Pages - Menu

Wednesday, September 30, 2015

Lembah Penglihatan

Teringatlah aku kepada TUHAN, dan sampailah doaku kepada-Mu. —Yunus 2:7
Lembah Penglihatan
Buku doa kaum Puritan berjudul “Lembah Penglihatan” menggambarkan jarak yang terbentang antara seorang manusia berdosa dan Allah yang kudus. Manusia itu berkata kepada Allah, “Engkau telah membawaku ke lembah penglihatan . . . ; dikungkung oleh dosa yang menggunung, telah kulihat kemuliaan-Mu.” Setelah menyadari kesalahannya, manusia itu tetap memegang pengharapan. Ia melanjutkan, “Bintang dapat terlihat dari sumur yang terdalam, dan semakin dalam sumurnya, semakin terang bintang-Mu bersinar.” Akhirnya, puisi itu diakhiri dengan permohonan: “Kiranya aku menemukan terang-Mu dalam kegelapanku, . . . kemuliaan-Mu di tengah lembahku.”
Yunus menemukan kemuliaan Allah selama ia berada di dalam laut. Ia telah memberontak kepada Allah dan terdampar di dalam perut ikan. Di sana, tersadar akan dosanya, Yunus pun berseru kepada Allah: “Telah Kaulemparkan aku ke tempat yang dalam, . . . Segala air telah mengepung aku, mengancam nyawaku” (Yun. 2:3,5). Meskipun dalam keadaan demikian, Yunus tetap berkata, “Teringatlah aku kepada TUHAN, dan sampailah doaku kepada-Mu” (ay.7). Allah mendengar doa Yunus dan membuat ikan itu memuntahkan dirinya.
Meskipun dosa menciptakan jarak antara Allah dan kita, kita dapat memandang ke atas dari titik nadir hidup kita dan melihat kepada-Nya —untuk melihat kesucian, kebaikan, dan karunia-Nya. Apabila kita berpaling dari dosa kita dan mengakuinya kepada Allah, Dia akan mengampuni kita. Allah menjawab doa-doa yang kita panjatkan dari lembah hidup kita. —Jennifer Benson Schuldt
Ya Tuhan, di siang hari bintang dapat terlihat dari sumur yang terdalam, dan semakin dalam sumurnya, semakin terang bintang-Mu bersinar; kiranya aku menemukan terang-Mu dalam kegelapanku.
Kegelapan dosa hanya akan membuat terang anugerah Allah bersinar semakin cemerlang.

Tuesday, September 29, 2015

Menembus Kegelapan

TUHAN akan menjadi penerang abadi bagimu dan Allahmu akan menjadi keagunganmu. —Yesaya 60:19
Menembus Kegelapan
Saya pertama kali melihat kilasan cahayanya ketika saya masih kuliah. Suatu malam di musim gugur yang sangat dingin, jauh dari sinar lampu kota, saya sedang naik di atas kereta pengangkut jerami yang dijejali oleh beberapa orang teman. Kala itu langit bercahaya dan kilauan warna-warni terbentang di cakrawala. Saya dibuat terpana. Sejak malam itu, saya selalu terpesona pada fenomena alam yang disebut aurora borealis itu, yang juga dikenal sebagai Cahaya Utara. Kebanyakan cahaya itu terlihat jauh di Utara dari tempat tinggal saya, tetapi adakalanya muncul di garis lintang yang lebih rendah. Sekali melihat fenomena itu, saya jadi ingin melihatnya lagi. Kapan pun kondisinya memungkinkan, saya berkata kepada teman-teman yang juga ikut terpesona pada fenomena itu, “Mungkin malam ini . . .”
Dalam Kitab Suci, terang dan kemuliaan digunakan untuk menggambarkan kedatangan Tuhan. Suatu hari kelak matahari dan bulan tidak lagi diperlukan sebagai penerang (Yes. 60:19). Dan untuk menggambarkan Allah di atas takhta-Nya, Yohanes menulis, “Dia yang duduk di takhta itu nampaknya bagaikan permata yaspis dan permata sardis; dan suatu pelangi melingkungi takhta itu gilang-gemilang bagaikan zamrud rupanya” (Why. 4:3).
Zamrud yang melingkari takhta merupakan deskripsi yang tepat bagi Cahaya Utara. Jadi setiap kali saya melihat kemunculan cahaya yang luar biasa indah di langit—baik secara langsung atau melalui foto atau video—saya menganggapnya sebagai antisipasi untuk peristiwa mulia yang kelak akan datang, dan saya memuji Allah karena sekarang pun kemuliaan-Nya sedang menembus kegelapan. — Julie Ackerman
Ya Tuhan, dunia di sekeliling kami terkadang begitu gelap sehingga kami sulit melihat kuasa-Mu dan kebaikan-Mu. Terima kasih kami diingatkan bahwa kegelapan takkan berlangsung selamanya. Tolong kami menanti dengan penuh harap ketika kelak kami melihat Engkau di atas takhta-Mu.
Yesus datang untuk menerangi dunia yang gelap.

Monday, September 28, 2015

Meneruskan dan Melepaskan

Kuanggap perlu mengirimkan Epafroditus kepadamu, . . . yang kamu utus untuk melayani aku dalam keperluanku. —Filipi 2:25
Meneruskan dan Melepaskan
Banyak badan amal yang membantu orang-orang yang membutuhkan bergantung pada sumbangan pakaian dan barang rumah tangga yang sudah tak terpakai dari pihak-pihak yang berkecukupan. Memang tidak salah kita meneruskan kepada orang lain barang-barang yang tidak lagi kita perlukan agar dapat bermanfaat bagi mereka. Namun kita sering merasa berat hati untuk melepaskan hal-hal berharga yang masih kita pakai setiap hari.
Ketika Paulus dipenjara di Roma, ia membutuhkan kehadiran sahabat-sahabatnya yang tepercaya untuk menguatkan dan menemani dirinya. Namun demikian, ia mengutus dua sahabat terdekatnya untuk membantu jemaat Tuhan di Filipi (Flp. 2:19-30). “Dalam Tuhan Yesus kuharap segera mengirimkan Timotius kepadamu, . . . Karena tak ada seorang padaku, yang sehati dan sepikir dengan dia dan yang begitu bersungguh-sungguh memperhatikan kepentinganmu” (ay. 19-20). Selain itu, “Kuanggap perlu mengirimkan Epafroditus kepadamu, yaitu saudaraku dan teman sekerja serta teman seperjuanganku, yang kamu utus untuk melayani aku dalam keperluanku” (ay.25). Paulus dengan sukarela melepaskan kepada orang lain apa yang sebenarnya sangat ia butuhkan.
Apa pun yang kita anggap sebagai yang “paling berharga” dalam hidup kita hari ini bisa jadi mempunyai manfaat yang besar bagi seseorang yang kita kenal. Mungkin hal itu berupa waktu, persahabatan, dorongan semangat, telinga yang mendengarkan, atau uluran tangan kita. Ketika meneruskan apa yang telah Tuhan berikan kepada kita, Dia dimuliakan, orang lain terbantu, dan kita diberkati. —David McCasland
Ya Tuhan, sadarkanlah aku akan apa saja yang sedang kugenggam erat. Jika ada yang membutuhkannya, bukakanlah hati dan tanganku, dan tolonglah aku untuk meneruskannya kepada orang itu hari ini.
Memberi dengan sukacita akan memuliakan Tuhan, menolong orang lain, dan memberkati kita sendiri.

Sunday, September 27, 2015

Memikirkan Orang Miskin

Orang benar mengetahui hak orang lemah. —Amsal 29:7
Memikirkan Orang Miskin
Di tahun 1780, hati Robert Raikes tergerak ketika melihat anak-anak yang buta huruf dan miskin di sekitar tempat tinggalnya di London. Ia memperhatikan bahwa tidak ada usaha yang dilakukan untuk menolong anak-anak itu sehingga ia memutuskan untuk turun tangan dan melakukan sesuatu.
Ia mempekerjakan sejumlah wanita untuk mengadakan sekolah bagi anak-anak itu pada hari Minggu. Dengan menggunakan Alkitab sebagai buku pelajaran, para guru mengajar anak-anak termiskin di London itu untuk membaca dan memperkenalkan mereka pada hikmat dari Alkitab. Tidak lama kemudian, ada sekitar 100 anak yang mengikuti sekolah itu dan menikmati makan siang di lingkungan yang aman dan bersih. Sekolah yang kemudian disebut “sekolah Minggu” itu ternyata berhasil memberi dampak dalam kehidupan ribuan anak laki-laki dan perempuan. Pada tahun 1831, sekolah-sekolah Minggu di Inggris Raya telah menjangkau lebih dari satu juta anak—semuanya itu karena ada seorang pria yang memahami kebenaran ini: “Orang benar mengetahui hak orang lemah” (Ams. 29:7).
Kita semua tahu bahwa Yesus sangat mempedulikan mereka yang berada dalam kesusahan. Dalam Matius 25, Dia menasihati pengikut-Nya untuk menunjukkan kesiapan dalam menantikan kedatangan Tuhan kembali dengan cara menyediakan makanan bagi mereka yang lapar, memberikan minum bagi yang dahaga, mencarikan tempat tinggal bagi para tunawisma, menyediakan pakaian untuk mereka yang telanjang, dan memberikan penghiburan bagi orang yang sakit atau mereka yang dipenjara (ay. 35-36).
Ketika berkata bahwa Kristus tinggal di dalam hati kita, kita akan memuliakan Juruselamat kita yang penuh belas kasihan itu lewat perhatian kita kepada mereka yang dipedulikan-Nya. —Dave Branon
Gerakkan hatiku, Tuhan, untuk mempedulikan mereka yang Engkau pedulikan, termasuk orang yang miskin dan tak berdaya, yang lapar dan tunawisma, yang sedang susah dan putus asa di sekitar kami.
Bukalah hatimu kepada Allah untuk memahami belas kasih, dan bukalah tanganmu untuk rela memberikan pertolongan.

Saturday, September 26, 2015

Ciptaan Baru

Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru. —2 Korintus 5:17
Ciptaan Baru
Pada saat saya baru mulai bekerja, saya mempunyai seorang rekan kerja yang senang sekali menggunakan nama Tuhan sebagai sumpah serapah. Tanpa rasa bersalah, ia mengejek orang Kristen yang baru percaya atau mereka yang mencoba berbicara tentang Yesus kepadanya. Pada hari saya keluar dari pekerjaan itu untuk pindah ke komunitas dan tempat kerja yang baru, saya teringat pernah berpikir bahwa orang itu tak akan mungkin menjadi pengikut Yesus.
Dua tahun kemudian saya mengunjungi kantor itu lagi. Rekan itu masih bekerja di sana, tetapi saya belum pernah menyaksikan ada perubahan dalam diri seseorang sebesar yang dialami oleh rekan itu! Dahulu ia sangat membenci iman Kristen, tetapi kemudian ia menjadi bukti hidup dari “ciptaan baru” di dalam Kristus (2Kor. 5:17). Dan sekarang, lebih dari 30 tahun kemudian, ia masih menceritakan kepada orang lain kisah tentang Yesus yang menjumpainya ketika ia masih hidup dalam dosa.
Saya membayangkan perubahan itulah yang dilihat oleh jemaat Kristen mula-mula dalam diri Paulus, seseorang yang sebelumnya pernah menganiaya mereka. Paulus menjadi bukti tak terbantahkan dari seseorang yang menjadi ciptaan baru (Kis. 9:1-22). Alangkah besarnya pengharapan yang ditunjukkan oleh kehidupan kedua orang di atas kepada orang-orang yang berpikir bahwa diri mereka tidak mungkin diselamatkan!
Yesus telah mencari Paulus dan juga mantan rekan kerja saya. Dia juga mencari saya. Hingga hari ini Yesus terus menjangkau jiwa-jiwa yang “tak terjangkau” dan Dia memberikan teladan bagaimana kita juga dapat menjangkau sesama kita. —Randy Kilgore
Tuhan, aku ingin belajar menjangkau sesama dan berbagi kasih dan pengampunan-Mu dengan mereka. Ajar dan tolong aku untuk melangkah dalam iman yang teguh kepada-Mu.
Tak ada seorang pun yang berada di luar jangkauan Allah.

Friday, September 25, 2015

Belajar Berjalan

Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. —Roma 8:16
Belajar Berjalan
Baru-baru ini seorang kawan menemui saya dengan membawa kabar yang menggembirakan dan ia menghabiskan waktu 10 menit untuk bercerita tentang keponakannya yang berumur 1 tahun dan baru bisa berjalan sendiri. Ia sudah bisa melangkah! Lalu saya menyadari bahwa pembicaraan kami mungkin terdengar aneh di telinga orang lain yang kebetulan lewat. Kebanyakan orang bisa berjalan. Apa istimewanya?
Saya menyadari bahwa masa kanak-kanak menyajikan sebuah kualitas keistimewaan yang nyaris tidak muncul lagi setelah masa itu berlalu. Saat memikirkan tentang sikap kita terhadap anak-anak, saya menjadi lebih menghargai kenyataan bahwa Allah memilih kata “anak-anak” untuk menggambarkan hubungan kita dengan-Nya. Perjanjian Baru menyatakan bahwa kita adalah anak-anak Allah, dengan segala hak dan keistimewaan yang kita terima sebagai ahli waris (Rm. 8:16-17). Kita menerima kabar bahwa Yesus (Anak tunggal Allah) telah datang dan membuka jalan bagi kita untuk diterima sebagai anak-anak dalam keluarga Allah.
Allah memperhatikan bahwa saya melangkah tertatih-tatih dalam “perjalanan” iman saya. Saya membayangkan perhatian-Nya itu sama seperti rasa penasaran yang dirasakan orangtua saat menyaksikan anaknya belajar melangkahkan kaki untuk pertama kalinya.
Mungkin ketika segala rahasia alam semesta akhirnya terungkap, kita akan memahami alasan mendasar kita senang menyaksikan anak-anak kita bertumbuh. Mungkin Allah telah memberi kita waktu-waktu yang istimewa itu untuk menyadarkan kita pada kasih-Nya yang tak terbatas. Pengalaman kita di dunia ini merupakan gambaran sekilas dari kasih Allah yang teramat limpah. —Philip Yancey
Bapa Surgawi yang penuh kasih, tambahkanlah kesadaran kami akan kasih-Mu bagi kami dan sukacita-Mu dalam kami sehingga kami dapat menunjukkan pengaruh yang telah Engkau kerjakan dalam hidup kami kepada dunia.
Kamu sangat dikasihi.

Thursday, September 24, 2015

Sisi Positif Suatu Kemunduran

Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN! —Mazmur 27:14
Sisi Positif Suatu Kemunduran
Perenang Amerika Serikat Dara Torres memiliki karier yang menakjubkan. Ia tercatat pernah berlomba dalam lima Olimpiade dari tahun 1984 hingga 2008. Di penghujung kariernya, Torres berhasil memecahkan rekor nasional untuk gaya bebas 50 meter—rekor yang pernah dibuatnya sendiri 25 tahun sebelumnya. Namun Torres tidak selalu berhasil. Ia pernah juga menemui hambatan dalam karier atletiknya: cedera, operasi, dan usia yang hampir dua kali lebih tua dari kebanyakan pesaingnya. Torres berkata, “Saya selalu ingin menang dalam segala hal, setiap hari, sejak saya kecil. . . . Saya juga sadar ternyata suatu kemunduran mempunyai sisi positif, karena kegagalan justru memacu saya mengejar impian-impian baru.”
“Suatu kemunduran mempunyai sisi positif” adalah pelajaran hidup yang sangat baik. Perjuangan Torres mendorongnya untuk meraih prestasi baru. Pencobaan juga memiliki manfaat rohani. Yakobus berkata, “Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan” (YAK. 1:2-3).
Memang tidak mudah untuk melihat kesulitan hidup dari sudut pandang tersebut, tetapi kita juga yang akan menikmati buahnya. Pencobaan memberikan kesempatan untuk memperdalam hubungan kita dengan Allah. Pencobaan juga menjadi jalan bagi kita untuk menerima pelajaran yang tidak dapat diajarkan oleh keberhasilan, yaitu terbentuknya kesabaran dalam diri kita untuk menantikan Allah dan percaya bahwa Dia akan memberi kita kekuatan untuk bertahan.
Pemazmur mengingatkan kita, “Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (Mzm. 27:14). —Bill Crowder
Ya Tuhan, saat aku dicobai, ajarku untuk menantikan-Mu. Namun lebih dari itu, ajarku untuk makin mempercayai kasih-Mu kepadaku. Dan saat aku melakukannya, ajarkanlah hikmat-Mu dan kesabaran untuk bertahan.
Kemunduran hidup dapat mengajar kita untuk menantikan pertolongan dan kekuatan Tuhan.

Wednesday, September 23, 2015

Pantaslah!

Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. —1 Yohanes 4:19
Pantaslah!
“Ia sempurna untukmu,” kata seorang teman kepadaku. Ia sedang berbicara tentang seorang pria yang baru saja dikenalnya. Ia menceritakan tatapan lembut pria itu, senyum ramahnya, dan kebaikan hatinya. Ketika saya bertemu pria itu, saya sependapat dengan teman saya itu. Sekarang pria itu sudah menjadi suami saya, dan pantaslah saya mencintainya!
Di kitab Kidung Agung, sang pengantin wanita sedang bercerita tentang kekasihnya. Cinta kekasihnya itu jauh lebih nikmat daripada anggur dan lebih harum dari segala macam rempah. Nama kekasihnya lebih indah dari apa pun di dunia ini. Dan ia menyatakan bahwa pantaslah ia dicintai.
Namun ada satu Pribadi yang jauh melebihi kekasih duniawi mana pun, Pribadi dengan kasih yang jauh lebih nikmat daripada anggur. Kasih-Nya memuaskan setiap kebutuhan kita. “Keharuman-Nya” jauh melebihi minyak wangi apa pun karena ketika Dia menyerahkan diri-Nya bagi kita, pengorbanan-Nya menjadi suatu persembahan dan korban yang harum bagi Allah (Ef. 5:2). Lebih dari itu semua, nama-Nya ada di atas segala nama (Flp. 2:9). Pantaslah kita mengasihi-Nya!
Alangkah istimewanya kita dapat mengasihi Yesus. Itulah pengalaman terbaik dalam hidup ini! Pernahkah kita meluangkan waktu untuk menyatakan kasih kita kepada-Nya? Apakah kita mengungkapkan keindahan Juruselamat kita dengan bibir kita? Jika kita menunjukkan keindahan-Nya melalui hidup kita, orang lain akan berkata, “Pantaslah kamu mengasihi-Nya!” —Keila Ochoa
Tuhan, Engkau sungguh indah! Pantaslah kami mengasihi-Mu! Kami berdoa, tambahkan kasih kami kepada-Mu hari ini. Tolong kami untuk melihat keindahan-Mu dengan cara-cara yang baru.
Firman Allah menyatakan tentang kasih-Nya; perkataan kita menyatakan kasih kita kepada-Nya.

Tuesday, September 22, 2015

Pelajaran Memancing

Lawanlah dia [Iblis] dengan iman yang teguh. —1 Petrus 5:9
Pelajaran Memancing
Saya sedang asyik memancing di perairan yang jernih dan tenang di Danau Piatt, yang terletak di dekat rerumputan liar yang rimbun. Saya menyaksikan seekor ikan kerapu yang besar menyelinap keluar dari rerumputan yang lebat itu untuk melihat-lihat keadaan. Ikan itu mendekati cacing yang kelihatannya nikmat di ujung pancing saya, menatapnya, dan kembali ke balik rerumputan. Hal itu terjadi beberapa kali sampai si ikan melihat kailnya. Kemudian ia mengibaskan ekornya, pergi menghilang ke sarangnya, dan tidak pernah muncul lagi.
Iblis menyajikan godaan, seperti kail ikan, tepat di depan kita. Godaan itu kelihatannya nikmat dan menjanjikan kepuasan. Namun kuasa Iblis hanya sampai di situ. Ia tidak dapat memaksa kita untuk menggigit umpannya. Kuasanya tidak dapat melampaui kehendak kita —keputusan ada di tangan kita. Ketika kita diperingatkan oleh Roh Kudus dan memutuskan untuk menolak godaan itu, Iblis pun tidak berkutik. Yakobus berkata bahwa Iblis akan lari dari kita (4:7).
Sebagai orang percaya, kita sangat dihibur oleh perkataan Petrus, seseorang yang juga pernah mengalami pencobaan besar (Mat. 26:33-35). Di kemudian hari, ia menulis, “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum . . . Lawanlah dia dengan iman yang teguh” (1Ptr. 5:8-9).
Sama seperti ikan kerapu yang besar itu tidak mengacuhkan umpan saya, kita diberi kesanggupan oleh kuasa Allah untuk menolak siasat Iblis yang berusaha memikat kita. —Dave Egner
Bapa di surga, terima kasih untuk janji pertolongan-Mu ketika kami dicobai dan untuk kebenaran bahwa kuasa Iblis itu terbatas. Beri kami hikmat untuk mengenali godaan dan juga kerendahan hati untuk bergantung kepada Roh-Mu yang memberi kami kekuatan untuk melawan Iblis.
Tanggapi dusta Iblis dengan kebenaran firman Allah.

Monday, September 21, 2015

Seekor Lalat Pengingat

Siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan. —Pengkhotbah 9:4
Seekor Lalat Pengingat
Ketika pertama kali saya mulai bekerja di ruangan kantor kecil yang sekarang saya sewa, penghuni lainnya di sini hanyalah beberapa ekor lalat yang nasibnya mengenaskan. Ada beberapa yang telah mati, dengan bangkai yang berserakan di lantai dan ambang jendela. Saya membuang semuanya kecuali satu ekor yang saya biarkan di tempat yang mudah terlihat.
Bangkai lalat tersebut mengingatkan saya untuk menjalani hidup dengan baik setiap hari. Kematian adalah pengingat yang sangat baik akan kehidupan, dan hidup ini adalah anugerah. Salomo berkata, “Siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan” (Pkh. 9:4). Menjalani hidup di atas bumi memberi kita kesempatan untuk mempengaruhi dan menikmati dunia di sekitar kita. Kita dapat makan dan minum dengan sukacita dan menikmati hubungan kita (ay. 7,9).
Kita juga dapat menikmati pekerjaan kita. Salomo menasihatkan, “Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga” (ay.10). Apa pun keterampilan atau pekerjaan atau peran kita dalam hidup ini, kita masih dapat melakukan hal-hal yang berarti, dan melakukannya dengan baik. Setiap hari kita dapat memberi semangat, mendoakan, dan mengungkapkan kasih kepada sesama dengan ketulusan hati.
Penulis kitab Pengkhotbah berkata, “Waktu dan nasib dialami mereka semua. Karena manusia tidak mengetahui waktunya” (9:11-12). Memang mustahil untuk mengetahui kapan hidup kita di dunia ini akan berakhir, tetapi sukacita dan tujuan hidup dapat kamu alami hari ini ketika kamu mengandalkan kekuatan dari Allah dan bergantung pada janji hidup kekal yang diberikan Yesus (Yoh. 6:47). —Jennifer Benson Schuldt
Ya Allah, tolong kami untuk dapat mengatur waktu kami dengan baik dan menikmati kebaikan yang ada di dunia kami hari ini. Terima kasih untuk janji hidup kekal yang kami terima melalui Anak-Mu, Yesus Kristus.
Inilah hari yang dijadikan Tuhan. Marilah bersorak-sorak dan bersukacita.

Sunday, September 20, 2015

Kotak Tisu

Kepada-Mu aku percaya, ya TUHAN, aku berkata: “Engkaulah Allahku!” Masa hidupku ada dalam tangan-Mu. —Mazmur 31:15-16
Kotak Tisu
Saat duduk di ruang tunggu kamar operasi, saya merenung sejenak. Saya berada di sini belum lama ini, ketika kami dikagetkan kabar bahwa saudara laki-laki saya satu-satunya, yang masih muda, mengalami “mati otak”.
Maka hari ini, sembari menunggu kabar dari istri saya yang sedang menjalani sebuah operasi besar, saya menunggu untuk mendengarkan suara Allah yang lembut.
Tiba-tiba, saya dipanggil untuk menemui dokter bedah. Saya melangkah ke sebuah ruang tunggu yang terpisah. Di atas meja terlihat jelas ada dua kotak tisu. Tisu itu disediakan bagi mereka yang mendengar kata-kata yang membawa kepedihan, seperti yang saya dengar ketika saudara saya meninggal—“mati otak” dan “kami sudah berusaha semampu kami”.
Di tengah kedukaan atau ketidakpastian seperti itu, wajarlah kita berpaling pada mazmur-mazmur yang mengungkapkan perasaan yang jujur. Mazmur 31 berisi curahan hati Daud yang telah menanggung beban begitu berat sehingga ia menulis, “Hidupku habis dalam duka” (ay.11). Duka itu bertambah ketika ia ditinggalkan oleh kenalan dan tetangganya (ay.12).
Namun Daud mendasarkan imannya pada satu-satunya Allah yang sejati. “Kepada-Mu aku percaya, ya TUHAN, aku berkata: ‘Engkaulah Allahku!’ Masa hidupku ada dalam tangan-Mu” (ay.15-16). Ratapannya diakhiri dengan seruan pengharapan. “Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu, hai semua orang yang berharap kepada TUHAN!” (ay.25).
Saat itu di ruang tunggu, dokter bedah memberi saya kabar gembira: Istri saya akan bisa sembuh total. Akan tetapi, seandainya pun ia tidak sembuh, masa hidup kami tetap berada di tangan Allah. —Tim Gustafson
Tuhan, kami serahkan kepedihan dan sukacita kami kepada-Mu. Terima kasih atas kehadiran-Mu yang selalu menyertai kami. Engkau sajalah yang setia!
Ketika kita menyerahkan masalah kita ke tangan Allah, Dia menaruh damai sejahtera-Nya di hati kita.

Saturday, September 19, 2015

Pelajaran dalam Penderitaan

Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku. —2 Korintus 11:30
Pelajaran dalam Penderitaan
Gambar jarak dekat di layar raksasa itu begitu besar dan tajam, sehingga kami dapat melihat luka yang menganga pada tubuh orang tersebut. Seorang tentara memukulinya sementara kerumunan orang yang marah menertawakan pria yang mukanya sekarang berlumur darah itu. Adegan-adegan tersebut tampak begitu nyata sehingga, di tengah keheningan bioskop alam terbuka itu, saya bergidik dan meringis seakan-akan saya sendiri merasakan pedihnya penderitaan itu. Namun itu hanyalah tayangan reka ulang dari kesengsaraan yang ditanggung Yesus demi kita.
Ketika Petrus mengingatkan kita akan penderitaan Yesus, ia menulis, “Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1Ptr. 2:21). Meskipun penderitaan bisa datang dalam bentuk dan intensitas yang berbeda-beda, hal itu tidak terelakkan. Penderitaan kita mungkin tidak seburuk pengalaman Paulus, yang demi Kristus telah didera, dilempari batu, dan mengalami karam kapal. Ia dirampok, dan menanggung lapar serta dahaga (2Kor. 11:24-27). Demikian pula, kita mungkin tidak menderita seperti umat Tuhan di berbagai belahan dunia yang dianiaya begitu berat karena iman mereka.
Meskipun demikian, dalam berbagai bentuknya, penderitaan akan kita alami ketika kita menyangkal diri, tidak membalas pelecehan, menanggung hinaan, atau menolak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang tidak memuliakan Tuhan. Sikap kita yang panjang sabar, tidak membalas dendam, dan mengampuni sesama demi terpeliharanya hubungan yang baik adalah contoh perbuatan yang mengikuti jejak-Nya.
Dalam menghadapi penderitaan, ingatlah apa yang telah ditanggung Yesus demi kita. —Lawrence Darmani
Apa yang kamu pelajari tentang Allah melalui pencobaan-pencobaan yang kamu alami?
Penderitaan memberi kita pelajaran yang tidak akan dapat kita pelajari dengan cara lain.

Friday, September 18, 2015

Sahabat pada Pukul 2 Pagi

[Epafras] selalu bergumul dalam doanya untuk kamu, supaya kamu berdiri teguh, sebagai orang-orang yang dewasa dan yang berkeyakinan penuh dengan segala hal yang dikehendaki Allah. —Kolose 4:12
Sahabat pada Pukul 2 Pagi
Seorang teman bercerita tentang sekelompok sahabat yang disatukan oleh iman mereka. Salah satu dari mereka, seorang wanita 93 tahun, berkata, “Aku yakin tak perlu sungkan menghubungi kalian pada pukul 2 pagi untuk meminta bantuan dalam bentuk apa pun.” Baik berupa doa, bantuan praktis, atau mendampingi di kala susah, para sahabat itu rela menolong satu sama lain tanpa pamrih.
Komitmen yang serupa tecermin dari surat Paulus kepada jemaat di Kolose. Dari penjara di Roma, Paulus menulis bahwa ia mengirimkan Tikhikus dan Onesimus untuk menghibur mereka (Kol. 4:7-9). Aristarkhus, Markus, dan Yustus menitipkan salam (ay. 10-11). Dan Epafras “selalu bergumul dalam doanya untuk kamu, supaya kamu berdiri teguh, sebagai orang-orang yang dewasa dan yang berkeyakinan penuh dengan segala hal yang dikehendaki Allah” (ay.12). Semua itu adalah bentuk nyata dari bantuan praktis dan kasih yang mendalam.
Apakah kamu menjadi bagian dari “sahabat pada pukul 2 pagi”? Jika ya, bersyukurlah atas kesetiaan sahabat-sahabatmu. Jika tidak, mintalah kepada Tuhan untuk mempertemukanmu dengan seseorang yang dapat berkomitmen bersamamu untuk saling mendoakan dan memperhatikan. Saya yakin hubungan tersebut akan segera berkembang dan menarik orang lain untuk turut bergabung. Bagikanlah kasih Kristus kepada satu sama lain. Apa saja. Kapan saja. Di mana saja. Semuanya dalam nama Yesus! —David McCasland
Ya Yesus, terima kasih untuk para sahabat yang mengasihi aku. Tolonglah aku melakukan hal yang sama untuk mereka dan orang di sekelilingku. Yang terutama, terima kasih Engkau menjadi Sahabatku yang paling karib.
Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. —Yesus

Thursday, September 17, 2015

Tidakkah Allah Peduli?

Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. —Yesaya 55:8
Tidakkah Allah Peduli?
Mengapa seorang pengemudi yang mabuk bisa selamat dari kecelakaan tanpa terluka sedikit pun sementara korban yang tidak mabuk justru terluka parah? Mengapa orang jahat hidup makmur sementara orang baik menderita? Seberapa sering kamu dibingungkan oleh hal-hal yang terjadi di dalam hidupmu sehingga kamu terdesak untuk berseru, “Tidakkah Allah peduli?”
Habakuk bergumul dengan pertanyaan yang sama ketika melihat keadaan yang sulit di Yehuda pada saat kelaliman dan ketidakadilan merajalela di mana-mana (Hab. 1:1-4). Kebingungan Habakuk membuatnya bertanya kepada Allah kapan Dia akan bertindak untuk memperbaiki keadaan tersebut. Jawaban Allah ternyata sangat mengherankan dan membingungkan.
Allah berkata bahwa Dia akan mengguna-kan bangsa Kasdim sebagai alat untuk menghukum Yehuda. Bangsa Kasdim terkenal akan kekejaman mereka (ay.7). Mereka gemar menggunakan kekerasan (ay.9) dan menjunjung kekuatan militer dan ilah-ilah mereka semata-mata (ay. 10-11).
Pada saat kita tidak mengerti cara-cara kerja Allah, kita perlu percaya pada sifat-Nya yang tidak pernah berubah. Itulah yang memang Habakuk lakukan. Ia percaya bahwa Allah adalah Allah sumber keadilan dan hukum, kasih dan kesetiaan (Mzm. 89:15). Seiring waktu, ia belajar untuk melihat keadaan yang dialaminya dari kerangka sifat Allah, daripada berusaha memahami sifat Allah dari konteks keadaannya sendiri. Habakuk akhirnya menyimpulkan, “ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku” (Hab. 3:19). —Poh Fang Chia
Ya Tuhan, sangat mudah membiarkan keadaanku mengubah pemahamanku tentang diri-Mu. Tolonglah aku untuk mengingat bahwa Engkau baik dan setia, walaupun aku tak bisa melihat segala sesuatu dan tidak selalu dapat memahami cara-Mu bekerja.
Keadaan kita mungkin terlihat sangat berbeda dari sudut pandang Allah.

Wednesday, September 16, 2015

Merasa Ditinggalkan

Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? —Matius 27:46
Merasa Ditinggalkan
Dalam buku karyanya The Screwtape Letters (Surat-Surat Screwtape), C. S. Lewis menceritakan percakapan imajiner antara setan senior dan setan junior yang sedang berdiskusi tentang cara-cara yang tepat untuk mencobai seorang Kristen. Kedua setan itu ingin menghancurkan iman orang Kristen tersebut kepada Allah. “Jangan tertipu,” ujar si setan senior kepada juniornya. “Usaha kita berada dalam bahaya yang amat besar ketika seorang anak manusia . . . memandang ke seluruh jagad raya yang seakan tidak lagi menyisakan jejak-jejak [Allah], dan bertanya mengapa ia ditinggalkan oleh-Nya, tetapi masih tetap taat.”
Alkitab memberi kita banyak teladan orang yang tetap melangkah dalam iman sekalipun mereka merasa ditinggalkan. Abram merasa bahwa janji Allah untuk memberinya seorang ahli waris telah diabaikan (Kej. 15:2-3). Pemazmur merasa diabaikan di tengah kesusahannya (Mzm. 10:1). Pergumulan Ayub sedemikian besarnya sehingga ia berpikir bahwa Allah akan membunuhnya (Ayb. 13:15). Dan Yesus berseru dari atas salib: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 27:46). Namun setiap kali, Allah terbukti tetap setia (Kej. 21:1-7; Mzm. 10:16-18; Ayb. 38:1-42:17; Mat. 28:9-20).
Walaupun Iblis akan berusaha mencobaimu dengan membuat kamu berpikir bahwa kamu telah ditinggalkan, Allah selalu dekat. Dia tidak pernah meninggalkan umat kepunyaan-Nya. “Allah telah berfirman: ‘Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.’ Sebab itu, dengan yakin kita dapat berkata: ‘Tuhan adalah Penolongku. Aku tidak akan takut’” (Ibr. 13:5-6). —Dennis Fisher
Ya Tuhan, walaupun awan dan kegelapan terkadang melingkupiku, aku tahu bahwa Engkau selalu dekat di sisiku. Terima kasih.
Di saat kita takut, Allah selalu bersama kita.

Tuesday, September 15, 2015

Kompas Allah

Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku. —Mazmur 119:105
Kompas Allah
Selama Perang Dunia II, kompas-kompas berukuran kecil telah menyelamatkan hidup dari 27 pelaut yang berada kira-kira 500 km jauhnya dari pantai North Carolina. Waldemar Semenov, seorang pensiunan pedagang yang menjadi pelaut, sedang berdinas sebagai insinyur junior dalam kapal SS Alcoa Guide ketika sebuah kapal selam Jerman muncul dan menembaki kapalnya. Kapal SS Alcoa Guide terkena tembakan, terbakar, dan mulai tenggelam. Semenov dan awak kapalnya segera menurunkan sekoci-sekoci yang dilengkapi kompas dan menggunakan kompas-kompas tersebut untuk memandu mereka menuju ke jalur pelayaran yang terdekat dengan pantai. Akhirnya, setelah tiga hari, mereka berhasil diselamatkan.
Pemazmur mengingatkan umat Allah bahwa firman-Nya adalah “kompas” yang dapat dipercaya. Ia menyamakannya dengan pelita. Pada masa itu, seorang pelancong biasanya membawa pelita berbahan bakar minyak zaitun dan sinarnya yang kerlap-kerlip hanya cukup untuk menerangi jalannya selangkah demi selangkah. Bagi sang pemazmur, firman Allah bagaikan pelita yang memberikan cahaya yang cukup untuk menerangi jalan setiap orang yang mencari Allah (Mzm. 119:105). Saat sang pemazmur mengembara di tengah gelapnya jalan kehidupan yang tidak menentu, ia percaya bahwa Allah, melalui bimbingan firman-Nya, akan memberikan panduan baginya.
Saat kita kehilangan arah dalam hidup, kita dapat mempercayai Allah kita yang memberikan firman-Nya untuk diandalkan sebagai kompas. Kita dapat menggunakan firman Allah untuk memandu kita menuju ke suatu persekutuan yang lebih erat dengan-Nya. —Marvin Williams
Bapa Surgawi, sungguh sulit bagiku untuk mengendalikan kehidupan ini. Ada kalanya aku terombang-ambing, tetapi aku akan tetap mempercayai-Mu. Pimpin dan bimbinglah aku dengan firman-Mu yang setia dan terpercaya.
Allah telah memberi kita firman-Nya agar kita dapat mengenal dan mengikut Dia.

Monday, September 14, 2015

Perkataan dan Perbuatan

Marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran. —1 Yohanes 3:18
Perkataan dan Perbuatan
Sebuah email yang saya terima dari seorang mahasiswa di kelas menulis yang saya ajar mengungkapkan kebutuhannya yang mendesak. Di akhir semester tersebut, ia menyadari bahwa ia memerlukan perbaikan nilai agar dapat mengikuti kegiatan olahraga di kampus. Apa yang dapat dilakukannya? Ia telah melewatkan beberapa tugas, jadi saya memberinya waktu dua hari untuk menyelesaikan semua makalah dan memperbaiki nilainya. Ia menjawab, “Terima kasih. Saya akan melakukannya.”
Tenggat dua hari telah berlalu dan saya tidak menerima makalah dari mahasiswa itu. Perbuatannya tidak sesuai dengan perkataannya.
Yesus bercerita tentang seorang muda yang melakukan hal yang serupa. Ayahnya meminta anak muda itu untuk bekerja di kebun anggurnya. Anak itu berkata, “Baik, bapa” (Mat. 21:29). Namun ia tidak melakukan janji yang sudah diucapkannya.
Dalam penafsirannya terhadap perumpamaan itu, Matthew Henry menyimpulkan, “Tunas dan bunga bukanlah buah.” Perkataan kita bagaikan tunas dan bunga yang menanti bukti, dan semua itu tidak berarti sama sekali apabila tidak berbuah nyata dalam tindakan. Yesus menujukan perkataan-Nya itu terutama kepada para pemimpin agama. Mereka mengajarkan ketaatan tetapi tidak mau membuktikan ucapan mereka dengan sikap pertobatan. Namun demikian, perkataan Yesus berlaku juga untuk kita. Mengikut Allah “dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1Yoh. 3:18)—bukan mengucapkan janji kosong—menjadi bukti bahwa kita menghormati Tuhan dan Juruselamat kita.
Perbuatan kita yang menaati Allah lebih menunjukkan kasih, hormat, dan pujian kepada-Nya daripada perkataan apa pun yang mungkin kita ucapkan untuk membuat orang lain terkesan kepada kita. —Dave Branon
Ya Bapa, tolong aku untuk menepati janji-janjiku kepada-Mu dan kepada semua orang yang mempercayaiku. Tolonglah aku terutama untuk melakukan kehendak-Mu dan tidak hanya mengucapkannya.
Perkataan ibarat bunga, perbuatanlah buahnya.

Sunday, September 13, 2015

Karena Begitu Besar Kasih Allah

Yesus berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” —Lukas 23:34
Karena Begitu Besar Kasih Allah
Tanggal 28 Juli 2014, menandai peringatan ke-100 tahun dimulainya Perang Dunia I. Di Inggris, banyak diskusi dan dokumentasi yang ditayangkan oleh media untuk memperingati awal terjadinya konflik 4 tahun tersebut. Bahkan salah satu episode dari program TV berjudul Mr. Selfridge, yang berlatar belakang toko serba ada yang memang terdapat di London, bercerita tentang para karyawan pria berusia muda yang pada tahun 1914 ikut mengantre untuk menjadi relawan di Angkatan Darat. Ketika mengamati gambaran dari sikap rela berkorban itu, saya sangat terharu. Para tentara yang ditampilkan itu masih begitu muda dan bersemangat, sementara kemungkinan mereka untuk kembali hidup-hidup dari pertempuran sangatlah kecil.
Meskipun Yesus tidak pergi berperang untuk mengalahkan musuh duniawi, Dia pergi menuju salib untuk mengalahkan musuh utama manusia, yaitu dosa dan kematian. Yesus datang ke dunia untuk membuktikan kasih Allah yang dinyatakan dalam tindakan dan mengalami kematian yang begitu mengerikan supaya dosa kita dapat diampuni. Dia bahkan rela mengampuni orang yang mencambuk dan menyalibkan-Nya (Luk. 23:34). Dia pun menaklukkan maut dengan kebangkitan-Nya dan sekarang kita dapat menjadi bagian dari keluarga Allah yang kekal (Yoh. 3:13-16).
Peringatan berupa perayaan atau monumen mengingatkan kita akan peristiwa sejarah dan kepahlawanan yang penting. Salib mengingatkan kita pada kematian Yesus yang penuh derita dan keindahan dari pengorbanan-Nya bagi keselamatan kita. —Marion Stroud
Ya Tuhan, terima kasih karena Engkau begitu mengasihiku sehingga Engkau meninggalkan rumah-Mu di surga, datang ke dunia, dan rela disalibkan demi diriku. Terima kasih karena Engkau telah membayar hukuman atas dosa-dosaku dan mengampuniku.
Salib Yesus adalah bukti terbesar dari kasih Allah. —Oswald Chambers

Saturday, September 12, 2015

Dua Ekor Beruang

Keangkuhan hanya menimbulkan pertengkaran, tetapi mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat. —Amsal 13:10
Dua Ekor Beruang
Beberapa tahun lalu, saya dan istri saya, Carolyn, menghabiskan waktu selama beberapa hari dengan berkemah di lereng Gunung Rainier di negara bagian Washington. Pada suatu sore ketika kembali ke area perkemahan, kami melihat di tengah-tengah ladang rumput ada dua ekor beruang jantan sedang saling berpukulan kuping. Kami berhenti untuk menyaksikannya.
Ada seorang pendaki gunung di dekat kami, dan saya bertanya kepadanya apa sumber masalahnya. “Seekor beruang betina muda,” jawabnya.
“Di mana beruang itu?” tanya saya.
“Oh, beruang betinanya sudah pergi sekitar 20 menit yang lalu,” jawabnya sambil tertawa. Jadi, saya berkesimpulan, konflik pada saat itu bukan lagi soal beruang betina, tetapi tentang beruang jantan mana yang lebih hebat.
Kebanyakan perselisihan bukanlah soal kebijaksanaan dan prinsip, atau tentang siapa yang benar dan siapa yang salah; melainkan soal keangkuhan. Penulis Amsal yang bijak menyentuh langsung ke akar masalahnya ketika menulis: “Keangkuhan hanya menimbulkan pertengkaran” (Ams. 13:10). Pertengkaran dipicu oleh keangkuhan, oleh kebutuhan untuk membenarkan diri sendiri, oleh kemauan yang keras, atau oleh upaya untuk membela hak atau ego kita.
Di sisi lain, ada hikmat di dalam diri orang yang mau mendengar nasihat—mereka yang mendengarkan dan belajar; yang rela untuk diajari. Ada hikmat di dalam diri orang yang rendah hati—mereka yang mengesampingkan ambisi egois mereka sendiri; yang mengakui keterbatasan pemahaman mereka; yang mendengarkan pendapat orang lain; yang membiarkan pemikiran mereka dikoreksi. Itulah hikmat dari Allah yang menyebarkan damai di mana saja. —David Roper
Bapa Surgawi, tolonglah aku dalam pergumulanku dengan keangkuhanku hari ini. Alangkah mudahnya perhatianku teralih dari-Mu dan terpusat pada diriku sendiri. Berikanlah aku kerendahan hati.
Kerendahan hati mendatangkan hikmat.

Friday, September 11, 2015

Di dalam Taman

Ya Bapaku . . . jadilah kehendak-Mu! —Matius 26:42
Di dalam Taman
Nenek moyang saya adalah kaum perintis di Michigan. Mereka membuka lahan, bercocok tanam, dan mengolah kebun untuk menghasilkan makanan untuk keluarga mereka. Bakat bertani ini turun-temurun sepanjang beberapa generasi. Ayah saya dibesarkan di suatu perkebunan di Michigan dan sangat suka berkebun, dan itu salah satu alasan saya suka berkebun dan bau tanah yang subur. Mengolah tanaman yang menghasilkan bunga-bunga indah dan memelihara bunga mawar yang bau harumnya menghiasi kebun kami adalah pengisi waktu senggang yang sangat menyenangkan bagi saya. Andai saja tidak ada rumput liar, semuanya akan menjadi sempurna!
Ketika saya harus menghadapi rumput liar, saya teringat pada taman Eden; sebuah taman yang sempurna sebelum Adam dan Hawa melanggar perintah Allah. Akibat ketidaktaatan itu, duri dan onak pun harus dihadapi oleh mereka dan setiap orang yang mengolah tanah sejak saat itu (Kej. 3:17-18).
Alkitab juga menyebutkan taman lain, yaitu taman Getsemani tempat Kristus yang sedang begitu tertekan memohon kepada Bapa-Nya agar mencari jalan lain untuk memutarbalikkan akibat dosa yang berawal di taman Eden. Di Getsemani, Yesus berserah kepada Bapa-Nya dengan mengucapkan kata-kata yang menunjukkan ketaatan-Nya yang penuh dalam menghadapi kesengsaraan besar: “Jadilah kehendak-Mu!” (Mat. 26:42).
Karena Yesus berserah di taman itu, sekarang kita menuai berkat dari anugerah-Nya yang luar biasa. Kiranya anugerah itu menuntun kita untuk berserah kepada-Nya yang akan membersihkan dosa dari hidup kita. —Joe Stowell
Tuhan, terima kasih untuk harga luar biasa yang Engkau bayar demi membebaskanku dari dosa. Kiranya kesadaran akan kemenangan-Mu mendorongku untuk menolak dosa yang menghalangi kesanggupanku untuk hidup berbuah bagi-Mu.
Pertumbuhan rohani terjadi ketika iman dipupuk.

Thursday, September 10, 2015

Menopang Saya

Sebab Aku ini, TUHAN, Allahmu, memegang tangan kananmu dan berkata kepadamu: “Janganlah takut, Akulah yang menolong engkau.” —Yesaya 41:13
Menopang Saya
Setelah saya tidak lagi ikut dalam perjalanan keluarga bersama orangtua, saya pun jarang berkunjung ke rumah kakek-nenek yang tinggal ratusan kilometer jauhnya. Karena itu di suatu waktu, saya memutuskan untuk terbang mengunjungi mereka di kota kecil Land O’Lakes, Wisconsin, sekaligus berlibur akhir pekan di sana. Ketika kami berkendara menuju ke bandara untuk mengantar saya pulang, nenek yang belum pernah naik pesawat terbang mulai mengutarakan kekhawatirannya, “Pesawat yang kamu tumpangi itu kecil sekali . . . Tak ada apa pun yang benar-benar menopangnya di atas sana, kan? . . . Aku pasti sangat ketakutan kalau terbang setinggi itu.”
Ketika akhirnya saya duduk di pesawat kecil itu, saya kembali merasakan ketakutan seperti saat pertama kalinya saya terbang. Apa yang sebenarnya menopang pesawat ini?
Rasa takut yang tidak beralasan, atau bahkan ketakutan yang wajar, tidak perlu menggentarkan kita. Daud pernah hidup sebagai seorang buronan, ketika ia takut kepada Raja Saul yang tak henti mengejarnya karena cemburu oleh ketenaran Daud di antara rakyatnya. Daud mendapatkan ketenangan dan penghiburan yang sejati hanya di dalam hubungannya dengan Allah. Di dalam Mazmur 34, ia menulis, “Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku” (ay.5).
Bapa kita di surga penuh dengan hikmat dan kasih sayang. Ketika hati kita mulai dikuasai ketakutan, kita perlu berhenti sejenak dan mengingat bahwa Dia adalah Allah kita dan Dia akan selalu menopang kita. —Cindy Hess Kasper
Bapa, terkadang ketakutanku menguasaiku. Namun aku tahu bahwa Engkau selalu menyertaiku. Kiranya kasih-Mu yang sempurna melenyapkan ketakutanku dan menenangkan hatiku yang cemas!
Saat meyakini bahwa Allah itu baik, kita dapat belajar untuk melepaskan ketakutan kita.

Wednesday, September 9, 2015

Bau Harum dan Sepucuk Surat

Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus. —2 Korintus 2:15
Bau Harum dan Sepucuk Surat
Setiap kali saya mendekati tanaman bunga mawar atau suatu rangkaian bunga, saya tidak mampu melawan godaan untuk mencium sekuntum bunga itu dan menikmati wanginya. Aroma bunga yang segar begitu menyenangkan hati saya dan memicu perasaan yang nyaman di dalam diri saya.
Dalam suratnya kepada umat Kristen di Korintus berabad-abad yang lalu, Rasul Paulus mengatakan bahwa karena kita adalah kepunyaan Kristus, “Allah memakai [kita] supaya berita mengenai Kristus tersebar seperti bau harum yang semerbak ke mana-mana.” (2Kor. 2:14 BIS). Dengan kekuatan-Nya, kita bisa hidup dalam kemenangan, menggantikan keegoisan kita dengan kasih dan kebaikan-Nya, serta menyatakan kabar baik tentang keselamatan-Nya. Ketika kita melakukannya, kita benar-benar menjadi wewangian yang harum bagi Allah.
Paulus kemudian berpindah pada gambaran yang kedua ketika melukiskan umat Kristen sebagai “surat Kristus” (3:3). Surat tentang kehidupan kita tidaklah ditulis dengan tinta biasa, melainkan oleh Roh Allah. Allah mengubah kita dengan cara menuliskan firman-Nya di dalam hati kita agar orang lain bisa membacanya.
Kedua gambaran tadi mendorong kita untuk mengizinkan keindahan Kristus tampak di dalam kita agar kita bisa mengarahkan orang lain kepada-Nya. Dialah Tuhan, seperti ditulis Paulus dalam Efesus 5:2, yang “telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.” —Lawrence Darmani
Tuhan, biarlah keindahan-Mu mengisi hidupku, sehingga aku boleh menarik orang lain datang kepada-Mu. Tolonglah aku berjalan begitu rupa sehingga keharuman kasih-Mu tersebar luas kepada orang lain.
Perbuatan kita memberikan dampak yang jauh lebih besar daripada perkataan kita.

Tuesday, September 8, 2015

Rencana Allah

Apakah yang akan dikatakan tuanku kepada hambanya ini? —Yosua 5:14
Rencana Allah
Seorang perwira angkatan darat mungkin telah mengetahui rencana perangnya secara menyeluruh, tetapi tiap kali sebelum bertempur ia harus menerima dan memberikan instruksi khusus. Sebagai pemimpin bangsa Israel, Yosua harus menyadari hal itu. Setelah umat Allah mengembara selama 40 tahun, Allah memilih Yosua untuk memimpin mereka masuk ke negeri yang telah dijanjikan-Nya kepada mereka.
Kota pertama yang harus mereka hadapi adalah Yerikho. Sebelum bertempur, Yosua melihat “Panglima Balatentara TUHAN” (yang barangkali Tuhan sendiri) berdiri di depannya dengan pedang terhunus di tangan-Nya. Yosua sujud dengan mukanya ke tanah, dan menyembah. Dengan kata lain, Yosua mengenali kebesaran Allah dan ketidaklayakan dirinya. Kemudian ia bertanya, “Apakah yang akan dikatakan tuanku kepada hambanya ini?” (Yos. 5:14). Yosua mengalami kemenangan di Yerikho karena ia mengikuti perintah Tuhan.
Namun di kesempatan lain, Yosua dan bangsanya “tidak meminta keputusan Tuhan” (9:14). Akibatnya, mereka ditipu dan terjebak untuk membuat perjanjian damai dengan bangsa Gibeon, musuh yang tinggal di negeri Kanaan. Hal ini mendukakan Tuhan (ay. 3-26).
Kita juga bergantung kepada Tuhan saat menghadapi pergumulan hidup. Dia rindu kita datang kepada-Nya hari ini dengan rendah hati. Dan Dia pasti akan bersama kita lagi di hari-hari mendatang. —Keila Ochoa
Dalam bidang apa kamu memerlukan bimbingan Allah hari ini? Mintalah kepada Allah untuk memimpin jalanmu.
Kemenangan rohani akan diperoleh mereka yang merendahkan dirinya dan mencari kehendak Allah.

Monday, September 7, 2015

Riak Pengharapan

Karena rahmat-Nya yang besar [Allah] telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan. —1 Petrus 1:3
Riak Pengharapan
Pada tahun 1966, Robert Kennedy, sebagai Senator Amerika Serikat, melakukan kunjungan yang penting ke Afrika Selatan. Di sana ia menyampaikan kata-kata pengharapan kepada para penentang apartheid (politik diskriminasi warna kulit) lewat pidatonya yang terkenal, Ripples of Hope (Riak Pengharapan), di Universitas Cape Town. Dalam pidatonya, ia menyatakan, “Setiap saat seseorang yang mempertahankan idealismenya, atau bertindak untuk memperbaiki nasib sesama, atau bersikap melawan ketidakadilan, ia membersitkan riak pengharapan. Setiap riak dari jutaan pusat energi dan keberanian itu saling bertemu, dan membentuk arus yang sanggup merobohkan tembok-tembok tekanan dan perlawanan yang paling kuat sekalipun.”
Adakalanya di dunia ini harapan terasa begitu langka. Namun demikian, para pengikut Kristus selalu mempunyai pengharapan yang terbesar. Petrus menulis, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan” (1Ptr. 1:3).
Melalui kepastian akan kebangkitan Kristus, seorang anak Allah memiliki pengharapan yang dahsyat. Pengharapan itu merupakan suatu arus keyakinan yang tak terbendung pada kesetiaan Kristus yang telah menaklukkan kematian bagi kita. Yesus, dengan kemenangan-Nya atas maut—musuh terbesar kita—mampu menyinarkan pengharapan ke dalam keadaan yang paling mustahil sekalipun. —Bill Crowder
Tiada lain landasanku,
hanyalah pada darah-Mu;
tiada lain harapanku,
‘ku bersandarkan nama-Mu. —Edward Mote
(Nyanyikanlah Kidung Baru, No. 120)
Dalam Kristus, yang putus harapan menemukan pengharapan.

Sunday, September 6, 2015

Bersambung

Maut telah ditelan dalam kemenangan. —1 Korintus 15:54
Bersambung
Bertumbuh di era 1950-an, saya sering menonton film pada Sabtu siang di bioskop di wilayah kami. Selain tayangan kartun dan film utama, ada sebuah film seri petualangan yang selalu berujung dengan sang jagoan sedang berada di ujung tanduk. Di saat sepertinya tidak ada jalan keluar, setiap episode film seri itu akan ditutup dengan kata “Bersambung . . .”
Rasul Paulus tidak asing dengan keadaan-keadaan yang mengancam nyawanya. Ia pernah dipenjara, didera, dilempari dengan batu, dan mengalami karam kapal di dalam usahanya memberitakan kabar baik tentang Yesus Kristus kepada orang banyak. Paulus tahu bahwa suatu hari nanti, ia akan mati, tetapi ia tidak pernah menganggap hal itu sebagai akhir segalanya. Ia menulis kepada umat Tuhan di Korintus, “Sesudah yang dapat binasa ini mengenakan yang tidak dapat binasa dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat mati, maka akan genaplah firman Tuhan yang tertulis: ‘Maut telah ditelan dalam kemenangan’” (1Kor. 15:54). Paulus begitu bersemangat memberi tahu sesamanya bahwa Yesus, Juruselamat kita telah menyerahkan nyawa-Nya di atas kayu salib agar melalui iman di dalam Dia, kita dapat menerima pengampunan atas segala dosa kita dan memperoleh hidup kekal.
Kita tidaklah seperti jagoan dalam film yang selalu berhasil selamat dari kematian. Akan datang saatnya ketika nyawa kita di bumi ini akan berakhir, baik oleh kematian atau oleh kembalinya Kristus. Namun oleh anugerah dan kemurahan Allah, kisah hidupmu dan saya masih akan “bersambung”. —David McCasland
Bapa, kami memuliakan-Mu atas anugerah kehidupan kekal dari-Mu dan bersama-sama dengan Paulus, kami berseru, “Syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita” (1Kor. 15:57).
Kristuslah harapan kita, baik dalam kehidupan maupun kematian.

Saturday, September 5, 2015

Gembok Cinta

Hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita. —Efesus 5:2
Gembok Cinta
“Gembok Cinta” adalah suatu fenomena yang sedang marak. Ribuan orang yang tengah jatuh cinta telah memasang gembok-gembok cinta ini pada banyak jembatan, pintu gerbang, dan pagar di seluruh dunia, termasuk Perancis, Tiongkok, Austria, Republik Ceko, Serbia, Spanyol, Meksiko, Irlandia Utara. Para pasangan mengukir nama mereka pada sebuah gembok dan kemudian menguncikannya di tempat-tempat umum sebagai lambang cinta mereka yang abadi. Pihak berwajib di sejumlah tempat pemasangan gembok tersebut tidak menyetujui tindakan mereka karena mengkhawatirkan bahaya yang mungkin terjadi apabila terlalu banyak gembok yang dikaitkan. Sebagian orang menganggap tindakan mereka itu merusak, sementara yang lain melihatnya sebagai seni yang indah dan gambaran dari cinta yang penuh komitmen.
Tuhan menunjukkan kepada kita “kasih abadi” yang sejati secara terbuka di tempat umum. Dia menyatakan kasih-Nya di atas kayu salib saat Dia menyerahkan nyawa-Nya demi pengampunan dosa manusia. Dan Dia terus menunjukkan kasih-Nya kepada kita dari hari ke hari. Keselamatan bukanlah semata-mata sebuah janji bahwa kita akan menikmati kekekalan bersama Allah, tetapi juga merupakan pengalaman menerima pengampunan, jaminan, pemeliharaan, dan anugerah dalam hubungan kita dengan-Nya sehari-hari. Kasih Yesus kepada kita merupakan dasar dari tantangan Paulus agar kita “[hidup] di dalam kasih” dengan sesama (Ef. 5:2).
Kasih Allah Bapa memampukan kita untuk berlaku sabar dan baik. Melalui Anak-Nya, Dia telah memberikan kita teladan dan cara terbaik untuk mengasihi satu sama lain—untuk selamanya. —Anne Cetas
Bagaimana caramu belajar mengasihi orang lain? Tindakan apa yang dapat kamu lakukan hari ini untuk semakin bertumbuh dalam kasih?
Yesus menunjukkan kepada kita cara mengasihi.

Friday, September 4, 2015

Kekuatan Bersama

Seluruh tubuh . . . sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota—menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih. —Efesus 4:16
Kekuatan Bersama
Seorang pria yang hendak menaiki kereta api di Perth, Australia, tiba-tiba tergelincir dan tungkai kakinya terjebak dalam celah di antara gerbong kereta dan peron. Belasan penumpang segera berusaha menyelamatkan pria itu. Hanya dengan menggunakan kekuatan otot, mereka berusaha mencondongkan gerbong kereta menjauh dari peron, dan pria yang terjebak itu pun bebas! Di suatu wawancara, David Hynes, juru bicara perusahaan kereta api, berkata, “Semua orang segera turun tangan. Kekuatan bersamalah yang menyelamatkan seseorang dari luka parah yang mungkin dideritanya”.
Dalam Efesus 4, kita membaca bahwa kekuatan bersama merupakan rencana Allah dalam membangun keluarga-Nya. Allah telah memberikan kepada setiap dari kita anugerah menurut kasih karunia-Nya (ay.7) untuk maksud khusus agar “seluruh tubuh,—yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota—menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih” (ay.16).
Setiap orang mempunyai tugas yang harus dilakukannya dalam keluarga Allah; tidak ada yang hanya menjadi penonton. Dalam keluarga Allah, kita menangis dan tertawa bersama. Kita menanggung beban satu sama lain. Kita saling mendoakan dan menyemangati. Kita saling menantang dan menolong untuk berpaling dari dosa. Tunjukkanlah, ya Bapa, bagaimana kami dapat menolong sesama anggota keluarga-Mu hari ini. —Poh Fang Chia
Apakah kamu ikut turun tangan atau hanya menonton? Apa saja karunia yang kamu miliki? Bagaimana Allah dapat memakaimu untuk menolong orang lain agar bertumbuh semakin dekat kepada-Nya?
Kita membutuhkan satu sama lain untuk mencapai tujuan yang Allah kehendaki bagi kita bersama.

Thursday, September 3, 2015

Mitos Kesempurnaan

Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. —1 Yohanes 1:8
Mitos Kesempurnaan
Dr. Brian Goldman terobsesi untuk mengobati pasiennya secara sempurna. Namun, dalam suatu acara televisi, ia mengaku pernah melakukan kesalahan. Suatu waktu ia merawat seorang wanita di ruang gawat darurat, lalu memulangkannya. Kemudian, di hari yang sama, seorang perawat bertanya, “Kamu ingat dengan pasien yang kamu pulangkan? Ia dibawa lagi ke sini.” Pasien itu kembali dirawat di rumah sakit dan akhirnya meninggal. Kejadian itu menghancurkan hati Dr. Goldman. Ia mencoba lebih keras lagi untuk menjadi dokter yang sempurna, tetapi akhirnya menyadari bahwa kesempurnaan itu mustahil untuk dicapai.
Sebagai orang Kristen, bisa saja kita secara tidak realistis mendambakan kesempurnaan atas diri kita sendiri. Namun, sekalipun kita mampu memperlihatkan kehidupan yang tidak bercela, segala pikiran dan motivasi kita takkan pernah murni sepenuhnya.
Rasul Yohanes menulis, “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (1Yoh. 1:8). Solusinya bukanlah dengan menyembunyikan dosa kita dan berusaha lebih keras, melainkan dengan melangkah menuju terang kebenaran Allah dan mengakui dosa kita. “Jika kita hidup di dalam terang,” kata Yohanes, “sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa” (ay.7).
Apa yang terjadi seandainya orang Kristen bukan dikenal karena menyembunyikan dosa, tetapi karena mereka saling mengasihi dan mendukung dalam kasih karunia dan kebenaran Allah? Apa yang terjadi seandainya kita jujur dan terbuka terhadap satu sama lain dan juga terhadap dunia yang memperhatikan gerak-gerik kita? —Tim Gustafson
Ya Bapa, sulit bagi kami untuk saling mengakui kesalahan, tetapi Engkau memanggil kami dalam kesatuan sebagai umat-Mu. Oleh Roh Kudus-Mu, mampukan kami menjalani hidup dengan berani untuk jujur dan mengasihi.
Pengakuan dosa yang jujur kepada Allah akan membawa pengampunan.

Wednesday, September 2, 2015

Proyek Babel

Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya. —Mazmur 127:1
Proyek Babel
Dua tukang ditanya tentang apa yang sedang mereka bangun. Yang seorang menjawab bahwa ia sedang membangun sebuah garasi. Yang satu lagi mengatakan bahwa ia sedang membangun sebuah istana. Keesokan harinya, tinggal satu tukang yang sedang bekerja menyusun batu bata di sana. Ketika ditanya di manakah tukang satunya lagi, ia menjawab, “Oh, ia dipecat. Ia bersikeras membangun istana dan bukan garasi.”
Hal serupa terjadi di masa lampau dalam pembangunan menara di Babel. Sekelompok orang memutuskan untuk membangun sebuah kota dengan menara yang puncaknya sampai ke langit dan menyatukan mereka semua (Kej. 11:4). Namun Allah tidak menghendaki mereka mengerjakan suatu rencana yang besar dan egois karena mereka berniat untuk menyejajarkan diri mereka dengan Allah dan memecahkan semua masalah mereka sendiri. Jadi Allah turun menghentikan proyek tersebut, menyerakkan orang “ke seluruh bumi” dan memberi mereka bahasa yang berbeda-beda (ay. 8-9).
Allah menghendaki manusia melihat-Nya sebagai jalan keluar bagi masalah mereka, dan Dia menunjukkan rencana-Nya atas mereka kepada Abraham (12:1-3). Melalui iman Abraham dan keturunannya, Dia hendak menunjukkan pada dunia suatu jalan menuju sebuah kota “yang direncanakan dan dibangun oleh Allah” (Ibr. 11:8-10).
Iman kita tidak berakar dari segala impian dan solusi kita sendiri. Iman kita didasarkan pada Allah semata-mata dan pada apa yang dapat Dia kerjakan di dalam dan melalui diri kita. —Mart DeHaan
Bapa Surgawi, ampunilah aku karena sering memusatkan perhatian pada berbagai rencana dan impianku sendiri. Tolonglah aku untuk mencari tuntunan-Mu dalam segala hal yang kulakukan.
Allah rindu menggenapi kehendak-Nya demi dan di dalam diri kita.

Tuesday, September 1, 2015

Usia Bukan Kendala

Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita. —1 Korintus 12:26
Usia Bukan Kendala
Setelah 50 tahun bekerja di lab gigi miliknya, Dave Bowman berencana untuk pensiun dan menikmati usia senjanya. Ia makin yakin akan keputusannya setelah didera penyakit diabetes dan menjalani operasi jantung. Namun, ketika mendengar tentang sekelompok pengungsi muda dari Sudan yang membutuhkan bantuan, ia pun mengambil keputusan yang mengubah hidupnya. Ia memutuskan untuk mensponsori lima orang di antara mereka.
Semakin mengenal para pemuda asal Sudan tersebut, ia mengetahui bahwa mereka tidak pernah berobat ke dokter umum atau dokter gigi sama sekali. Suatu hari di gereja seseorang menyebutkan ayat 1 Korintus 12:26, “Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita”. Ayat itu melekat di benak Dave hingga ia tidak bisa melupakannya. Orang Kristen di Sudan menderita karena mereka tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, dan Dave merasa bahwa Allah mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Namun apa?
Meski telah berusia lanjut dan kondisi kesehatannya buruk, Dave mulai mencari cara untuk membangun sebuah pusat layanan kesehatan di Sudan. Sedikit demi sedikit, Allah memberikan sumber daya dan dana yang diperlukan, hingga pada tahun 2008 Memorial Christian Hospital (Rumah Sakit Kristen Memorial) pun resmi dibuka untuk umum. Sejak itu, ratusan orang yang sakit dan terluka telah dirawat dan diobati di sana.
Memorial Christian Hospital menjadi pengingat bahwa Allah memperhatikan orang yang menderita. Dan sering kali Dia bekerja melalui orang-orang seperti kita untuk membagikan kasih-Nya, bahkan ketika kita berpikir bahwa pekerjaan kita telah usai. — Julie Ackerman Link
Apakah kamu merasa bahwa Allah memanggilmu untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu? Berdoa dan mintalah kepada-Nya untuk menolongmu menjawab panggilan itu dan melangkah dalam iman.
Allah peduli pada penderitaan manusia.
 

Total Pageviews

Translate