Pages - Menu

Sunday, September 30, 2018

Menyingkap Rahasia

Rahasia itu ialah ini: Melalui Kabar Baik itu, orang bukan Yahudi turut merasakan berkat-berkat Allah yang dahulu disediakan hanya untuk orang Yahudi. —Efesus 3:6 BIS
Menyingkap Rahasia
Setibanya di rumah setelah seharian bekerja, saya melihat sepasang sepatu hak tinggi untuk wanita di sebelah garasi. Saya pikir saya tahu siapa pemilik sepatu itu. Jadi saya menaruhnya di dalam garasi untuk kemudian saya berikan kepada putri saya, Lisa, saat ia datang untuk menjemput anak-anaknya. Namun, setelah ditanyakan kepada Lisa, sepatu itu ternyata bukan miliknya. Bahkan tak seorang pun di keluarga kami merasa memiliki sepatu itu. Saya pun menaruh sepatu itu di tempat saya menemukannya. Keesokan harinya, sepatu itu hilang. Sungguh misterius.
Tahukah kamu bahwa Rasul Paulus menulis tentang sebuah misteri dalam surat-suratnya? Namun, misteri yang dituliskannya bukan sekadar “cerita detektif”. Misalnya, di Efesus 3, Paulus berbicara tentang misteri atau rahasia yang “tidak pernah diberitahukan kepada manusia” (ay.5 BIS). Rahasianya: meskipun dahulu Allah menyatakan diri-Nya hanya kepada bangsa Yahudi, tetapi sekarang, melalui Yesus, bangsa-bangsa bukan Yahudi dapat “merasakan berkat-berkat Allah yang dahulu disediakan hanya untuk orang Yahudi” (ay.6 BIS).
Pikirkan dampak dari pernyataan tersebut: semua orang yang mempercayai Yesus sebagai Juruselamatnya dapat sama-sama mengasihi dan melayani Allah. Kita semua sama-sama “diberi kebebasan untuk mendekati Allah dengan penuh kepercayaan” (ay.12 BIS). Melalui kesatuan gereja, dunia akan melihat kebijaksanaan dan kebaikan Allah (ay.10 BIS).
Terpujilah Allah untuk keselamatan kita. Dia menyingkapkan bagi kita suatu rahasia tentang kesatuan, yakni dipersatukannya orang-orang dari segala latar belakang di dalam Yesus Kristus. —Dave Branon
Tuhan Yesus, terima kasih untuk kesatuan yang dinikmati semua orang percaya di dalam-Mu. Tolonglah kami untuk melayani bersama-sama sebagai anggota-anggota yang setara dalam tubuh-Mu.
Kesatuan dalam Kristus merobohkan tembok pemisah dan membangun gereja.

Saturday, September 29, 2018

Menuai di Ladang

Maka Rut, perempuan Moab itu, berkata kepada Naomi: “Biarkanlah aku pergi ke ladang memungut bulir-bulir jelai di belakang orang yang murah hati kepadaku.” —Rut 2:2
Menuai di Ladang
Seorang teman asal Tanzania memiliki visi untuk membeli sebidang tanah kosong di ibu kota Dodoma. Setelah menyadari kebutuhan dari sejumlah janda di lingkungan itu, Ruth ingin mengubah tanah yang tidak terpakai itu menjadi tempat untuk beternak ayam dan bercocok tanam. Visinya untuk membantu mereka yang berkekurangan itu berasal dari kasihnya kepada Allah, dan terinspirasi oleh tokoh Alkitab yang bernama sama dengannya, Rut.
Hukum Taurat memperbolehkan orang miskin atau orang asing untuk memungut (menuai) sisa-sisa hasil tuaian dari tepi ladang (Im. 19:9-10). Tokoh Rut di Alkitab adalah seorang asing. Karena itu, ia diizinkan bekerja di ladang dan mengumpulkan makanan untuknya serta untuk Naomi, ibu mertuanya. Karena memungut sisa hasil tuaian di ladang milik Boas—seorang kerabat dekat suami Naomi—Rut dan Naomi pada akhirnya mendapat tempat tinggal dan perlindungan. Rut sehari-hari bekerja mengumpulkan makanan dari tepi ladang dengan cerdik dan tekun, dan Allah pun memberkatinya.
Semangat teman saya, Ruth, dan dedikasi tokoh Rut dalam Alkitab, menggugah saya untuk bersyukur kepada Allah atas pemeliharaan-Nya bagi orang yang miskin dan tertindas. Keduanya menginspirasi saya mencari cara-cara yang konkret untuk menolong orang lain di tengah komunitas saya, bahkan lebih luas lagi sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa syukur saya kepada Allah yang murah hati. Apakah yang bisa kamu lakukan dalam kemurahan hati kepada orang lain sebagai bentuk penyembahanmu kepada Allah? —Amy Boucher Pye
Tuhan Yesus, Engkau menghendaki agar tak seorang pun kelaparan. Bukalah mata kami agar dapat menolong mereka yang berkekurangan. Kami ingin membagikan kasih-Mu demi kemuliaan nama-Mu.
Allah peduli kepada orang-orang yang tak berdaya.

Friday, September 28, 2018

Tanyakan Dahulu kepada Allah

Bergembiralah karena Tuhan; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. —Mazmur 37:4
Tanyakan Dahulu kepada Allah
Di awal pernikahan kami, saya kesulitan untuk mengetahui kesukaan istri saya. Apakah ia suka makan malam yang tenang di rumah atau menikmatinya di restoran mewah? Apakah tidak masalah baginya jika saya pergi dengan teman-teman pria saya di akhir pekan, atau ia mengharapkan saya untuk menemaninya saja? Daripada menebak dan memutuskan sendiri, saya pernah bertanya kepadanya, “Apa yang kauinginkan?”
“Apa pun pilihanmu, aku tidak masalah,” jawabnya dengan senyum hangat. “Aku sudah senang karena kau memikirkanku.”
Adakalanya saya berusaha keras untuk mengetahui dengan persis apa yang Allah inginkan untuk saya lakukan—misalnya tentang pekerjaan apa yang harus saya lakukan. Berdoa untuk meminta petunjuk dan membaca Alkitab tidak memberi saya jawaban yang spesifik. Namun, ada satu jawaban yang jelas: saya harus percaya kepada Tuhan, bergembira karena Dia, dan menyerahkan hidup saya kepada-Nya (Mzm. 37:3-5).
Pada saat itulah, saya menyadari bahwa Allah biasanya memberi kita kebebasan untuk menentukan pilihan—jika kita ingin mengutamakan kehendak-Nya di atas kehendak kita sendiri. Itu berarti membuang segala pilihan yang jelas-jelas salah atau yang tidak menyenangkan hati-Nya, misalnya suatu tindakan yang amoral, tidak sesuai dengan iman kita, atau tidak berguna bagi hubungan kita dengan-Nya. Jika pilihan-pilihan yang tersisa bagi kita itu menyenangkan Allah, kita bebas memilihnya. Bapa kita yang penuh kasih ingin memberikan apa yang diinginkan hati kita—hati yang bergembira karena Dia (ay.4). —Leslie Koh
Ajarilah aku, ya Allah, untuk mengutamakan-Mu dalam segala hal yang kulakukan. Tunjukkan kepadaku bagaimana aku bisa bergembira karena Engkau, agar hatiku terus diubahkan menjadi seperti hati-Mu.
Apakah keputusan kamu menyenangkan Allah?

Thursday, September 27, 2018

Saat Kita Jemu

Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik. —Galatia 6:9
Saat Kita Jemu
Terkadang mencoba melakukan sesuatu yang benar sangatlah melelahkan. Adakalanya kita bertanya-tanya, Apakah kata-kata dan tindakan saya yang bermaksud baik ini ada pengaruhnya? Saya memikirkan hal tersebut ketika baru-baru ini saya mengirimkan e-mail kepada seorang teman dengan maksud untuk menguatkannya, tetapi ia justru membalas saya dengan kemarahan. Saya langsung merasa terluka sekaligus marah. Mengapa ia bisa salah paham dengan maksud saya?
Sebelum merespons dalam kemarahan, saya menyadari bahwa kita tidak akan selalu melihat hasilnya (atau hasil yang kita inginkan) ketika kita memberitahukan kepada seorang teman tentang Yesus yang mengasihi mereka. Ketika kita melakukan hal-hal yang baik bagi orang lain dengan harapan agar mereka datang kepada Allah, mungkin saja mereka akan menolak kita. Pendekatan kita yang lembut agar orang lain mau melakukan apa yang benar mungkin akan mereka abaikan.
Galatia 6 adalah pasal yang tepat untuk dibaca ketika kita merasa kecewa atas respons seseorang terhadap kebaikan yang kita lakukan. Di pasal tersebut, Paulus mendorong kita untuk mempertimbangkan motivasi kita—“menguji pekerjaan [kita] sendiri”—dalam perkataan dan perbuatan kita (ay.1-4). Ketika kita sudah mengujinya, Paulus menguatkan kita untuk tetap bertekun: “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang” (ay.9-10).
Allah ingin kita terus hidup bagi-Nya, dan itu termasuk mendoakan orang lain dan menceritakan tentang diri-Nya kepada mereka. Itulah artinya “berbuat baik”. Hasil dari perbuatan kita itu adalah urusan Tuhan. —Alyson Kieda
Ya Tuhan, terima kasih atas penguatan yang kami terima dari firman-Mu. Tolonglah kami untuk bertekun melakukan hal-hal yang baik.
Serahkanlah hasil dari perbuatan baik kamu ke dalam tangan Allah.

Wednesday, September 26, 2018

Bukan Soal Ikan

Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah. —Yunus 3:10
Bukan Soal Ikan
Migaloo adalah ikan paus bungkuk albino pertama yang pernah didokumentasikan dan pernah terlihat beberapa kali di lepas pantai Queensland Selatan, Australia. Makhluk mengagumkan yang diperkirakan memiliki panjang sekitar 12 m itu adalah makhluk yang sangat langka sampai-sampai Australia menerbitkan undang-undang khusus untuk melindunginya.
Alkitab menceritakan kepada kita tentang seekor “ikan besar” yang sangat langka sampai-sampai Allah harus menyiapkannya khusus untuk menelan seorang nabi yang melarikan diri (Yun. 1:17). Allah mau Yunus menyampaikan pesan penghakiman kepada Niniwe. Namun, Yunus tidak mau berurusan dengan orang Niniwe yang terkenal kejam kepada semua orang, termasuk orang Ibrani. Jadi, Yunus melarikan diri. Keadaan pun memburuk. Di dalam perut ikan, Yunus menyesal. Akhirnya ia mau berkhotbah kepada bangsa Niniwe dan mereka pun bertobat (3:5-10).
Cerita yang bagus, bukan? Namun, itu belum berakhir. Saat Niniwe bertobat, Yunus kesal. “Ya Tuhan, bukankah telah kukatakan itu?” doa Yunus. “Sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (4:2). Meski telah diselamatkan dari maut, kemarahan Yunus yang penuh dosa itu memuncak sampai ia memohon Allah mencabut saja nyawanya (ay.3).
Cerita Yunus bukanlah soal ikan besar, melainkan soal natur manusiawi kita dan natur Allah yang mencari kita. “[Tuhan] sabar terhadap kamu,” tulis Rasul Petrus, “supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat” (2Ptr. 3:9). Allah memberikan kasih-Nya kepada orang Niniwe yang kejam, kepada seorang nabi yang kesal, kepada kamu dan saya. —Tim Gustafson
Bapa, kami cenderung melihat apa yang “pantas” diterima orang lain dan lupa bahwa kami membutuhkan kasih-Mu sama seperti mereka. Tolonglah kami hidup dalam kasih-Mu dan menceritakan kasih itu kepada sesama.
Kasih kita terbatas, tetapi kasih Tuhan tidak.

Tuesday, September 25, 2018

Banyak Perbuatan yang Baik

Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik kepada-Ku. —Markus 14:6
Banyak Perbuatan yang Baik
Sesaat sebelum kematiannya, seniman dan misionaris Lilias Trotter memandang keluar jendela dan mendapat penglihatan tentang sebuah kereta surgawi. Menurut penulis biografinya, seorang teman bertanya kepada Lilias, “Apakah kamu melihat banyak hal yang baik?” dan Lilias menjawab, “Ya, sangat banyak hal yang baik.”
Kata-kata terakhir Lilias Trotter itu mencerminkan karya Allah dalam hidupnya. Allah telah menunjukkan begitu banyak kebaikan kepada dan melalui Lilias, tidak hanya menjelang kematiannya, tetapi juga di sepanjang hidupnya. Walaupun Lilias sangat berbakat dalam bidang seni, ia memilih untuk melayani Yesus sebagai misionaris di Aljazair. Ketika Lilias memilih ladang misi daripada karier di bidang seni, John Ruskin, seorang pelukis terkenal yang mengajar Lilias, konon pernah berkomentar, “Bakat yang disia-siakan.”
Demikian pula di Perjanjian Baru, ketika seorang perempuan datang ke rumah Simon si kusta, membawa buli-buli pualam berisi minyak narwastu murni dan mencurahkan minyak itu ke atas kepala Yesus, orang-orang di situ menganggapnya sebagai pemborosan. Minyak mahal itu setara dengan upah rata-rata orang selama satu tahun, sehingga orang-orang berpikir bahwa minyak itu bisa digunakan untuk menolong orang miskin. Namun, sambil memuji pengabdian perempuan itu yang begitu mendalam kepada-Nya, Yesus berkata, “Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik kepada-Ku” (Mrk. 14:6).
Setiap hari kita dapat memilih untuk memancarkan hidup Kristus dalam diri kita dan menunjukkan kebaikan-Nya pada dunia. Bagi sebagian orang, mungkin perbuatan kita terlihat sia-sia, tetapi biarlah kita memiliki hati yang selalu rela melayani-Nya. Kiranya Tuhan Yesus akan mengatakan bahwa kita telah melakukan banyak perbuatan yang baik bagi-Nya. —Keila Ochoa
Ya Bapa, mampukanlah aku untuk menunjukkan kasihku kepada-Mu dengan melakukan banyak perbuatan yang baik.
Kiranya hidup kita menunjukkan kebaikan Allah.

Monday, September 24, 2018

Mengikuti Jalan Allah

Bila kamu menyimpang dari jalan, di belakangmu akan terdengar suara-Nya yang berkata, “Inilah jalannya; ikutlah jalan ini.” —Yesaya 30:21 BIS
Mengikuti Jalan Allah
“Ayo, lewat sini,” ujar saya kepada putra saya sambil menyentuh bahunya untuk mengarahkannya melewati kerumunan dan menyusul ibu serta saudara-saudaranya yang berjalan di depan kami. Saya semakin sering melakukannya ketika hari makin larut di taman hiburan yang sedang kami kunjungi. Putra saya mulai lelah dan mudah sekali perhatiannya teralihkan. Mengapa ia sulit sekali membuntuti mereka? saya bertanya-tanya.
Kemudian sesuatu terlintas di benak saya: Seberapa sering saya melakukan hal yang sama? Seberapa sering saya menyimpang dari kesetiaan mengikuti Allah, karena terpikat oleh godaan untuk mengejar kesenangan saya daripada mengikuti jalan-jalan-Nya?
Coba perhatikan perkataan Allah yang disampaikan Nabi Yesaya kepada Israel: “Bila kamu menyimpang dari jalan, di belakangmu akan terdengar suara-Nya yang berkata, ‘Inilah jalannya; ikutlah jalan ini’” (Yes. 30:21 bis). Di bagian awal pasal tersebut, Allah telah menegur umat-Nya karena pemberontakan mereka. Namun, apabila mereka mempercayai kekuatan-Nya daripada jalan mereka sendiri (ay.15), Dia berjanji akan menunjukkan kemurahan dan kasih sayang-Nya (ay.18).
Salah satu ungkapan kemurahan hati Allah adalah janji-Nya untuk membimbing kita melalui Roh Kudus. Hal itu terjadi ketika kita menyatakan kepada-Nya segala kerinduan kita dan berdoa memohon kepada-Nya apa yang telah Dia sediakan bagi kita. Saya bersyukur karena Allah dengan sabar mengarahkan kita, hari lepas hari, langkah demi langkah, ketika kita mempercayai-Nya dan mendengarkan suara-Nya. —Adam Holz
Ya Bapa, Engkau berjanji membimbing kami melewati pasang-surut kehidupan dan keputusan yang harus kami ambil dalam hidup ini. Tolong kami untuk mempercayai dan mengikut-Mu, serta mendengarkan tuntunan suara-Mu dengan saksama.
Allah dengan sabar mengarahkan kita ketika kita mempercayai-Nya dan mendengarkan suara-Nya.

Sunday, September 23, 2018

Dengarkan Saudara Seimanmu

Barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa. —Yakobus 5:20
Dengarkan Saudara Seimanmu
“Dengarkan aku, aku ini kakakmu!” Permohonan yang diucapkan seorang kakak di lingkungan tempat tinggal kami itu ditujukan kepada adiknya yang ingin pergi jauh, dan keputusan itu membuat kakaknya khawatir. Jelaslah sang kakak lebih bijak untuk menentukan apa yang terbaik dalam situasi yang mereka hadapi.
Berapa banyak dari kita yang pernah menolak nasihat bijak dari seseorang? Jika kamu pernah mengalami konsekuensi karena menolak nasihat yang baik dari seseorang yang lebih dewasa, kamu tidak sendirian.
Salah satu berkat terbesar yang kita miliki sebagai orang beriman adalah keluarga di dalam Tuhan, yakni orang-orang yang terhubung secara rohani karena sama-sama beriman kepada Yesus Kristus. Di dalam keluarga iman ini, terdapat pria dan wanita dewasa rohani yang mengasihi Allah dan satu sama lain. Seperti si adik di lingkungan saya tadi, terkadang kita membutuhkan peringatan atau teguran supaya kita kembali ke jalur yang benar. Hal itu benar terutama ketika kita melukai seseorang atau sebaliknya, ketika seseorang melukai kita. Melakukan hal yang benar mungkin sulit. Akan tetapi, perkataan Yesus dalam Matius 18:15-20 menunjukkan kepada kita apa yang perlu dilakukan ketika terjadi pelanggaran di dalam keluarga rohani kita.
Syukurlah, Bapa Surgawi kita yang murah hati menempatkan dalam kehidupan kita orang-orang yang siap menolong upaya kita untuk menghormati Dia dan sesama. Ketika kita mendengarkan mereka, hubungan kita pun akan pulih kembali (ay.15). —Arthur Jackson
Bapa, kami memuji-Mu karena Engkau menempatkan kami di dalam keluarga rohani-Mu. Tolonglah kami untuk belajar dan bertumbuh melalui perkataan yang bijak dan perilaku yang saleh dari saudara seiman kami yang dewasa rohani.
Hikmat tumbuh ketika kita mendengarkan perkataan saudara seiman kita yang dewasa rohani.

Saturday, September 22, 2018

Berkat dari Kehadiran Pendukung

Tetapi Barnabas menerima [Saulus] dan membawanya kepada rasul-rasul. —Kisah Para Rasul 9:27
Berkat dari Kehadiran Pendukung
Film The King’s Speech yang dirilis pada tahun 2010 mengisahkan tentang Raja George VI dari Inggris yang tanpa diduga menjadi raja setelah sang kakak memilih untuk melepas takhtanya. Di saat negara sedang menghadapi ancaman Perang Dunia II, para pejabat pemerintahan menginginkan seorang pemimpin yang fasih bicara karena semakin meningkatnya pengaruh radio di tengah masyarakat. Namun, Raja George VI mempunyai masalah gagap bicara.
Saya sangat terpikat pada peran Elizabeth, istri George, di film itu. Dalam perjuangan George mengatasi kesulitan bicaranya, Elizabeth terus menjadi sumber semangat. Dengan setia, Elizabeth memberikan dukungan yang dibutuhkan George untuk mengatasi masalahnya dan memerintah dengan baik selama masa perang.
Alkitab menyoroti kisah-kisah dari para pemberi semangat yang memberikan dukungan luar biasa dalam situasi-situasi yang sulit. Musa mempunyai Harun dan Hur yang mendukungnya selama Israel berperang (Kel. 17:8-16). Elisabet menguatkan Maria, kerabatnya yang sedang mengandung (Luk. 1:42-45).
Setelah pertobatannya, Paulus membutuhkan dukungan Barnabas, yang namanya secara harfiah berarti “anak penghiburan”. Saat murid-murid ketakutan melihat Paulus, Barnabas mempertaruhkan reputasinya dengan menyatakan dukungannya kepada Paulus (Kis. 9:27). Dukungan Barnabas sangat penting bagi Paulus untuk dapat diterima oleh komunitas Kristen. Barnabas lalu melayani sebagai rekan seperjalanan dan sepelayanan Paulus (Kis. 14). Di hadapan bahaya yang menghadang, mereka bekerja bersama untuk memberitakan Injil.
Hari ini, umat Tuhan yang percaya kepada Yesus Kristus masih dipanggil untuk “[menasihati] seorang akan yang lain dan saling membangun” (1Tes. 5:11). Kiranya kita selalu siap memberikan dorongan dan dukungan kepada orang lain, terutama kepada mereka yang sedang mengalami masa-masa sulit. —Lisa Samra
Dukungan seorang teman dapat mengubah segalanya.

Friday, September 21, 2018

Cara-Cara yang Tak Terduga

Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa. —Yohanes 14:9
Cara-Cara yang Tak Terduga
Pada tahun 1986, Levan Merritt yang berusia 5 tahun terjatuh dari ketinggian 6 m ke dalam kandang gorila di kebun binatang Jersey, Inggris. Saat orangtua Levan dan para pengunjung berteriak minta tolong, muncullah gorila jantan dewasa bernama Jambo. Jambo pun berdiri di antara Levan yang tak berdaya dan beberapa gorila lainnya. Lalu dengan lembut, Jambo membelai punggung Levan. Ketika Levan mulai menangis, Jambo mengarahkan gorila-gorila lain ke kandang mereka masing-masing. Pada saat itulah, para penjaga kebun binatang dan ambulans datang menyelamatkan Levan. Lebih dari 30 tahun kemudian, Levan masih ingat bagaimana Jambo, si gorila raksasa yang lembut itu, telah bertindak dengan cara yang sangat mengejutkan, dan membuat persepsi Levan tentang gorila berubah selamanya.
Elia mungkin mengharapkan Allah bertindak dengan cara-cara tertentu. Namun, Allah memakai angin kencang yang memecahkan bukit batu, gempa dahsyat, dan api untuk menunjukkan kepada nabi-Nya agar jangan berpikir seperti itu tentang diri-Nya. Allah lalu memakai bisikan lembut untuk menyatakan isi hati dan hadirat-Nya (1Raj. 19:11-12).
Elia sudah pernah melihat kuasa Allah (18:38-39). Namun, ia tidak sepenuhnya memahami Pribadi yang ingin dikenal tidak hanya sebagai yang lebih hebat dan dahsyat dibandingkan allah-allah lain (19:10,14).
Pada akhirnya, bisikan lembut itu terwujud sepenuhnya dalam kelembutan Yesus yang penuh kuasa, dan Dia berkata, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh. 14:9). Kemudian Yesus dengan tenang menyerahkan diri-Nya dipaku di kayu salib—suatu tindakan yang tak terduga dan penuh belas kasih dari Allah Mahakuasa yang mengasihi kita. —Mart DeHaan
Bapa di surga, tolonglah kami untuk dikuatkan oleh bisikan-Mu yang lembut, dan dalam cara-cara yang ditunjukkan Anak-Mu. Kasihanilah kami karena tak mampu melihat lebih jauh bahwa ternyata ada kasih di balik kedahsyatan kuasa-Mu.
Allah takkan berteriak jika yang kita perlukan hanyalah bisikan.

Thursday, September 20, 2018

Menemukan Pengharapan

Harapan yang seperti ini tidak akan mengecewakan kita, sebab hati kita sudah diisi oleh Allah dengan kasih-Nya. Allah melakukan itu dengan perantaraan Roh-Nya, yang sudah diberikan kepada kita. —Roma 5:5 BIS
Menemukan Pengharapan
Elizabeth pernah sangat lama bergumul dengan masalah kecanduan obat terlarang. Setelah pulih, ia ingin menolong orang lain yang mengalami pergumulan serupa. Ia pun mulai membuat tulisan-tulisan pendek dan secara anonim menyebarkannya di kota tempat tinggalnya. Elizabeth menyelipkan tulisannya pada pembersih kaca mobil dan menempelkannya pada tiang-tiang taman. Dahulu ia merindukan pengharapan, tetapi sekarang ia meneruskan pengharapan kepada orang lain dengan apa yang bisa ia lakukan. Salah satu tulisan pendeknya diakhiri dengan kata-kata ini: “Engkau dikasihi. Teruslah berharap.”
Pengharapan yang penuh kasih—itulah yang Yesus berikan. Dia memberi kita kasih-Nya hari demi hari dan menguatkan kita dengan pengharapan itu. Kasih-Nya tidak diberikan kepada kita sedikit demi sedikit, melainkan mengalir dari hati-Nya dengan berlimpah dan dicurahkan di dalam hati kita: “Harapan . . . ini tidak akan mengecewakan kita, sebab hati kita sudah diisi oleh Allah dengan kasih-Nya” (Rm. 5:5 bis). Allah bermaksud menggunakan masa-masa sulit untuk membentuk ketekunan dan karakter kita, dan memberi kita kehidupan yang berlimpah dengan pengharapan (ay.3-4). Sekalipun kita sedang menjauh dari Allah, Dia tetap mengasihi kita (ay.6-8).
Apakah kamu sedang merindukan pengharapan? Tuhan memberi kita pengharapan yang penuh kasih lewat ajakannya kepada kita untuk bertumbuh dalam hubungan kita dengan-Nya. Pengharapan kita untuk memiliki hidup yang berkelimpahan disandarkan pada kasih-Nya yang tak berkesudahan. —Anne Cetas
Tuhan, aku bersyukur atas kasih yang Engkau curahkan bagiku. Berilah aku kepuasan di dalam-Mu dan keyakinan terhadap semua yang Engkau lakukan di dalam hidupku.
Pengharapan adalah sauh bagi jiwa kita.

Wednesday, September 19, 2018

Waktu yang Tepat

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya. —Pengkhotbah 3:11
Waktu yang Tepat
Kemarin saya memesan tiket pesawat dengan tujuan untuk mengantar putri sulung saya yang akan memulai kuliahnya. Entah berapa banyak air mata yang telah tercurah ke atas keyboard komputer selama saya mencari-cari tiket tersebut. Saya telah menikmati hidup yang indah bersama putri saya selama 18 tahun sehingga saya merasa begitu sedih atas kepergiannya. Namun, saya tidak akan tega merampas masa depannya hanya karena saya akan sangat merindukannya. Inilah waktu yang tepat bagi putri saya untuk memulai perjalanan baru menuju kedewasaan dengan menjelajahi bagian lain dari negara ini.
Dengan tuntasnya masa pengasuhan saya sebagai orangtua, dimulailah suatu masa yang baru. Pastilah perubahan itu akan memberikan tantangan sekaligus kesenangan baru. Salomo, raja ketiga Israel, menuliskan bahwa Allah sudah menetapkan “untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya” (Pkh. 3:1). Sebagai manusia, kita tidak mempunyai kendali penuh atas setiap peristiwa dalam kehidupan kita, baik peristiwa yang kita anggap menguntungkan ataupun yang tidak. Namun Allah, dengan kuasa-Nya yang dahsyat, “membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (ay.11).
Di masa-masa yang menyakitkan, kita dapat mempercayai Allah bahwa Dia akan mendatangkan kebaikan dari kepedihan-kepedihan itu pada waktunya. Penghiburan dan sukacita kita bisa datang dan pergi, tetapi karya Allah “akan tetap ada untuk selamanya” (ay.14). Mungkin tidak setiap masa akan kita nikmati—karena sebagian di antaranya memang pedih—tetapi Allah tetap dapat mendatangkan keindahan di dalam segala masa yang ada. —Kirsten Holmberg
Bapa, Engkau telah mengizinkan aku melalui masa-masa ini dalam hidupku. Tolong aku untuk merasa tenang di dalam apa pun yang kualami, dan menyadari bahwa Engkau tetap bekerja dalam kuasa dan kebesaran-Mu.
Allah mendatangkan keindahan di setiap masa kehidupan.

Tuesday, September 18, 2018

Terukir di Telapak Tangan-Nya

Aku selalu ingat padamu; namamu Kuukir di telapak tangan-Ku. —Yesaya 49:16 BIS
Terukir di Telapak Tangan-Nya
Dalam pelayanannya selama bertahun-tahun di sebuah gereja di London pada era 1800-an, Charles Spurgeon sangat senang mengkhotbahkan kekayaan yang terkandung dalam Yesaya 49:16, yang menyatakan bahwa Allah mengukir nama kita di telapak tangan-Nya. Spurgeon berkata, “Ayat seperti ini harus dikhotbahkan ratusan kali!” Keindahan yang luar biasa dari ayat tersebut membuat kita dapat merenungkannya terus-menerus.
Dengan indah, Spurgeon mengaitkan janji Allah kepada umat-Nya, Israel, dengan Anak Allah, Yesus, yang mati di atas kayu salib untuk kita. Spurgeon bertanya, “Luka apakah yang ada di telapak tangan-Mu? . . . Alat ukirnya adalah paku, yang ditancapkan dengan palu. Dia harus dipakukan di kayu salib, agar umat-Nya benar-benar terukir di kedua telapak tangan-Nya.” Sebagaimana Tuhan berjanji untuk mengukir nama umat-Nya di telapak tangan-Nya, demikianlah Yesus merentangkan kedua tangan-Nya di atas kayu salib, menerima paku yang ditancapkan pada kedua tangan-Nya supaya kita dapat terbebas dari dosa-dosa kita.
Jika kelak kita sempat berpikir bahwa Allah telah melupakan kita, kita cukup melihat telapak tangan kita dan mengingat janji Allah. Dia telah membuat ukiran yang tak terhapuskan di tangan-Nya demi kita; demikian besarnya kasih Allah kepada kita. —Amy Boucher Pye
Tuhan Allah, betapa besarnya kasih-Mu bagiku! Engkau selalu mengingatku. Aku tahu Engkau takkan pernah meninggalkanku, karena itu aku sangat bersyukur.
Allah mengukir nama kita di telapak tangan-Nya.

Monday, September 17, 2018

Cara Berdoa yang Benar

Jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. —Matius 6:6
Cara Berdoa yang Benar
Saya mengagumi orang-orang yang tekun mencatat pokok-pokok doa mereka setiap hari dalam suatu jurnal. Saya kagum kepada mereka yang mengikuti perkembangan setiap permohonan dan pujian mereka serta dengan setia memperbarui daftar doa mereka. Saya terinspirasi oleh mereka yang mengajak orang lain untuk berdoa bersama dan yang khusyuk menaikkan doa-doa mereka setiap malam. Selama bertahun-tahun saya berusaha meniru gaya mereka, menata kehidupan doa yang sempurna, dan mencontoh tutur kata mereka yang lebih fasih dalam berdoa. Saya berjuang untuk menyingkapkan apa yang saya anggap sebagai misteri, karena saya rindu mempelajari cara berdoa yang benar.
Pada akhirnya, saya belajar bahwa Tuhan kita hanya menghendaki doa yang dimulai dan diakhiri dengan kerendahan hati (Mat. 6:5). Dia mengundang kita untuk masuk ke dalam percakapan yang akrab dengan-Nya yang berjanji untuk mendengarkan (ay.6). Allah tidak pernah mengharuskan kita menggunakan kata-kata dan frasa yang bertele-tele atau yang dihafalkan (ay.7). Dia meyakinkan kita bahwa doa adalah anugerah, suatu kesempatan untuk memuji keagungan-Nya (ay.9-10), untuk menunjukkan kepercayaan kita atas pemeliharaan-Nya (ay.11), dan untuk menegaskan jaminan pengampunan dan tuntunan yang diberikan-Nya kepada kita (ay.12-13).
Allah meyakinkan kita bahwa Dia mendengar dan memperhatikan setiap doa, baik yang terucap maupun tidak, demikian juga jeritan hati yang menjelma melalui tetesan air mata. Saat kita percaya kepada Allah dan kasih-Nya yang sempurna bagi kita, kita diyakinkan bahwa berdoa dengan kerendahan hati dalam sikap yang berserah dan bergantung kepada-Nya selalu merupakan cara berdoa yang benar. —Xochitl Dixon
Tuhan, terima kasih karena telah mengingatkan kami bahwa Engkau mendengar setiap doa kami.
Berseru kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita yang penuh kasih merupakan cara berdoa yang benar.

Sunday, September 16, 2018

Warisan Kasih

Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga. —Matius 5:16
Warisan Kasih
Saya sedang membuka-buka halaman Alkitab milik nenek buyut saya saat sesuatu yang berharga jatuh ke pangkuan saya. Itu adalah secarik kertas yang mencantumkan tulisan tangan seorang anak kecil dan bertuliskan, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” (Mat. 5:3-4). Di samping ayat tersebut, terlihat tanda tangan ibu saya yang masih berantakan.
Nenek buyut saya memang punya kebiasaan mendidik cucu-cucunya untuk menuliskan ayat-ayat Alkitab agar mereka mempelajari dan menghayatinya. Namun, kisah di balik ayat itu sungguh membuat saya terharu. Kakek meninggal saat ibu saya masih sangat muda, lalu adiknya (paman saya) meninggal beberapa minggu kemudian. Di masa-masa penuh duka itulah, nenek buyut menolong ibu saya untuk mengenal Yesus dan mengalami penghiburan yang hanya dapat diberikan oleh-Nya.
Paulus menulis kepada Timotius, “Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu” (2Tim. 1:5). Iman tidak diwariskan secara otomatis karena garis keturunan, melainkan iman itu diteruskan. Ibu dan nenek Timotius meneruskan iman mereka kepadanya, dan Timotius menjadi percaya.
Ketika kita menguatkan orang-orang terdekat kita untuk tetap berharap kepada Yesus, kita sedang memberi mereka sebuah warisan kasih. Melalui catatan yang sederhana, ibu saya meninggalkan bukti tentang kasih neneknya kepada keluarganya dan Sang Juruselamat. Marilah mewariskan Kristus kepada anak-cucu kita! —James Banks
Bapa, terima kasih untuk mereka yang telah mewariskan kasih-Mu kepadaku. Hari ini, tolong aku mengarahkan orang lain pada keselamatan yang Engkau berikan.
Harta paling berharga yang bisa kita wariskan adalah iman kita.

Saturday, September 15, 2018

Bermanfaat untukmu?

Engkau baik dan berbuat baik; ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku. —Mazmur 119:68
Bermanfaat untukmu?
Sebagai penyuka cokelat pahit, saya pernah mencari informasi di Google: “Apakah cokelat pahit bermanfaat?” Saya mendapatkan beragam jawaban—ada yang baik, ada yang buruk. Kamu juga bisa melakukan hal yang sama untuk sebagian besar produk makanan. Apakah susu bermanfaat? Apakah kopi bermanfaat? Apakah nasi bermanfaat? Ada begitu banyak jawaban yang berbeda untuk pertanyaan-pertanyaan itu. Jadi kamu perlu sadar bahwa penelusuran itu sendiri mungkin tidak terlalu bermanfaat untukmu. Bisa-bisa kamu justru jadi sakit kepala!
Namun, jika kamu mencari sesuatu yang selalu 100 persen bermanfaat untukmu, firman Tuhanlah jawabannya. Perhatikan dampaknya bagi seorang murid Yesus yang rindu membangun hubungannya dengan Allah.
Firman Tuhan dapat menjaga kesucianmu (Mzm. 119:9,11).
Firman Tuhan memberkatimu (Luk. 11:28).
Firman Tuhan membuat kamu bijaksana (Mat. 7:24).
Firman Tuhan memberikan terang dan pengertian (Mzm. 119:130).
Firman Tuhan menolongmu bertumbuh secara rohani (1Ptr. 2:2).
Allah kita baik: Mazmur 145:9 berkata, “Tuhan itu baik kepada semua orang.” Karena Tuhan itu baik, Dia telah menyediakan panduan bagi orang-orang yang mengasihi-Nya agar kita mengerti bagaimana kita bisa memperdalam hubungan kita dengan-Nya. Dalam pergumulan kita untuk mengambil keputusan demi keputusan di tengah dunia yang menawarkan beragam pilihan ini, kita patut bersyukur karena Allah telah menyatakan apa yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi kita di dalam Kitab Suci. Bersama sang pemazmur, marilah kita berkata, “Betapa manisnya janji-Mu itu bagi langit-langitku, lebih dari pada madu bagi mulutku” (Mzm. 119:103). —Dave Branon
Ya Allah, terima kasih karena Engkau memberikan firman-Mu. Mampukan kami untuk dapat membacanya dengan tekun, memahami maknanya dengan benar, dan menerapkannya dalam hidup kami dengan sungguh-sungguh.
Firman Tuhan satu-satunya dasar kehidupan yang pasti.

Friday, September 14, 2018

Kepuasan Tertinggi

Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! —Yesaya 55:1
Kepuasan Tertinggi
Saat membagikan makanan ringan kepada anak-anak dalam suatu kegiatan Sekolah Alkitab, kami melihat seorang anak kecil yang makan dengan lahap. Kemudian ia juga memakan remah-remah makanan milik anak-anak lain di mejanya. Bahkan setelah saya memberinya sekantong popcorn, ia belum kenyang juga. Sebagai pembimbing, kami sangat prihatin dan bingung mengapa anak kecil itu begitu lapar.
Lalu saya terpikir, bukankah kita juga bisa menjadi seperti anak kecil itu dalam hal emosi? Kita mencari-cari cara untuk memuaskan kerinduan kita yang terdalam, tetapi kita tidak pernah menemukan sesuatu yang dapat memuaskan kita sepenuhnya.
Nabi Yesaya mengundang mereka yang haus, “Marilah dan minumlah” dan kepada yang lapar, “Makanlah” (Yes. 55:1). Namun kemudian, ia bertanya, “Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan?” (ay.2). Yang dimaksud Yesaya bukan hanya lapar secara fisik. Allah sanggup memuaskan kelaparan rohani dan emosi kita dengan menjanjikan kehadiran-Nya. “Perjanjian abadi” di ayat 3 mengingatkan kita pada janji yang dibuat Allah kepada Daud dalam 2 Samuel 7:8-16. Melalui keturunan Daud, seorang Juruselamat akan datang untuk menghubungkan kembali manusia dengan Allah. Di kemudian waktu, dalam Yohanes 6:35 dan 7:37, Yesus memberikan undangan yang sama dengan undangan yang diberikan oleh Yesaya. Dengan cara itu, Yesus menunjukkan bahwa diri-Nya adalah Juruselamat yang pernah dinubuatkan oleh Yesaya dan nabi-nabi lainnya.
Apakah kamu lapar? Allah mengundang kamu untuk datang kepada-Nya dan dipenuhi hadirat-Nya. —Linda Washington
Bapa, aku ingin mengenal-Mu lebih dalam. Hanya Engkau yang dapat memuaskan kerinduanku yang terdalam.
Hanya Allah yang bisa memuaskan kelaparan rohani kita.

Thursday, September 13, 2018

Apakah Arti Sebuah Nama?

Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus. —Matius 1:21
Apakah Arti Sebuah Nama?
“Gip” Hardin, seorang pengkhotbah gereja Methodis, menamai putranya John Wesley, mengikuti nama sang pengkhotbah terkenal. Nama itu mencerminkan harapan Gip atas anak laki-lakinya. Namun tragis, John Wesley Hardin kemudian memilih jalan yang menyimpang jauh dari tokoh iman yang agung itu. Hardin mengaku pernah membunuh 42 orang sehingga ia menjadi salah satu penjahat bersenjata dan buronan paling terkenal di wilayah barat Amerika pada akhir abad ke-19.
Di Alkitab, sama seperti berbagai budaya di zaman sekarang, nama memiliki makna yang istimewa. Ketika membawa berita kelahiran Anak Allah, seorang malaikat memerintahkan Yusuf untuk memberi nama anak Maria itu “Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1:21). Arti nama Yesus—“Allah yang menyelamatkan”—menegaskan misi-Nya untuk menyelamatkan manusia dari dosa.
Tidak seperti Hardin, Yesus sepenuhnya hidup sesuai dengan arti nama-Nya. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Dia menggenapi misi penyelamatan-Nya. Yohanes menegaskan kuasa nama Yesus yang memberikan hidup: “Semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh. 20:31). Kitab Kisah Para Rasul mengundang setiap orang untuk percaya kepada-Nya, sebab, “Keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis. 4:12).
Semua yang dengan iman berseru kepada nama Yesus yang ajaib itu akan memperoleh pengampunan dan pengharapan yang disediakan-Nya. Sudahkah kamu berseru memanggil nama-Nya? —Bill Crowder
Terima kasih, Bapa, Engkau menyelamatkanku melalui Anak-Mu, Yesus. Aku mengasihi-Mu.
Nama Yesus sama dengan misi-Nya— mencari dan menyelamatkan yang terhilang.

Wednesday, September 12, 2018

Ada Wi-Fi?

Hati orang berpengertian mencari pengetahuan, tetapi mulut orang bebal sibuk dengan kebodohan. —Amsal 15:14
Ada Wi-Fi?
Ketika saya sedang mempersiapkan perjalanan misi bersama sejumlah anak muda, pertanyaan yang paling sering diajukan adalah, “Apakah di sana ada Wi-Fi?” Saya meyakinkan mereka bahwa ada Wi-Fi di sana. Bayangkanlah seperti apa keluh kesah mereka ketika pada suatu malam Wi-Fi itu mati!
Banyak dari kita menjadi cemas ketika harus terpisah dari ponsel kita. Dan ketika tangan kita memegang ponsel, perhatian kita pun tidak bisa lepas dari layar ponsel itu.
Seperti banyak hal lainnya, internet dan segala sesuatu yang bisa kita akses dengannya dapat menjadi gangguan atau sebaliknya menjadi berkat, tergantung pada cara kita memperlakukannya. Dalam kitab Amsal, kita membaca, “Hati orang berpengertian mencari pengetahuan, tetapi mulut orang bebal sibuk dengan kebodohan” (15:14).
Untuk menerapkan hikmat Alkitab tersebut dalam hidup ini, kita dapat bertanya kepada diri sendiri: Apakah kita terus-menerus terdesak untuk mengecek akun media sosial kita sepanjang hari? Apakah sikap kita memberikan petunjuk tentang apa yang sebenarnya didambakan hati kita? Lalu, apakah hal-hal yang kita baca atau tonton di dunia maya mendorong kita untuk hidup lebih bijak (ay.16-21) ataukah kita lebih suka menikmati sampah, yakni gosip, fitnah, materialisme, atau percabulan?
Di saat kita berserah pada karya Roh Kudus, kita dapat memenuhi pikiran kita dengan semua “yang benar, yang terhormat, yang adil, murni, manis, dan baik” (Flp. 4:8 BIS). Dengan hikmat Allah, kita dapat membuat pilihan-pilihan baik yang memuliakan-Nya. —Poh Fang Chia
Allah, tolong aku untuk menggunakan waktuku dengan baik dan mengisi pikiranku dengan hal-hal yang suci.
Apa yang diserap pikiran kita akan membentuk jiwa kita.

Monday, September 10, 2018

Teguh Berdiri

Bagi Dia, yang berkuasa menjaga supaya jangan kamu tersandung. —Yudas 1:24
Teguh Berdiri
Suatu hari di musim dingin yang beku, setelah berkendara pulang, yang saya pikirkan hanyalah bagaimana saya dapat segera merasakan kehangatan di rumah. Namun, tiba-tiba saja saya telah terkapar di tanah, dengan kedua lutut terpelecok dan tungkai kaki saya menderita keseleo. Tidak ada tulang yang patah, tetapi saya sangat kesakitan. Sakitnya bahkan bertambah parah dan butuh beberapa minggu sebelum saya kembali pulih.
Adakah di antara kita yang belum pernah terpuruk dalam hal apa pun? Bukankah menyenangkan apabila kita memiliki sesuatu atau seseorang yang siap menjaga langkah kita setiap saat? Meski adakalanya kita tumbang secara fisik, ada satu Pribadi yang senantiasa siap menolong ketika kita berupaya menghormati Kristus dalam kehidupan di tengah dunia ini. Dia juga menyiapkan kita untuk dapat teguh berdiri dengan penuh sukacita di hadapan-Nya dalam kehidupan kekal kita kelak.
Setiap hari kita menghadapi pencobaan (dan bahkan ajaran sesat) yang berusaha mengalihkan, membingungkan, dan menjerat kita. Namun pada akhirnya, bukan usaha kita sendiri yang membuat kita dapat teguh berdiri menjalani kehidupan ini. Ketika kita dapat bersikap tenang saat tergoda untuk marah, bersikap jujur daripada berbuat curang, memilih untuk mengasihi daripada membenci, atau memilih yang benar daripada yang salah, kita dapat meyakini bahwa kita sedang mengalami kuasa Allah yang menjaga kita agar tidak tersandung (Yud. 1:24). Kelak, ketika kita diperkenankan berdiri di hadapan Allah pada saat Kristus datang kembali, puji-pujian yang kita panjatkan sekarang atas anugerah-Nya yang menopang kita akan terus bergema sampai selama-lamanya (ay.25). —Arthur Jackson
Bapa, terima kasih karena Engkau senantiasa menjaga jiwa kami.
Bila nafiri berbunyi, aku menghadap pada-Mu, mengenakan jubah putih, ya, jubah kebenaran-Mu. Edward Mote (kidung puji-pujian kristen, no. 389)

Sunday, September 9, 2018

Bau Harum dari Kristus

Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. —2 Korintus 2:15
Bau Harum dari Kristus
Dalam kondisi kepanasan dan lusuh, Bob turun dari bus yang ditumpanginya untuk tiba di kota yang jauh dari rumahnya. Ia begitu kelelahan karena perjalanan panjang itu sekaligus bersyukur karena akan menikmati makan malam bersama para sahabat yang tinggal di daerah itu. Bob disambut dengan hangat dan ia pun langsung merasakan damai. Ia merasa disambut sebagai keluarga—nyaman, aman, dan dihargai.
Beberapa waktu kemudian, saat bertanya-tanya mengapa ia merasa begitu damai di tempat yang asing baginya itu, Bob menemukan jawabannya dalam surat 2 Korintus. Di sana, Rasul Paulus menggambarkan para pengikut Allah sebagai orang-orang yang mempunyai “bau yang harum dari Kristus”. “Itu dia!” kata Bob pada dirinya sendiri. Orang-orang yang telah menyambutnya itu memiliki “bau yang harum” dari Kristus.
Ketika mengatakan bahwa Allah memimpin umat-Nya di “jalan kemenangan” dalam Kristus dengan menyebarkan bau harum dari kebenaran-Nya, Paulus mengacu pada suatu tradisi pada zaman kuno. Pasukan yang telah meraih kemenangan akan membakar dupa sembari berbaris di jalanan. Bagi para pendukung mereka, bau dupa yang wangi itu membawa sukacita. Demikian juga, kata Paulus, umat Allah memiliki bau yang harum bagi orang-orang yang percaya. Itu bukanlah aroma yang kita ciptakan sendiri, tetapi sesuatu yang Allah berikan ketika Dia memimpin kita menyebarkan pengenalan tentang diri-Nya.
Bob adalah ayah saya, dan perjalanannya ke kota yang jauh itu sudah terjadi lebih dari 40 tahun lalu. Namun, ia tidak pernah melupakannya. Ia sangat senang bercerita tentang sahabat-sahabatnya di sana—orang-orang yang berbau harum dari Kristus. —Amy Peterson
Bapa Surgawi, terima kasih Engkau sudah membawa umat-Mu pada kemenangan dan menyebarkan bau harum dari kebenaran-Mu melalui diri kami.
Siapa orang yang berbau harum dari Kristus bagi kamu?

Saturday, September 8, 2018

Apa Adanya dengan Allah

Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu. —1 Petrus 5:7
Apa Adanya dengan Allah
Aku menundukkan kepala, menutup mata, melipat tangan, dan mulai berdoa. “Tuhan terkasih, hari ini aku datang kepada-Mu sebagai anak-Mu. Aku menyadari kuasa dan kebaikan-Mu . . .” Tiba-tiba, mata saya terbuka. Saya teringat anak saya belum menyelesaikan proyek pelajaran sejarahnya yang harus dikumpulkan besok. Saya ingat ia punya janji bermain basket sepulang sekolah, dan saya membayangkan bagaimana ia harus terjaga sampai tengah malam untuk menyelesaikan tugas sekolahnya. Saya pun khawatir ia akan kelelahan dan membuatnya rentan terkena flu!
Dalam buku The Screwtape Letters, C. S. Lewis menuliskan tentang gangguan-gangguan yang kita jumpai saat berdoa. Ia menyebutkan bahwa ketika pikiran kita mengembara, kita cenderung menggunakan kekuatan tekad kita untuk membawa diri kita kembali pada maksud doa kita. Namun, Lewis menyimpulkan bahwa lebih baik kita menerima “gangguan-gangguan itu sebagai masalah yang sedang [kita] hadapi dan [menyerahkan] semua itu kepada [Allah] dan menjadikannya sebagai pokok doa [kita] yang utama.”
Kekhawatiran yang berkepanjangan atau bahkan pikiran berdosa yang mengusik doa kita dapat menjadi fokus utama dari perbincangan kita dengan Allah. Allah mau, saat kita berbincang dengan-Nya, kita bersikap apa adanya dan membuka diri dengan menyatakan segala keprihatinan, ketakutan, dan pergumulan kita yang terdalam. Dia tidak akan terkejut dengan apa pun yang kita katakan. Perhatian yang ditunjukkan-Nya kepada kita sama seperti perhatian yang kita terima dari seorang sahabat. Itulah mengapa kita didorong untuk menyerahkan segala kekhawatiran dan keprihatinan kita kepada Allah—karena Dia mempedulikan dan memelihara kita (1Ptr. 5:7). —Jennifer Benson Schuldt
Allah terkasih, Engkau tahu apa yang kupikirkan hari ini. Mampukan aku untuk mengalami damai sejahtera saat aku menceritakan keluh kesahku kepada-Mu.
Gangguan seharusnya tidak membuyarkan doa-doa kita.

Friday, September 7, 2018

Kasih yang Tak Berubah

Dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya. —1 Yohanes 2:17
Kasih yang Tak Berubah
Ketika masih SMA, saya pernah bergabung dalam tim tenis sekolah. Untuk meningkatkan kemahiran saya bermain tenis, saya menghabiskan banyak waktu dengan berlatih di empat lapangan semen yang terletak hanya dua blok dari rumah saya.
Terakhir kalinya saya berkunjung ke kota tersebut, saya mencoba mencari lapangan tenis itu dengan harapan bisa menyaksikan orang-orang bermain tenis sembari mengenang masa lalu. Namun, lapangan-lapangan tua yang begitu lekat di benak saya itu sudah tidak ada lagi. Di tempat itu hanya ada lahan kosong yang ditumbuhi ilalang yang melambai senyap dalam tiupan angin sepoi-sepoi.
Pengalaman hari itu tertanam dalam benak saya sebagai pengingat yang tajam akan singkatnya kehidupan ini. Salah satu tempat saya menghabiskan waktu-waktu terbaik dari masa remaja saya kini tidak ada lagi! Kenangan akan pengalaman itu mengarahkan saya pada kebenaran yang dikatakan Raja Daud di masa tuanya: “Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi. Tetapi kasih setia Tuhan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia” (Mzm. 103:15-17).
Kita akan bertambah tua dan dunia sekitar kita terus berubah, tetapi tidak demikian dengan kasih Allah. Dia selalu dapat dipercaya untuk memelihara setiap orang yang berpaling kepada-Nya. —James Banks
Bapa yang setia, terima kasih untuk kasih-Mu yang tak pernah berubah! Mampukan kami untuk mengasihi-Mu dan dengan setia melayani-Mu hari ini.
Dalam dunia yang selalu berubah, kita selalu dapat mengandalkan Allah yang tak pernah berubah.

Thursday, September 6, 2018

Mengupayakan Diri

Yosafat menjadi takut, lalu mengambil keputusan untuk mencari Tuhan. Ia menyerukan kepada seluruh Yehuda supaya berpuasa. —2 Tawarikh 20:3
Mengupayakan Diri
Para binaragawan yang berlomba dalam kompetisi akan menempa diri mereka dalam siklus pelatihan yang ketat. Pada bulan-bulan awal, mereka mengupayakan diri untuk memperbesar otot dan membangun kekuatan. Ketika kompetisi semakin mendekat, fokus mereka beralih pada pemangkasan lemak yang menimbun otot. Pada hari-hari terakhir menjelang kompetisi, mereka minum air lebih sedikit dari biasanya sehingga urat-urat otot mereka terlihat lebih jelas. Karena berkurangnya asupan nutrisi, para binaragawan itu sebenarnya dalam kondisi terlemah mereka di hari perlombaan, meskipun tubuh mereka terlihat kuat.
Dalam 2 Tawarikh 20, kita membaca suatu realitas yang berlawanan, yakni mengakui kelemahan untuk mengalami kekuatan Allah. Orang memberitahukan kepada Raja Yosafat, “Suatu laskar yang besar datang . . . menyerang tuanku.” Lalu “ia menyerukan kepada seluruh Yehuda supaya berpuasa” (ay.3). Raja bersama semua orang Yehuda berhenti makan dan meminta pertolongan kepada Allah. Setelah akhirnya Yosafat mengumpulkan pasukannya, ia menempatkan orang-orang yang menyanyikan nyanyian pujian kepada Allah di depan pasukan bersenjatanya (ay.21). Pada saat mereka mulai bernyanyi, “Tuhan mengadakan kekacauan di tengah-tengah tentara musuh yang sedang menyerang” (ay.22 bis).
Keputusan Yosafat menunjukkan kedalaman imannya kepada Allah. Dengan sadar, ia memilih untuk tidak mengandalkan kemampuannya sendiri dan kekuatan pasukannya. Ia memilih untuk bersandar kepada Allah. Daripada berupaya menghadapi segala pencobaan dengan mengandalkan diri sendiri, mari berpaling kepada Allah dan mengizinkan Dia menjadi kekuatan kita. —Kirsten Holmberg
Kita harus menyadari kelemahan kita supaya kita bisa mengalami kekuatan Allah.

Wednesday, September 5, 2018

Membangun Jembatan

Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus. —Galatia 3:28
Membangun Jembatan
Di lingkungan tempat tinggal kami, rumah-rumah dikelilingi oleh tembok beton yang tinggi. Pada sisi atas sebagian besar tembok itu terpasang kawat berduri yang dialiri listrik. Tujuannya? Untuk menangkal pencuri.
Namun, lingkungan kami juga sering mengalami pemadaman listrik. Saat listrik padam, bel di pintu gerbang depan tidak berfungsi. Jika itu terjadi, orang yang mau berkunjung ke lingkungan kami bisa jadi kepanasan di bawah terik matahari atau basah kuyup diguyur hujan di sisi luar tembok. Namun, sekalipun bel itu bekerja dengan baik, yang boleh masuk ke lingkungan kami hanyalah orang-orang tertentu. Tembok yang dimaksudkan untuk kebaikan kami tersebut ternyata juga dapat menjadi tembok diskriminasi—bahkan terhadap pengunjung yang jelas-jelas tidak berniat jahat.
Perempuan Samaria yang Yesus temui di sumur juga mengalami diskriminasi serupa. Pada masa itu, orang Yahudi tidak mau bergaul dengan orang Samaria. Ketika Yesus meminta minum, perempuan itu berkata, “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” (Yoh. 4:9). Setelah perempuan itu mulai terbuka kepada Yesus, ia pun mengalami perubahan yang secara positif mempengaruhi dirinya dan banyak orang di kotanya (ay.39-42). Yesus menjadi jembatan yang merobohkan tembok permusuhan dan perbedaan.
Kecenderungan untuk mendiskriminasi itu nyata, dan kita perlu mengenalinya dalam kehidupan kita. Seperti yang Yesus teladankan kepada kita, kita dapat menjangkau semua orang tanpa memandang suku bangsa, status sosial, atau reputasi mereka. Yesus datang menjadi jembatan yang menghubungkan kita dengan sesama. —Lawrence Darmani
Tuhan, terima kasih Engkau mengajarku untuk tidak mendiskriminasi orang lain. Mampukan aku melihat mereka dengan mata-Mu agar aku memuliakan-Mu.
Yesus telah merobohkan tembok-tembok diskriminasi.

Tuesday, September 4, 2018

Melampaui Bintang-Bintang

Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan. —Mazmur 8:2
Melampaui Bintang-Bintang
Pada tahun 2011, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat yang biasa dikenal dengan NASA merayakan 30 tahun perjalanan penelitian antariksa yang dilakukannya. Dalam tiga dekade itu, pesawat demi pesawat ulang-alik telah membawa lebih dari 355 orang ke luar angkasa dan membantu pembangunan Stasiun Luar Angkasa Internasional. Setelah berhenti mengoperasionalkan lima pesawat ulang-aliknya, NASA kini mengalihkan fokusnya pada eksplorasi luar angkasa jarak jauh.
Manusia telah menginvestasikan sejumlah besar waktu dan uang, dan beberapa astronot bahkan mengorbankan hidup mereka, untuk mempelajari luasnya lingkup alam semesta. Meski demikian, bukti keagungan Tuhan terbentang jauh lebih luas, melampaui apa yang sanggup diperhitungkan oleh manusia.
Ketika mengingat Allah, Perancang dan Penopang alam semesta yang mengetahui nama setiap bintang (Yes. 40:26), kita dapat mengerti alasan pemazmur Daud memuji kebesaran Allah (Mzm. 8:2). Sidik jari Tuhan ada pada “bulan dan bintang-bintang yang [Dia] tempatkan” (ay.4). Sang Pencipta langit dan bumi memang berkuasa atas segalanya, tetapi Dia tetap dekat dengan anak-anak yang dikasihi-Nya. Dia mengingat dan memperhatikan mereka masing-masing dari dekat (ay.5). Dalam kasih-Nya, Allah memberi kita kuasa, tanggung jawab, dan hak yang istimewa untuk memelihara dan mengeksplorasi bumi yang telah dipercayakan-Nya kepada kita (ay.6-9).
Sewaktu kita memperhatikan langit malam yang bertabur bintang, Sang Pencipta mengundang kita untuk mencari-Nya dengan tekun dan dengan segenap hati. Dia mendengar setiap doa dan nyanyian pujian yang keluar dari hati dan bibir kita. —Xochitl Dixon
Ya Pencipta alam semesta yang penuh kasih, terima kasih karena Engkau selalu mengingat kami.
Kebesaran Allah terbukti dalam kedahsyatan-Nya yang mengagumkan dan kedekatan-Nya yang meneduhkan.

Monday, September 3, 2018

Jalan Menuju Pemulihan

[Allah] yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah. —2 Korintus 1:4
Jalan Menuju Pemulihan
Adakalanya perjalanan hidup kita terasa begitu berat, sampai-sampai kita merasa kewalahan dan seolah-olah diliputi oleh kegelapan yang tak berujung. Suatu pagi, ketika keluarga kami mengalami masa-masa sulit, istri saya menerima inspirasi baru lewat saat teduhnya. Ia berkata, “Aku rasa Allah ingin agar di masa-masa sukacita kita bisa belajar dari pengalaman yang kita terima di masa-masa kelam ini.
Paulus mengajukan pemikiran yang sama kepada jemaat di Korintus (2Kor. 1), setelah menerangkan kesulitan besar yang ia dan rekan-rekannya alami di Asia. Paulus ingin jemaat Korintus memahami bagaimana Allah bisa memakai momen terkelam yang mereka alami. Ia berkata bahwa kita telah dihiburkan sehingga kita dimampukan untuk menghibur orang lain (ay.4). Sepanjang pencobaan yang dialami Paulus dan rekan-rekannya, mereka menerima dari Allah hikmat yang dapat mereka pakai untuk menghibur dan menasihati jemaat Korintus di saat mereka menghadapi kesulitan yang serupa. Allah juga akan melakukan hal yang sama bagi kita, apabila kita bersedia mendengarkan-Nya. Dia akan memakai pencobaan kita dan mengajari bagaimana kita dapat memakai hikmah yang kita terima untuk melayani sesama.
Apakah kamu sedang berada dalam kekelaman? Kiranya perkataan dan pengalaman Paulus menguatkanmu. Percayalah bahwa Allah sedang mengarahkan langkahmu dan Dia juga mengukir kebenaran-Nya pada hatimu sehingga kamu dapat membagikannya kepada orang lain yang sedang menghadapi kesulitan yang serupa. Kamu pernah mengalaminya, dan kamu tahu jalan menuju pemulihan. —Randy Kilgore
Bapa, tolonglah orang-orang yang sedang terluka hari ini agar mereka melihat dan menyadari kehadiran-Mu yang penuh kasih dalam kekelaman yang mereka jalani.
Di masa-masa sukacita, jangan lupakan hikmat yang kamu terima di masa-masa kelam.

Sunday, September 2, 2018

Kekuatan bagi Perjalananmu

Engkau memberi aku kekuatan seperti kaki rusa, kakiku Kaukokohkan. Engkau membimbing aku supaya aman waktu berjalan di pegunungan. —Habakuk 3:19 BIS
Kekuatan bagi Perjalananmu
Hinds’ Feet on High Places (Sekuat Kaki Rusa di Pegunungan) adalah kisah alegori klasik mengenai hidup orang Kristen yang didasarkan pada Habakuk 3:19. Kisah itu mengangkat tokoh bernama Much-Afraid (Si Penakut) yang melakukan perjalanan bersama Sang Gembala. Namun, Much-Afraid begitu takut hingga ia meminta Sang Gembala menggendongnya.
Sang Gembala menjawab dengan lembut, “Aku bisa saja menggendongmu sampai ke puncak bukit daripada membiarkanmu mendakinya sendiri. Namun, bila itu kulakukan, kamu takkan pernah bisa membuat kakimu sekuat kaki rusa, dan menjadi pendampingku dan mengikutiku ke mana pun aku pergi.”
Much-Afraid menggemakan pertanyaan Nabi Habakuk di Perjanjian Lama (dan sejujurnya, pertanyaan saya juga): Mengapa aku harus menderita? Mengapa hidupku sulit?
Habakuk tinggal di Yehuda pada akhir abad ke-7 SM sebelum bangsa Israel dibawa ke pembuangan. Sang nabi hidup dalam masyarakat yang mengabaikan keadilan sosial dan dilumpuhkan oleh ketakutan atas serbuan orang Kasdim (Hab. 1:2-11). Ia meminta Tuhan untuk campur tangan dan menghapuskan penderitaan (1:13). Allah menjawab bahwa Dia akan bertindak adil, tetapi sesuai waktu-Nya (2:3).
Dengan iman, Habakuk memilih untuk percaya kepada Tuhan. Sekalipun penderitaan tidak juga berakhir, sang nabi percaya bahwa Allah akan senantiasa menjadi kekuatannya.
Kita juga mendapat penghiburan dengan meyakini bahwa Tuhanlah kekuatan yang menolong kita bertahan di tengah penderitaan. Dia sendiri juga akan memakai masa-masa hidup kita yang sulit untuk memperdalam persekutuan kita dengan Kristus. —Lisa Samra
Tuhan, terkadang rasanya penderitaanku terlalu berat untuk kutanggung. Tolong aku untuk mempercayai-Mu dan terus berjalan bersama-Mu menyusuri kehidupan ini.
Kita dapat mempercayai Tuhan sebagai kekuatan kita di masa-masa sulit.

Saturday, September 1, 2018

Hati Sang Petugas Polisi

Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga. —Matius 18:10
Hati Sang Petugas Polisi
Saat petugas polisi Vic Miglio kembali ke kantornya, ia langsung duduk dan menyandarkan diri ke dinding karena keletihan. Sebuah kasus kekerasan dalam rumah tangga telah menghabiskan sebagian waktunya hari itu. Peristiwa tersebut membuat seorang pria ditahan, seorang anak perempuan dilarikan ke rumah sakit, dan seorang ibu terguncang. Rasanya, kasus tersebut akan menggayuti pikiran si polisi muda itu untuk waktu yang lama.
“Kamu sudah berbuat yang terbaik, Vic,” atasannya mencoba bersimpati. Namun, kata-kata itu tidak menolong. Ada polisi yang bisa meninggalkan pekerjaan mereka di kantor, tetapi tidak bagi Vic Miglio. Hatinya begitu terbebani oleh kasus-kasus sulit seperti ini.
Hati Miglio mencerminkan belas kasihan Yesus. Murid-murid Yesus pernah datang kepada-Nya dan bertanya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?” (Mat. 18:1). Yesus memanggil seorang anak kecil, lalu berkata kepada murid-murid-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (ay.3). Kemudian Dia memberikan peringatan keras kepada siapa saja yang mencoba untuk menyesatkan anak-anak (ay.6). Anak-anak begitu istimewa bagi Yesus hingga Dia mengatakan, “Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga” (ay.10).
Alangkah bahagianya mengetahui bahwa kasih Yesus bagi anak-anak juga berkaitan dengan kasih-Nya bagi kita semua! Karena itulah, Dia mengundang kita, melalui iman seperti anak-anak, untuk menjadi anak-anak-Nya. —Tim Gustafson
Tuhan, ingatkan kami untuk mengasihi anak-anak seperti Engkau mengasihi mereka, bahkan datang kepada-Mu dengan iman yang percaya seperti anak-anak.
Keluarga di bumi bisa mengecewakan kita, tetapi tidak dengan Bapa kita di surga.
 

Total Pageviews

Translate