingin kita miliki sebagai pengikut Yesus. Kita pun dimampukan untuk menghadapi pencobaan dan bahkan mara bahaya demi nama-Nya. Kita diberi kesanggupan untuk memiliki pengabdian seperti itu karena kuasa Roh Kudus dan doa-doa dari mereka yang mengasihi kita (ay.19). Hal itu juga merupakan sebuah janji. Bahkan ketika kita menyerahkan diri untuk terus melayani di tengah situasi-situasi sulit, kita menerima janji itu dengan suatu pengingat: ketika hidup dan pekerjaan kita di dunia berakhir, kita masih memiliki sukacita kekal bersama Yesus di dalam keabadian.
Di dalam momen-momen terberat yang kita hadapi, kiranya dengan hati yang taat untuk berjalan bersama Kristus di masa sekarang dan mata yang terus tertuju kepada janji kekekalan yang akan kita jalani bersama-Nya kelak, perbuatan dan keseharian kita akan memberkati orang lain dengan kasih dari Allah sendiri. —Randy Kilgore
Bapa, jadikanlah aku pelayan yang setia, baik dalam kelemahan maupun kekuatanku.
Pengorbanan yang diberikan kepada Allah merupakan kesempatan bagi kita untuk memperlihatkan kasih-Nya.

Saturday, November 10, 2018

Kehadiran-Nya

Aku sendiri hendak membimbing engkau dan memberikan ketenteraman kepadamu. —Keluaran 33:14
Kehadiran-Nya
Seorang ayah yang cemas dan anak remajanya duduk di hadapan seorang paranormal. “Seberapa jauh anakmu akan pergi?” tanya si paranormal. “Ia akan pergi ke kota besar,” jawab sang ayah, “dan pergi cukup lama.” Sembari memberikan semacam jimat keberuntungan kepada sang ayah, paranormal itu berkata, “Jimat ini akan melindungi anakmu ke mana pun ia pergi.”
Saya adalah anak tersebut. Namun, paranormal dan jimat itu tidak bermanfaat sama sekali bagi saya. Ketika tinggal di kota itu, saya mengenal Tuhan Yesus dan percaya kepada-Nya. Saya pun membuang jimat itu dan hanya mengandalkan Kristus. Memiliki Yesus dalam hidup ini menjamin bahwa Allah selalu menyertai saya.
Tiga puluh tahun kemudian, ketika kami membawa adik saya ke rumah sakit, ayah yang juga telah beriman kepada Yesus berkata kepada saya, “Mari kita berdoa dahulu untuk adikmu; Kiranya Roh Allah menyertaimu sekarang dan selamanya!” Kami telah sama-sama belajar bahwa kehadiran dan kuasa Tuhan sajalah yang menjadi jaminan perlindungan kami.
Musa mempelajari hal yang sama. Ia pernah mendapat tugas yang menantang dari Allah untuk memimpin bangsanya keluar dari perbudakan di Mesir dan pergi menuju ke Tanah Perjanjian (Kel. 3:10). Namun, Allah meyakinkan Musa, “Aku akan menyertai engkau” (3:12).
Perjalanan hidup kita pun bukanlah tanpa tantangan. Meski demikian, kita memiliki jaminan akan kehadiran Allah. Itulah juga yang dijanjikan Yesus kepada murid-murid-Nya, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20). —Lawrence Darmani
Ya Tuhan, saat perjalanan hidup ini terasa jemu dan melelahkan, tolonglah kami untuk mengingat bahwa sesungguhnya Engkau sedang berjalan bersama kami.
Tak perlu takut ke mana pun kamu melangkah karena Yesus selalu menyertaimu.

Friday, November 9, 2018

Berbuat Semampu Kita

Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus. —Filipi 2:5
Berbuat Semampu Kita
Meski hanya bisa berbaring di tempat tidur, Morrie Boogaart yang berusia 92 tahun tetap bekerja merajut topi untuk para tunawisma di Michigan. Kabarnya Boogaart berhasil membuat lebih dari 8.000 topi dalam waktu 15 tahun. Alih-alih memikirkan masalah kesehatan dan keterbatasannya, Boogaart berbuat semampunya untuk menempatkan kebutuhan orang lain di atas dirinya sendiri. Ia berkata bahwa pekerjaan itu membuatnya senang dan memberinya tujuan hidup. Ia berkata, “Saya akan terus melakukannya sampai saya pulang ke rumah Bapa”—dan Allah memanggilnya pulang pada Februari 2018. Meski sebagian besar penerima topi buatannya tidak tahu kisah hidup Boogaart atau pengorbanan yang ia berikan untuk merajut setiap topi, ketekunan kasihnya dalam perbuatan yang sederhana itu kini menginspirasi banyak orang di seluruh dunia.
Kita juga bisa mengesampingkan pergumulan kita, mengutamakan orang lain, dan meneladani Juruselamat kita yang penuh belas kasihan, Yesus Kristus (Flp. 2:1-5). Allah dalam daging—Raja atas segala raja—telah “mengambil rupa seorang hamba” dalam segala kerendahan hati (ay.6-7). Dengan memberikan nyawa-Nya—sebagai pengorbanan terbesar—Dia menggantikan tempat kita di kayu salib (ay.8). Yesus telah memberikan segalanya untuk kita . . . semuanya demi kemuliaan Allah Bapa (ay.9-11).
Sebagai orang percaya, kita mempunyai hak istimewa untuk menunjukkan kasih dan perhatian kepada orang lain melalui perbuatan baik kita. Sekalipun kita merasa tidak banyak hal yang bisa kita berikan, kita tetap bisa mengambil sikap sebagai hamba. Kita dapat aktif mencari kesempatan untuk membawa pengaruh dalam hidup orang lain dengan berbuat semampu kita dalam melayani mereka. —Xochitl Dixon
Kita dapat meneladani kasih Kristus dengan berbuat semampu kita dalam pelayanan kepada orang lain.

Thursday, November 8, 2018

Ayah dan Anak

Ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya. —Maleakhi 4:6
Ayah dan Anak
Ayah saya adalah ayah yang baik, dan saya pun anak yang cukup taat. Namun, saya telah lalai memberikan kepada ayah satu hal yang seharusnya bisa saya berikan, yaitu diri saya sendiri.
Ayah saya pendiam; saya juga. Kami sering bekerja bersama selama berjam-jam tanpa saling berbicara. Ia tak pernah menanyakan apa-apa kepada saya; saya juga tak pernah menceritakan keinginan, cita-cita, harapan, dan ketakutan saya kepadanya.
Suatu saat, saya menyadari sikap saya yang tidak terbuka itu. Rasanya kesadaran itu muncul saat putra sulung saya lahir, atau saat satu demi satu, putra-putra saya beranjak dewasa. Sekarang saya berharap seandainya dahulu saya bisa dekat dengan ayah saya.
Saya pun terpikir tentang semua hal yang seharusnya bisa saya bicarakan dengan ayah, juga segala hal yang bisa ia katakan kepada saya. Dalam pemakamannya, saya berdiri di samping peti jenazahnya sambil bergumul untuk memahami perasaan saya sendiri. “Sudah terlambat untuk semuanya, bukan?” kata istri saya dengan pelan. “Betul,” jawab saya.
Saya terhibur oleh keyakinan bahwa pemulihan yang sempurna akan terjadi di surga kelak, karena di sanalah Tuhan akan menghapus segala air mata (Why. 21:4).
Bagi orang beriman, kematian bukanlah akhir dari kedekatan kita, melainkan awal dari keberadaan kekal yang tidak lagi mengandung kesalahpahaman; hubungan akan dipulihkan dan kasih akan bertumbuh selamanya. Di sana, hati anak-anak akan berbalik kepada bapanya, dan hati para bapa berbalik kepada anak-anaknya (Mal. 4:6). —David H. Roper
Bapa, terima kasih karena Engkau mengampuniku dan memberiku kesempatan untuk menikmati hubungan yang telah dipulihkan dengan-Mu. Tolonglah usahaku untuk memperbaiki hubungan yang rusak dengan orang lain dan mempererat hubungan dengan orang-orang terdekat sembari menantikan pemulihan di hadapan-Mu kelak.
Dengan kasih dan kuasa Allah, upayakanlah menjalin kedekatan dengan orang lain selagi masih ada waktu.

Wednesday, November 7, 2018

Maafkan Saya

Sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. —Kolose 3:13
Maafkan Saya
Pada tahun 2005, Collins memalsukan sebuah laporan yang membuat McGee dipenjara selama empat tahun. McGee bersumpah akan mencari Collins saat ia keluar dari penjara dan “membalaskan sakit hatinya”. McGee akhirnya terbukti tidak bersalah, tetapi ia sudah kehilangan semuanya. Sementara itu, semua laporan palsu Collins terbongkar. Ia pun dipecat dari pekerjaannya dan dijebloskan ke dalam penjara. Namun, kedua pria itu percaya kepada Kristus saat mereka berada di penjara.
Pada tahun 2015, keduanya baru mengetahui bahwa mereka sama-sama bekerja di lembaga pelayanan. Collins mengingat kembali pertemuannya, “Saya [berkata pada McGee], ‘Jujur, aku tak bisa membela diri, aku hanya bisa minta maaf.’” “Hanya itu yang perlu kudengar,” kata McGee yang memaafkan Collin dengan tulus. Kedua pria itu dapat berdamai karena mereka sama-sama mengalami kasih dan pengampunan Allah yang tiada bandingnya. Allah akan memampukan setiap kita untuk mengampuni “sama seperti Tuhan telah mengampuni [kita]” (Kol. 3:13).
Sekarang kedua pria itu bersahabat dekat. “Kami punya misi bersama, . . . untuk mengatakan kepada dunia bahwa jika kamu harus meminta maaf kepada seseorang, tanggalkan kebanggaan dirimu, dan mintakanlah maaf,” kata Collins. “Jika kamu masih bermasalah dengan seseorang, buanglah kepahitan yang ada, karena menyimpan kepahitan sama seperti kita meminum racun dan berharap itu melukai orang lain.”
Allah memanggil orang percaya untuk hidup dalam kedamaian dan kesatuan. Jika kita “menaruh dendam terhadap yang lain,” kita dapat membawa perasaan kita itu kepada Allah. Dia akan menolong kita untuk berdamai kembali (ay.13-15, Flp. 4:6-7). —Alyson Kieda
Bapa, terima kasih karena Engkau telah mengampuni kami saat kami datang kepada-Mu dengan penuh penyesalan atas dosa-dosa kami. Tolonglah kami untuk menerima pengampunan-Mu dan rela mengampuni orang lain juga.
Kristus membebaskan kita agar kita dapat mengampuni sesama.

Tuesday, November 6, 2018

Ayah di Tempat Dokter Gigi

Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki. —Matius 26:39
Ayah di Tempat Dokter Gigi
Saya tak mengira akan menerima pelajaran yang mendalam tentang hati Allah Bapa di tempat praktek dokter gigi. Saya ada di sana bersama putra saya yang berumur sepuluh tahun. Ada satu gigi permanen yang baru tumbuh di bawah sebuah gigi susu yang belum lepas. Tidak ada jalan lain—gigi susu itu harus dicabut.
Ia menangis sambil memohon kepada saya: “Ayah, apa tak ada cara lain? Tak bisa ditunggu saja? Tolonglah, Ayah, kalau boleh gigi ini jangan dicabut!” Permohonannya begitu memilukan, tetapi saya berkata, “Nak, gigi itu harus dicabut. Maafkan Ayah. Tak ada jalan lain.” Ketika dokter mencabut gigi geraham yang membandel itu, saya memegang tangannya sembari ia menggeliat dan mengerang. Air mata saya juga menggenang. Saya tidak bisa menghilangkan rasa sakitnya; dan hal terbaik yang bisa saya lakukan adalah menemaninya di dalam penderitaannya.
Pada momen itu, saya teringat akan Yesus di taman Getsemani. Dia sempat meminta cara lain kepada Bapa. Tentu permohonan itu sangat memilukan hati Allah Bapa, apalagi melihat Anak yang dikasihi-Nya menderita seperti itu! Namun, tidak ada cara lain yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan umat-Nya.
Dalam hidup kita, terkadang kita menghadapi momen-momen menyakitkan yang tidak dapat dihindari—seperti yang dialami anak saya. Namun, karena karya Yesus untuk kita melalui Roh-Nya, di momen-momen yang terkelam sekalipun, Bapa Surgawi yang penuh kasih selalu menyertai kita (Mat. 28:20). —Adam Holz
Bapa, terima kasih untuk kasih-Mu yang begitu besar sehingga Engkau mengutus Anak-Mu yang terkasih untuk menyelamatkan kami, meski itu tentu memilukan hati-Mu. Dalam suka-duka yang kami alami, kami berterima kasih untuk Roh-Mu yang selalu menopang dan membimbing kami.
Bapa Surgawi yang penuh kasih berjanji akan selalu menyertai kita, bahkan dalam momen-momen kita yang terkelam sekalipun.

Monday, November 5, 2018

Sumber Hikmat

Tuhan, berikanlah kiranya kepadaku kebijaksanaan yang kuperlukan. —1 Raja-Raja 3:9 BIS
Sumber Hikmat
Seorang pria mengajukan tuntutan hukum terhadap seorang wanita dengan tuduhan bahwa wanita itu telah mengambil anjingnya. Di pengadilan, wanita itu mengatakan bahwa anjing itu tidak mungkin dimiliki si pria sambil menunjukkan kepada hakim di mana ia membeli anjing itu. Namun, pemilik yang sebenarnya terungkap saat hakim melepaskan anjing itu di ruang sidang. Sambil menggoyangkan ekor tanda gembira, anjing itu langsung berlari ke arah si pria!
Raja Salomo dari Israel perlu menjadi hakim untuk menyelesaikan masalah serupa. Dua wanita sama-sama mengaku sebagai ibu dari seorang bayi. Setelah mempertimbangkan argumen mereka masing-masing, ia meminta pedang untuk membelah bayi itu. Sang ibu yang asli memohon kepada Salomo untuk memberikan saja bayi itu kepada wanita yang satu lagi. Ia memilih untuk menyelamatkan nyawa anaknya meski ia tidak dapat memilikinya (1Raj. 3:26). Salomo pun memberikan bayi itu kepadanya.
Hikmat diperlukan saat kita harus memutuskan apa yang adil dan bermoral, mana yang benar dan yang salah. Jika kita benar-benar menjunjung hikmat, kita dapat meminta kebijaksanaan yang kita perlukan kepada Allah, seperti yang dilakukan Salomo (ay.9). Allah mungkin menjawab permohonan itu dengan cara menolong kita menyeimbangkan kebutuhan dan keinginan kita dengan kepentingan orang lain. Dia bisa menolong kita melihat manfaat jangka pendek dan membandingkannya dengan berkat jangka panjang (atau bahkan yang kekal) supaya kita bisa menghormati Dia dengan pilihan hidup kita.
Allah kita bukan hanya hakim yang kebijaksanaanya sempurna, tetapi juga penasihat ajaib yang bersedia memberi kita hikmat ilahi dengan berlimpah-limpah (Yak. 1:5). —Jennifer Benson Schuldt
Allah, aku menyembah-Mu, sumber hikmat yang sejati. Tunjukkan kepadaku bagaimana membuat pilihan-pilihan yang memuliakan nama-Mu.
Butuh hikmat? Mintalah kepada satu-satunya Pribadi yang dapat memberikannya, yaitu Allah sendiri.

Sunday, November 4, 2018

Sang Raja Masih Berkuasa

Bangkitlah ya Allah, belalah perkara-Mu! —Mazmur 74:22 BIS
Sang Raja Masih Berkuasa
Salah satu tajuk berita menyebutnya sebagai “hari paling mematikan bagi umat Kristen dalam beberapa dasawarsa terakhir”. Dua serangan kepada jemaat Tuhan yang sedang beribadah pada hari Minggu di bulan April 2017 itu sungguh tak masuk akal. Pertumpahan darah di dalam rumah ibadah itu sama sekali tak terjelaskan. Namun, kita dapat sedikit terhibur oleh mereka yang pernah mengalami penderitaan serupa.
Sebagian besar penduduk Yerusalem sedang terbuang dalam pengasingan atau mati dibantai pada saat Asaf menulis Mazmur 74. Dalam ungkapan kepedihan hatinya, Asaf menceritakan penghancuran Bait Suci di tangan para penyerang yang keji, “Musuh-musuh-Mu berteriak-teriak di Rumah-Mu” (ay.4 BIS). “Mereka membakar Rumah-Mu sampai musnah; dan menajiskan tempat Engkau disembah” (ay.7 BIS).
Namun, pemazmur menemukan keteguhan di hadapan kenyataan pahit itu. Keteguhannya itu dapat menguatkan kita juga. Asaf menegaskan, “Sejak semula Engkaulah rajaku, ya Allah, Engkaulah yang menyelamatkan kami” (ay.12 BIS). Kebenaran itu memampukan Asaf untuk memuji kuasa Allah yang dahsyat sekalipun keselamatan-Nya seolah tak terlihat pada saat itu. Asaf berdoa, “Ingatlah perjanjian yang Kaubuat dengan kami, . . . Jangan membiarkan orang tertindas dipermalukan, semoga orang sengsara dan miskin memuji Engkau” (ay.20-21 BIS).
Meskipun keadilan dan belas kasihan seolah tak terlihat, kasih dan kuasa Allah tidak sirna sama sekali. Bersama Asaf, dengan penuh keyakinan kita dapat mengatakan, “Sejak semula Engkaulah rajaku, ya Allah.” —Tim Gustafson
Ya Tuhan, bersama pemazmur kami berdoa untuk kemuliaan Nama-Mu. Kerahkanlah kekuatan dan belas kasihan-Mu. Bangkitlah dan belalah perkara-Mu.
Allah akan membela Nama-Nya sendiri.

Saturday, November 3, 2018

Lihat Kota Kamu

Olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat. —Kejadian 12:3
Lihat Kota Kamu
“Lihatlah kota kami seperti kami melihatnya.” Sekelompok pengembang di kota Detroit, Michigan, menggunakan slogan tersebut untuk menyampaikan visi mereka bagi masa depan kota itu. Namun, proyek itu mendadak berhenti saat masyarakat melihat ada yang hilang dalam kampanye tersebut. Warga kulit hitam, yang menjadi mayoritas penduduk kota Detroit dan mengisi sebagian besar lapangan kerja, sama sekali tidak muncul dalam materi kampanye itu. Spanduk dan papan iklan dari proyek yang mendorong orang untuk melihat kota sebagaimana adanya itu justru didominasi oleh wajah-wajah berkulit putih.
Semasa Yesus hidup, ada juga yang luput dari pandangan orang Yahudi tentang masa depan mereka. Sebagai keturunan Abraham, mereka terlalu mementingkan masa depan bangsa mereka sendiri. Mereka tidak mengerti mengapa Yesus peduli kepada orang Samaria, tentara Romawi, atau siapa saja yang mempunyai asal-usul, pengajar, atau tempat ibadah yang berbeda dari mereka.
Saya mempunyai kelemahan yang sama. Saya pun cenderung hanya memperhatikan orang-orang yang pengalaman hidupnya serupa dengan saya. Namun, Allah ingin membawa kesatuan di tengah perbedaan yang ada di antara kita. Tanpa kita sadari, sesungguhnya kita semua memiliki banyak persamaan.
Allah memilih seorang bernama Abram untuk membawa berkat bagi semua orang di dunia (Kej. 12:1-3). Yesus mengenal dan mengasihi setiap orang, termasuk mereka yang belum kita kenal atau kita kasihi. Karena itu, marilah kita semua menjalani hidup bersama seturut anugerah dan belas kasihan Allah, karena hanya Dialah yang sanggup menolong kita melihat dan mempedulikan sesama kita, kota kita, dan Kerajaan-Nya, sama seperti Dia melihat dan mempedulikan semua itu. —Mart DeHaan
Bapa di surga, bukalah mata kami untuk melihat orang lain dan memahami hati mereka, sebab mereka juga sebetulnya tidak jauh berbeda dengan kami. Tolonglah kami untuk menyadari kebutuhan kami sendiri akan Engkau.
Sesungguhnya, di mana pun kita berada, kita semua tidak jauh berbeda.

Friday, November 2, 2018

Menangkap Rubah

Tangkaplah bagi kami rubah-rubah itu, rubah-rubah yang kecil, yang merusak kebun-kebun anggur. —Kidung Agung 2:15
Menangkap Rubah
Saat berbicara di telepon dengan seorang teman yang tinggal di tepi laut, saya sempat senang mendengar suara burung camar. “Hewan yang jahat,” kata teman saya, karena baginya burung camar membahayakan dirinya setiap hari. Sebagai warga London, saya juga mempunyai perasaan yang sama terhadap rubah. Saya merasa rubah bukan binatang yang lucu, tetapi makhluk yang suka berkeliaran dan meninggalkan kotoran berbau di mana-mana.
Rubah muncul dalam Kidung Agung, kitab puisi dalam Perjanjian Lama yang mengungkapkan cinta antara suami dan istri, serta mengungkapkan juga kasih antara Allah dan umat-Nya, seperti diyakini oleh sejumlah penafsir Alkitab. Sang mempelai perempuan memperingatkan tentang rubah-rubah kecil dan meminta mempelai laki-laki untuk menangkapnya (2:15). Rubah yang lapar dapat merusak tanaman anggur mereka yang rentan. Mempelai perempuan yang menanti-nantikan hidup bersama dalam pernikahan itu tidak ingin ada hewan liar yang mengganggu ikatan cinta mereka.
Bagaimana “rubah-rubah” dapat mengganggu hubungan kita dengan Allah? Bagi saya, ketika menuruti terlalu banyak permintaan, saya cenderung menjadi kewalahan dan mudah tersinggung. Selain itu, ketika melihat terjadinya konflik, saya bisa jatuh pada sikap putus asa atau marah. Ketika saya meminta Allah untuk membatasi dampak dari “rubah-rubah” tersebut—masalah-masalah yang saya biarkan masuk atau menyelinap ke dalam hidup saya—saya makin mempercayai dan mengasihi Allah sekaligus merasakan kehadiran dan pimpinan-Nya yang penuh kasih.
Bagaimana denganmu? Bagaimana caramu mencari pertolongan Allah untuk menyingkirkan segala sesuatu yang menjauhkanmu dari Dia? —Amy Boucher Pye
Tuhan Allah, Engkau kuat dan Engkau baik. Peliharalah hubunganku dengan-Mu, dengan menjauhkan apa saja yang membuatku mengalihkan pandanganku dari-Mu.
Allah sanggup memelihara hubungan kita dengan-Nya.

Thursday, November 1, 2018

Lelah untuk Berbelas Kasihan

Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. —Matius 9:36
Lelah untuk Berbelas Kasihan
Anne Frank dikenal karena catatan hariannya yang menceritakan tentang persembunyian keluarganya selama bertahun-tahun semasa Perang Dunia ke-2. Saat ia dimasukkan dalam kamp konsentrasi Nazi, mereka yang pernah bersamanya berkata, “ia selalu menangisi [kami],” sehingga ia “menjadi berkat bagi semua orang yang pernah mengenalnya.” Cendekiawan Kenneth Bailey menyebutkan bahwa Anne tidak pernah “lelah untuk berbelas kasihan”.
Lelah untuk berbelas kasihan bisa menjadi salah satu dampak dari hidup di dunia yang telah bobrok ini. Besarnya penderitaan manusia dapat menumpulkan perasaan orang yang paling peka sekalipun. Namun, lelah untuk berbelas kasihan itu tidak dialami Tuhan Yesus. Matius 9:35-36 berkata, “Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan. Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.”
Dunia kita tak hanya membutuhkan pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi juga pemulihan rohani. Yesus datang untuk memenuhi kebutuhan itu dan menantang para pengikut-Nya untuk melayani bersama-Nya (ay.37-38). Dia berdoa agar Bapa mengirimkan pekerja-pekerja untuk menjawab berbagai kebutuhan di sekeliling kita—melayani orang-orang yang bergumul dengan kesepian, dosa, dan sakit-penyakit. Kiranya Allah Bapa memberi kita hati yang mencerminkan hati-Nya yang rela melayani. Dengan kekuatan Roh-Nya, kita dapat terus kuat dalam menunjukkan belas kasihan-Nya pada jiwa-jiwa yang menderita. —Bill Crowder
Di dunia yang penuh dengan penderitaan batin ini, kita dapat melayani dengan meneladani belas kasihan Yesus.
 

Total Pageviews

Translate