Pages - Menu

Monday, August 31, 2020

Hamba-Mu Mendengar

 

Lalu datanglah Tuhan, berdiri di sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: “Samuel! Samuel!“ Dan Samuel menjawab: “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar.” —1 Samuel 3:10

Hamba-Mu Mendengar

Seandainya radio nirkabelnya menyala, mereka pasti tahu bahwa kapal Titanic sedang tenggelam. Cyril Evans, operator radio di kapal lain, sudah mencoba mengirimkan pesan kepada Jack Phillips, operator radio di atas kapal Titanic untuk memberi tahu mereka akan adanya gunung es di perairan tersebut. Namun, saat itu Phillips sedang sibuk mengirimkan pesan-pesan dari para penumpang dan dengan kasar menyuruh Evans untuk diam. Dengan berat hati, Evans pun mematikan radionya dan tidur. Sepuluh menit kemudian, kapal Titanic menghantam gunung es. Sinyal minta tolong yang mereka pancarkan tidak dijawab karena tidak ada lagi yang mendengar.

Dalam 1 Samuel kita membaca bagaimana para imam Israel penuh dengan kejahatan dan telah kehilangan penglihatan serta pendengaran rohani mereka sementara bangsa mereka terus melangkah menuju bahaya. “Pada masa itu firman Tuhan jarang; penglihatan-penglihatanpun tidak sering” (1 Sam. 3:1). Namun, Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Dia mulai berbicara kepada seorang anak muda bernama Samuel yang dibesarkan dalam rumah seorang imam. Nama Samuel berarti “Tuhan mendengar”—nama yang diberikan untuk mengenang bagaimana Allah menjawab doa ibunya. Namun, Samuel masih perlu belajar untuk mendengar perkataan Allah.

“Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar“ (ay.10). Hanya hamba yang mendengar. Kiranya kita juga memilih untuk mendengar dan menaati apa yang telah Allah nyatakan dalam Kitab Suci. Serahkanlah hidup kita kepada-Nya dan bersikaplah sebagai hamba yang rendah hati—yang membiarkan “radio”-nya terus menyala.—Glenn Packiam

WAWASAN
Pada pasal-pasal awal kitab 1 Samuel, penulis dengan pandai menggunakan kontras untuk menyorot perbedaan antara anak-anak Eli dan Samuel. 1 Samuel 2:12 mencatat bahwa “anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN” dan “mereka itu tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan” (ay.22). Sebaliknya, Samuel, “semakin besar dan semakin disukai, baik di hadapan TUHAN maupun di hadapan manusia” (ay.26). Ketika anak-anak Eli tidak mendengarkan teguran ayah mereka (ay.25), tanggapan Samuel kepada Tuhan adalah, “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar” (3:10).—Arthur Jackson

Mengapa penting bagimu untuk menaati apa yang telah Allah nyatakan dalam Kitab Suci-Nya? Bagaimana kamu bisa terus tersambung dan mendengar suara-Nya?

Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau adalah Allah yang berbicara kepada kami. Terima kasih atas Kitab Suci-Mu yang menolong kami mengikut-Mu dengan taat. Berbicaralah, hamba-Mu ini mendengar.

Sunday, August 30, 2020

Memeriksa Diri Sendiri

 

Marilah kita menyelidiki dan memeriksa hidup kita, dan berpaling kepada Tuhan. —Ratapan 3:40

Memeriksa Diri Sendiri

Baru-baru ini saya membaca setumpuk surat dari era Perang Dunia II yang dikirimkan oleh ayah saya kepada ibu saya. Saat itu ayah saya ditugaskan di Afrika Utara sementara ibu saya tinggal di West Virginia, Amerika Serikat. Ayah, seorang tentara berpangkat letnan dua di Angkatan Darat, diberi tanggung jawab menyensor surat-surat yang dikirimkan para tentara. Tujuannya supaya jangan ada informasi sensitif yang terbaca oleh musuh. Jadi agak lucu ketika saya melihat di bagian luar dari surat-surat yang dikirimkan ayah saya kepada istrinya, terdapat stempel bertuliskan “Lolos sensor oleh Letnan Dua John Branon.” Ayah saya menyensor surat-suratnya sendiri!

Menyensor diri sendiri adalah hal yang baik bagi kita semua. Beberapa kali dalam Alkitab disebutkan tentang pentingnya menguji diri untuk menemukan apa yang tidak benar dan yang tidak menyenangkan hati Allah. Contohnya, pemazmur berdoa, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku; . . . lihatlah, apakah jalanku serong“ (Mzm. 139:23-24). Nabi Yeremia menggemakan nasihat yang sama: “Marilah kita menyelidiki dan memeriksa hidup kita, dan berpaling kepada Tuhan“ (Rat. 3:40). Saat berbicara tentang kondisi hati kita dalam perjamuan kudus, Rasul Paulus berkata, “Hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri“ (1Kor. 11:28).

Roh Kudus dapat menolong kita berpaling dari perilaku dan tindakan yang tidak menyenangkan hati Allah. Karena itu, sebelum kita memulai kegiatan kita hari ini, berhentilah sejenak dan mintalah pertolongan Roh Kudus untuk membantu kita memeriksa diri, agar kita dapat “berpaling kepada Tuhan“ dalam persekutuan yang erat dengan-Nya.—Dave Branon

WAWASAN
Ratapan adalah sebuah konsep yang penting di dalam Perjanjian Lama dan tertanam kuat dalam pola pikir orang Yahudi. Hak istimewa untuk membawa perasaan sakit hati, ketakutan, atau pergumulan terdalam kita kepada Allah yang sangat peduli kepada kehidupan kita adalah hal yang menakjubkan. Dalam Perjanjian Lama, sifat-sifat inilah yang memberikan perbedaan besar antara Allah Israel dan ilah-ilah lainnya. Para berhala yang disembah bangsa-bangsa di Timur Dekat kuno bersifat kasar dan penuntut, maka sifat penyayang dan pengasih dari Allah yang sejati (Keluaran 34:6-7) menjadikan Dia pribadi yang sempurna untuk menerima setiap kepedihan hati umat-Nya. Hal ini tercermin sekali dalam kitab Ratapan. Yeremia, yang dipercaya sebagai penulisnya, menuliskan kitab ini dalam kepedihan hati karena kehancuran Yerusalem di 586 SM. Ratapan ini terdiri dari lima sajak, yang semuanya berisi perasaan duka karena kehancuran “kota damai” (arti dari Yerusalem).—Bill Crowder

Bagaimana cara kamu melakukan pemeriksaan rohani yang sehat terhadap dirimu sendiri? Dua hal apa yang dapat kamu singkirkan untuk memperbaiki hubunganmu dengan Allah?

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku. Lihatlah, apakah ada perubahan yang perlu kulakukan hari ini agar aku dapat mengenal dan melayani-Mu lebih baik lagi.

Saturday, August 29, 2020

Gelombang Besar

 

Injil itu berbuah dan berkembang. —Kolose 1:6

Gelombang Besar

Orang senang melakukan atraksi “ombak.“ Di berbagai pertandingan olahraga dan konser di seluruh dunia, atraksi tersebut dimulai ketika beberapa orang berdiri dan mengangkat tangan mereka. Beberapa saat kemudian, orang-orang yang duduk di sebelah mereka akan melakukan hal yang sama. Tujuannya adalah untuk menghasilkan gerakan bergelombang yang tak terputus dan menjalar hingga ke seluruh stadion. Ketika sampai di akhir gelombang, mereka yang memulai gerakan tersebut tersenyum dan bersorak gembira—lalu melanjutkan kembali gerakan tersebut.

Menurut catatan, atraksi ombak pertama kali muncul dalam pertandingan bisbol profesional antara Oakland Athletics dan New York Yankees di tahun 1981. Saya senang bergabung dalam atraksi semacam ini karena rasanya sangat menyenangkan. Namun, saya juga terpikir bahwa kegembiraan dan kebersamaan yang kami rasakan saat melakukan atraksi tersebut mengingatkan pada Injil Kristus—bahwa kabar baik tentang keselamatan dalam Yesus Kristus menyatukan orang-orang percaya di mana pun mereka berada dalam pujian dan pengharapan. “Gelombang besar” itu dimulai dua puluh abad yang lalu di Yerusalem. Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, Paulus menggambarkannya demikian, “Injil itu berbuah dan berkembang di seluruh dunia, demikian juga di antara kamu sejak waktu kamu mendengarnya” (Kol. 1:6). Dampak alami dari kabar baik itu adalah “iman dan kasih [yang] muncul karena pengharapan yang disediakan bagi [kita] di surga” (ay.5 AYT).

Sebagai umat percaya, kita menjadi bagian dari gelombang terbesar dalam sejarah. Teruskanlah gelombang itu! Ketika gelombang itu akhirnya selesai, kita akan melihat senyum dari Dia yang memulai segala sesuatunya.—James Banks

WAWASAN
Paulus menggunakan kata ganti orang pertama jamak untuk menuliskan “kami selalu mengucap syukur kepada Allah . . . setiap kali kami berdoa untuk kamu, karena kami telah mendengar tentang imanmu dalam Kristus Yesus dan tentang kasihmu” (Kolose 1:3-4). Siapakah yang dimaksudkan dengan “kami”? Selain mengungkapkan pikiran dan perasaan dari seorang rekan muda bernama Timotius (1:1), perkataan Paulus juga mewakili isi hati teman-teman dan rekan-rekan kerjanya yang lain (4:10-17). Secara khusus kepada mereka yang belum mengenalnya secara pribadi (2:1), Paulus menyatakan pemikirannya dengan berbicara atas nama orang-orang yang lebih mereka kenal. Dari nama-nama tersebut, Epafras menonjol sebagai seorang “kawan pelayan yang [di]kasihi,” yang bukan saja orang pertama yang memberitakan kabar baik dan anugerah Allah kepada orang Kolose (1:7-8), tetapi juga yang “selalu bergumul dalam doanya untuk [mereka], supaya [mereka] berdiri teguh, sebagai orang-orang yang dewasa dan yang berkeyakinan penuh dengan segala hal yang dikehendaki Allah” (4:12).—Mart DeHaan

Dari siapa kamu pertama kali mendengar kabar baik tentang Yesus Kristus? Bagaimana kamu dapat membagikannya kepada orang yang dekat denganmu minggu ini?

Aku memuji-Mu, ya Bapa, karena keindahan karunia keselamatan yang kuterima. Utuslah aku hari ini kepada seseorang yang perlu mendengar tentang kebaikan-Mu!

Friday, August 28, 2020

Allah Penyelamat Kita

 

Aku akan menyelamatkan mereka dari segala tempat, ke mana mereka diserahkan. —Yehezkiel 34:12

Allah Penyelamat Kita

Di laut lepas, seorang petugas penyelamat datang dengan mengendarai perahu kayak untuk menolong para perenang dalam lomba triathlon yang sedang panik. “Jangan pegang bagian tengah perahu!” teriaknya ke arah para perenang, karena itu dapat membuat perahunya terbalik. Sebaliknya, ia mengarahkan mereka ke bagian belakang atau depan dari kayaknya. Mereka dapat meraih pegangan berbentuk bundar, sehingga petugas penyelamat tidak akan kesulitan menolong mereka.

Setiap kali jalan hidup atau orang-orang berusaha menenggelamkan kita, sebagai orang percaya, kita tahu bahwa kita memiliki Juruselamat. “Sebab beginilah firman Tuhan Allah: Dengan sesungguhnya Aku sendiri akan memperhatikan domba-domba-Ku dan akan mencarinya . . . . Aku akan menyelamatkan mereka dari segala tempat, ke mana mereka diserahkan“ (Yeh. 34:11-12).

Inilah jaminan yang diberikan Nabi Yehezkiel kepada umat Allah saat mereka berada di pengasingan. Para pemimpin mereka telah mengabaikan dan memperbudak mereka, menyia-nyiakan hidup mereka, dan “menggembalakan dirinya sendiri, tetapi domba-domba [Allah] tidak digembalakannya” (ay.8). Akibatnya, umat “di seluruh tanah itu . . . berserak, tanpa seorangpun yang memperhatikan atau yang mencarinya” (ay.6).

Namun, Tuhan menegaskan, “Aku akan melepaskan domba-domba-Ku“ (ay.10), dan Dia masih terus memegang janji-Nya.

Apa yang perlu kita lakukan? Berpegang terus pada Allah yang Mahakuasa dan janji-janji-Nya. “Aku sendiri akan memperhatikan domba-domba-Ku dan akan mencarinya,” kata Allah (ay.11). Itulah janji keselamatan yang patut untuk terus kita pegang.—Patricia Raybon

WAWASAN
Menurut pakar Alkitab Kenneth Bailey, Yehezkiel 34:5-12 adalah satu dari sembilan kali penggambaran Alkitab tentang gembala dan domba sebagai metafora dari hubungan yang sangat penting. Terkadang, gembala itu adalah Allah sendiri atau Tuhan Yesus (Mazmur 23; Mazmur 95; Matius 18:10-14; Lukas 15:3-7; Yohanes 10:7-18); terkadang gembala menggambarkan kepemimpinan Israel yang jahat (Yeremia 23:1-8; Yehezkiel 34:1-8; Zakharia 10:1-12); dan terkadang yang dimaksud adalah para pemimpin gereja (1 Petrus 5:1-4). Demikian juga, terkadang domba menggambarkan sisa-sisa umat Israel yang setia, terkadang bangsa Israel pada umumnya (Markus 6:30-44), dan di waktu lain domba adalah orang-orang percaya di dalam Kristus. Masyarakat dunia kuno sudah terbiasa dengan hubungan antara gembala dan domba, sehingga tercipta gambaran yang sangat mudah dipahami tentang hubungan yang sehat antara Allah dan umat-Nya serta bahaya eksploitasi oleh para gembala palsu.—Bill Crowder

Apa biasanya reaksimu ketika merasa panik? Masalah apa yang perlu kamu lepaskan supaya kamu berpegang pada Allah?

Tuhan Juruselamat kami, ketika aku dibuat panik, kuatkanlah aku agar berbalik dari gulungan ombak dan selalu berusaha meraih pertolongan-Mu.

Thursday, August 27, 2020

Luputkan Orang yang Lemah

 

Luputkanlah orang yang lemah dan yang miskin, lepaskanlah mereka dari tangan orang fasik! —Mazmur 82:4

Luputkan Orang yang Lemah

Mana yang akan kamu pilih—bermain ski dalam liburan di Swiss atau menyelamatkan anak-anak di Praha dari bahaya? Seorang pria biasa bernama Nicholas Winton memilih yang kedua. Pada tahun 1938, perang antara Cekoslowakia dan Jerman terancam pecah. Setelah mengunjungi kamp-kamp pengungsi di Praha, tempat banyak orang Yahudi hidup dalam keadaan yang menyedihkan, ia merasa terpanggil untuk menyelamatkan mereka. Ia pun menggalang dana untuk dapat membawa ratusan anak keluar dari Praha dalam keadaan selamat ke Inggris agar bisa diasuh oleh keluarga-keluarga di Inggris sebelum pecah Perang Dunia II.

Tindakannya merupakan contoh perbuatan yang diperintahkan dalam Mazmur 82: “Belalah hak orang sengsara dan orang yang kekurangan!” (ay.3). Asaf, penulis mazmur ini, bermaksud mengajak umatnya untuk memperhatikan orang yang membutuhkan bantuan: “Luputkanlah orang yang lemah dan yang miskin, lepaskanlah mereka dari tangan orang fasik!” (ay.4). Seperti halnya Nicholas bekerja tak kenal lelah menyelamatkan anak-anak, pemazmur menyuarakan isi hati mereka yang tidak bisa bersuara—orang-orang miskin dan para janda yang membutuhkan keadilan dan perlindungan.

Saat ini, di mana-mana kita melihat orang-orang yang membutuhkan bantuan karena mereka dilanda peperangan, badai, dan kesulitan-kesulitan lain. Walaupun kita tidak bisa menyelesaikan setiap persoalan, kita tetap bisa berdoa dan mempertimbangkan apa yang bisa kita lakukan untuk menolong mereka dalam berbagai situasi yang Allah bawa dalam kehidupan kita.—Linda Washington

WAWASAN
Mazmur Asaf (pasal 50; 73-83) memberikan pandangan jujur mengenai keadilan yang sepertinya raib dari atas bumi. Nyanyian-nyanyian tersebut mengajukan sebagian pertanyaan tersulit yang digumulkan oleh manusia, antara lain: Mengapa orang fasik hidup makmur? Mengapa orang baik menderita? Di Mazmur 82 muncul pertanyaan yang tajam: “Berapa lama lagi kamu menghakimi dengan lalim dan memihak kepada orang fasik?” (ay.2). Kita dapat menafsirkan ini sebagai tuduhan terhadap Allah, tetapi kata yang diterjemahkan sebagai “kamu” tersebut adalah jamak. Pemazmur menujukan pertanyaannya kepada para hakim yang tidak adil, yang “seperti manusia . . . akan mati dan seperti salah seorang pembesar . . . akan tewas” (ay.7). Mazmur ini meneguhkan kedaulatan Allah atas segala hal: “di antara para allah [Allah] menghakimi” (ay.1) dan ditutup dengan sebuah permintaan kepada Tuhan: “Bangunlah . . . hakimilah bumi” (ay.8). Walaupun ada penderitaan yang mendorong seruan untuk memohon keadilan ini, penulis mazmur ini tahu Allah dapat dipercayai untuk memulihkan segala sesuatu.—Tim Gustafson

Adakah kebutuhan orang lain yang dapat segera kamu tolong? Bagaimana Allah telah secara unik mempersiapkanmu untuk menyelamatkan dan mempedulikan orang lain?

Allah yang Maha Pengasih, bukalah mataku untuk melihat kebutuhan orang-orang di sekelilingku.

Wednesday, August 26, 2020

Mengemudi Secara Rohani

 

Perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. —Efesus 5:15-16

Mengemudi Secara Rohani

Tidak banyak yang saya ingat dari kursus mengemudi yang pernah saya ikuti. Namun, entah mengapa, saya masih sangat ingat pada pelajaran yang disebut S-I-P-D-E, singkatan dari Scan (amati), Identify (kenali), Predict (perkirakan), Decide (putuskan), dan Execute (lakukan), suatu proses yang harus dipraktekkan terus-menerus. Kami diminta mengamati jalan, mengenali adanya potensi bahaya, memperkirakan akibat dari bahaya tersebut, memutuskan cara untuk mengatasinya, lalu, bila perlu, melakukan rencana tersebut. Itulah strategi untuk waspada dan menghindarkan diri dari kecelakaan.

Bagaimana jika hal itu diterapkan dalam kehidupan rohani kita? Dalam Efesus 5, Paulus menulis kepada jemaat Efesus, “Karena itu, perhatikanlah dengan seksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif” (ay.15). Paulus tahu ada bahaya-bahaya tertentu yang dapat membuat jemaat Efesus tergelincir, yakni gaya hidup lama yang bertentangan dengan hidup baru mereka di dalam Yesus (ay.8,10-11). Jadi, ia meminta gereja yang sedang bertumbuh itu untuk memperhatikan hal ini.

Ayat 15 secara harfiah berarti “perhatikan jalanmu.” Dengan kata lain, lihat sekelilingmu. Perhatikan potensi bahaya dan hindari hal-hal yang dapat merusak diri seperti kemabukan dan hawa nafsu (ay.18). Sebaliknya, kita dapat berusaha memahami kehendak Allah bagi kehidupan kita (ay.17), sambil bernyanyi dan mengucap syukur di antara saudara-saudara seiman (ay.19-20).

Apa pun bahaya yang dihadapi—bahkan ketika kita tersandung—kita dapat mengalami kehidupan yang baru dalam Kristus dengan makin bergantung kepada kuasa dan anugerah-Nya yang tidak terbatas.—Adam Holz

WAWASAN
Paulus mendorong umat Tuhan di Efesus untuk memahami masa-masa mereka hidup dan bertindak sesuai dengan pemahaman itu. Mereka diminta untuk “[mempergunakan] waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat” (Efesus 5:16). Pada masa awal kekristenan, kejahatan dipandang sebagai ciri dari hari-hari terakhir—rentang masa dari kenaikan Kristus ke surga sampai kepada kedatangan-Nya (lihat 2 Timotius 3:1; 2 Petrus 3:3).
Buku tafsiran Word Biblical Commentary berkata, “Mungkin saja gagasan tentang hari-hari jahat di sini tetap mempertahankan implikasi penggunaannya di dalam tradisi apokaliptik, ketika hari-hari jahat yang dimaksud adalah hari-hari terakhir yang genting dan yang akan menemui kesudahannya. Pemahaman itu akan menghasilkan perasaan urgensi terhadap masa sekarang yang masih tersisa dan kesempatan-kesempatan di dalamnya.”
Petrus mendorong umat percaya untuk memahami semakin pentingnya kesempatan demi kesempatan untuk berbuat baik ketika kita mengingat bahwa setiap hari kita makin mendekati hari terakhir ketika Tuhan Yesus datang kembali.—J.R. Hudberg

Strategi apa yang kamu gunakan untuk mengenali bahaya yang mengancam kerohanianmu? Apa peran saudara seiman dalam mengenali dan menghindari bahaya itu? Bagaimana pengucapan syukur menjadi bagian penting dari usaha menjauhi bahaya itu?

Bapa di surga, dalam perjalananku menghindari berbagai bahaya yang mengancam kehidupan rohaniku, terima kasih karena Engkau telah mengingatkanku untuk terus mengandalkan pertolongan dari-Mu.

Tuesday, August 25, 2020

Hadiah yang Menakjubkan

 

Singkapkanlah mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu. —Mazmur 119:18

Hadiah yang Menakjubkan

Seorang guru bernama Donelan sangat gemar membaca, dan suatu hari, kebiasaan itu membawa keuntungan baginya. Ia sedang merencanakan perjalanan dan membaca dengan teliti polis asuransi perjalanannya yang sangat panjang. Sesampainya di halaman ketujuh ia menemukan hadiah yang menakjubkan. Sebagai bagian dari kontes berjudul “Ada Gunanya Dibaca”, perusahaan asuransi tersebut memberikan 10.000 dolar kepada orang pertama yang membaca kontrak sampai sejauh itu. Mereka juga mendonasikan ribuan dolar kepada sekolah-sekolah di sekitar tempat tinggal Donelan untuk meningkatkan minat baca anak-anak. Donelan berkomentar, “Saya selalu dianggap kutu buku karena suka membaca semua kontrak sampai tuntas. Tapi sayalah yang paling terkejut mendapatkan hadiah!”

Pemazmur berharap matanya terbuka untuk “memandang keajaiban-keajaiban” tentang Allah (Mzm. 119:18). Ia sangat mengerti bahwa Allah ingin dikenal sehingga ia rindu memiliki kedekatan yang lebih dalam dengan-Nya. Ia rindu mengenal Allah lebih dalam, mengetahui apa yang telah Dia berikan, dan belajar mengikuti-Nya lebih dekat lagi (ay.24,98). Ia menulis, “Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari” (ay.97).

Kita juga memiliki kesempatan istimewa untuk meluangkan waktu dengan merenungkan tentang Allah, karakter-karakter-Nya, dan ketetapan-ketetapan-Nya—yakni belajar tentang Dia dan bertumbuh semakin dekat kepada-Nya. Allah rindu mengajar, menuntun, dan membuka hati kita untuk mengenal siapa Dia. Ketika kita tekun mencari Dia, Allah akan menghadiahkan rasa takjub yang lebih besar lagi akan diri-Nya dan sukacita dari hadirat-Nya!—Anne Cetas

WAWASAN
Puisi akrostik luar biasa yang menjunjung hukum Allah ini adalah salah satu perikop Alkitab yang paling dikenal luas. Namun, karena panjangnya (176 ayat), puisi ini sering kali hanya dipelajari bagian demi bagian. Puisi-puisi akrostik menggunakan pengulangan huruf dan suara di bagian depan pasangan liriknya (couplet). Inilah salah satu dari banyak teknik sastra yang dipakai para penulis Ibrani di dalam lagu-lagu mereka. Teknik lainnya termasuk metafora, simile, dan paralelisme. Para penyair Ibrani menggunakan elemen-elemen ini untuk menguatkan dan menegaskan pesan dari puisi mereka.—Bill Crowder

Ketika kamu membuka Alkitab dan membacanya, bagaimana hati dan pikiranmu dapat terus terbuka kepada Allah dan jalan-jalan-Nya? Apa yang ingin kamu lebih ketahui atau alami?

Betapa kucintai firman-Mu, ya Allah. Alangkah manisnya perkataan-Mu, rasanya lebih manis dari madu!

Monday, August 24, 2020

Bagaimana Saya Bisa Sampai di Sini?

 

Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk? —Ayub 2:10

Bagaimana Saya Bisa Sampai di Sini?

Tiffani terbangun dalam pesawat Air Canada yang gelap gulita. Masih mengenakan sabuk pengaman, ia terus tertidur sementara semua penumpang lain sudah turun dan pesawat sudah diparkir di bandara. Kenapa tidak ada yang membangunkan saya? Bagaimana saya bisa sampai di sini? Ia berpikir keras sambil mencoba mengingat-ingat.

Pernahkah kamu mendapati dirimu berada di tempat yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya? Mungkin kamu merasa terlalu muda untuk menderita penyakit berat yang belum ada obatnya. Mungkin penilaian orang terhadapmu sangat baik, tapi mengapa kamu tersingkir dari pekerjaanmu? Mungkin rumah tanggamu pernah bahagia, tapi sekarang kamu harus memulai semua dari awal lagi sebagai orangtua tunggal yang bekerja paruh waktu.

Bagaimana saya bisa sampai di sini? Ayub mungkin menanyakan hal itu ketika “duduk di tengah-tengah abu” (2:8). Ia kehilangan anak-anak, kekayaan, dan kesehatannya dalam waktu singkat. Ia sama sekali tidak menyangka hidupnya akan menjadi seperti ini; yang ia tahu, ia harus mengingat sesuatu.

Ayub teringat kepada Penciptanya dan betapa baiknya Dia selama ini. Kepada istrinya, Ayub berkata, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (ay.10). Ayub ingat bahwa ia dapat mengandalkan Allah yang baik untuk tetap setia kepadanya. Maka ia pun meratap. Ia berteriak dengan suara nyaring. Lalu ia berduka dalam pengharapan, “Aku tahu: Penebusku hidup,” dan “tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah” (19:25-26). Ayub bergantung pada pengharapan tatkala ia mengingat bagaimana kisahnya dimulai dan bagaimana kelak itu akan berakhir.—Mike Wittmer

WAWASAN
Ayub pasal 1 dan 2 dipenuhi dengan misteri yang sering memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ditemukan jawabannya. Bagaimana keadaan pertemuan dewan surgawi yang digambarkan dalam pasal-pasal ini? Mengapa Iblis diperbolehkan untuk ikut serta di dalamnya? Mengapa Allah mengizinkan Ayub untuk menderita sedemikian parahnya? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang sulit, tetapi yang jelas, sekalipun menderita, Ayub tidak ditelantarkan Allah—dan pengalaman-pengalaman berat yang dialami Ayub tidak disia-siakan oleh-Nya.—Bill Crowder

Situasi apa yang membuatmu menderita dan takut? Bagaimana kamu kembali menemukan pegangan dan hidup dalam pengharapan dan sukacita?

Ya Bapa, Engkau tidak terkejut atas semua yang terjadi pada diriku. Engkau baik sebelumnya, dan Engkau tetap baik sekarang.

Sunday, August 23, 2020

Dilarang Memancing

 

[Allah akan] melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut. —Mikha 7:19

Dilarang Memancing

Salah seorang yang selamat dari peristiwa Holocaust, Corrie ten Boom, sangat tahu pentingnya pengampunan. Dalam buku Tramp for the Lord, Corrie mengatakan bahwa ia paling senang membayangkan dosa-dosa yang sudah diampuni dibuang ke laut. “Ketika kita mengakui dosa-dosa kita, Allah membuang semuanya ke samudra yang terdalam, hilang untuk selama-lamanya. . . . Saya yakin Allah lalu meletakkan tanda peringatan di sana dengan tulisan ‘Dilarang Memancing.’”

Ia menunjukkan hal penting yang terkadang gagal dipahami oleh orang percaya—ketika Allah mengampuni dosa-dosa kita, kita sepenuhnya diampuni! Jangan lagi kita mengungkit segala perbuatan dosa kita yang memalukan dan berkubang dalam perasaan bersalah. Sebaliknya, kita dapat menerima anugerah dan pengampunan-Nya, serta mengikuti-Nya dalam kemerdekaan.

Ide tentang “larangan memancing” ini bisa kita jumpai dalam Mazmur 130. Pemazmur menyatakan bahwa sekalipun Allah itu adil, Dia mengampuni dosa-dosa mereka yang bertobat: “Pada-Mu ada pengampunan” (ay.4). Ketika pemazmur menantikan Allah dan meletakkan keyakinannya kepada Dia (ay.5), ia menyatakan dalam iman bahwa Dia sendiri “yang akan membebaskan Israel dari segala kesalahannya” (ay.8). Mereka yang percaya akan mengalami “banyak . . . pembebasan” (ay.7)

Ketika terperangkap dalam perasaan malu dan ketidaklayakan, kita tidak mungkin bisa melayani Allah dengan sepenuh hati. Kita justru terjerat oleh masa lalu kita. Ketika kamu merasa terhalang oleh segala kesalahan yang telah kamu perbuat, mintalah pertolongan Allah agar kamu dapat sepenuhnya mempercayai anugerah pengampunan dan hidup baru dari-Nya. Dia telah membuang dosa-dosamu ke dasar samudra!—Amy Boucher Pye

WAWASAN
Mazmur 130 menyebutkan tentang pembebasan dan pengampunan: pada Allah “ada pengampunan” dan “pembebasan” (ay.4,7). Apakah kedua kata ini memiliki arti yang sama? Menurut Baker Encyclopedia of the Bible, akar kata kerja Ibrani untuk pembebasan atau penebusan yang digunakan dalam mazmur ini memiliki konteks hukum dan digunakan “ketika suatu hewan menggantikan (atau menebus) seseorang atau seekor hewan lainnya.” Dalam konteks teologis, kata ini menunjukkan “sebuah pembebasan dari perbudakan dosa, tebusan, atau harga yang dibayar untuk kebebasan.” Tuhan Yesus menyediakan tebusan ini melalui kematian-Nya di atas salib, “memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Matius 20:28). Kita dapat diampuni dari segala dosa kita karena karya penebusan/pembebasan Yesus di atas salib. Ketika kita datang kepada Allah dalam pertobatan (berduka atas dosa kita), Allah mengampuni dan membebaskan kita (para pendosa dan pelanggar) dari penghakiman dan hukuman atas dosa-dosa kita, yaitu keterpisahan kekal dari Dia.—Alyson Kieda

Apakah kamu terperangkap dalam pemikiran yang salah bahwa Allah tidak mungkin mengampuni dosa-dosa tertentu dalam hidupmu? Allah ingin pengampunan-Nya membebaskanmu!

Allah Maha Pengampun, Engkau mengutus Putra-Mu Yesus Kristus untuk menyelamatkanku dari dosa dan maluku. Tolonglah aku hidup dalam kemerdekaan sebagai orang yang sudah sepenuhnya diampuni.

Saturday, August 22, 2020

Setia Hingga Masa Penuaian

 

Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik. —Galatia 6:9

Setia Hingga Masa Penuaian

Seorang wanita yang saya kenal merencanakan sebuah acara di taman dekat tempat tinggalnya dan mengundang semua anak di lingkungan itu untuk datang. Ia begitu bersemangat membayangkan acara itu sebagai kesempatan membagikan iman dengan tetangga-tetangganya.

Ia mengajak tiga cucunya dan dua pelajar SMA untuk membantunya, membagi-bagikan tugas, merancang sejumlah permainan dan kegiatan lain, menyiapkan makanan, menyiapkan cerita Alkitab tentang Yesus untuk diceritakan kepada anak-anak, lalu menunggu mereka semua datang.

Namun, tidak satu anak pun muncul di hari pertama. Begitu juga di hari kedua. Dan ketiga. Namun, setiap hari teman saya itu tetap melakukan kegiatan yang sama bersama para cucu dan anak-anak yang membantunya.

Di hari keempat, ia melihat ada satu keluarga sedang berpiknik dekat lokasinya dan mengundang anak-anak dari keluarga itu untuk bergabung dan bermain bersama mereka. Seorang gadis cilik datang, bergabung dalam kemeriahan acara, ikut makan bersama mereka, dan mendengarkan cerita tentang Yesus. Mungkin bertahun-tahun dari sekarang, gadis kecil itu akan tetap ingat. Siapa yang tahu bagaimana hasilnya nanti? Allah, melalui surat Galatia, mendorong kita, “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (6:9-10).

Jangan takut dengan angka atau ukuran keberhasilan lain yang terlihat secara kasat mata. Tugas kita adalah tetap setia melakukan apa yang Dia ingin kita kerjakan dan kemudian menyerahkan apa pun hasilnya kepada-Nya. Allah adalah penentu hasilnya.—David H. Roper

WAWASAN
Kata Yunani sarx digunakan delapan belas kali di dalam kitab Galatia dan diterjemahkan beragam tergantung pada konteksnya. Dalam Galatia, kata ini pertama kali muncul di 1:16, diterjemahkan sebagai “manusia” (TB) atau “seorang pun” (BIS). Kata-kata ini mengacu kepada unsur-unsur fisik dari kemanusiaan kita. Sebaliknya, penggunaan kata sarx yang terakhir di Galatia 6 diterjemahkan dalam Alkitab sebagai “daging” (ay.8) dan “diri” (ay.12,13). Istilah ini mengacu kepada tabiat diri umat manusia yang terpisah dari pengaruh Allah dan firman-Nya. Dalam hal ini, Galatia 5:16-21 menyediakan bagi pembaca sebuah penjabaran yang tepat bagi Galatia 6:8.—Arthur Jackson

Apakah pernah rencana terbaikmu berakhir dengan kegagalan? Bagaimana kamu dapat belajar untuk tetap percaya kepada Allah meski hasilnya mengecewakan?

Ya Allah, aku bersyukur bahwa Engkaulah yang menentukan hasilnya. Engkaulah yang bekerja. Tolonglah aku untuk selalu taat melakukan apa pun yang Engkau minta.

Friday, August 21, 2020

Pemandangan Indah di Tempat Suram

 

Engkau, ya Tuhan, baik dan suka mengampuni dan berlimpah kasih setia bagi semua orang yang berseru kepada-Mu. —Mazmur 86:5

Pemandangan Indah di Tempat Suram

Ketika bersama suami menjelajahi salah satu sudut negara bagian Wyoming yang gersang dan tandus, saya melihat ada sekuntum bunga matahari tumbuh di tempat kering berbatu yang banyak ditumbuhi semak berduri, jelatang, kaktus berduri dan tanaman gersang lainnya. Meski tidak setinggi bunga matahari pada umumnya, tetap saja bunga itu terlihat indah dan membuat saya gembira.

Pemandangan indah tak terduga di tempat yang gersang dan tandus itu mengingatkan saya bagaimana hidup, bahkan bagi orang Kristen, bisa terasa gersang dan suram. Masalah tampaknya terlalu berat untuk diselesaikan, dan seperti seruan Daud sang pemazmur, doa-doa kita sepertinya tidak didengar: “Sendengkanlah telinga-Mu, ya Tuhan, jawablah aku, sebab sengsara dan miskin aku” (Mzm. 86:1). Seperti Daud, kita juga rindu mengalami sukacita (ay.4).

Meski demikian, Daud melanjutkan dengan menyatakan bahwa kita melayani “Allah penyayang dan pengasih” (ay.15), yang “berlimpah kasih setia bagi semua orang yang berseru kepada-Nya” (ay.5). Allah tentu menjawab doa kita (ay.7).

Terkadang dalam kehidupan kita yang suram, Allah mengirimkan bunga matahari—bisa berupa pesan yang menguatkan dari teman; ayat atau bagian Alkitab yang menenangkan jiwa; matahari terbit yang indah—yang membantu kita melangkah maju dengan langkah yang lebih ringan dan penuh harapan. Sambil kita menantikan hari ketika Allah akhirnya melepaskan kita dari setiap kesulitan kita, marilah bersama pemazmur kita menyatakan, “Engkau besar dan melakukan keajaiban-keajaiban; Engkau sendiri saja Allah” (ay.10).—Alyson Kieda

WAWASAN
Raja Daud tercatat sebagai penulis dari tujuh puluh tiga atau tujuh puluh empat mazmur, dan Mazmur 86 adalah salah satunya. Tidak seperti beberapa mazmur Daud (misalnya saja keterangan pembuka Mazmur 51), Mazmur 86 tidak menuliskan komentar apa pun mengenai keadaan yang menggugah penulisannya, dan rupanya di dalam mazmur ini terdapat sejumlah frasa yang muncul di mazmur-mazmur Daud lainnya. Namun, ciri kunci Mazmur 86, sebagaimana dijelaskan The New Bible Commentary, bisa jadi adalah kemunculan nama Tuhan sebanyak tujuh kali (ay.3,4,5,8,9,12,15) yang menggunakan istilah Ibrani Adonai, yang berbicara mengenai kedaulatan Allah. Sembari Daud menyembah dan memuja kebesaran Allah, ia juga membawa kebutuhan dan kekhawatirannya kepada Dia—karena tahu bahwa ia sedang meminta kepada Allah yang tidak hanya layak menerima segala sembah dan pujinya, tetapi juga Satu-satunya yang dapat dipercaya dengan segala kemungkinan jawaban yang diterimanya.—Bill Crowder

Dari situasi sulit apa Allah telah menyelamatkanmu? Dalam masa-masa itu, pernahkah kamu melihat adanya “bunga matahari” yang menolongmu tetap bertahan?

Allah yang Maha Pengasih, terima kasih karena Engkau telah berbelas kasihan dan bermurah hati kepada kami. Mampukan kami untuk mengingat betapa Engkau setia dan selalu menjawab doa-doa kami di masa lalu—dan akan menjawabnya lagi di masa menddatang.

Thursday, August 20, 2020

Bekerja Bersama Allah

 

Kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah. —1 Korintus 3:9

Bekerja Bersama Allah

Dalam kunjungannya ke Meksiko pada tahun 1962, Bill Ashe membantu memperbaiki pompa air tangan di sebuah panti asuhan. Lima belas tahun kemudian, karena digerakkan oleh keinginan yang kuat untuk melayani Allah dengan membantu menyediakan air bersih di desa-desa yang membutuhkan, Bill mendirikan sebuah organisasi nirlaba. Ia berkata, “Allah menyadarkan saya untuk ‘memanfaatkan waktu sebaik-baiknya’ dengan mencari orang-orang yang juga rindu menyediakan air bersih untuk kaum miskin di pedesaan.” Kemudian, setelah mengetahui adanya kebutuhan akan air bersih di berbagai tempat di dunia melalui permintaan ribuan pendeta dan penginjil di lebih dari 100 negara, Bill mengundang banyak orang untuk bergabung mengerjakan pelayanan ini.

Dengan senang hati, Allah menyambut kita untuk melayani bersama Dia dan orang lain melalui beragam cara. Ketika jemaat Korintus berdebat tentang guru mana yang lebih mereka sukai, Rasul Paulus menegaskan perannya sebagai hamba Yesus Kristus dan kawan sekerja Apolos, yang sepenuhnya menggantungkan pertumbuhan rohani kepada Allah (1 Kor. 3:1-7). Ia mengingatkan kita bahwa setiap pekerjaan mempunyai nilai dan upahnya masing-masing (ay.8). Dengan mengakui hak istimewa yang memungkinkannya bekerja bersama orang lain dalam pelayanan kepada Allah, Paulus mendorong kita untuk membangun satu sama lain sementara Dia terus mengubah kita dalam kasih (ay.9).

Meskipun Bapa kita yang Mahakuasa tidak membutuhkan bantuan kita untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan besar-Nya, Dia tetap memperlengkapi kita dan mengundang kita untuk bekerjasama dengan-Nya.—Xochitl Dixon

WAWASAN
Para pemikir Yunani sering memandang jiwa atau roh bersifat suci dan kekal, serta bertolak belakang dengan kelemahan dan hasrat tubuh jasmani, sehingga yang ditekankan adalah pengendalian tubuh melalui pikiran. Pengikut Aristoteles, contohnya, menekankan mengendalikan hasrat dan perasaan jasmani, sementara kaum Stoa mencoba untuk menghilangkan reaksi emosi yang negatif terhadap hidup sama sekali.
Paulus juga sering membedakan antara kehidupan “secara manusiawi” (1 Korintus 3:3-4) dan kehidupan rohani (lihat contohnya di Roma 8:4-9). Namun, bagi Paulus, seperti tubuh jasmani, pikiran atau jiwa manusia juga rentan untuk dikuasai oleh hasrat yang tidak benar. Sebaliknya, Paulus menekankan perbedaan antara hidup yang dikuasai Roh Allah dan hidup “duniawi yang bukan rohani” (1 Korintus 3:4). Paulus mengajarkan bahwa hanya hidup yang bersandar terus kepada Roh yang dapat melepaskan manusia dari keadaan diperbudak oleh hasrat mereka kepada menjalani tujuan hidup mereka yang sejati.—Monica La Rose

Bagaimana sikap yang mempercayakan hasil pekerjaan kita kepada Allah dapat membuatmu berani mengambil risiko untuk melakukan sesuatu yang tampaknya mustahil? Hal sulit apa yang Allah minta kamu lakukan dengan pertolongan-Nya?

Ya Bapa, terima kasih karena Engkau telah menyediakan segala yang kubutuhkan sambil terus mengerjakan hal-hal yang besar dalam diriku.

Wednesday, August 19, 2020

Cukup Percaya

 

Maka perempuan itu dan dia serta anak perempuan itu mendapat makan beberapa waktu lamanya. —1 Raja-raja 17:15

Cukup Percaya

Tiga ratus anak sudah berpakaian rapi dan duduk untuk sarapan pagi, lalu suatu doa syukur dipanjatkan atas makanan mereka. Namun, anehnya, tidak ada makanan apa pun yang terhidang di atas meja! Situasi itu sudah biasa bagi George Mueller (1805–1898), sang pemimpin panti asuhan sekaligus seorang misionaris. Lagi-lagi inilah kesempatan untuk melihat bagaimana Allah akan mencukupkan kebutuhan mereka. Beberapa menit setelah Mueller selesai berdoa, tiba-tiba datanglah seorang tukang roti yang sepanjang malam kemarin tidak bisa tidur. Karena merasa bahwa panti asuhan itu membutuhkan roti, ia pun membuat tiga tumpuk roti. Tak lama kemudian, tukang susu muncul. Keretanya rusak tepat di depan panti asuhan. Karena tidak ingin susu yang dibawanya menjadi basi, ia pun menawarkannya kepada Mueller.

Memang wajar kita sesekali merasa cemas, khawatir, dan mengasihani diri sendiri ketika kita kekurangan hal-hal yang sangat penting bagi kesejahteraan diri kita—makanan, tempat tinggal, kesehatan, keuangan, persahabatan. 1 Raja-Raja 17:8-16 mengingatkan kita bahwa pertolongan Allah dapat datang melalui sumber yang sama sekali tidak disangka-sangka, seperti seorang janda miskin. Janda itu berkata, “Sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli” (ay.12). Sebelumnya, Allah mengirimkan burung-burung gagak untuk memberi makan Elia (ay.4-6). Sungguh melegakan ketika kita dapat melihat dengan jelas bahwa Allah adalah Pemelihara yang berjanji memenuhi segala kebutuhan kita. Sebelum mencari jalan keluar, carilah Dia terlebih dahulu. Dengan begitu kita bisa menghemat waktu dan energi, serta terbebas dari rasa frustrasi.—Arthur Jackson

WAWASAN
Sebuah bagian menarik dari kisah ini adalah perbedaan antara apa yang Allah katakan kepada Elia dan tanggapan awal si janda. Allah berkata Dia telah “memerintahkan” seorang janda untuk menyediakan makanan bagi Elia (1 Raja-Raja 17:9). Namun, ketika Elia meminta roti kepada janda itu, si janda menjawab bahwa ia tidak punya cukup simpanan roti. Ia bahkan bersumpah “demi TUHAN, Allahmu” (ay.12)—mengacu langsung kepada Dia yang memberikan perintah kepadanya. Memang umum seseorang bersumpah atas nama dewa tertentu untuk membuktikan kebenaran perkataannya—dalam kasus ini perempuan itu melakukannya untuk menyatakan bahwa ia memang tidak punya cukup makanan untuk Elia. Walaupun ingat pada perintah itu (ia mengatakannya sendiri), si janda baru taat setelah Elia meyakinkannya bahwa Allah akan menyediakan makanan bagi mereka sampai musim kelaparan usai.—J.R. Hudberg

Apa yang terjadi ketika kamu pernah lebih berfokus mencari solusi daripada mencari Sang Pemelihara dalam doa? Kebutuhan apa saja yang saat ini ingin kamu bawa dalam doa kepada-Nya?

Ya Bapa, pertajamlah penglihatanku akan Engkau sebagai Pemelihara segala kebutuhanku. Ampunilah aku yang berulang kali sia-sia mencari jalanku sendiri, tanpa mencari Engkau terlebih dahulu.

Tuesday, August 18, 2020

Pesaing atau Sekutu?

 

Hendaklah kalian bersatu, sehati dan sepikir. —1 Korintus 1:10 BIS

Pesaing atau Sekutu?

Kota Texarkana terletak tepat di tengah perbatasan dua negara bagian, Texas dan Arkansas. Kota berpenduduk 70.000 jiwa ini memiliki dua walikota, dua dewan kota, dua kantor kepolisian, dan dua dinas pemadam kebakaran. Pertandingan olahraga antarsekolah menengah atas di kota itu selalu menarik perhatian warga, dan itu menunjukkan kesetiaan yang mendalam kepada sekolah negeri mereka masing-masing. Tantangan-tantangan lain yang lebih signifikan, seperti perselisihan mengenai sistem perairan yang digunakan bersama, diatur oleh dua hukum negara bagian yang berbeda. Meskipun ada garis pemisah, kota ini terkenal karena kesatuannya. Setiap tahun, warga kota berkumpul di State Line Avenue, jalan yang membelah kota itu, untuk makan bersama dan merayakan keberadaan mereka sebagai satu komunitas.

Mungkin umat Tuhan di Korintus tidak terang-terangan menarik garis pemisah, tetapi pemikiran mereka sebenarnya terbagi. Mereka berselisih karena masing-masing setia kepada tokoh-tokoh yang memperkenalkan Yesus kepada mereka: Paulus, Apolos, atau Kefas (Petrus). Paulus menyerukan agar mereka semua “sehati dan sepikir” (1 Kor. 1:10 BIS), sambil mengingatkan bahwa sesungguhnya Kristuslah yang disalibkan untuk mereka, bukan para pemimpin rohani yang mereka ikuti.

Di zaman sekarang kita juga bersikap seperti itu, bukan? Terkadang kita bahkan menentang saudara-saudara seiman yang memiliki keyakinan utama yang sama dengan kita—Yesus mati demi dosa-dosa kita—dan menganggap mereka sebagai pesaing, bukan sekutu. Sesungguhnya, seperti Kristus sendiri tidak terbagi-bagi, kita yang menjadi perwakilan dan tubuh-Nya di dunia tidak boleh membiarkan perbedaan atas hal-hal yang tidak penting memecah belah kita. Kita justru patut merayakan kesatuan kita di dalam Dia.—Kirsten Holmberg

WAWASAN
Pada malam sebelum Tuhan Yesus disalibkan, Dia berdoa untuk mereka yang akan percaya kepada-Nya: “Aku berdoa, . . . supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau” (Yohanes 17:20-21). Surat Paulus ke jemaat Korintus menunjukkan bahwa kesatuan seperti itu tidak pernah mudah (1 Korintus 1:10-13). Dalam surat lainnya, Paulus menyatakan bahwa perbedaan pandangan terhadap hal-hal di luar inti iman tidak perlu dipermasalahkan. Mengenai persoalan makanan dan perayaan hari-hari agamawi, ia berkata, “Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri” (Roma 14:5). Namun, kita harus sepakat mengenai siapa Yesus—sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia; lahir dari seorang perawan; disalibkan, bangkit, dan akan kembali untuk gereja-Nya; Anak Allah yang tidak berdosa, yang menghapus dosa dunia. Hal-hal tersebut adalah dasar iman kita dan berguna untuk menyatukan kita dalam Roh Allah.—Tim Gustafson

Hal-hal rohani tidak penting apa yang wajar menimbulkan perpecahan? Bagaimana cara kamu mengusahakan kesatuan?

Ya Allah, tolong aku untuk tetap berfokus kepada-Mu dan kepada pengorbanan-Mu bagi umat-Mu. Kiranya aku tidak terusik oleh masalah-masalah yang kurang penting, melainkan mendorong terjadinya kesatuan bersama dalam komunitas iman.

Monday, August 17, 2020

Dimurnikan dalam Api

 

Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu. —1 Petrus 1:7

Dimurnikan dalam Api

Emas dua puluh empat karat adalah emas yang hampir mencapai kadar 100 persen dengan sedikit kotoran (impurities). Namun, persentase itu sulit untuk dicapai. Untuk memurnikan emas, biasanya digunakan satu dari dua metode yang ada. Proses Miller merupakan proses yang tercepat dan termurah, tetapi hanya menghasilkan emas yang 99,95 persen murni. Proses Wohlwill membutuhkan lebih banyak waktu dan biaya, tetapi menghasilkan emas yang 99,99 persen murni.

Pada zaman Alkitab, orang memurnikan emas dengan menggunakan api. Api menyebabkan kotoran naik ke permukaan sehingga lebih mudah disingkirkan. Dalam suratnya yang pertama kepada para pengikut Yesus di seluruh Asia Kecil (Turki utara), Rasul Petrus menggunakan proses pemurnian emas sebagai metafora untuk menggambarkan bagaimana pencobaan bekerja dalam kehidupan orang percaya. Pada waktu itu, banyak orang percaya dianiaya oleh penguasa Romawi karena iman mereka kepada Kristus. Petrus sendiri juga pernah mengalaminya. Namun, Petrus menjelaskan bahwa penganiayaan menghasilkan “kemurnian iman [kita]” (1 Ptr. 1:7).

Mungkin saat ini kamu merasa sedang dibakar dalam api pemurnian—merasakan panasnya kemunduran, penyakit, atau tantangan-tantangan lain. Namun, sering kali kesulitan hidup menjadi cara Allah memurnikan emas iman kita. Dalam penderitaan, mungkin kita memohon kepada Allah untuk segera mengakhiri proses-Nya, tetapi Dia tahu apa yang terbaik bagi kita, bahkan ketika hidup terasa menyakitkan. Tetaplah terhubung dengan Sang Juruselamat, tempat kita menemukan penghiburan dan damai sejahtera.—LINDA WASHINGTON

WAWASAN
Dalam 1 Petrus 1:8, Petrus sedang menekankan sebuah pemikiran penting yang bermula dari Injil Yohanes. Di Yohanes 20:29, Kristus yang bangkit berkata kepada Tomas, “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” Perkataan ini mencakup semua orang di generasi kita yang telah mengikut Yesus. Walaupun kita belum ada sewaktu Dia secara fisik hadir di dunia ini, kita dapat menerima catatan Alkitab dengan iman (1 Korintus 15:3-4) dan kehadiran Roh Kudus dalam hidup kita (Roma 8:16) sebagai bukti kebenaran dari apa yang tidak kita lihat tetapi kita percayai (Yohanes 16:13-15). Demikian Paulus menulis, “Sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat” (2 Korintus 5:7).—Bill Crowder

Tantangan apa saja yang pernah kamu hadapi yang menghasilkan pertumbuhan imanmu? Bagaimana kamu menanggapinya?

Allah Bapa, tolong aku melihat bagaimana pencobaan dalam hidupku pada akhirnya akan memunculkan emas dalam diriku.

Sunday, August 16, 2020

Cukup Besar

 

Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. —Lukas 18:16

Cukup Besar

Cucu saya berlari ke jalur antrian untuk naik roller coaster dan berdiri di bawah meteran pengukur tinggi badan untuk melihat apakah ia sudah cukup tinggi untuk naik wahana tersebut. Ia bersorak kegirangan ketika kepalanya ternyata sudah melampaui batas terendah.

Begitu banyak hal dalam hidup ini yang berfokus pada “bertambah besar”, bukan? Seseorang yang bertumbuh dewasa pindah dari duduk di kursi bayi ke duduk di jok mobil, dan pindah dari kursi belakang ke kursi depan. Kita mengikuti ujian SIM. Kita memberikan suara di pemilihan umum. Kita menikah. Seperti cucu saya, di sepanjang hidup ini kita terus ingin bertumbuh besar.

Di zaman Perjanjian Baru, anak-anak dikasihi tetapi tidak terlalu penting di mata masyarakat hingga mereka “akil balik” dan dapat berkontribusi di rumah dan masuk sinagoga dengan hak-hak istimewa sebagai orang dewasa. Yesus menghancurkan standar yang berlaku di zaman-Nya dengan menyambut orang miskin, orang sakit, bahkan anak-anak. Dalam tiga Injil (Matius, Markus, dan Lukas) dikisahkan tentang orangtua yang membawa anak-anak kecil kepada Yesus agar Dia dapat menumpangkan tangan ke atas mereka dan berdoa untuk mereka (Mat. 19:13; Mrk. 10:16).

Murid-murid menegur para orangtua itu karena mereka menganggapnya sebagai gangguan. Mendengar hal ini, Yesus “marah” kepada para murid (Mrk. 10:14) dan menyambut anak-anak kecil itu. Dia meninggikan nilai mereka di dalam Kerajaan-Nya dan menantang semua orang untuk menjadi seperti anak-anak. Itu berarti kita menerima kerentanan seorang anak dan mengakui kebutuhan kita akan Dia supaya kita dapat mengenal-Nya (Luk. 18:17). Kebutuhan kita yang seperti anak kecil itulah yang membuat kita “cukup besar” untuk menerima kasih-Nya.—ELISA MORGAN

WAWASAN
Perikop Lukas 18:15-17 adalah satu contoh ketika Yesus memutarbalikkan persepsi dan pemikiran murid-murid-Nya. Para murid tidak memandang penting anak-anak dan menganggap mereka tidak layak mendapat perhatian sang Guru. Yesus mengoreksi mereka dengan kebenaran yang sama sekali bertolak belakang—anak-anak ini justru menjadi contoh seperti apa Kerajaan-Nya. Dia memberi tahu murid-murid-Nya bahwa bukan saja anak-anak itu penting, tetapi para murid harus menyambut Kerajaan Allah seperti mereka agar dapat masuk ke dalamnya. Bukan kali ini saja Yesus memakai seorang anak untuk mengoreksi murid-murid-Nya. Di Matius 18:1-5 Dia berkata mereka harus menjadi seperti anak kecil untuk dapat menjadi bagian Kerajaan Allah.—J.R. Hudberg

Kapan kamu perlu tetap menjadi “kecil” supaya dapat mengenal Allah? Apa arti kasih-Nya, kasih Bapa surgawi, bagimu?

Ya Allah, tolonglah aku mengakui kerinduanku akan Engkau hari ini supaya Engkau membawaku lebih dekat lagi ke hati-Mu, seperti ketika Engkau menyambut anak-anak yang datang kepada-Mu.

Saturday, August 15, 2020

Berlari Menuju Kasih

 

Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal. —Yeremia 31:3

Berlari Menuju Kasih

Nora bertubuh mungil, tetapi Bridget—wanita garang berbadan besar dengan tinggi 180 cm yang menunduk dan memandanginya dengan tatapan galak—sama sekali tidak membuatnya takut. Bridget bahkan tidak bisa menjawab mengapa ia datang ke tempat yang khusus menangani kehamilan bermasalah; ia sendiri sudah memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Namun, dengan lembut Nora mengajukan sejumlah pertanyaan, dan Bridget menolak menjawab semua pertanyaan itu sambil melontarkan sumpah serapah. Tak lama kemudian Bridget beranjak pergi dan menyatakan tekadnya untuk menggugurkan kandungannya.

Setelah buru-buru menyusupkan badannya yang mungil di antara Bridget dan pintu keluar, Nora bertanya, ”Sebelum kau pergi, bolehkah aku memeluk dan mendoakanmu?” Tidak pernah ada orang yang memeluk Bridget sebelumnya—setidaknya dengan niat baik. Tiba-tiba, tanpa diduga, air mata Bridget menetes.

Kelembutan sikap Nora itu mencerminkan hati Allah yang mengasihi umat-Nya, Israel, “dengan kasih yang kekal” (Yer. 31:3). Saat itu bangsa Israel sedang menanggung akibat yang pedih dari perbuatan mereka sendiri yang berulang kali melanggar ketetapan Allah. Namun, Allah berkata kepada mereka, “Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu. Aku akan membangun engkau kembali” (ay.3-4).

Persoalan hidup Bridget begitu rumit (dan banyak dari kita bisa memahami apa yang dialaminya). Sebelum Bridget bertemu dengan kasih yang sungguh-sungguh nyata hari itu, ia beranggapan bahwa Allah dan para pengikut-Nya hanya akan mengecam dirinya. Nora menunjukkan sesuatu yang berbeda kepadanya, yakni diri Allah yang tidak membiarkan kita terus berdosa karena Dia mengasihi kita lebih dari apa pun yang bisa kita bayangkan. Allah menyambut kita dengan tangan terbuka. Kita tidak perlu terus berlari.—TIM GUSTAFSON

WAWASAN
Yeremia menawarkan penghiburan yang tidak lazim kepada mereka yang selamat dari penyerangan dan pengasingan oleh Babel (30:3,10-11,24; 31:1). Sang nabi tidak menawarkan janji penyelamatan di depan mata, tetapi justru mengingatkan mereka tentang Allah yang menyatakan kasih dan kebaikan yang kekal “kepada [kita]” dengan berjanji menolong generasi-generasi mendatang seperti yang pernah Dia lakukan kepada leluhur mereka di masa lalu (31:3,17). Meski demikian, Yeremia tidak menawarkan pengharapan akan hadirnya kelepasan langsung kepada mereka yang terus mengeraskan hati. Sebaliknya, ia menggunakan penyesalan Efraim, bapa dari suku-suku Utara yang menyembah berhala, untuk menunjukkan bagaimana Allah yang mahahadir rindu untuk menunjukkan belas kasihan kepada mereka yang menolak Dia (ay.18-22).—Mart DeHaan

Bagaimanakah persepsi kamu terhadap Allah? Apakah persepsi kamu itu sejalan dengan bacaan Alkitab hari ini?

Ya Bapa, aku sering tidak mengindahkan kasih-Mu yang luar biasa. Ampuni aku, dan tolonglah aku agar dapat mencerminkan kasih itu kepada seseorang hari ini.

Friday, August 14, 2020

Harapan yang Kembali Berkembang

 

Padang gurun dan padang kering akan bergirang, padang belantara akan bersorak-sorak dan berbunga. —Yesaya 35:1

Harapan yang Kembali Berkembang

Di kota Philadelphia, ketika tanah-tanah kosong yang dipenuhi ilalang dibersihkan dan ditanami pepohonan dan bunga-bunga indah, kondisi mental warga yang tinggal di sekitarnya juga ikut membaik. Perbaikan itu dialami terutama oleh mereka yang kehidupan ekonominya pas-pasan.

“Semakin terbukti bagaimana ruang terbuka hijau memberikan dampak baik bagi kesehatan jiwa,” kata Dr. Eugenia South, ”dan terutama itu sangat penting bagi warga yang tinggal di lingkungan yang miskin.” South, seorang pengajar di Sekolah Kedokteran Perelman di University of Pennsylvania, adalah salah seorang penulis dari proyek penelitian dalam bidang ini.

Bangsa Israel dan Yehuda yang tertindas memperoleh pengharapan baru dalam penglihatan Nabi Yesaya tentang pemulihan yang indah dari Allah. Di tengah segala nubuat Yesaya tentang kehancuran dan penghakiman yang akan terjadi, janji Allah akan masa depan yang cemerlang ini mulai berakar. “Padang gurun dan padang kering akan bergirang, padang belantara akan bersorak-sorak dan berbunga; seperti bunga mawar ia akan berbunga lebat, akan bersorak-sorak, ya bersorak-sorak dan bersorak-sorai” (Yes. 35:1-2).

Apa pun situasi yang kita hadapi sekarang, kita patut bersyukur karena Allah memiliki cara-cara yang indah untuk memberikan kepada kita pengharapan baru, termasuk melalui karya ciptaan-Nya. Di saat kita merasa kecewa, merenungkan kemuliaan dan kebesaran Allah dapat menyuntikkan semangat baru kepada kita. Yesaya mendorong kita, “Kuatkanlah tangan yang lemah lesu dan teguhkanlah lutut yang goyah” (ay.3).

Dapatkah bunga-bunga indah membuat kita berharap kembali? Ya, menurut sang nabi, dan juga menurut Allah sumber pengharapan kita.—PATRICIA RAYSON

WAWASAN
Yesaya pasal 34 dan 35 menyediakan sebuah kesimpulan dari penghakiman dan berkat yang dijelaskan di dalam bagian pertama kitab ini. Pasal 34 menggambarkan penghakiman terhadap “bangsa-bangsa” (ay.1-2), kemudian berfokus pada Edom (ay.5), musuh Israel, yang menjadi perwakilan semua bangsa. Kedua pasal ini dihubungkan dengan sebuah peringatan pembalasan Allah untuk melakukan “pengganjaran karena perkara Sion” (34:8) dan menyelamatkan Sion (35:4). Pemulihan Israel, atau Sion, digambarkan pada akhirnya akan mencakup pembaruan bagi bumi dan manusia. Padang gurun dan padang belantara akan berbunga (ay.1), Israel akan disembuhkan (ay.5-6), diberi keamanan (ay.7,9), dan dipenuhi sukacita (ay.10).—Julie Schwab

Ketika kamu merasa putus asa, bagaimana biasanya kamu menanggapi atau mengatasinya? Apakah meluangkan waktu di alam terbuka dan menikmati ciptaan Tuhan dapat membuat kamu keluar dari putus asa dan kembali berharap kepada Dia?

Ya Allah, terima kasih untuk kebesaran ciptaan-Mu, yang menunjukkan kepadaku kemuliaan-Mu dan membangkitkan pengharapanku kepada-Mu.

Thursday, August 13, 2020

Pekerjaan Besar

 

“Aku tengah melakukan suatu pekerjaan yang besar. Aku tidak bisa datang! Untuk apa pekerjaan ini terhenti oleh sebab aku meninggalkannya dan pergi kepada kamu!” —Nehemia 6:3

Pekerjaan Besar

Seorang petugas keamanan menemukan dan menyingkirkan sepotong lakban yang ditempelkan pada lidah pintu supaya pintu itu tidak tertutup sempurna. Beberapa saat kemudian, ia menemukan pintu itu kembali ditempeli lakban. Ia melaporkan temuannya ke polisi, yang kemudian datang dan menangkap lima orang yang menyusup masuk tanpa izin ke dalam gedung.

Si petugas muda yang bekerja di gedung Watergate di Washington, D.C., markas sebuah partai politik besar di Amerika Serikat, baru saja berhasil mengungkap skandal politik terbesar pada masanya lewat sikapnya yang serius dan sungguh-sungguh dalam bekerja.

Nehemia sudah mulai membangun kembali tembok yang mengelilingi kota Yerusalem dengan sungguh-sungguh. Menjelang akhir proyek, musuh-musuh di sekitar memintanya datang menemui mereka di sebuah desa dekat situ. Di balik undangan yang terlihat bersahabat itu terdapat jebakan yang penuh tipu muslihat (Neh. 6:1-2). Namun, jawaban Nehemia menunjukkan keyakinannya yang teguh: “Aku tengah melakukan suatu pekerjaan yang besar. Aku tidak bisa datang! Untuk apa pekerjaan ini terhenti oleh sebab aku meninggalkannya dan pergi kepada kamu!” (ay.3)

Meski jelas memiliki kekuasaan, rasanya nama Nehemia tidak tercatat sebagai salah satu pahlawan besar. Ia bukan prajurit yang gagah perkasa, bukan seorang pujangga atau nabi, bukan pula raja atau penasihat bijaksana. Ia seorang juru minum yang kemudian menjadi pembangun tembok. Namun, ia yakin dirinya melakukan sesuatu yang sangat penting untuk Allah. Kiranya kita memandang serius apa yang telah dipercayakan Allah untuk kita kerjakan dan melakukannya sungguh-sungguh dengan kekuatan dan pemeliharaan-Nya.—GLENN PACKIAM

WAWASAN
Bangsa Yahudi kembali dari pembuangan dan penawanan di Babel dalam tiga kelompok yang berbeda. Zerubabel (sekitar 538 SM) dan Ezra (sekitar 458 SM) memimpin dua perjalanan kembali yang pertama. Nehemia (sekitar 444 SM) memimpin perjalanan yang ketiga, dengan tujuan utama untuk memperbaiki tembok Yerusalem yang sudah hancur, agar tersedia perlindungan bagi kota tersebut (Nehemia 1-2). Pekerjaan perbaikan ini dihadapkan pada perlawanan keras (pasal 4-5). Ketika pekerjaan itu sudah hampir selesai, para musuh Nehemia mencoba untuk mengalihkan perhatiannya dan mengulur waktu dengan mengundangnya pergi ke Ono untuk “pembicaraan damai.” Untuk mencapai Ono, sebuah desa kecil di dekat perbatasan Samaria, Nehemia harus melakukan perjalanan panjang sejauh empat puluh kilometer melewati tanah kosong dan berbahaya. Nehemia tahu musuh-musuhnya “berniat mencelakakan [dirinya]” (6:1-4). Walaupun menghadapi perlawanan dan hambatan yang melemahkan semangat, pembangunan kembali tembok itu dapat diselesaikan dalam waktu sangat cepat—lima puluh dua hari (ay.15).—K.T. Sim

Apakah panggilan Tuhan untuk kamu? Mengapa penting bagi kamu untuk mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan melihatnya sebagai pekerjaan yang besar?

Ya Allah, tolonglah aku untuk yakin bahwa aku sedang mengerjakan pekerjaan yang besar. Aku percaya Engkau memanggilku untuk hal ini saat ini. Tolonglah aku agar tetap berfokus pada jalan-Mu.

Wednesday, August 12, 2020

Hidup dengan Tujuan Jelas

 

Lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah. —1 Korintus 10:31

Hidup dengan Tujuan Jelas

“Kita akan pergi liburan!” seru istri saya dengan antusias saat memberi tahu Austin, cucu kami yang berusia tiga tahun, ketika mobil kami bergerak keluar rumah untuk memulai perjalanan kami. Si kecil Austin menatapnya dengan sikap serius dan menjawab, “Aku bukan liburan, tapi pergi bermisi!”

Entah dari mana cucu kami memperoleh konsep “bermisi,” tetapi komentarnya tadi membuat saya merenung dalam perjalanan ke bandara: Ketika saya pergi berlibur dan mengambil waktu istirahat selama beberapa hari, masihkah saya menyadari bahwa saya masih dalam “misi” untuk hidup setiap saat bersama dan untuk Allah? Apakah saya ingat untuk melayani Dia dalam segala hal yang saya lakukan?

Rasul Paulus menyemangati orang-orang percaya yang tinggal di Roma, ibu kota Kekaisaran Romawi: “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan” (Rm. 12:11). Maksudnya adalah bahwa hidup kita di dalam Yesus seharusnya mempunyai tujuan yang jelas dan dijalani dengan antusias. Bahkan keseharian yang biasa dijalani pun mempunyai makna baru ketika kita menanti-nantikan Allah dan hidup untuk menggenapi tujuan-Nya.

Setelah berada di dalam pesawat, saya berdoa, “Tuhan, aku milikmu. Apa pun yang Engkau mau kulakukan dalam perjalanan ini, tolonglah aku agar tidak melewatkannya.”

Setiap hari adalah misi yang bermakna kekal bersama Dia!—JAMES BANKS

WAWASAN
Roma 12:9-21 disebut sebagai bagian nasihat, yang berarti “untuk menasihati” atau untuk mendorong dilakukannya sebuah tindakan. Perikop ini berisi dorongan untuk bertindak dengan cara-cara spesifik dan berbagai perintah yang terlihat acak tentang sikap hati dan perbuatan nyata. Sikap hati terkadang perlu ditunjukkan dengan perbuatan nyata; tetapi, perbuatan nyata harus benar-benar diungkapkan.
Sikap hati termasuk membenci kejahatan, bersukacita dalam pengharapan dan bersabar dalam kesesakan, dan tidak menganggap diri pandai. Perbuatan nyata diungkapkan lewat tindakan saling mengasihi, memberi hormat kepada orang lain, memiliki semangat rohani yang menyala-nyala (dalam pelayanan), dan tekun dalam berdoa, berbagi, dan memberikan tumpangan. Kita didorong untuk memberkati mereka yang menganiaya kita, hidup dalam damai, dan tidak melakukan pembalasan terhadap musuh.—J.R. Hudberg

Pernahkah kamu menjalankan misi tertentu? Bagaimana kamu dapat menjadikan seluruh aspek kehidupan kamu berorientasi kepada Allah?

Tuhan Yesus, anugerahkanlah kesanggupan untuk hidup bagi-Mu, supaya kelak aku boleh mendengar-Mu berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia!” (Mat. 25:23).

Tuesday, August 11, 2020

Dinamai oleh Allah

 

“Janganlah panggil saya Naomi,” kata Naomi, “panggillah saja Mara, sebab Allah Yang Mahakuasa telah membiarkan saya hidup penuh dengan kepahitan. —Rut 1:20 BIS

Dinamai oleh Allah

Berangasan. Kalong. Tukang balap. Itulah sejumlah julukan yang diberikan kepada para konselor di kamp musim panas yang dihadiri keluarga kami setiap tahun. Nama-nama itu diciptakan oleh rekan-rekan mereka sendiri, dan biasanya diilhami dari suatu insiden yang memalukan, kebiasaan lucu, atau hobi favorit.

Nama julukan bahkan kita temukan dalam Alkitab. Misalnya, Yesus menjuluki murid-murid-Nya, Yakobus dan Yohanes, sebagai “anak-anak guruh” (Mrk. 3:17). Dalam Alkitab, jarang seseorang menjuluki dirinya sendiri, tetapi itu terjadi pada seorang wanita bernama Naomi yang meminta agar ia dipanggil “Mara,” yang berarti “kepahitan” (Rut. 1:20), karena suami dan kedua anak lelakinya telah meninggal. Ia merasa Allah telah membuat hidupnya pahit (ay.21).

Akan tetapi, nama baru yang diberikan Naomi pada dirinya sendiri itu tidak melekat, karena berbagai peristiwa kehilangan yang tragis itu bukanlah akhir kisah hidupnya. Di tengah kesedihannya, Allah memberkatinya dengan menantu perempuan yang penuh kasih, Rut, yang akhirnya menikah lagi dan memiliki seorang putra, sehingga akhirnya Naomi mendapatkan keturunan.

Meskipun terkadang kita terpikir untuk melabeli diri kita sendiri dengan kata-kata yang pahit, seperti “pecundang” atau “tidak dicintai,” karena kesulitan yang pernah kita alami atau kesalahan yang pernah kita perbuat, nama-nama itu tidak harus menjadi akhir kisah kita. Kita dapat mengganti julukan-julukan itu dengan nama panggilan yang telah Allah berikan kepada kita masing-masing, yaitu “kekasih” (Rm. 9:25) dan perhatikanlah bagaimana Dia terus memelihara kita di saat-saat yang paling sulit sekalipun.—LISA M. SAMRA

WAWASAN
Alkitab memberi tahu kita tentang orang-orang yang berubah nama untuk mencerminkan perubahan keadaan mereka. Abram yang tidak memiliki anak menjadi Abraham, yang berarti “bapa sejumlah besar bangsa,” karena ia sekarang akan memiliki keturunan yang tidak terhitung jumlahnya (Kejadian 17:5). Simon menjadi Petrus, berarti “batu karang” setelah ia menyatakan Yesus adalah Allah (Matius 16:17-18). Orangtua Naomi telah memberinya nama indah yang berarti “manis atau menyenangkan.” Namun, Naomi kemudian meminta untuk dipanggil “Mara,” berarti “pahit,” untuk mencerminkan hidupnya yang keras dan sulit (Rut 1:20). Ketika Naomi dan Rut memasuki Betlehem, “gemparlah seluruh kota itu karena mereka” (ay.19). Betlehem adalah kota kecil (Mikha 5:1), dan para penduduknya pasti masih mengingat Naomi meskipun ia sudah tidak tinggal di sana selama lebih dari sepuluh tahun (Rut 1:4). Namun, pertanyaan mereka, “Naomikah itu?” (ay.19) menandakan mereka hampir tidak bisa mengenalinya. Mungkin jelas terlihat bahwa penampilannya telah berubah banyak akibat penderitaannya.—K.T. Sim

Pikirkan nama julukan yang diberikan orang kepada kamu. Apa yang kamu suka atau tidak sukai tentang nama itu? Bagaimana sebutan sebagai “anak Allah yang dikasihi” mengubah cara pandang kamu terhadap diri sendiri?

Bapa Surgawi, terima kasih karena diriku tidak ditentukan oleh keadaan atau pengalaman hidupku. Terima kasih karena Engkau telah memanggilku sebagai anak-Mu.

Monday, August 10, 2020

Di Ujung Tanduk

 

Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia. —1 Petrus 2:9

Di Ujung Tanduk

Sebuah artikel berita di Amerika Serikat pada bulan Mei 1970 memuat idiom baru pada masanya, yaitu “on the bubble” (di ujung tanduk). Ungkapan yang merujuk pada suatu keadaan yang tidak aman itu digunakan untuk menerangkan posisi seorang pembalap pemula bernama Steve Krisiloff yang “berada di ujung tanduk,” setelah menyelesaikan babak kualifikasi balap mobil Indianapolis 500 dengan catatan waktu yang lambat. Belakangan, dipastikan bahwa catatan waktunya—meskipun yang paling lambat di antara para pembalap lain—ternyata memenuhi syarat untuk ikut lomba utama.

Adakalanya kita merasa hidup kita seperti berada “di ujung tanduk”, ketika kita tidak cukup yakin dapat menjalani atau menyelesaikan perlombaan hidup ini. Ketika merasakan hal tersebut, kita patut mengingat bahwa di dalam Yesus, kita tidak pernah berada “di ujung tanduk”. Sebagai anak-anak Allah, tempat kita di dalam Kerajaan-Nya sudah aman (Yoh. 14:3). Keyakinan kita berasal dari Allah yang telah memilih Yesus sebagai “batu penjuru” yang menjadi dasar hidup kita, dan Dia pun memilih kita untuk menjadi “batu hidup” yang dipenuhi Roh Allah, sehingga kita mampu menjadi pribadi yang dikehendaki Allah (1 Ptr. 2:5-6).

Dalam Kristus, masa depan kita aman sembari kita berharap kepada-Nya dan mengikuti Dia (ay.6). Karena kitalah “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya [kita] memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil [kita] keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (ay.9).

Di mata Yesus, kita tidak berada “di ujung tanduk”. Kita sungguh berharga dan dikasihi-Nya (ay.4).—Ruth O’Reilly-Smith

WAWASAN
Petrus menuliskan suratnya kepada para pembaca yang didera penganiayaan dan sedang membutuhkan penguatan. Solusi apa yang diberikannya? Ia mengingatkan mereka pada identitas mereka sebagai orang-orang percaya di dalam Tuhan Yesus.
Dengan mengacu kepada dua bagian dari Perjanjian Lama, Petrus menggunakan beberapa frasa untuk menggambarkan identitas baru mereka “yang dahulu bukan umat Allah” (1 Petrus 2:10). Dari Keluaran 19:6, ayat yang mendahului diterimanya Sepuluh Perintah Allah, Petrus memberitahu pembacanya bahwa mereka adalah “imamat yang rajani” dan “bangsa yang kudus” (1 Petrus 2:9). Dari Yesaya 43:20-21, dia memberitahu mereka adalah “bangsa yang terpilih” untuk “memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari [Allah]” (1 Petrus 2:9). Petrus mengingatkan para pembacanya, dan juga kita, bahwa seperti Israel yang mendahului mereka, mereka adalah umat istimewa kepunyaan Allah melalui tindakan penebusan-Nya.—J.R. Hudberg

Dalam bagian kehidupan manakah kamu merasa berada “di ujung tanduk” dan serba tidak pasti? Apa yang dapat kamu lakukan untuk kembali memiliki keyakinan pasti kepada Tuhan Yesus?

Ya Bapa, ketika berbagai kekecewaan melemahkan keyakinanku akan identitasku sebagai anak-Mu, ingatkanlah aku untuk tetap berharap dan percaya kepada-Mu.

Sunday, August 9, 2020

Surat yang Menjelajah Waktu

 

Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami. —1 Yohanes 1:2

Surat yang Menjelajah Waktu

Sejuta lebih anak muda ikut dalam lomba menulis surat internasional setiap tahunnya. Pada tahun 2018, tema lombanya adalah: “Bayangkan kamu adalah surat yang menjelajah waktu. Pesan apa yang ingin kamu sampaikan kepada para pembaca?”

Di dalam Alkitab terdapat sekumpulan surat yang oleh ilham dan pimpinan Roh Kudus telah menjelajah waktu melintasi zaman hingga akhirnya sampai kepada kita. Ketika gereja Kristen semakin berkembang, murid-murid Yesus menulis surat kepada jemaat-jemaat lokal di seluruh Eropa dan Asia Kecil untuk membantu mereka mengerti kehidupan baru yang mereka miliki di dalam Kristus. Banyak dari surat-surat itu dikumpulkan dan masuk ke dalam Alkitab yang kita baca sekarang.

Apa yang ingin disampaikan oleh para penulis surat itu kepada pembacanya? Yohanes menjelaskan, dalam suratnya yang pertama, bahwa ia menulis tentang “apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami.” Ia menulis tentang perjumpaannya dengan Kristus yang hidup (1 Yoh. 1:1). Ia menulis agar para pembacanya “beroleh persekutuan” dengan satu sama lain, dan “persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus” (ay.3). Saat kita bersekutu bersama, tulisnya, sukacita kita menjadi sempurna (ay.4). Surat-surat dalam Alkitab membawa kita ke dalam persekutuan yang melampaui waktu, yakni persekutuan dengan Allah yang kekal.—AMY PETERSON

WAWASAN
Siapakah Yohanes, penulis surat ini? Dia tidak hanya menulis ketiga surat Yohanes, tetapi juga Injil Yohanes dan kitab Wahyu. Seperti Simon Petrus dan Andreas yang bersaudara, Yohanes dan saudaranya Yakobus adalah nelayan-nelayan (Matius 4:21) yang menjadi bagian dari dua belas pengikut yang dipilih Yesus (Markus 3:16-19). Dalam kelompok tersebut, Yohanes adalah satu dari tiga orang yang memiliki hubungan dekat dengan Yesus (Markus 5:37; 9:2; 14:33). Ia menyebut dirinya sendiri sebagai “murid yang dikasihi [Yesus]” (Yohanes 13:23), dan kasih menjadi tema utama di sepanjang Injil dan surat-suratnya. Nampaknya ia satu-satunya murid yang berada di dekat salib (19:26), lalu ia dan Petrus adalah yang paling pertama masuk ke dalam kubur Kristus (20:8).—Alyson Kieda

Seandainya Allah menulis surat untuk kamu hari ini, kira-kira apa isinya? Seandainya kamu menulis surat kepada seorang teman dan menceritakan kepadanya tentang perjumpaan kamu dengan Allah yang hidup, apa yang akan kamu katakan?

Terima kasih, ya Bapa, untuk persekutuan yang kumiliki dengan-Mu.

Saturday, August 8, 2020

Kematian-Nya Membawa Kehidupan

 

Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang! —2 Korintus 5:17

Kematian-Nya Membawa Kehidupan

Dalam pelayanannya kepada para narapidana pria di lembaga pemasyarakatan terkeras di Afrika Selatan, Joanna Flanders-Thomas menyaksikan bagaimana kuasa Kristus sanggup mengubah hati manusia. Dalam buku Vanishing Grace, Philip Yancey menggambarkan pengalaman Joanna: “Joanna mulai mengunjungi para tahanan setiap hari, membawakan pesan Injil sederhana tentang pengampunan dan perdamaian. Ia berhasil memperoleh kepercayaan mereka, sehingga mereka mau bercerita tentang masa kecil mereka yang penuh kekerasan, dan menunjukkan kepada mereka cara yang lebih baik untuk mengatasi konflik. Pada tahun sebelum kunjungannya, tercatat ada 279 tindakan kekerasan yang terjadi di antara sesama narapidana dan terhadap para penjaga; tetapi di tahun berikutnya, hanya ada dua peristiwa.”

Rasul Paulus menulis, “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Kor. 5:17). Meskipun kita tidak selalu melihat pembaruan sedramatis yang dilakukan Joanna, tetapi kekuatan Injil untuk mengubahkan hidup adalah kekuatan terbesar yang memberikan pengharapan bagi dunia ini. Ciptaan baru. Sungguh pemikiran yang luar biasa! Kematian Yesus Kristus membawa kita dalam perjalanan untuk menjadi seperti Dia—suatu perjalanan yang akan mencapai klimaksnya ketika kita bertemu muka dengan muka dengan Dia (lihat 1 Yoh. 3:1-3).

Sebagai orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, kita merayakan kehidupan kita sebagai ciptaan baru. Namun, jangan pernah lupakan harga yang telah Kristus bayar. Kematian-Nya membawa kehidupan bagi kita. “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2 Kor. 5:21).—BILL CROWDER

WAWASAN
Berbagai bentuk dari kata kunci Perjanjian Baru, mendamaikan, ditemukan lima kali dalam 2 Korintus 5:18-20. Akar dari istilah ini adalah perihal perubahan atau pertukaran. Dalam konteks uang, hal ini dapat berarti koin-koin yang ditukar dengan barang-barang lain yang nilainya sama. Dalam konteks manusia, kata ini menunjukkan perubahan relasi dari permusuhan kepada persahabatan. Dalam 2 Korintus 5:14-21, perubahan relasi ini terjadi antara Allah dan manusia yang didasarkan pada kematian Kristus. Kitab Roma juga memasukkan beragam pemakaian kata diperdamaikan. Masa lalu kita dan manfaat pendamaian yang kita terima sejak saat ini hingga selamanya tercakup dalam satu ayat ini: “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!” (Roma 5:10).—Arthur Jackson

Apa bukti karya transformasi Yesus dalam hidup kamu? Bagian mana saja yang masih membutuhkan dampak “ciptaan baru” itu?

Bapa Pengasih, aku bersyukur karena aku menjadi ciptaan baru oleh pengorbanan Kristus di kayu salib. Ampunilah aku karena adakalanya aku kembali kepada kehidupan lama yang seharusnya sudah berlalu.

Friday, August 7, 2020

Melepaskan

 

Berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihi-Nya. —Mazmur 116:15

Melepaskan

“Ayah kamu sudah melangkah menuju ajalnya,” kata perawat yang menanganinya. Istilah “melangkah menuju ajal” merujuk pada tahap akhir proses kematian, dan istilah baru yang asing bagi saya itu memberikan kesan seperti menyusuri jalan sunyi sepi tanpa ada jalan kembali. Di hari terakhir ayah kami, saya duduk bersama saudara perempuan saya di samping tempat tidurnya tanpa mengetahui apakah ia masih bisa mendengar kami. Kami mencium puncak kepalanya yang sudah tidak ditumbuhi rambut lagi. Kami membisikkan janji-janji Allah di telinganya. Kami menyanyikan lagu “Besar Setia-Mu” dan membacakan Mazmur 23. Kami mengatakan kepadanya bahwa kami menyayanginya dan berterima kasih kepadanya karena sudah menjadi ayah kami. Kami tahu, hatinya sudah rindu ingin segera berjumpa Yesus, dan kami katakan kepadanya bahwa ia boleh pergi. Mengucapkan kata-kata itu merupakan langkah pertama yang sangat menyakitkan dalam melepasnya pergi. Beberapa menit kemudian, ayah kami pun berpulang dan disambut dengan penuh kebahagiaan ke dalam rumahnya yang abadi.

Memang pedih melepas seseorang yang kita kasihi. Yesus pun menangis ketika sahabat-Nya, Lazarus, meninggal dunia (Yoh. 11:35). Namun, karena janji-janji Allah, kita memiliki pengharapan yang melampaui kematian. Mazmur 116:15 mengatakan bahwa “semua orang yang dikasihi-Nya”—mereka yang adalah milik-Nya—”berharga” bagi-Nya. Walaupun sudah mati, mereka akan hidup kembali.

Yesus berjanji, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh. 11:25-26). Kiranya kita terhibur dengan mengetahui bahwa kita akan berada di hadirat Allah selama-lamanya.—CINDY HESS KASPER

WAWASAN
Ketika Marta berkata bahwa saudaranya Lazarus “akan bangkit pada waktu orang-orang bangkit pada akhir zaman” (Yohanes 11:24), ia sedang menyatakan harapan orang Yahudi terhadap kehidupan setelah kematian. Kebangkitan orang mati adalah sebuah kepercayaan Yahudi kuno (Ayub 19:26-27). Mereka percaya bahwa akan ada satu hari di masa depan ketika “orang-orang yang telah tidur di dalam debu tanah, akan bangun, sebagian untuk mendapat hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami kehinaan dan kengerian yang kekal” (Daniel 12:2; lihat juga Yesaya 26:19; Yohanes 5:28-29). Namun, ketika Yesus berkata, “Saudaramu akan bangkit” (Yohanes 11:23), Dia tidak hanya mengacu kepada pengharapan kebangkitan di masa depan tetapi juga menjanjikan kebangkitan Lazarus yang segera terjadi saat itu juga (ay.40-44).—K.T. Sim

Apa yang dicapai Yesus Kristus lewat kematian-Nya di kayu salib? Bagaimana pengorbanan-Nya membawa dampak terhadap setiap orang yang pernah hidup?

Bapa yang Mulia, terima kasih untuk janji hidup kekal di hadirat-Mu.

Thursday, August 6, 2020

Berbeda dengan Jalan Bapa

Mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan. —1 Samuel 8:3

Berbeda dengan Jalan Bapa

Pada dekade 1960-an, lingkungan padat North Lawndale di bagian barat kota Chicago menjadi proyek percontohan dari pemukiman warga antarras. Sejumlah warga Afrika-Amerika kelas menengah membeli rumah di sana dengan sistem “kontrak”—yang memadukan tanggung jawab kepemilikan rumah dengan kerugian menyewa. Dalam penjualan dengan sistem kontrak, pembeli tidak memiliki hak atas rumah itu, dan bila menunggak pembayaran satu kali saja, ia akan langsung kehilangan uang muka, seluruh angsuran yang sudah dibayarkan, dan juga rumahnya. Para penjual yang licik lalu menjual rumah tersebut dengan harga tinggi, dan keluarga yang tinggal di sana akan diusir begitu menunggak pembayaran satu kali saja. Kemudian akan ada keluarga lain yang membeli rumah itu dengan sistem kontrak juga, dan siklus yang didorong oleh keserakahan itu pun terus berlanjut.

Samuel mengangkat putra-putranya menjadi hakim atas Israel, tetapi mereka dikuasai keserakahan. Anak-anak Samuel “tidak hidup seperti ayahnya” (1 Sam. 8:3). Berbeda dengan Samuel yang menjunjung tinggi integritas, putra-putranya “mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadaan” dan memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan sendiri. Perilaku tidak adil ini membuat tua-tua Israel dan Allah tidak senang, yang kemudian memicu munculnya raja demi raja yang kisahnya tertulis dalam Perjanjian Lama (ay.4-5).

Menolak berjalan di jalan Allah membuka peluang timbulnya berbagai penyimpangan nilai, dan akibatnya, ketidakadilan makin menjadi-jadi. Berjalan di jalan Allah berarti memperlihatkan kejujuran dan keadilan tidak hanya dalam perkataan, tetapi juga dalam perbuatan. Perbuatan-perbuatan baik tersebut tidak dilakukan supaya orang menyebut kita baik, tetapi selalu dengan tujuan agar orang melihatnya dan kemudian memuliakan Bapa kita di surga.—John Blase

WAWASAN
Praktik jahat dari menerima suap dan memutarbalikkan keadilan—seperti yang dilakukan oleh anak-anak Samuel (1 Samuel 8:3)—adalah subtema dalam Alkitab yang sangat dipersoalkan oeh nabi-nabi Allah. Nabi Yesaya berkata kepada bangsa Yehuda, “Para pemimpinmu adalah pemberontak dan bersekongkol dengan pencuri. Semuanya suka menerima suap dan mengejar sogok” (Yesaya 1:23). Nabi Yehezkiel mencatat, “Padamu orang menerima suap untuk mencurahkan darah, engkau memungut bunga uang atau mengambil riba” (Yehezkiel 22:12). Nabi Amos mencela mereka yang “menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan yang mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang” (Amos 5:12). Nabi Mikha berkata, “Pemuka menuntut, hakim dapat disuap; pembesar memberi putusan sekehendaknya” (Mikha 7:3). Kita menghormati Allah ketika kita mengupayakan keadilan bagi mereka yang miskin dan lemah.—Tim Gustafson

Apa contoh ketidakadilan yang kamu ketahui saat ini? Adakah cara yang bisa kamu tempuh untuk mengusahakan keadilan dalam keadaan tersebut?

Ya Allah, begitu banyak ketidakadilan di sekeliling kami, dan kami sering tidak tahan melihatnya. Tolonglah aku mendampingi mereka yang menderita dan menyerahkan hidupku untuk berjalan di jalan-Mu.

Wednesday, August 5, 2020

Dikasihi, Berharga, Diberkati

Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. —Roma 8:16

Dikasihi, Berharga, Diberkati

Sebagai remaja, Malcolm memang tampak percaya diri. Namun, kepercayaan dirinya itu hanyalah topeng. Sesungguhnya kondisi keluarga yang kacau-balau membuatnya selalu takut, haus akan penerimaan, dan merasa bahwa permasalahan dalam keluarganya merupakan kesalahannya (sekalipun itu tidak benar). “Sudah sejak lama,” katanya, “di setiap pagi aku masuk ke kamar mandi, menatap wajahku di cermin, dan berkata kepada diriku sendiri, ‘Kau bodoh, kau jelek, semua ini salahmu.’”

Kebencian Malcolm terhadap diri sendiri berlanjut sampai ia berumur dua puluh satu tahun, yakni ketika mata rohaninya terbuka dan ia melihat identitasnya yang sejati di dalam Tuhan Yesus. “Aku menyadari bahwa Allah mengasihi diriku apa adanya dan kasih-Nya takkan pernah berubah oleh apa pun,” ujarnya. “Allah takkan pernah merasa malu karena keadaanku, dan Dia takkan pernah menolakku.” Seiring berjalannya waktu, Malcolm mulai menatap cermin dan mengatakan hal yang berbeda kepada dirinya sendiri. “Kau dikasihi, kau berharga, kau diberkati,” katanya, “dan semua ini bukan salahmu.”

Pengalaman Malcolm melukiskan apa yang dilakukan Roh Allah bagi orang yang beriman kepada Tuhan Yesus—Dia membebaskan kita dari rasa takut dengan menunjukkan betapa kita sangat dikasihi (Rm. 8:15,38-39). Roh Allah juga menegaskan bahwa kita adalah anak-anak Allah dengan segala berkat yang diperoleh dari status tersebut (8:16-17; 12:6-8). Alhasil, kita dapat mulai melihat diri kita sendiri secara benar dengan pikiran yang sudah diperbarui (12:2-3).

Bertahun-tahun kemudian, Malcolm masih membisikkan kata-kata itu setiap hari untuk menegaskan apa yang Tuhan nyatakan tentang dirinya. Di hadapan Bapa, ia dicintai, berharga, dan diberkati. Begitu juga dengan kita.—Sheridan Voysey

WAWASAN
Menurut Kitab Suci, kehadiran Roh Kudus yang mendiami kita—juga dikenal sebagai “Roh Allah” atau “Roh Kristus”—adalah bukti bahwa kita diselamatkan. Paulus menyatakan dengan jelas bahwa siapa pun yang tidak memiliki Roh Kudus, “ia bukan milik Kristus” (Roma 8:9). Roh itu memberikan kita kelahiran baru dan hidup yang baru (Yohanes 3:5-6; 6:63; Titus 3:5) dan Dialah meterai dan jaminan keselamatan kita (2 Korintus 1:22; 5:5; Efesus 1:13-14). Dengan meyakinkan kita bahwa kita adalah anak-anak Allah, Dia memampukan kita dengan penuh kasih memanggil Allah, “ya Abba, ya Bapa” (Roma 8:14-15; Galatia 4:5-7). Ketika kita “dipimpin oleh Roh” dan “hidup oleh Roh”, Dia akan membuat kita semakin serupa Kristus (Galatia 5:16-25). Dengan memperlengkapi kita dengan karunia-karunia rohani, Dia memampukan kita untuk melayani (Kisah Para Rasul 1:8; 1 Korintus 12:4-7). Roh yang berdiam dalam diri kita menolong kita untuk berdoa, berdoa bagi dan bersama kita (Roma 8:26).—K.T Sim

Kata-kata apa saja yang timbul dalam pikiran kamu saat melihat diri sendiri pada cermin? Seberapa jauh bedanya anggapan kamu terhadap diri sendiri dengan gambaran Kitab Suci tentang pandangan Allah terhadap diri kamu?

Ya Bapa, terima kasih karena Engkau mengasihi, memberkati, dan menjadikanku anak-Mu. Biarlah Roh-Mu bekerja dalam diriku hari ini agar aku dapat benar-benar mempercayai kebenaran itu.

Tuesday, August 4, 2020

Oleh Belas Kasihan Allah

Tuhan kiranya menjadi hakim di antara aku dan engkau. —1 Samuel 24:13

Oleh Belas Kasihan Allah

Kemarahan saya menjadi-jadi ketika seorang wanita memfitnah, menyalahkan, dan menggosipkan saya. Saya ingin semua orang tahu apa yang telah ia lakukan—agar ia menderita seperti saya menderita akibat perlakuannya. Saya begitu benci kepadanya sampai-sampai kepala saya sakit. Namun, ketika saya mulai berdoa agar sakit kepala saya sembuh, Roh Kudus menegur saya. Bagaimana mungkin saya merencanakan balas dendam sementara saya juga memohon pertolongan Allah? Jika saya percaya Dia memperhatikan saya, mengapa saya tidak percaya bahwa Dia dapat mengatasi situasi saya saat itu? Karena menyadari bahwa orang yang terluka sering kali justru menyakiti orang lain, saya berdoa meminta Allah menolong saya agar dapat memaafkan wanita tersebut dan berusaha berdamai dengannya.

Daud sang pemazmur mengerti sulitnya mempercayai Allah ketika ia diperlakukan tidak adil. Walaupun Daud sudah berusaha keras menjadi pelayan yang baik dan setia, hati Raja Saul telah dikuasai kecemburuan yang membuatnya ingin membunuh Daud (1 Sam. 24:2-3). Daud memang menderita saat Allah bekerja memproses segala sesuatu dan mempersiapkan dirinya menjadi raja. Namun, di sepanjang proses itu, Daud tetap memilih memuliakan Allah dan tidak membalas dendam (ay.4-8). Daud mengerjakan bagiannya untuk berdamai dengan Saul dan menyerahkan hasilnya di tangan Allah (ay.9-23).

Ketika kelihatannya orang lain bebas berbuat jahat dan tidak diganjar hukuman, dengan berat hati kita merasakan adanya ketidakadilan. Namun, oleh belas kasihan Allah yang bekerja di dalam hati kita dan hati orang lain, kita dapat mengampuni mereka sebagaimana Dia telah mengampuni kita, dan kita pun menerima berkat yang telah disiapkan-Nya untuk kita.—Xochitl Dixon

WAWASAN
Dua kali Daud menolak mengambil nyawa Raja Saul walaupun dia berkesempatan melakukannya—sekali di 1 Samuel 24:2-11 dan sekali lagi di 1 Samuel 26. Lokasi dari 1 Samuel 24 adalah di dalam gua besar di padang gurun En-Gedi. Gua ini adalah salah satu dari banyak gua di sana, dan beberapa gua cukup besar untuk menampung ribuan orang. Saul dan para prajuritnya sedang mengejar Daud untuk membunuhnya, tetapi ia berhenti untuk membuang hajat di dalam gua tempat Daud dan enam ratus pendukungnya bersembunyi. Di pasal 26, Saul masih memburu Daud. Sekali lagi, meski berada cukup dekat untuk membunuh Saul, Daud menunjukkan belas kasihannya—sesuatu yang tidak dimiliki oleh Saul.—Alyson Kieda

Bagaimana sikap yang percaya bahwa Allah itu sempurna, penuh kasih, baik, dan memegang kendali dapat menopangmu di saat kejahatan terlihat menang? Siapa yang perlu kamu ampuni dan serahkan ke tangan Allah yang penuh kuasa dan belas kasihan?

Allah yang penuh belas kasih, tolonglah aku untuk percaya bahwa Engkaulah penentu bagaimana keadilan seharusnya ditegakkan.

Monday, August 3, 2020

Perang Benar-Benar Sudah Berakhir

Kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia. —Roma 6:4

Perang Benar-Benar Sudah Berakhir

Selama dua puluh sembilan tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II, Hiroo Onoda bersembunyi di hutan belantara dan menolak untuk percaya bahwa negaranya sudah menyerah. Dahulu, para petinggi militer Jepang mengirim Onoda ke pulau Lubang yang terpencil di Filipina dengan perintah untuk memata-matai pasukan Sekutu. Lama setelah perjanjian perdamaian ditandatangani dan perang berakhir, Onoda tetap tinggal dalam hutan belantara tersebut. Pada tahun 1974, komandan Onoda datang ke pulau itu untuk menemuinya dan meyakinkannya bahwa perang benar-benar sudah berakhir.

Selama tiga puluh tahun, Onoda hidup dalam kondisi memprihatinkan dan terisolasi dari dunia luar karena ia menolak untuk menyerah—menolak untuk percaya bahwa pertikaian sudah usai. Kita dapat melakukan kesalahan yang sama. Rasul Paulus menyerukan kebenaran yang menakjubkan bahwa “kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya” (Rm. 6:3). Di atas kayu salib, dengan cara yang penuh kuasa dan misterius, Tuhan Yesus membungkam kebohongan Iblis, mengenyahkan kengerian maut, dan melepaskan manusia dari cengkeraman dosa yang kuat. Meskipun kita sudah “mati bagi dosa” dan “hidup bagi Allah” (ay.11), sering kali kita menjalani hidup seakan masih berada di bawah kuasa Iblis. Kita takluk pada godaan dan menyerah pada bujukan dosa. Kita mempercayai kebohongan dan tidak mempercayai Tuhan Yesus. Namun, kita tidak perlu putus asa. Kita tidak perlu hidup dalam kebohongan. Oleh anugerah Allah, kita dapat menghayati kemenangan Kristus yang nyata.

Meskipun kita masih akan terus bergumul dengan dosa, pembebasan dialami ketika kita menyadari bahwa Yesus Kristus telah memenangi peperangan. Kiranya kita dapat menghidupi kebenaran itu dengan kuasa-Nya.—WINN COLLIER

WAWASAN
Pertanyaan Paulus di Roma 6:1—“Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?” —mengalir dari pengamatannya di pasal sebelumnya bahwa “di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah” (5:20). Jadi, Paulus bertanya apakah kasih karunia adalah izin untuk berdosa. Jawabannya tentu tidak, apabila kita lebih menghargai keberadaan kita di bawah tangan kasih dan pemeliharaan Kristus daripada di bawah penghukuman dan penawanan hukum Taurat (ay.21). Jawabannya tentu tidak, ketika kita melihat bahwa apa yang terenggut dari Adam sekarang kita alami secara berlimpah—hidup, kasih, damai, dan pengharapan—dengan menyadari makna dari kesatuan kita di dalam dan bersama Yesus (pasal 5-6).—Mart DeHaan

Bagaimana kamu terpengaruh untuk mempercayai bahwa kematian dan dosa masih berkuasa atas hidup kamu? Di manakah kamu dapat melihat kemenangan Kristus memang sudah nyata?

Tuhan Yesus, aku tahu Engkau sudah menang atas kejahatan dan kegelapan. Tolonglah aku hidup dengan menghayati kemenangan-Mu.

Sunday, August 2, 2020

Koreksi yang Diberikan dengan Baik

Barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa. —Yakobus 5:20

Koreksi yang Diberikan dengan Baik

Di suatu awal musim semi, cuaca begitu menyegarkan dan saya sangat menikmati perjalanan bersama istri. Namun, indahnya kebersamaan tersebut bisa sekejap mata berubah menjadi tragedi sekiranya saat itu saya melewatkan rambu berwarna merah-putih yang memperingatkan bahwa saya sedang memasuki jalur yang salah. Karena kurang jauh menikung, saya sempat masuk ke jalur yang salah dan melihat tulisan “Dilarang Masuk” terpampang di hadapan saya. Saya cepat-cepat berbelok kembali, sambil membayangkan betapa ngerinya apabila kelalaian saya membuat kami berdua dan juga orang lain celaka apabila saya mengabaikan rambu yang mengingatkan bahwa saya salah jalur.

Kata-kata penutup dalam kitab Yakobus menekankan pentingnya koreksi. Bukankah adakalanya setiap dari kita perlu disadarkan oleh orang-orang yang mempedulikan kita dari jalan, perbuatan, keputusan, atau keinginan yang mungkin saja mencelakakan kita? Entah bahaya apa yang dapat menimpa kita atau orang lain seandainya tidak ada orang yang berani mengingatkan kita di saat yang tepat.

Yakobus menekankan pentingnya koreksi yang diberikan dengan baik: “Barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa” (5:20). Koreksi merupakan ungkapan belas kasihan Allah. Semoga kasih dan kepedulian kita kepada sesama mendorong kita berbicara dan bertindak dengan cara-cara yang dipakai-Nya untuk “membuat orang itu kembali” (ay.19 BIS).—ARTHUR JACKSON

WAWASAN
Kitab Yakobus dibuka seperti banyak surat-surat Perjanjian Baru lainnya dengan menyebutkan penulis dan penerimanya (1:1). Namun, kitab ini kurang menyebutkan rincian dan ciri-ciri personal yang biasanya terdapat dalam surat, seperti tidak adanya sapaan di bagian akhir suratnya. Beberapa ahli menganggap kitab Yakobus sejenis literatur hikmat, tetapi lebih sering dideskripsikan sebagai sebuah diatribe—gaya tulisan yang dimaksudkan untuk menggugah pembacanya untuk bertindak. Penulisnya, Yakobus, yang kemungkinan besar adalah saudara tiri Yesus, menulis dalam nada tergesa-gesa, dengan langsung menuju pada inti pesannya. Suratnya juga diakhiri demikian, dengan panggilan resmi untuk bertindak membawa orang-orang percaya yang sudah berdosa kembali kepada kebenaran (5:19-20).—Julie Schwab

Apa saja risiko atau berkat yang didapat bila kita menolong orang yang tersesat kembali ke jalan yang benar? Pernahkah Allah memakai seseorang untuk menarik kamu kembali dari jalan yang tidak benar?

Ya Bapa, jagalah aku agar tidak menyimpang dari kebenaran-Mu dan berikanku keberanian untuk menolong membawa kembali mereka yang tersesat.

 

Total Pageviews

Translate