Pages - Menu

Sunday, June 30, 2019

Dengan Kacamata yang Baru

Apa yang tidak nampak dari pada [Allah], yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan. —Roma 1:20
Dengan Kacamata yang Baru

“Pasti luar biasa memandangi pohon dan bisa melihat setiap helai daunnya dengan jelas, bukan sekadar sekumpulan warna hijau yang kabur!” kata ayah saya. Benar sekali yang beliau katakan. Waktu itu saya berumur delapan belas tahun dan tidak terlalu senang menggunakan kacamata, tetapi benda itu mengubah cara pandang saya terhadap segala sesuatu dengan membuat semua yang terlihat kabur menjadi indah!
Ketika membaca Alkitab, saya memandang sejumlah kitab tertentu seperti melihat tanpa memakai kacamata. Tampaknya tidak banyak yang bisa dilihat. Namun, mencermati detail-detail dari bagian Kitab Suci dapat menyingkapkan keindahan dari sesuatu yang tadinya terlihat membosankan.
Itulah yang terjadi ketika saya membaca kitab Keluaran. Petunjuk yang Allah berikan untuk membangun Kemah Suci—tempat kediaman sementara Allah di antara kaum Israel—mungkin tampak seperti detail membosankan yang kabur. Namun, saya berhenti sejenak di akhir pasal 25 saat Allah memberikan arahan mengenai kandil. Kandil itu harus ditempa dari “emas murni”, termasuk kakinya, batangnya, dan kelopaknya—dengan tombol dan kembangnya (ay.31). Kelopaknya harus “berupa bunga badam” (ay.34).
Bunga badam sangatlah indah, dan Allah memasukkan keindahan alam seperti itu ke dalam Kemah Suci-Nya!
Rasul Paulus menuliskan, “apa yang tidak nampak dari pada [Allah], yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya” dapat terlihat dan dimengerti lewat ciptaan-Nya (Rm. 1:20). Untuk melihat keindahan Allah, terkadang kita harus memandang karya ciptaan-Nya, dan bagian-bagian Alkitab yang kelihatannya tidak menarik, dengan kacamata yang baru. —Julie Schwab


WAWASAN
Dalam bacaan hari ini, sepuluh ayat secara khusus membahas tentang pembuatan kaki dian untuk Kemah Suci. Kaki dian hanya salah satu dari perabot dalam kemah tempat Allah akan tinggal di antara umat-Nya. Perabotan lainnya meliputi tabut perjanjian (Keluaran 25:10-22), meja (ay.23-30), mezbah korban bakaran (27:1-8), mezbah pembakaran ukupan (30:1-10), dan bejana tembaga (ay.17-21). Di samping itu, banyak barang lainnya dideskripsikan secara khusus untuk digunakan dalam penyembahan Israel: kemah itu sendiri (ukuran dan bahan-bahan); minyak untuk kaki dian; campuran ukupan; baju efod untuk imam, tutup dada, dan pakaian-pakaian lainnya. Masing-masing memiliki tujuan khusus dalam kehidupan ibadah orang Israel. —J.R. Hudberg


Bagaimana kamu dapat melihat Kitab Suci dengan cara yang baru untuk melihat keindahan Allah di dalamnya? Bagaimana keindahan ciptaan-Nya menarikmu semakin dekat kepada-Nya?

Saturday, June 29, 2019

Ketika Hiu Tidak Menggigit

Orang yang kenyang menginjak-injak madu. —Amsal 27:7
Ketika Hiu Tidak Menggigit
Anak-anak saya sangat gembira, sementara saya merasa gelisah. Saat liburan, kami mengunjungi sebuah akuarium yang memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk membelai hiu-hiu kecil yang dipelihara dalam kolam khusus. Saat saya bertanya kepada petugas apakah hiu-hiu itu pernah menggigit jari pengunjung, ia menjelaskan bahwa ikan-ikan itu baru saja diberi makan dan sudah diberi makanan ekstra. Hewan-hewan itu tidak akan menggigit karena tidak merasa lapar.
Pelajaran yang saya dapat tentang membelai hiu ternyata sesuai dengan perkataan dalam kitab Amsal: “Orang yang kenyang menginjak-injak madu, tetapi bagi orang yang lapar segala yang pahit dirasakan manis” (Ams. 27:7). Rasa lapar—kekosongan yang dirasakan dalam batin—dapat melemahkan ketajaman kita dalam mengambil keputusan. Rasa lapar mendorong kita untuk mencari kepuasan diri dengan apa pun yang dapat memuaskan kita, sekalipun hal itu membawa kerugian bagi orang lain.
Namun, Allah menghendaki hidup kita tidak dikuasai oleh hasrat kita. Dia rindu kita dipenuhi oleh kasih Kristus supaya apa pun yang kita lakukan bersumber dari kedamaian dan stabilitas yang Dia sediakan. Kesadaran terus-menerus bahwa kita dikasihi tanpa syarat itulah yang memberikan kita kepercayaan diri. Kita pun dimampukan untuk menyaring hal-hal yang “baik” dalam kehidupan ini—seperti pencapaian, harta benda, dan hubungan dengan sesama.
Hanya hubungan dengan Yesus yang dapat memberikan kepuasan sejati. Kiranya kita memegang teguh kasih-Nya yang ajaib bagi kita, sehingga kita senantiasa “dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah” (ef. 3:19) demi kebaikan kita—dan orang lain juga. —Jennifer Benson Schuldt
WAWASAN
Amsal banyak berbicara tentang hubungan antar manusia (10:12; 16:28; 17:9-10; 18:24) serta pentingnya memiliki teman-teman yang takut akan Allah (12:26; 13:20;17:17; 22:24-25; 24:1-2). Dalam Amsal 27, Salomo memuji nilai seorang sahabat sejati (ay.5-6, 9-10, 17). Kawan yang bisa dipercaya adalah orang-orang yang masuk dalam kehidupan Anda dan bisa menegur serta mengoreksi dengan kasih; mereka tidak takut ‘mengecewakan’ Anda untuk sementara (dengan teguran) demi melindungi Anda dari bahaya yang fatal (ay.5-6). Nasihat mereka yang tulus dan jujur terasa seperti aroma minyak dan wangi-wangian yang menyenangkan (ay.9). Teman sejati adalah mereka yang tetap dekat dan selalu ada saat Anda membutuhkannya, menyediakan penghiburan dan dukungan dalam masa-masa kesukaran (ay.10). Teman sejati menjadikan Anda orang yang lebih baik (ay.17). —K.T. Sim
Apa yang paling kamu kejar dalam hidup ini? Mengapa Yesus sanggup memenuhimu dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh yang lain?
Mereka yang menerima Yesus sebagai Roti Hidup tidak akan lapar lagi.

Friday, June 28, 2019

Karya Pengalihan Allah

Mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh Yesus tidak mengizinkan mereka. —Kisah Para Rasul 16:7
Karya Pengalihan Allah
Sulit rasanya menerima jawaban “tidak” atau “belum”, terlebih ketika kita merasa Allah telah membukakan pintu pelayanan bagi kita. Di awal masa pelayanan saya, ada dua kesempatan yang saya pikir sesuai dengan karunia dan kemampuan saya, tetapi ternyata tertutup bagi saya. Setelah kekecewaan tersebut, timbul panggilan pelayanan lain, dan saya pun dipilih untuk mengisinya. Di sanalah saya menjalani tiga belas tahun pelayanan penggembalaan yang memberkati banyak jiwa.
Dalam Kisah Para Rasul 16, langkah Paulus dan rekan-rekannya dua kali dialihkan oleh Allah. Pertama, “Roh Kudus mencegah mereka untuk memberitakan Injil di Asia” (ay.6). Kemudian, “setibanya di Misia mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh Yesus tidak mengizinkan mereka” (ay.7). Tanpa sepengetahuan mereka, Allah mempunyai rencana lain yang tepat bagi pekerjaan dan para hamba-Nya. Kata “tidak” yang diberikan Allah atas rencana sebelumnya menempatkan para hamba-Nya dalam kesiapan untuk mendengarkan dan mempercayai penuh pimpinan Allah (ay.9-10).
Adakah dari kita yang tidak bersedih atas sesuatu yang awalnya kita anggap sebagai kehilangan yang menyakitkan? Kita merasa sangat kecewa ketika tidak mendapatkan pekerjaan yang didambakan, ketika kesempatan untuk melayani tidak terwujud, atau ketika gagal pindah ke suatu tempat yang kita tuju. Kekecewaan tersebut terasa sangat berat, tetapi seiring berjalannya waktu, kita pun sering tersadar bahwa pengalihan tersebut merupakan karya kasih Allah yang dipakai-Nya untuk membawa kita ke tempat yang Dia inginkan. Untuk itu kita bersyukur kepada-Nya. —Arthur Jackson
WAWASAN
Dalam perjalanan misinya yang kedua (Kisah Para Rasul 16:1-18:22), Paulus ingin memberitakan Injil ke daerah-daerah Asia Kecil (sekarang Turki Barat) dan Bitinia (sekarang Turki Utara); tetapi Tuhan mengarahkan Paulus ke arah Barat Laut ke Troas. Melalui penglihatan tentang seorang Makedonia, Allah memanggil Paulus untuk membawa Injil masuk ke Eropa (16:8-9). Identitas “seorang Makedonia” ini banyak diperdebatkan.
Penulis Kisah Para Rasul adalah Lukas, dan karena pemakaian kata “mereka” dalam ayat 8 berubah menjadi “kami” dalam ayat 10, maka diperkirakan bahwa sang penulis sendiri sekarang ikut dalam perjalanan ini. Lukas adalah seorang dokter dari bangsa non-Yahudi (Kolose 4:14), ia menjadi rekan seperjalanan dan penolong Paulus (Kisah Para Rasul 16:10-40; 20:4-17; Filemon 1:24). Ia juga merawat Paulus pada hari-hari terakhir hidupnya di penjara (2 Timotius 4:11). —K.T. Sim
Kehilangan apa yang awalnya kamu sesali, tetapi kemudian kamu syukuri karena tidak mendapatkannya? Bagaimana situasi itu menguatkan imanmu kepada Tuhan?
Ya Bapa, aku memuji-Mu karena dalam hikmat-Mu Engkau tahu rancangan yang terbaik untuk hidupku. Terima kasih atas perlindungan-Mu dalam setiap pengalihan yang Kau adakan.

Thursday, June 27, 2019

Melepaskan Ikatan

Tetapi Esau berlari mendapatkan dia, didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-tangisanlah mereka. —Kejadian 33:4
Melepaskan Ikatan
Sebuah organisasi Kristen mempunyai misi untuk mendorong terciptanya pemulihan yang dialami lewat pengampunan. Salah satu aktivitas mereka adalah peragaan yang menampilkan seseorang yang dirugikan terikat pada orang yang merugikannya dalam posisi saling memunggungi. Hanya orang yang dirugikan yang bisa melepaskan ikatan tali itu. Apa pun yang ia lakukan, orang yang bersalah terhadapnya akan tetap melekat pada punggungnya. Tanpa melepaskan tali—tanda dari pengampunan—ia tidak akan bebas.
Memberikan pengampunan kepada seseorang yang datang kepada kita dalam penyesalan atas kesalahan mereka menjadi langkah awal yang membebaskan kita dan juga mereka dari kepahitan dan kepedihan yang terus membebani kita. Dalam Kitab Kejadian, kita melihat dua kakak-beradik yang terpisahkan selama 20 tahun setelah Yakub mencuri hak kesulungan Esau. Setelah sekian lama, Allah menyuruh Yakub kembali ke negerinya (Kej. 31:3). Yakub taat, tetapi karena takut, ia terlebih dahulu mengirimkan kawanan ternak untuk Esau sebagai hadiah (32:13-15). Ketika mereka bertemu, Yakub merendahkan diri dengan bersujud di kaki Esau sebanyak tujuh kali (33:3). Bayangkan, betapa terkejutnya Yakub ketika ia melihat Esau berlari mendapatkan dirinya dan memeluknya, lalu mereka berdua bertangis-tangisan karena hubungan mereka yang telah dipulihkan (33:4). Yakub tidak lagi terbelenggu oleh dosa yang pernah dilakukannya terhadap saudaranya.
Apakah kamu merasa terbelenggu karena menolak untuk mengampuni, terbebani oleh amarah, rasa takut dan malu? Ketahuilah bahwa Allah melalui Anak-Nya dan Roh Kudus sanggup membebaskanmu jika kamu meminta pertolongan-Nya. Dia akan memampukan kamu melepaskan ikatan dan membebaskanmu. —Amy Boucher Pye
WAWASAN
Menurut kesaksian Yakub sendiri, Tuhan telah bermurah hati kepadanya dengan mengaruniakan anak-anak dan harta benda (Kejadian 33:5, 11). Namun, meski diberkati dengan keluarga dan harta duniawi, hidup Yakub belum lengkap tanpa membereskan perseteruannya dengan kakaknya. —Arthur Jackson
Menurut kamu, bagaimana perasaan Esau melihat Yakub sujud di hadapannya? Sanggupkah kamu sendiri merendahkan diri di hadapan orang yang pernah kamu sakiti? Siapa yang perlu kamu bebaskan lewat pengampunan yang kamu berikan?

Wednesday, June 26, 2019

Eulogi Kamu

Karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya. —Pengkhotbah 7:2
Eulogi Kamu
Hati saya sangat terkesan oleh pemakaman seorang wanita yang teguh beriman kepada Allah. Kehidupannya tidaklah spektakuler. Ia tidak banyak dikenal di luar lingkungan gereja, tetangga, dan teman-temannya. Namun, ia mengasihi Yesus, ketujuh anaknya, dan kedua puluh lima cucunya. Ia penuh kegembiraan, melayani dengan murah hati, dan masih kuat bermain softball.
Kitab Pengkhotbah berkata, “Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta” (7:2). “Orang berhikmat senang berada di rumah duka” karena di situlah kita mempelajari hal-hal yang terpenting (7:4). Kolumnis New York Times David Brooks menyebutkan adanya dua macam kebajikan: yang terlihat mengesankan dalam daftar riwayat hidup dan yang kamu ingin orang katakan pada pemakamanmu nanti. Kadangkala, kedua hal itu saling melengkapi, walaupun sering kali keduanya seperti bertolak belakang. Jika kita ragu, pilihlah selalu kebajikan yang kedua, yang disebut Brooks sebagai kebajikan eulogi (ucapan yang memuji atau menghormati seseorang yang sudah meninggal dunia).
Mendiang tidak memiliki daftar riwayat hidup, tetapi anak-anaknya bersaksi bahwa “ia menghayati Amsal 31” dan memenuhi gambaran wanita saleh dalam pasal itu. Ia menginspirasi mereka untuk mengasihi Yesus dan mempedulikan orang lain. Seperti Paulus berkata, “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1 Kor. 11:1), mereka menantang kami untuk meneladani kehidupan ibu mereka sama seperti ia telah meneladani Yesus.
Apakah yang akan dikatakan orang pada pemakamanmu? Apa yang kamu ingin mereka katakan? Belumlah terlambat untuk mengembangkan kebajikan yang akan dikenang orang. Berserahlah kepada Yesus. Keselamatan dari-Nya membebaskan kita untuk menjalani hidup mengutamakan hal-hal yang terpenting. —Mike Wittmer
WAWASAN
Dalam Pengkhotbah 7, Salomo mengatakan beberapa hal yang cukup aneh, asing, dan tidak lazim: Kematian lebih baik daripada kelahiran (ay.1). Hadiri pemakaman, bukan pesta (ay.2). Adalah bijak untuk memikirkan tentang kematian (ay.4). Dalam banyak kebudayaan, membicarakan atau bahkan memikirkan tentang kematian adalah hal yang tabu. Namun, setiap orang pasti menutup usia, karena itu Salomo menasihati kita untuk menjalani hidup dengan mengingat kematian kita kelak (ay.2), merenungkan betapa singkatnya hidup ini ketimbang mengejar kesenangan atau kesia-siaan, “karena kesedihan mempunyai pengaruh yang melembutkan hati” (ay.3 FAYH). Dengan memikirkan singkatnya hidup serta kematian yang nyata dan tak terhindarkan, kita didorong untuk memeriksa cara hidup kita dan bagaimana kita akan menghabiskan waktu-waktu yang tersisa. “Orang arif selalu memikirkan kematian” (ay.4 BIS) adalah nasihat yang baik untuk mengalihkan pandangan kita dari hal yang fana kepada yang abadi. —K.T. Sim
Apakah kamu menjalani kehidupan yang akan mempengaruhi riwayat hidup atau eulogimu? Apa pengaruhnya jika kamu hidup sehari-hari dengan kebajikan eulogi?
Bapa, berikanku keberanian untuk hidup mengutamakan yang terpenting.

Tuesday, June 25, 2019

Membakar yang Tak Berguna

Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah. —Mazmur 51:12
Membakar yang Tak Berguna
Pada Februari 1497, seorang biarawan bernama Girolama Savonarola menyalakan api unggun. Sejak berbulan-bulan sebelumnya, Savonarola dan para pengikutnya telah mengumpulkan benda-benda yang mereka anggap bisa menarik orang jatuh ke dalam dosa atau melalaikan kewajiban agama mereka—termasuk karya seni, kosmetik, alat musik, dan pakaian. Di hari yang telah ditentukan, ribuan barang “sia-sia” dikumpulkan di alun-alun kota Firenze, Italia, dan dibakar dengan api. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Api Unggun Pembakar Kesia-siaan.
Tampaknya, inspirasi untuk melakukan tindakan ekstrem itu didapat Savonarola dari sejumlah pernyataan mengejutkan dari Khotbah di Bukit yang disampaikan Yesus. “Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu,” kata Yesus, “Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu” (Mat. 5:29-30). Namun, jika kita menafsirkan kata-kata Yesus itu secara harafiah, kita justru kehilangan makna sejati dari pesan tersebut. Seluruh khotbah Yesus mengajarkan kita untuk menyelam lebih dalam, bukan hanya di permukaan, agar kita lebih memperhatikan keadaan hati kita sendiri daripada menyalahkan gangguan dan godaan luar sebagai penyebab perilaku kita yang berdosa.
Api Unggun Pembakar Kesia-siaan memang telah menjadi pertunjukan yang dramatis, tetapi kecil kemungkinan hati mereka yang terlibat dalam peristiwa itu mengalami perubahan. Hanya Allah yang sanggup mengubah hati manusia. Itulah sebabnya pemazmur berdoa, “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah” (Mzm. 51:12). Hati kitalah yang berarti bagi Allah. —Remi Oyedele
WAWASAN
Dalam pemikiran kuno, “hati” dianggap sebagai pusat dari diri manusia—sumber segala pikiran, perkataan, dan perbuatan. Dalam Matius 5, Yesus menekankan bahwa hidup dalam Kerajaan Allah membutuhkan perubahan radikal dan pembentukan hati yang terus-menerus sehingga kita menanamkan cara hidup yang sangat berbeda—hidup yang menarik dan berguna bagi dunia (ay.14-16). —Monica Brands
Perilaku atau gangguan apa saja yang termasuk dalam daftar “kesia-siaan” kamu? Bagaimana cara kamu mengendalikannya?
Ya Tuhan, mampukan aku menyerahkan hatiku kepada-Mu dan menyerahkan kesia-siaan hidupku kepada api Roh Kudus yang menyucikan.

Monday, June 24, 2019

Bermain dengan Sukacita

Buah Roh ialah: . . . sukacita. —Galatia 5:22
Bermain dengan Sukacita
Salah seorang putra kami, Brian, adalah pelatih bola basket di sebuah SMA. Suatu kali, saat timnya sedang berjuang dalam Turnamen Bola Basket Negara Bagian Washington, orang-orang yang mendukung mereka mengajukan pertanyaan, “Apakah kalian akan menjuarai turnamen tahun ini?” Pertanyaan itu membuat para pemain maupun pelatih merasa sangat terbebani, maka Brian kemudian menyemangati timnya dengan semboyan: “Bermain dengan sukacita!”
Saya teringat pada kata-kata perpisahan dari Rasul Paulus kepada para penatua di Efesus dalam salah satu terjemahan Alkitab: “sehingga aku dapat mengakhiri perlombaanku dengan sukacita” (Kis. 20:24 MILT). Paulus bertujuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan Tuhan Yesus kepadanya. Saya menjadikan kata-kata tersebut sebagai semboyan dan doa saya: “Kiranya aku dapat menjalani dan mengakhiri perlombaanku dengan sukacita.” Itu seperti yang dikatakan Brian, “Bermain dengan sukacita!” Puji syukur, tim yang dipimpin Brian akhirnya berhasil memenangi kejuaraan tahun itu.
Ada saja yang bisa membuat kita bersungut-sungut: kabar yang mencemaskan, tekanan hidup sehari-hari, atau masalah kesehatan. Meski demikian, Allah dapat memberi kita sukacita yang melampaui segala keadaan tersebut apabila kita memohon kepada-Nya. Kita dapat memiliki apa yang disebut Yesus, “sukacita-Ku” (Yoh. 15:11).
Sukacita adalah buah dari Roh Yesus (Gal. 5:22). Karena itu kita harus ingat setiap pagi untuk memohon kepada-Nya agar menolong kita: “Mampukan aku hidup bersukacita!” Penulis Richard Foster berkata, “Dengan berdoa, kita berubah. Ini anugerah yang luar biasa. Betapa baiknya Allah karena Dia menyediakan jalan bagi kita untuk hidup dipenuhi dengan . . . sukacita.” —David H. Roper
WAWASAN
Saat membaca Alkitab, penting bagi kita untuk membedakan apakah sang penulis sedang menuturkan apa yang sudah dilakukan Allah atau memberikan nasihat tentang apa yang harus kita perbuat. Dalam Galatia 5:22-23, rasul Paulus menyebutkan buah Roh, yang merupakan hasil dari pekerjaan Roh dalam hidup kita, bukan usaha kita. Namun, dalam ayat 25-26 ia mengatakan agar kita hidup “dipimpin oleh Roh.” Kata bahasa Yunani untuk “dipimpin” atau “berjalan menurut” (TL) memiliki makna “berbaris menurut pangkat militer; menata diri sesuai dengan kebajikan dan kesalehan; berjalan teratur.” Yang digambarkan di sini adalah pertumbuhan rohani yang berasal dari kerja tim. Buah yang tumbuh adalah tanggung jawab Roh Kudus, tetapi tugas kita adalah melihat apa yang sedang Roh Kudus kerjakan dalam hidup kita dan bersedia “dipimpin” oleh-Nya. Kita adalah peserta dalam pertumbuhan rohani kita, tetapi tidak bertanggung jawab sendirian untuk itu. —J.R. Hudberg
Apa yang menyebabkan kamu putus asa? Apa yang dapat memberi kamu sukacita?
Aku mengarahkan pandanganku hanya kepada-Mu, ya Allah. Aku sungguh bersyukur dapat mengandalkan kesetiaan-Mu. Bawalah aku ke dalam sukacita-Mu.

Sunday, June 23, 2019

Tuhan Bersukacita

[Allah] bersorak-sorak karena engkau dengan sorak-sorai. —Zefanya 3:17
Tuhan Bersukacita
Belum lama ini, Nenek mengirimi saya sebuah album tua penuh dengan foto-foto lama, dan ketika saya membolak-baliknya, ada satu foto yang menarik perhatian saya. Foto itu menampilkan saya saat berusia dua tahun, duduk di depan perapian di salah satu sisi. Di sisi lain, tampak Ayah yang merangkul pundak Ibu. Keduanya menatap saya dengan ekspresi penuh cinta dan kegembiraan.
Saya menempel foto itu di meja rias supaya bisa melihatnya setiap pagi. Saya diingatkan akan kasih sayang orangtua kepada saya. Namun, kenyataannya kasih sayang orangtua yang baik sekalipun tetap tidak sempurna. Saya menyimpan foto tersebut untuk mengingatkan saya bahwa meskipun cinta kasih manusia kadang-kadang gagal, kasih Allah tidak pernah gagal—dan menurut Kitab Suci, Allah melihat saya dengan sukacita seperti orangtua melihat saya dalam foto tadi.
Nabi Zefanya menggambarkan kasih Allah dengan cara yang membuat saya kagum. Ia menggambarkan Allah bersukacita karena umat-Nya dengan sorak-sorai. Padahal, umat Tuhan belum layak mendapatkan kasih seperti itu. Mereka gagal mematuhi-Nya atau tidak memperlakukan sesamanya dengan belas kasihan. Namun, Zefanya berjanji bahwa pada akhirnya, kasih Allah akan mengatasi segala kegagalan mereka. Allah akan menyingkirkan hukuman mereka (Zef. 3:15), dan Dia akan bersukacita karena mereka (ay.17). Dia akan mengumpulkan umat-Nya, membawa mereka pulang, dan memulihkan mereka (ay.20).
Itulah kasih yang patut kita renungkan setiap pagi. —Amy Peterson
WAWASAN
Kitab Zefanya ditutup dengan pengharapan yang besar, tetapi sebagian besar isinya memperingatkan tentang penghakiman yang berat. Mengapa? Sebab Yerusalem “makin giat menjadikan busuk perbuatan mereka” (Zefanya 3:7) meskipun Allah berusaha meluruskan umat-Nya. Namun, Allah menjanjikan kesatuan yang penuh damai. “Aku akan memberikan bibir lain kepada bangsa-bangsa, yakni bibir yang bersih, supaya sekaliannya mereka memanggil nama TUHAN, beribadah kepada-Nya dengan bahu-membahu,” kata-Nya melalui sang nabi (ay.9). Penekanan kata “bibir” sangatlah menarik; Allah memilih dosa yang spesifik yakni berbohong dan menyombongkan diri—dosa-dosa yang melibatkan perkataan. Cara yang diambil-Nya untuk mempertobatkan umat akan berhasil. “Di antara [Israel] akan Kubiarkan hidup suatu umat yang rendah hati dan lemah,” kata-Nya. “Mereka tidak akan melakukan kelaliman atau berbicara bohong” (ay.12-13). Penghakiman Allah ini menjadi latar belakang bagi penutup kitab Zefanya yang memberikan penghiburan. —Tim Gustafson
Bagaimana perasaanmu mengetahui bahwa Allah bersorak-sorai karenamu? Bagaimana selama ini kamu mengalami kasih-Nya?
Ya Allah, terima kasih untuk pengampunan dan kasih setia-Mu atas kami.

Saturday, June 22, 2019

Bermain Petak Umpet

Tetapi Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: “Di manakah engkau?” —Kejadian 3:9
Bermain Petak Umpet
Duh, bakal ketahuan tempat persembunyianku,” pikir saya. Saya merasakan jantung berdebar kencang sewaktu mendengar langkah-langkah kaki saudara sepupu saya yang berusia lima tahun berbelok ke ruangan saya. Semakin dekat. Lima langkah lagi. Tiga. Dua. “Ketemu!”
Sebagian dari kita memiliki kenangan indah bermain petak umpet semasa kecil. Namun terkadang dalam kehidupan nyata, rasa takut bakal ketahuan bukanlah perasaan yang menyenangkan. Naluri hati kita lebih condong untuk melarikan diri. Adakalanya kita tidak suka pada apa yang kita lihat.
Sebagai anak-anak yang hidup di dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, kita cenderung memainkan apa yang disebut sebagai “petak umpet dengan Tuhan.” Sesungguhnya, yang kita lakukan hanyalah pura-pura bersembunyi—karena tentulah Tuhan bisa melihat segala jalan pikiran dan pilihan kita yang bobrok. Kita juga tahu itu, tetapi kita bersikap seolah-olah Dia tidak bisa melihatnya.
Meski demikian, Allah terus mencari kita. Dia memanggil kita, “Keluarlah. Aku ingin melihatmu, bahkan bagian-bagian hidupmu yang paling memalukan”—seperti yang Allah katakan dahulu pada saat Dia memanggil manusia pertama yang bersembunyi karena ketakutan: “Di manakah engkau?” (Kej. 3:9). Undangan lembut itu disuarakan lewat pertanyaan yang tajam. Allah seakan berkata, “Keluarlah dari persembunyianmu, anak-Ku, dan jalin kembali hubungan dengan-Ku.”
Mungkin itu tampaknya terlalu berisiko, bahkan tidak masuk akal. Namun, dalam kehangatan kasih Bapa yang aman, siapa pun kita, apa pun keberhasilan atau kegagalan kita, kita sepenuhnya dikenali dan tetap dikasihi oleh-Nya. —Jeff Olson
WAWASAN
Dalam bacaan hari ini, kita melihat bagaimana Iblis menyimpangkan firman Allah. Adam dan Hawa dilarang mendekati satu pohon saja—“pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” (Kejadian 2:16-17)—bukan semua pohon (3:1). “Sekali-kali kamu tidak akan mati” (ay.4) adalah kebohongan yang disengaja (2:17). Hawa juga menambahi perintah Allah dengan berkata, “Jangan kamu makan ataupun raba buah itu” (3:3). Paulus mengatakan bahwa Hawa tertipu oleh kelicikan Iblis (2 Korintus 11:3). Kita harus berjaga-jaga (1 Petrus 5:8) “supaya Iblis jangan beroleh keuntungan atas kita” (2 Korintus 2:11). —K.T. Sim
Bagaimana kamu terhibur oleh kesadaran bahwa Allah tetap merindukan kita datang kepada-Nya sekalipun Dia melihat dan mengetahui semua keburukan kita? Bagaimana kesadaran itu justru memerdekakanmu?
Pribadi yang paling mengerti kita itu mengasihi kita apa adanya.

Friday, June 21, 2019

Mengakhiri Iri Hati

Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri. —Galatia 6:4
Mengakhiri Iri Hati
Seniman Perancis terkenal, Edgar Degas, dikenang di seluruh dunia karena lukisan-lukisan penari baletnya. Namun tidak banyak orang tahu bahwa ternyata ia iri hati kepada rekan seniman dan pelukis andal saingannya, Édouard Manet. Kata Degas tentang Manet, “Setiap hal yang ia lakukan pasti langsung sukses, sementara aku harus bersusah payah, tetapi tetap tidak pernah berhasil.”
Iri hati adalah emosi yang mengherankan—dicatat oleh Rasul Paulus sebagai salah satu sifat terburuk, sama buruknya dengan “rupa-rupa kelaliman, kejahatan, keserakahan dan kebusukan, penuh dengan dengki, pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat dan kefasikan” (Rm. 1:29). Paulus menuliskan iri hati datang dari pemikiran yang rusak—karena orang menyembah berhala daripada menyembah Allah (ay.28).
Penulis Christina Fox mengatakan bahwa iri hati berkembang di antara orang percaya “karena hati kita telah berbalik dari kekasih sejati kita.” Ketika kita merasa iri hati, ia berkata, “kita mengejar kesenangan duniawi yang lebih rendah nilainya daripada melihat kepada Yesus. Intinya, kita lupa milik siapa kita sesungguhnya.”
Syukurlah, iri hati dapat diobati. Dengan berpaling kembali kepada Tuhan. “Serahkanlah dirimu kepada Allah,” tulis Paulus (Rm. 6:13)—terutama pekerjaan dan kehidupanmu. Dalam suratnya yang lain, Paulus menulis, “Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain” (Gal. 6:4).
Bersyukurlah kepada Tuhan atas berkat-berkat-Nya—bukan hanya berkat materi, melainkan juga kasih karunia-Nya yang memerdekakan. Saat kita melihat segala karunia yang Allah berikan bagi kita, kita akan kembali mengalami kepuasan. —Patricia Raybon
WAWASAN
Dalam Roma 6, Paulus menyatakan bahwa sebagai orang percaya, manusia lama kita sudah disalibkan bersama Kristus, dan sekarang kita “mati bagi dosa” serta “hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” (ay.6-7, 11). Kalau begitu, mengapa kita masih berbuat dosa? Memang, kita masih rentan terhadap dosa dan harus berjaga-jaga melawannya, tetapi dosa tak lagi berkuasa atas kita (ay.14). Dengan mati dan bangkit bersama Yesus, orang percaya menerima kerinduan baru untuk hidup bagi Allah dan membuang cara hidup yang lama. Meski hal ini membutuhkan niat dari pihak kita, Roh Kudus yang tinggal dalam kitalah yang memimpin dan mengubahkan sehingga kita semakin serupa dengan Kristus (Yohanes 16:13; 2 Korintus 3:18). —Alyson Kieda
Apa saja talenta, karunia rohani, dan berkat yang telah Allah berikan bagimu, tetapi yang lupa kamu hargai? Ketika memikirkan semua itu, bagaimana perasaan kamu ketika berpaling kembali kepada Allah Sang Pemberi dan mensyukurinya?

Thursday, June 20, 2019

Hadir dalam Badai

Tuhan semesta alam menyertai kita, kota benteng kita ialah Allah Yakub. —Mazmur 46:8
Hadir dalam Badai
Api melahap habis rumah sebuah keluarga yang beranggotakan enam orang jemaat gereja kami. Walaupun ayah dan anak laki-lakinya selamat, sang ayah masih dirawat di rumah sakit ketika istri, ibu, dan dua anaknya yang masih kecil dimakamkan. Sayangnya, peristiwa-peristiwa memilukan hati seperti itu masih terus terjadi, lagi dan lagi. Ketika hal seperti itu terjadi, muncul pula pertanyaan yang terus-menerus ditanyakan manusia: Mengapa hal-hal buruk terjadi kepada orang-orang baik? Kita pun tidak lagi heran saat mendapati bahwa jawaban atas pertanyaan itu tidak selalu memuaskan.
Namun, kebenaran yang dinyatakan oleh pemazmur di Mazmur 46 juga sudah disampaikan, dinyanyikan, dan diyakini berulang kali. “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti” (ay.2). Kondisi-kondisi yang digambarkan di ayat 3-4 merupakan bencana-bencana besar—bumi dan gunung berguncang serta air laut mengamuk. Kita bergidik saat membayangkan berada di tengah badai yang digambarkan dalam mazmur ini. Namun, terkadang kita memang terhisap dalam pusaran kesulitan—diguncang oleh penyakit mematikan, babak belur dihajar krisis keuangan, atau tenggelam dalam rasa duka yang mendalam karena kepergian orang yang dicintai.
Mungkin kita sempat berpikir bahwa masalah yang datang bertubi-tubi menjadi bukti Allah tidak hadir. Namun, kebenaran Alkitab menyanggah pemikiran itu. “Tuhan semesta alam menyertai kita, kota benteng kita ialah Allah Yakub” (ay.8,12). Dia hadir pada saat kita tidak lagi sanggup menanggung beban yang ada, dan penghiburan pun kita terima dengan mempercayai sifat-sifat-Nya, yakni bahwa Dia sungguh baik, penuh kasih, dan dapat dipercaya. —Arthur Jackson
WAWASAN
Mazmur 46 berbicara tentang keamanan dan keteguhan yang disediakan Allah di tengah masa sulit. Bencana alam (ay.3-4) dan konflik peperangan (ay.7-8) akan selalu ada di dunia ini. Gempa, badai, taifun, dan konflik militer telah menyebabkan kehancuran dan kerusakan yang tak terperi. Namun, betapa pun ngerinya, orang yang menjadikan Allah sebagai “tempat perlindungan dan kekuatan” (ay.1) “tidak akan takut” (ay.3). Dasar dari keyakinan ini diutarakan dalam ayat 8 dan 12: “TUHAN semesta alam menyertai kita, kota benteng kita ialah Allah Yakub.” Berdasarkan mazmur ini, Martin Luther sang reformator menulis salah satu himnenya yang paling terkenal: “Allah Bentengku yang Teguh.” Seperti sang pemazmur yang tinggal di dunia yang penuh ketidakpastian dan berbahaya, kita pun diajak untuk berdiam tenang dan mengetahui bahwa Dialah Allah (ay.11). Dengan kepercayaan teguh, kita menghayati kata-kata Luther, “Allah bentengku yang teguh, perisai dan pelindungku.” —K.T. Sim
[referensi: KPPK 387 Allah Bentengku yang Teguh]
Kapan tantangan dalam hidup ini membuat kamu mempertanyakan kehadiran Allah? Apa yang telah menolongmu berbalik dari situasi tersebut?
Bapa, tolonglah aku untuk mempercayai kebenaran firman-Mu di saat aku sulit merasakan pemeliharaan dan kehadiran-Mu.

Wednesday, June 19, 2019

Dalam Kelemahan Kita

Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita. —Roma 8:26
Dalam Kelemahan Kita
Anne Sheafe Miller meninggal dunia pada tahun 1999 dalam usia 90 tahun, tetapi ia pernah hampir kehilangan nyawanya pada tahun 1942 setelah menderita septicemia (keracunan darah) dari peristiwa keguguran yang dialaminya. Pada saat itu semua perawatan yang diberikan tidak membuahkan hasil. Saat salah seorang pasien di rumah sakit yang merawat Anne bercerita tentang seorang ilmuwan kenalannya yang sedang meneliti obat baru yang sangat manjur, dokter yang menangani Anne mendesak pemerintah untuk memberikan sedikit dari obat baru itu kepada Anne. Hanya dalam satu hari, suhu tubuhnya kembali normal! Obat bernama penisilin itu telah menyelamatkan nyawa Anne.
Sejak kejatuhannya ke dalam dosa, seluruh umat manusia menjadi bobrok secara rohani karena dosa (Rm. 5:12). Hanya kematian dan kebangkitan Yesus serta kuasa Roh Kudus yang sanggup memulihkan kita (8:1-2). Roh Kudus memampukan kita menikmati kehidupan yang berlimpah di dunia dan untuk selamanya di dalam hadirat Allah (ay.3-10). “Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu” (ay.11).
Ketika watak dosa mengancam untuk menguras semangat hidupmu, pandanglah sumber keselamatanmu, Yesus Kristus, dan kiranya kamu dikuatkan oleh kuasa Roh-Nya (ay.11-17). “Roh membantu kita dalam kelemahan kita” dan “sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus” (ay.26-27). —Ruth O’Reilly-Smith
WAWASAN
Dalam kekaisaran Romawi abad pertama, surat Paulus kepada jemaat Roma adalah pernyataan publik yang berani dan berbahaya. Ia menulis kepada para pengikut Yesus yang tinggal dalam ibukota kerajaan, menyatakan ketaatan terhadap Kristus melebihi Kaisar (1:7). Paulus menjelaskan bagaimana kebangkitan Anak Allah telah mengalahkan maut (ps.1-5)—suatu kabar yang lebih baik daripada kemenangan militer Roma. Untuk memperoleh kehidupan kekal, ia menawarkan jalan masuk kepada identitas baru dalam Kristus (ps.6), kebebasan dari kegagalan dari hidup berdasarkan Taurat (ps.7), dan satu jalan untuk hidup selamanya dalam Roh dan kasih Allah (ps.8). —Mart DeHaan
Pada bagian apa kamu perlu mengalami Kristus dan kuasa Roh Kudus? Bagaimana kamu bisa lebih peka terhadap kehadiran dan karya Roh Kudus?
Bapa di surga, terima kasih untuk Anak-Mu yang Kau karuniakan dan kuasa Roh Kudus yang memampukanku menikmati kehidupan sejati di dalam-Mu.

Tuesday, June 18, 2019

Menyelamatkan Penjahat

Terpujilah Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego! Ia telah mengutus malaikat-Nya dan melepaskan hamba-hamba-Nya! —Daniel 3:28
Menyelamatkan Penjahat
Para pahlawan dari cerita-cerita komik masih tetap populer sampai sekarang. Di tahun 2017 saja, enam film pahlawan super tercatat meraih pendapatan total lebih dari empat milyar dolar AS. Mengapa orang begitu tertarik pada film-film laga seperti itu?
Salah satunya, mungkin, karena ada bagian-bagian dalam cerita-cerita tersebut yang mirip dengan Kisah Agung Allah yang luar biasa. Di dalamnya ada pahlawan, penjahat, orang-orang yang butuh pertolongan, dan banyak aksi yang seru.
Dalam kisah Allah, Iblis, musuh jiwa kita, adalah penjahat terbesarnya. Namun, banyak penjahat “kecil” lain di sana. Salah satunya adalah Nebukadnezar dalam kitab Daniel. Raja adikuasa pada masanya itu memutuskan untuk menghabisi siapa pun yang tidak menyembah patung raksasanya (Dan. 3:1-6). Ketika ada tiga pejabat Ibrani berani menolaknya (ay.12-18), Allah menyelamatkan mereka secara dramatis dari perapian yang menyala-nyala (ay.24-27).
Kemudian terjadilah yang tidak disangka-sangka—hati si penjahat mulai berubah. Setelah melihat peristiwa menakjubkan itu, Nebukadnezar berkata, “Terpujilah Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego!” (ay.28).
Namun, ia masih mengancam akan membunuh siapa pun yang menghina Allah (ay.29). Rupanya ia belum paham bahwa Allah tidak membutuhkan bantuannya. Kelak, Nebukadnezar akan belajar lebih banyak tentang Allah di pasal 4.
Kita melihat bahwa Nebukadnezar bukan hanya seorang penjahat, melainkan juga seseorang yang sedang berada dalam perjalanan rohani. Dalam kisah tentang karya penebusan Allah, pahlawan kita, Yesus Kristus, datang kepada setiap orang yang membutuhkan pertolongan—termasuk orang-orang jahat di sekitar kita. —Tim Gustafson
WAWASAN
Ada hal menarik dalam Daniel 3, yakni kontrasnya pengakuan terhadap kuasa Allah. Ketika Sadrakh, Mesakh, dan Abednego akan dilemparkan ke dalam perapian yang menyala-nyala, Nebukadnezar tidak percaya bahwa Allah mereka dapat menyelamatkan, ia berkata, “Dewa manakah yang dapat melepaskan kamu dari dalam tanganku?” (ay.15). Namun, ketiganya mendeklarasikan kuasa Allah dan komitmen mereka kepada-Nya dengan berani, “Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami” (ay.17). Akhirnya, ketika mereka keluar dari perapian dan berdiri di hadapan raja beserta pembesarnya tanpa terluka—“rambut di kepala mereka tidak hangus” (ay.27)—Nebukadnezar sendirilah yang dengan tegas mengakui kuasa dan kemuliaan Allah: “Terpujilah Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego! Ia telah mengutus malaikat-Nya dan melepaskan hamba-hamba-Nya” (ay.28). —J.R. Hudberg
Apakah kamu tahu seseorang yang perlu ditolong Allah? Apa yang bisa kamu lakukan untuk menolongnya?
Yesus berdoa bagi mereka yang menganiaya Dia. Kita pun bisa melakukannya.

Monday, June 17, 2019

Pelajaran Gambar Orang-Orangan

Tindakan kami, bila berhadapan muka, sama seperti perkataan kami dalam surat-surat kami, bila tidak berhadapan muka. —2 Korintus 10:11
Pelajaran Gambar Orang-Orangan
Konselor saya pernah menggambar orang-orangan di atas sehelai kertas. Ia menamai gambar itu sebagai aspek “pribadi” dirinya. Kemudian ia menggambar garis yang mengelilingi orang-orangan tadi, kira-kira satu setengah sentimeter lebih besar, dan menyebut itu sebagai aspek dirinya “di depan umum”. Perbedaan kedua sosok orang-orangan tersebut, yang pribadi dan yang di depan umum, menggambarkan tingkat integritas yang kita miliki.
Saya pun mencerna hal tersebut, sambil bertanya dalam hati, Apakah diri saya di depan umum sama dengan diri saya saat sedang sendirian? Apakah saya mempunyai integritas?
Paulus menulis surat-surat untuk jemaat di Korintus, memadukan kasih dan disiplin dalam pengajaran-pengajarannya tentang menjadi serupa dengan Yesus. Di dalamnya, ia pernah menegur orang-orang yang meragukan integritasnya dan mengatakan bahwa tulisannya “tegas dan keras, tetapi bila berhadapan muka sikapnya lemah” (2 Kor. 10:10). Para pengecamnya menggunakan kefasihan berbicara untuk mendapatkan uang dari para pendengar. Walaupun Paulus cakap secara akademis, ia memberitakan firman Allah dengan sederhana dan lugas. Ia menulis, “Perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh” (1 Kor. 2:4). Di surat berikutnya, ia menegaskan integritasnya: “Hendaklah orang-orang yang berkata demikian menginsafi, bahwa tindakan kami, bila berhadapan muka, sama seperti perkataan kami dalam surat-surat kami, bila tidak berhadapan muka” (2 Kor. 10:11).
Paulus menunjukkan bahwa dirinya sama di depan umum maupun ketika sedang sendirian. Bagaimana dengan kita? —Elisa Morgan
WAWASAN
Dalam 2 Korintus 10:4, Paulus menulis, “Senjata [orang Kristen] dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng” (rintangan dari dosa dan kejahatan yang melawan kebenaran Allah). Senjata rohani ini termasuk kebenaran, keadilan, iman, Roh Kudus, firman Allah, kasih, dan pengharapan akan keselamatan (Efesus 6:11-17; 1 Tesalonika 5:8). Kita melawan kejahatan melalui hubungan dengan Allah Anak dan kuasa doa serta firman Allah. —Alyson Kieda
Dengan cara apa kamu menyatukan aspek pribadi dengan aspek umum kehidupanmu? Bagaimana kamu dapat lebih memuliakan Allah dengan integritas dirimu?
Ya Allah, tolong aku untuk jujur dan menjadi diriku sendiri di hadapan-Mu, supaya aku bisa hidup dengan integritas yang sama di hadapan sesamaku.

Sunday, June 16, 2019

Juruselamat yang Mengenal Kita

Kata Natanael kepada-Nya: “Bagaimana Engkau mengenal aku?” —Yohanes 1:48
Juruselamat yang Mengenal Kita
“Ayah, jam berapa sekarang?” tanya putra saya dari kursi belakang. “Jam setengah enam.” Saya tahu pasti apa yang akan ia katakan selanjutnya. “Salah! Sekarang masih setengah enam kurang dua menit!” Saya perhatikan wajahnya yang sangat gembira, seakan hendak mengatakan, “Kena deh!” Saya juga merasa senang, karena sebagai orangtua, saya mengenal persis kebiasaan anak saya.
Seperti orangtua mana pun yang penuh perhatian, saya mengenal anak-anak saya. Saya tahu bagaimana reaksi mereka ketika saya membangunkan mereka dari tidur. Saya tahu apa yang mereka inginkan untuk makan siang. Saya tahu minat, keinginan, dan pilihan mereka yang begitu beragam.
Namun demikian, saya tidak akan pernah benar-benar mengenal mereka dengan sempurna seperti Tuhan mengenal kita masing-masing.
Di Yohanes 1, kita dapat melihat sekilas pengetahuan mendalam yang Yesus miliki atas murid-murid-Nya. Natanael didesak Filipus untuk menemui Yesus, dan ketika ia menghampiri-Nya, Yesus berseru: “Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” (ay.47). Dengan terkejut, Natanael berkata kepada-Nya, “Bagaimana Engkau mengenal aku?” Dengan jawaban yang agak misterius, Yesus berkata bahwa Dia telah melihat Natanael di bawah pohon ara (ay.48).
Kita mungkin tidak mengerti alasan Yesus mengungkapkan fakta tersebut, tetapi kelihatannya Natanael mengerti! Karena takjub, ia pun menjawab, “Rabi, Engkau Anak Allah!” (ay.49).
Yesus mengenal kita masing-masing dengan sangat baik, utuh, dan sempurna—sesuatu yang selalu kita rindukan. Dia pun menerima kita sepenuhnya, dan mengundang kita, bukan hanya menjadi pengikut-Nya, melainkan juga menjadi sahabat terkasih-Nya (Yoh. 15:15). —Adam Holz
WAWASAN
Dua belas rasul (para murid Yesus) disebutkan namanya dalam Matius 10:2-4, Markus 3:16-19, dan Lukas 6:14-16 (ketiganya dikenal sebagai Injil Sinoptik karena serupa dalam isi dan urutan), tetapi tidak dalam Injil Yohanes. Namun, Yohanes menceritakan bagaimana lima murid Yesus (hanya empat yang disebut namanya: Andreas, Petrus, Filipus, dan Natanael) bertemu dengan Dia untuk pertama kalinya (Yohanes 1:35-51). Karena Natanael tidak disebut sebagai salah satu dari dua belas rasul dalam Sinoptik, hal ini membangkitkan pertanyaan mengenai identitasnya. Para pakar Alkitab berpendapat bahwa Natanael adalah orang yang sama dengan Bartolomeus. Ada dua alasan pendukung. Pertama, Natanael tidak disebutkan dalam Injil Sinoptik dan Bartolomeus tidak disebutkan dalam Injil Yohanes (artinya, kemungkinan dua tulisan itu memakai nama berbeda untuk menyebut orang yang sama). Kedua, karena Filipus dan Bartolomeus selalu disebutkan bersamaan, sementara Filipus disebutkan bersama dengan Natanael dalam Yohanes1:43-45, para ahli menyimpulkan bahwa Bartolomeus dan Natanael adalah orang yang sama. —K.T. Sim
Bagaimana perasaan kamu setelah menyadari bahwa kamu dikenal seutuhnya oleh Yesus, Tuhan kita?
Tuhan Yesus, terima kasih sudah mengundangku untuk mengikut-Mu di sepanjang lika-liku hidupku.

Saturday, June 15, 2019

Kata-kata Yang Melukai

Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan. —Amsal 12:18
Kata-kata Yang Melukai
“Tulang belulang,” ejek seorang anak. “Kerempeng,” yang lain menimpali. Saya bisa saja membalas mereka dengan mengatakan bahwa kata-kata tidak akan bisa menyakiti saya. Namun, walaupun waktu itu saya masih kecil, saya tahu itu tidak benar. Kata-kata kasar yang dilontarkan dengan seenaknya memang menyakitkan—bahkan meninggalkan luka yang lebih dalam dan membekas lebih lama daripada rasa pedih akibat kekerasan fisik.
Hana mengalami sendiri bagaimana kata-kata kasar dapat begitu menyakitkan hati. Suaminya, Elkana, mencintainya, tetapi Hana tidak memiliki anak, sementara Penina, si istri kedua, memiliki banyak anak. Dalam budaya yang sering menilai wanita dari kesanggupannya memberi keturunan, Penina terus “menyakiti hati” Hana karena kemandulannya. Hana pun menangis dan tidak mau makan (1 Sam. 1:6-7).
Meskipun bermaksud baik, Elkana menunjukkan respons yang kurang peka dengan bertanya, “Hana, mengapa engkau menangis? . . . Bukankah aku lebih berharga bagimu dari pada sepuluh anak laki-laki?” (ay.8). Tanggapan Elkana tidak juga meringankan kepedihan hati Hana.
Seperti Hana, banyak dari kita pernah disakiti oleh kata-kata yang menyakitkan. Ada di antara kita yang menanggapi perasaan sakit hati itu dengan melontarkan kata-kata kasar yang juga menyakiti orang lain. Akan tetapi, kita semua boleh datang kepada Allah untuk memohon kekuatan dan pemulihan dari-Nya. Karena Allah sayang dan berbelaskasihan atas kita (Mzm. 27:5,12-14), Dia senang mengucapkan kata-kata yang penuh dengan kasih dan berkat kepada kita. —Alyson Kieda
WAWASAN
Latar belakang sejarah di balik 1 Samuel pasal 1 sangatlah penting untuk memahami kejadian-kejadian yang dicatat dalam kitab ini. Peristiwa 1 Samuel terjadi pada akhir masa hakim-hakim, tetapi belum memasuki zaman raja-raja. Menjembatani celah antara kedua zaman tersebut adalah Samuel, putra yang dilahirkan Hana oleh doa-doanya di kemah suci di Silo (1:9-20). Peran Samuel dalam masa peralihan dari hakim-hakim sampai raja-raja menjadikannya hakim yang terakhir sekaligus nabi yang pertama. Sebagai nabi, ia kelak bertanggungjawab mengurapi dua raja Israel yang pertama: Saul, raja yang dikehendaki rakyat (10:17-24); dan Daud, seseorang yang berkenan di hati Allah (13:14). —Bill Crowder
Kapan kamu pernah dilukai oleh kata-kata kasar? Bagaimana kamu mengatasinya? Adakah seseorang yang saat ini perlu mendengar kata-kata kamu yang penuh kasih?
Tuhan, terima kasih untuk pemulihan dan pengharapan dari-Mu! Tolonglah kami membawa luka hati kami kepada-Mu—dan selalu menjaga perkataan kami. Berilah kami hikmat dan kesabaran untuk berpikir sebelum berbicara.

Friday, June 14, 2019

Komunikasi yang Jelas

Roh membantu kita dalam kelemahan kita. Sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. —Roma 8:26
Komunikasi yang Jelas
Saat sedang bepergian di Asia, iPad saya (yang berisi bahan bacaan dan banyak dokumen kerja) tiba-tiba mati total. Saat mencari bantuan, saya menemukan toko komputer tetapi mengalami masalah lain—saya tidak dapat berbicara bahasa Mandarin dan si teknisi toko tidak dapat berbicara bahasa Inggris. Solusinya? Dia membuka suatu program lalu mengetik dalam bahasa Mandarin, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sebaliknya, ketika saya menjawab dalam bahasa Inggris dan ia pun dapat membacanya dalam bahasa Mandarin. Program itu memungkinkan kami untuk berkomunikasi dengan jelas, bahkan dalam bahasa yang berbeda.
Adakalanya saya merasa kesulitan untuk berkomunikasi dan menyampaikan isi hati saya kepada Allah Bapa di surga. Banyak orang juga merasa sulit berdoa. Namun, Rasul Paulus menulis, “Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus” (Rm. 8:26-27).
Betapa menakjubkannya karunia Roh Kudus! Lebih baik daripada program komputer apa pun, Dia menyampaikan pikiran-pikiran dan keinginan-keinginan saya dengan jelas hingga selaras dengan maksud Allah Bapa. Roh Kudus memampukan kita berdoa! —Bill Crowder
WAWASAN
Dalam surat Roma pasal 8, Paulus menggunakan kata “keluh” tiga kali (“mengeluh” ay.22-23; “keluhan” ay.26). Akan tetapi, setiap keluhan disertai dengan pengharapan: segala makhluk mengeluh seperti seorang ibu yang sakit bersalin (ay.22). Setelah mengecap “karunia sulung” dari Roh Kristus, kita mengeluh menantikan hari esok yang lebih baik (ay.23-25; lihat juga Galatia 5:22-23). Selagi kita mengeluh, Roh Allah pun mengeluh bersama kita dan untuk kita (Roma 8:26-27)—sebab Dia jauh lebih mengerti bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah dalam Yesus Kristus (ay.31-39). —Mart DeHaan
Tantangan apa yang kamu alami dalam kehidupan doa? Bagaimana cara kamu bersandar kepada Roh Kudus dalam kerinduan untuk berdoa dengan lebih sungguh?
Bapa, aku berterima kasih kepada-Mu atas karunia Roh-Mu dan hak istimewa untuk berdoa. Tolonglah aku bersandar kepada Roh-Mu di saat-saat aku tidak tahu bagaimana harus berdoa.

Thursday, June 13, 2019

Hanya Bocah Gelandangan

Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri. —1 Petrus 2:9
Hanya Bocah Gelandangan
“Oh, hanya bocah gelandangan,” bisik seseorang dengan nada menghina ketika Rodney Smith berjalan ke depan kapel untuk menerima Kristus dalam sebuah kebaktian di tahun 1877. Tidak ada yang memperhitungkan anak remaja dari sepasang gelandangan yang tidak berpendidikan itu. Namun, Rodney tidak menggubrisnya. Ia yakin Allah memiliki tujuan atas hidupnya sehingga ia membeli sendiri Alkitab dan kamus bahasa Inggris, serta belajar membaca dan menulis secara mandiri. Ia pernah berkata, “Jalan kepada Yesus bukanlah melalui Cambridge, Harvard, Yale, atau lewat para pujangga. Hanya . . . melalui bukit kuno bernama Golgota.” Di luar perkiraan banyak orang, Rodney dipakai Allah dengan luar biasa sebagai penginjil yang membawa banyak jiwa percaya kepada Yesus di Inggris dan Amerika Serikat.
Petrus juga orang yang sederhana—tidak berpendidikan dalam agama (Kis. 4:13), seorang nelayan dari Galilea—ketika Yesus memanggilnya dengan dua kata yang singkat: “Ikutlah Aku” (Mat. 4:19). Namun Petrus yang sama, sekalipun tidak terpelajar dan pernah gagal di tengah jalan, kemudian menegaskan bahwa semua yang mengikut Yesus adalah “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri” (1 Ptr. 2:9).
Melalui Yesus Kristus, semua orang—apa pun latar belakang pendidikan, lingkungan, jenis kelamin, atau etnik mereka—dapat menjadi bagian dari keluarga Allah dan dipakai oleh-Nya. Semua yang percaya kepada Yesus Kristus adalah “umat kepunyaan Allah sendiri”. —Estera Pirosca Escobar
WAWASAN
Tulisan Petrus dalam Perjanjian Baru menunjukkan bahwa ia tahu banyak tentang Kitab Suci Yahudi (yang kita kenal sebagai Perjanjian Lama). Dalam 1 Petrus 2 saja, Petrus mengutip atau menyinggung setidaknya lima bagian kitab yang berbeda. Pada ayat 6, rujukannya adalah Yesaya 28:16, ayat ke-7 diambil dari Mazmur 118:22, dan ayat ke-8 dari Yesaya 8:14. Pilihan kata-kata dalam ayat ke-9, yang merujuk pada para orang percaya, berasal Keluaran 19:5-6 untuk menggambarkan bangsa Israel: “Kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, . . . Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus.” Tulisan Nabi Hosea (Hosea 1:6, 9-10) pun dipakai Petrus ketika ia menulis 1 Petrus 2:10, “Kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan.” —Arthur Jackson
Apa artinya bagimu menjadi bagian dari bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, umat kepunyaan Allah sendiri? Bagaimana kamu dikuatkan oleh kenyataan bahwa Allah dapat memakai kamu untuk memuliakan nama-Nya?
Ya Allah, aku berterima kasih karena identitasku yang sejati ditemukan di dalam Engkau.

Wednesday, June 12, 2019

Mengoyakkan Selubung

Tuhan akan mengoyakkan kain perkabungan yang diselubungkan kepada segala suku bangsa. —Yesaya 25:7
Mengoyakkan Selubung
Mary Ann Franco pernah mengalami kecelakaan mobil yang menyebabkan ia buta total. “Semuanya gelap,” Franco menjelaskan. Dua puluh satu tahun kemudian, ia sempat jatuh dan tulang belakangnya cedera. Setelah terbangun dari operasi (yang tidak berhubungan dengan matanya), penglihatannya secara ajaib pulih kembali! Untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua dekade, Franco dapat melihat wajah anak perempuannya. Dokter bedah tidak mempunyai penjelasan ilmiah atas pulihnya penglihatan Franco. Kegelapan total yang seakan tidak pernah berakhir kini telah digantikan oleh terang dan keindahan.
Alkitab, dan pengalaman kita sendiri, menunjukkan adanya selubung kebodohan dan kejahatan yang menyelubungi dunia ini sehingga kita dibutakan dan tidak bisa melihat kasih Allah (Yes. 25:7). Segala tekanan yang datang dari egoisme, ketamakan, kesombongan, dan nafsu berkuasa telah menghalangi penglihatan kita, dan membuat kita tidak dapat melihat dengan jelas Allah yang “dengan kesetiaan yang teguh . . . telah melaksanakan rancangan-[Nya] yang ajaib” (ay.1).
Salah satu terjemahan Alkitab menyebut kain selubung ini sebagai “awan kesedihan” (BIS). Yang ada di sekitar kita hanyalah kegelapan, kebingungan, dan keputusasaan. Kita sering merasa terperangkap—meraba-raba, tersandung, dan tidak sanggup melihat jalan di depan. Syukurlah, Nabi Yesaya menjanjikan bahwa Allah akan “mengoyakkan kain perkabungan yang diselubungkan kepada segala suku bangsa” (ay.7).
Allah takkan meninggalkan kita tanpa pengharapan. Terang kasih-Nya mengoyakkan apa pun yang membutakan kita, sehingga kita akan dapat mengalami hidup dan anugerah yang berlimpah. —Winn Collier
WAWASAN
Salah satu realita hidup di dunia yang telah jatuh ini adalah kematian, aib, dan duka yang mendominasi pengalaman kita. Nubuat Yesaya memberikan jawaban atas keprihatinan tersebut dengan janji dari 25:8—Allah “akan meniadakan maut untuk seterusnya” dan “menghapuskan air mata dari pada segala muka.” Janji ini digemakan dalam kitab terakhir di Alkitab, “Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Wahyu 21:4). —Bill Crowder
Di mana kamu merasakan kegelapan dalam duniamu? Bagaimana kamu membayangkan Yesus mengoyakkan kegelapan itu?
Ya Allah, kegelapan ada di mana-mana. Sulit sekali untuk melihat cahaya kebenaran dan kasih-Mu. Tolonglah aku yang tidak berdaya tanpa-Mu.

Tuesday, June 11, 2019

Allah Segala Bangsa

Waktu itu di Yerusalem diam orang-orang Yahudi yang saleh dari segala bangsa di bawah kolong langit. —Kisah Para Rasul 2:5
Allah Segala Bangsa
Mantan vokalis Newsboys, Peter Furler, menceritakan tentang salah satu lagu pujian mereka yang berjudul “He Reigns” (Dia Berkuasa). Liriknya memberikan gambaran yang sangat kuat tentang orang-orang percaya dari setiap kaum dan suku bangsa yang berkumpul serta bersatu untuk menyembah Allah. Furler mengamati bahwa setiap kali Newsboys menyanyikan lagu tersebut, ia dapat merasakan karya Roh Kudus yang begitu kuat di tengah jemaat Tuhan yang sedang menyembah.
Deskripsi Furler tentang pengalamannya dengan lagu “He Reigns” bisa jadi mirip dengan yang dirasakan oleh orang-orang yang berkumpul di Yerusalem pada Hari Pentakosta. Ketika para murid dipenuhi Roh Kudus (Kis. 2:4), mulai terjadi hal-hal yang belum pernah dialami siapa pun sebelumnya. Akibatnya, orang-orang Yahudi dari segala bangsa yang ada di sana merasa kebingungan, karena masing-masing mendengar kabar tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah dalam bahasa mereka sendiri (ay.5-6,11). Petrus menjelaskan kepada orang banyak bahwa itu semua adalah penggenapan nubuat di Perjanjian Lama ketika Allah berkata, “Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia” (ay.17).
Pernyataan kuasa Allah yang berlaku bagi semua orang itu membuat orang-orang menerima kabar Injil yang dibawa oleh Petrus, sehingga tiga ribu jiwa bertobat pada hari itu (ay.41). Setelah awal yang spektakuler ini, orang-orang yang baru percaya itu kembali ke tempat asal mereka di seluruh pelosok bumi dengan membawa kabar baik tersebut.
Kabar baik tentang pengharapan dari Allah bagi semua orang masih bergema hingga hari ini. Saat kita memuji Allah bersama-sama, Roh-Nya bekerja di antara kita dan menyatukan orang-orang dari segala bangsa dalam kesatuan yang indah. Dia sungguh berkuasa! —Remi Oyedele
WAWASAN
Dalam rentang delapan minggu saja, murid-murid Yesus mengalami berbagai lonjakan emosional. Bayangkan mereka melewati riuhnya arak-arakan saat Yesus memasuki Yerusalem hanya untuk menyaksikan Dia ditangkap dan disalib (Matius 21-26; Markus 11-14; Lukas 19-22; Yohanes 12-13). Lalu tibalah waktu kebangkitan-Nya—bukti tak terbantahkan bahwa Dialah Sang Mesias—diikuti dengan kepergian-Nya dari dunia ini. Menghadapi banyak keterkejutan seperti itu, tidak heran bila para murid keliru memahami perintah Kristus tentang membangun Kerajaan-Nya. Mereka mengharapkan solusi politis atas permasalahan Israel—bebas dari penindasan Roma dan mendapatkan tanah mereka yang sah di dunia sebagai umat pilihan Allah (Kisah Para Rasul 1:6). Namun, Yesus memiliki rencana yang lebih baik. Dia berjanji, “Kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku . . . sampai ke ujung bumi” (ay.8). Kisah Para Rasul 2 mengisahkan bagaimana Roh Kudus menyatakan janji tersebut. —Tim Gustafson
Dalam hal apa kamu melihat gambar Allah dalam diri orang lain? Bagaimana kamu dapat melihat orang dari setiap suku dan bangsa seperti Yesus melihat mereka?
Bapa Surgawi, mampukanlah aku memancarkan hati-Mu yang mengasihi seluruh umat-Mu.

Monday, June 10, 2019

Berbagi Pizza

Orang yang banyak memberi akan berkelimpahan, orang yang suka menolong akan ditolong juga. —Amsal 11:25 BIS
Berbagi Pizza
Steve, seorang tunawisma veteran perang berusia 62 tahun, pindah ke daerah beriklim hangat yang membuatnya bisa tidur di luar sepanjang tahun. Suatu malam, saat sedang memajang lukisan hasil karyanya—inilah caranya mendapatkan uang—seorang wanita muda menghampiri dan menawarinya beberapa potong pizza. Steve pun menerima dengan senang hati. Beberapa saat kemudian, Steve membagikan pizzanya dengan seorang tunawisma lain yang kelaparan. Tak lama sesudah itu, wanita muda tadi kembali dengan membawa sepiring makanan lagi. Ia senang melihat bagaimana Steve bersikap murah hati dengan membagikan apa yang telah diterimanya.
Cerita Steve melukiskan prinsip yang dikemukakan Amsal 11:25, yaitu bila kita bermurah hati kepada sesama, kemungkinan kita juga akan menerima kemurahan hati orang lain. Namun, tidak sepatutnya kita memberi karena mengharapkan imbalan; bahkan jarang kemurahan hati kita langsung dibalas, sebagaimana dialami oleh Steve. Akan tetapi, kita memberi pertolongan kepada sesama sebagai bentuk kasih kita kepada Allah yang memerintahkannya (Flp. 2:3-4; 1 Yoh. 3:17). Saat kita melakukannya, Allah pun senang. Meski Allah tidak berkewajiban mengisi dompet atau perut kita, Dia sering menggunakan beragam cara untuk menolong kita—baik berupa materi ataupun berkat rohani.
Steve kembali membagikan sepiring pizza yang kedua dengan senyum dan tangan terbuka. Walaupun serba kekurangan, ia menjadi teladan hidup yang murah hati, lewat kesediaannya berbagi apa yang dimilikinya dengan orang lain dan tidak mencari kepuasan bagi dirinya sendiri. Bersama Allah yang menuntun dan menguatkan kita, kiranya kita juga dapat melakukan hal yang sama. —Kirsten Holmberg
WAWASAN
Kitab Amsal berisi banyak pepatah singkat yang tidak berhubungan satu sama lain (kecuali pasal 1-9 dan 31), tetapi banyak juga sejumlah pemikiran yang saling terkait. Misalnya, 11:23-31 membandingkan orang benar dan orang fasik, orang yang murah hati dan yang serakah. Si pemurah akan menjadi makmur; barangsiapa memberi minum akan diberi minum. Orang akan mengutuki mereka yang menimbun gandum, tetapi memberkati yang dermawan (ay.24-26). Sungguh menarik bahwa dalam ayat 28, kemurahan berhubungan dengan kebenaran. “Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya [tidak mau berbagi dan bermurah hati] akan jatuh; tetapi orang benar [yang berbagi] akan tumbuh seperti daun muda.” Di sini, orang serakah dibandingkan dengan orang benar, bukan orang murah hati. Cinta uang tampaknya sangat berpengaruh terhadap karakter kita. —J.R. Hudberg
Dengan siapa kamu dapat berbagi hari ini? Bagaimana kamu sendiri telah diberkati melalui kemurahan hati orang lain?
Kita dapat bermurah hati dengan membagikan apa yang telah kita terima dari Allah.

Sunday, June 9, 2019

Doa Abby

Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang. —1 Timotius 2:1
Doa Abby
Saat duduk di kelas 2 SMA, Abby mendengar berita tentang seorang pemuda yang terluka parah karena mengalami kecelakaan pesawat—kecelakaan yang merenggut nyawa ayah dan ibu tirinya. Meski tidak mengenal pemuda itu, tetapi ibu Abby berkata, “Kita harus mendoakan anak muda itu dan keluarganya.” Mereka pun berdoa.
Beberapa tahun berlalu, dan suatu hari Abby memasuki kelas di kampusnya. Seorang mahasiswa menawarkan tempat duduk di sebelahnya kepada Abby. Nama mahasiswa itu Austin Hatch, dan ternyata ia adalah korban kecelakaan pesawat yang pernah Abby doakan. Tak lama kemudian, mereka menjalin hubungan serius lalu menikah di tahun 2018. “Rasanya sulit dipercaya, tetapi aku tidak pernah terpikir telah mendoakan seseorang yang kelak jadi suamiku,” kata Abby dalam sebuah wawancara menjelang pernikahannya.
Kita cenderung berdoa untuk kebutuhan pribadi dan orang-orang terdekat saja, tetapi lalai menyediakan waktu untuk berdoa bagi orang lain. Namun, dalam surat kepada jemaat Efesus, Rasul Paulus berkata, “Lakukanlah semuanya itu sambil berdoa untuk minta pertolongan dari Allah. Pada setiap kesempatan, berdoalah sebagaimana Roh Allah memimpin kalian. Hendaklah kalian selalu siaga dan jangan menyerah. Berdoalah selalu untuk semua umat Allah” (Ef. 6:18 BIS). 1 Timotius 2:1 juga menasihatkan, “Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang,” termasuk para pemimpin.
Mari berdoa untuk orang lain, termasuk mereka yang tidak kita kenal. Itulah salah satu cara kita untuk “saling membantu menanggung beban” (Gal. 6:2 bis). —Dave Branon
WAWASAN
Tak seperti banyak surat Paulus yang lain, surat Efesus bukan ditujukan untuk mengatasi ajaran sesat tertentu melainkan justru menekankan kerinduan Paulus agar jemaat Efesus menangkap panggilan Allah bagi gereja (1:18-23; 3:16-19). Lewat kesatuan dengan Kristus melalui Roh Kudus, orang percaya didamaikan dengan Allah dan sesama (2:14-19). Inilah kesatuan ajaib yang menggambarkan kesatuan yang sedang Allah kerjakan dalam Kristus atas “segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi” (1:10; lihat 4:13). Namun, setia kepada panggilan yang sangat berlawanan dengan kebudayaan dunia ini tidak bisa dilakukan begitu saja, maka Paulus berulang kali mendorong umat percaya untuk semakin berakar dalam kasih Kristus (3:16-19) supaya mereka tidak terpengaruh oleh gaya hidup yang merusak di sekeliling mereka (6:17-19). Agar dapat sungguh-sungguh menjadi saksi bagi kekuasaan Allah dengan keberanian dan kedisiplinan layaknya seorang prajurit, gereja harus memupuk gaya hidup yang adil, membawa damai, dan berkomitmen teguh pada kebenaran melalui kuasa Roh Kristus (6:10-18). —Monica Brands
Siapa saja yang perlu kamu doakan hari ini, termasuk mereka yang tidak kamu kenal secara pribadi? Ambillah waktu untuk membawa kebutuhan mereka kepada Allah.
Tuhan Yesus, bukalah hatiku agar aku melihat kebutuhan orang-orang di sekitarku, termasuk yang tidak kukenal. Pakailah kepedulianku dan bertindaklah bagi mereka, karena hanya Engkau yang sanggup.

Saturday, June 8, 2019

Menjatuhkan Pin Boling

Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi. —Pengkhotbah 1:9
Menjatuhkan Pin Boling
Saya tergelitik melihat tato di pergelangan kaki Erin, teman saya, yang bergambar bola boling yang sedang menjatuhkan pin. Erin terinspirasi dari lagu Sara Groves, “Setting Up the Pins.” Liriknya yang cerdas mendorong pendengar untuk menemukan sukacita dalam rutinitas berulang-ulang yang kadang terasa tidak berarti, seperti bolak-balik menyusun pin-pin boling yang kemudian dijatuhkan oleh orang lain.
Mencuci baju. Memasak. Memotong rumput di halaman. Hidup rasanya penuh dengan pekerjaan yang sudah selesai tetapi harus dikerjakan berulang kali—lagi dan lagi. Pergumulan itu bukanlah hal baru melainkan sudah sejak zaman lampau, seperti terungkap dalam kitab Pengkhotbah di Perjanjian Lama. Di bagian awal, penulisnya mengeluhkan siklus kehidupan manusia dari hari ke hari yang tiada habisnya sebagai kesia-siaan belaka (Pkh. 1:2-3). Semua terasa tidak berarti sebab “apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi” (ay.9).
Namun, seperti teman saya tadi, penulis kitab Pengkhotbah dapat memperoleh kembali sukacita dan makna dengan mengingat bahwa kepuasan sejati dialami saat kita takut (hormat) akan Allah dan berpegang pada perintah-perintah-Nya (12:13). Kita pun terhibur saat mengetahui bahwa Allah menghargai setiap aspek kehidupan manusia, bahkan yang tampaknya paling remeh dan menjemukan sekalipun, dan Dia akan memberi kita upah atas kesetiaan kita (ay.14).
“Pin-pin” apa yang harus kamu susun terus-menerus dalam hidup ini? Saat tugas-tugas rutin mulai terasa melelahkan, baiklah kita mengambil waktu sejenak untuk mempersembahkan setiap pekerjaan itu sebagai persembahan kasih kita kepada Allah. —Lisa Samra
WAWASAN
Salah satu tema kunci dalam Pengkhotbah terdapat dalam frasa “di bawah matahari.” Kata-kata itu ada pada bacaan hari ini dalam ayat 3 dan 9, juga 27 ayat lainnya dalam kitab ini. Apakah artinya? “Di bawah matahari” merujuk pada apa yang dilakukan di bumi ini berdasarkan cara, nilai, dan pola pikir dunia, sehingga yang terjadi “di bawah matahari” berlawanan dengan nilai-nilai surgawi. Sebagai kitab keputusasaan, inti pesan Pengkhotbah adalah bahwa kita tidak dapat menemukan makna dan tujuan sejati kecuali dengan hidup menurut isi hati Bapa di surga, yang berlawanan dengan cara-cara dunia yang telah rusak. —Bill Crowder
Saat mengetahui bahwa pekerjaan kamu dihargai oleh Allah, adakah pengaruhnya pada cara kamu bekerja hari ini? Bagaimana pengetahuan tersebut mendorongmu memaknai kegiatan dan rutinitasmu sehari-hari?
Terima kasih, Bapa, karena Engkau menghargai kegiatan kami sehari-hari. Tolong kami menemukan sukacita dalam pekerjaan kami hari ini.

Friday, June 7, 2019

Jangan Lewatkan Kesempatan Itu

Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya. —Mazmur 19:2
Jangan Lewatkan Kesempatan Itu
“Ajak anak-anakmu melihat bulan purnama, jangan lewatkan kesempatan itu!” kata Ny. Webb. Sebelum kebaktian doa tengah minggu dimulai, sebagian dari kami berbincang-bincang tentang bulan purnama yang muncul malam sebelumnya. Bulan itu tampak menakjubkan, bagaikan bulatan yang sedang duduk di garis cakrawala. Ny. Webb adalah yang paling senior dalam kelompok kami dan ia sangat menyukai karya ciptaan Allah yang indah. Ia tahu saya dan istri memiliki dua anak yang masih kecil, dan ia ingin kami mengajarkan hal-hal baik kepada mereka. Ajak anak-anakmu melihat bulan purnama, jangan lewatkan kesempatan itu!
Seandainya Ny. Webb hidup di zaman dahulu, mungkin ia sudah menjadi seorang pemazmur. Kejeliannya terhadap ciptaan Allah tecermin dalam sajak Daud tentang benda-benda langit: “Tidak ada berita dan tidak ada kata . . . ; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi” (Mzm. 19:4-5). Baik pemazmur maupun Ny. Webb sama sekali tidak bermaksud memuja bulan dan bintang-bintang, melainkan tangan Sang Pencipta yang berada di baliknya. Langit dan cakrawala menyatakan kemuliaan Allah semata (ay.2).
Kita pun bisa mendorong orang-orang di sekitar kita—dari anak kecil, remaja, hingga pasangan dan tetangga—untuk berhenti sejenak, memandang, dan menyimak cerita kemuliaan Allah yang terdengar di sekitar kita. Dengan memperhatikan karya tangan-Nya, kita akan dibawa untuk menyembah Allah yang luar biasa di balik semua ciptaan itu. Jangan lewatkan kesempatan itu. —John Blase
WAWASAN
Dalam buku “Reflections on the Psalms” karya C.S. Lewis, ia menyebut Mazmur 19 sebagai puisi terbaik dalam buku nyanyian Ibrani dengan lirik terindah di dunia. Ada “enam ayat tentang alam, lima tentang hukum Taurat, dan empat doa pribadi,” tetapi pembaca mungkin cenderung mengabaikan keterkaitan antara semua itu. Menurut Lewis, “Kata kunci dalam seluruh mazmur itu adalah ‘tidak ada yang terlindung dari panas sinarnya’” (ay.7). Bagaikan terik dan panas matahari Timur Tengah, firman dari sang Pencipta (ay.1), Tuhan (ay.8), sekaligus Penebus kita (ay.15) menyelidiki pikiran-pikiran rahasia yang tersembunyi dalam hati kita (ay.12-15). Mendengar suara Allah, pemazmur pun berdoa, “Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku, ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku” (ay.15). —Mart DeHaan
Apa yang bisa kamu lakukan untuk berhenti sejenak dan mengamati karya tangan Allah saat ini? Bagaimana kamu mendorong sesama untuk melakukannya juga?
Saat berhenti sejenak, memandang, dan menyimak, kita akan melihat karya ciptaan menceritakan kemuliaan Allah.

Thursday, June 6, 2019

Mekar di Padang Gurun

Mereka itu akan melihat kemuliaan Tuhan, semarak Allah kita. —Yesaya 35:2
Mekar di Padang Gurun
Gurun Mojave terdiri dari bukit-bukit pasir, ngarai-ngarai kering, dataran tinggi, dan pegunungan seperti gurun pada umumnya. Namun, ahli biologi asal Amerika Serikat, Edmund Jaeger, mengamati bahwa setiap beberapa tahun sekali hujan lebat akan turun dan membuat “bunga-bunga bermekaran dengan sangat berlimpah sehingga hampir setiap jengkal pasir atau tanah berbatu seakan diselimuti bunga.” Sayangnya, musim bunga liar di Gurun Mojave bukanlah fenomena tahunan. Para peneliti memastikan tanah yang gersang itu perlu dibasahi dulu oleh badai dan dihangatkan oleh matahari selama beberapa waktu, sebelum kemudian pada waktu yang tepat, bunga pun bermekaran menyelimuti gurun dengan warna-warna yang indah.
Gambaran Allah yang memunculkan kehidupan di tanah yang gersang itu mengingatkan saya pada Nabi Yesaya. Setelah menyampaikan pesan tentang penghakiman Allah atas segala bangsa, Yesaya menceritakan penglihatan akan datangnya pengharapan besar (Yes. 35). Saat menjelaskan keadaan di masa mendatang ketika Allah memulihkan segala sesuatu, sang nabi berkata, “Padang gurun dan padang kering akan bergirang, padang belantara akan bersorak-sorak dan berbunga” (Yes. 35:1). Ia menyatakan bahwa umat yang diselamatkan Allah akan memasuki kerajaan-Nya “dengan bersorak-sorai, sedang sukacita abadi meliputi mereka; kegirangan dan sukacita akan memenuhi mereka, kedukaan dan keluh kesah akan menjauh” (Yes. 35:10).
Karena masa depan kekal kita sudah dijamin oleh janji Allah, kita dapat mempercayai Dia di tengah musim kekeringan maupun saat badai kehidupan melanda. Dengan berakar dalam kasih-Nya, kita dapat bertumbuh semakin menyerupai Yesus, sampai pada saatnya, Dia akan datang kembali dan memulihkan segala sesuatu. —Xochitl Dixon
WAWASAN
Janji dalam Yesaya 35:5—orang buta dan tuli akan sembuh—diberikan untuk menolong bangsa Israel mengenali Sang Mesias ketika Dia datang. Dalam Markus 6-8, kita melihat dua rangkaian peristiwa. Dalam setiap rangkaian, ada mukjizat Yesus yang memberi makan ribuan orang, perdebatan dengan pemuka agama, dan mukjizat kesembuhan. Rangkaian pertama diakhiri dengan Yesus menyembuhkan seorang tuli dan yang kedua menyembuhkan orang buta. Jadi, tidak mengherankan jika Petrus menyatakan Yesus sebagai Sang Mesias (8:29), karena Dia telah menggenapi janji dalam Yesaya 35. —Bill Crowder
Badai kehidupan apa yang baru-baru ini kamu hadapi? Bagaimana Allah menyatakan kehadiran-Nya kepadamu? Lihatlah! Dia ada di sana.
Bapa yang Maha Pengasih, terima kasih karena Engkau menjamin akan selalu menyertai dan menumbuhkan kami lewat setiap badai hidup kami.

Wednesday, June 5, 2019

Menemukan Harta Karun

Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang. —Matius 13:44
Menemukan Harta Karun
Ketika John dan Mary sedang mengajak anjing mereka berjalan-jalan di halaman rumah, tanpa sengaja mereka menemukan sebuah kaleng berkarat yang menyembul keluar karena tanahnya tergerus oleh hujan. Mereka membawa kaleng itu pulang, membukanya, dan mendapati di dalamnya simpanan koin emas yang berusia lebih dari satu abad! Pasangan tersebut kembali ke tempat kaleng tadi dan menemukan tujuh kaleng lagi yang seluruhnya berisi 1.427 koin. Kemudian, mereka melindungi harta karun itu dengan memendamnya kembali di tempat lain.
Simpanan koin bernilai 10 juta dolar itu merupakan penemuan koin kuno terbesar dalam sejarah Amerika Serikat. Kisah ini sangat mirip dengan perumpamaan yang diceritakan Yesus: “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu” (Mat. 13:44).
Kisah tentang harta terpendam telah menarik imajinasi orang dari abad ke abad, meski penemuannya sangat jarang terjadi. Namun, Yesus berbicara tentang suatu harta yang akan diperoleh oleh semua orang yang mengakui dosa, lalu menerima dan mengikuti Dia (Yoh. 1:12).
Harta istimewa itu takkan pernah habis. Ketika kita meninggalkan kehidupan kita yang lama untuk mencari Allah dan kehendak-Nya, kita akan menemukan kemuliaan-Nya. Melalui “kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus” (Ef. 2:7), Allah menawarkan kepada kita harta yang tak ternilai—kehidupan baru sebagai anak-Nya, tujuan hidup yang baru, dan sukacita kekal yang tak terbayangkan bersama-Nya. —James Banks
WAWASAN
Yesus membandingkan hal Kerajaan Surga dengan harta terpendam dan upaya yang akan dilakukan seseorang untuk memperolehnya (Matius 13:44). Perumpamaan itu mungkin membuat kita berfokus pada perihal hartanya, tetapi yang ditekankan Yesus adalah unsur pengorbanannya. Orang yang menemukan harta terpendam tadi “menjual seluruh miliknya” hanya untuk mendapatkan harta itu. Pada kesempatan lain, Yesus menegaskan, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (16:26). Hidup dengan nilai-nilai Kristus berarti segala sesuatu yang lain tidak bernilai lagi bagi kita. Kerajaan Surga menuntut komitmen total kepada Yesus. —Tim Gustafson
Bagaimana kamu menghargai hubungan kamu dengan Allah? Bagaimana kamu dapat membagikan harta tersebut dengan orang lain?
Engkaulah harta terbesarku, ya Yesus. Aku memuji-Mu karena Engkau telah menyerahkan hidup-Mu bagiku di kayu salib, sehingga aku dapat memperoleh pengampunan dan hidup yang baru di dalam-Mu.

Tuesday, June 4, 2019

Bisakah Kita Tenang?

Janganlah gelisah dan gentar hatimu. —Yohanes 14:27
Bisakah Kita Tenang?
Darnell memasuki ruang fisioterapi dengan kesadaran bahwa ia akan mengalami rasa sakit yang amat sangat. Terapis merentangkan dan menekuk lengan Darnell, lalu menahannya dalam posisi yang sudah berbulan-bulan tidak dialaminya sejak cedera. Setelah menahan setiap posisi yang tidak nyaman itu selama beberapa detik, sang terapis akan berkata kepada Darnell dengan lembut: “Ok, sekarang bisa rileks.” Belakangan, Darnell berkata, “Rasanya aku mendengar kalimat itu setidaknya lima puluh kali setiap sesi: ‘Ok, sekarang bisa rileks.’”
Saat merenungkan kata-kata tersebut, Darnell menyadari bahwa kalimat tersebut juga dapat diterapkan dalam sisi kehidupannya yang lain. Ia bisa rileks dan menjadi tenang dalam kebaikan dan kesetiaan Allah serta tidak terus-terusan khawatir.
Menjelang kematian-Nya, Yesus tahu bahwa murid-murid-Nya perlu mempelajari hal tersebut. Tak lama lagi mereka akan menghadapi masa-masa sukar dan penganiayaan. Untuk membesarkan hati mereka, Yesus berkata bahwa Dia akan mengutus Roh Kudus untuk tinggal bersama mereka dan mengingatkan mereka akan semua yang telah diajarkan oleh-Nya (Yoh. 14:26). Dengan demikian, Dia dapat berkata, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu. . . . Janganlah gelisah dan gentar hatimu” (Yoh. 14:27).
Ada banyak hal yang dapat membuat kita gelisah dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kepercayaan kita kepada Allah dapat semakin bertumbuh dengan senantiasa mengingat bahwa Roh Kudus tinggal di dalam kita—dan Dia memberikan kita damai sejahtera-Nya. Ketika kita mengandalkan kuasa-Nya, kita dapat mendengar-Nya berkata dengan lembut: “Jangan gelisah, dan tenanglah.” —Anne Cetas
WAWASAN
Yohanes 13-17 dikenal sebagai Pengajaran di Ruang Atas atau Pesan Terakhir. Setelah pelayanan-Nya selama tiga tahun, tibalah waktunya Kristus pergi (13:1). Dalam 24 jam selanjutnya, Dia akan disalib, dan dalam beberapa minggu Dia akan kembali kepada Bapa di surga (14:3-4). Karena itu, Yesus memakai waktu yang istimewa ini untuk menghibur, mengajar, dan menguatkan orang-orang yang telah Dia pilih untuk melanjutkan pelayanan-Nya. Selain memberitahukan bahwa Roh Kudus akan diutus (14:16-17, 26; 15:26; 16:7-11) sebagai Penolong (yang akan menyertai untuk menolong dan membantu mereka), Yesus juga membagikan kebenaran-kebenaran lain yang menguatkan para murid sebagai wakil-Nya. Kebenaran tentang melayani dan mengasihi sesama (13:1-15,34-35; 15:12-17), tinggal di dalam-Nya dan berbuah banyak (15:1-11), dan tentang kebencian serta aniaya dunia (15:18-16:4). —Arthur Jackson
Apa yang membuat kamu gelisah? Manakah sifat Allah yang dapat menolongmu untuk belajar lebih mempercayai-Nya?
Tuhan Yesus, ajarlah aku menjadi tenang dengan mempercayai kesetiaan-Mu, menyadari kehadiran-Mu, dan mengalami damai sejahtera-Mu.

Monday, June 3, 2019

Terjaga Sepanjang Malam

Apabila aku ingat kepada-Mu di tempat tidurku, merenungkan Engkau sepanjang kawal malam. —Mazmur 63:7
Terjaga Sepanjang Malam
Saat masih kuliah, libur musim panas saya lalui dengan bekerja di sebuah resor di pegunungan Colorado yang sangat indah. Para karyawan diberi tugas jaga malam secara bergiliran—untuk mengawasi situasi kalau-kalau terjadi kebakaran hutan yang dapat membahayakan tamu-tamu saat tidur. Tugas yang awalnya tampak melelahkan dan tidak dihargai menjadi kesempatan unik bagi saya untuk berdiam diri, merenung, dan menemukan penghiburan dalam hadirat Allah yang kudus.
Raja Daud dengan sungguh-sungguh mencari Allah dan haus akan hadirat-Nya (Mzm. 63:2), bahkan dari atas tempat tidurnya di “sepanjang kawal malam” (ay.7). Mazmur tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa Daud sedang gelisah. Lewat kata-katanya, mungkin Daud sedang merasakan kesedihan yang mendalam terhadap pemberontakan Absalom, anaknya. Namun, malam hari menjadi waktu bagi Daud untuk menemukan pertolongan dan pemulihan dalam “naungan sayap [Allah]” (ay.8)—dalam kuasa dan hadirat-Nya.
Mungkin kamu juga sedang menghadapi krisis atau kesulitan dalam hidupmu, dan malam hari terasa begitu menggelisahkan. Mungkin ada “Absalom” yang membebani hati dan jiwamu. Atau mungkin, beban-beban lain seperti masalah keluarga, pekerjaan, atau keuangan sering mengusik jam istirahatmu. Kalau itu yang terjadi, anggaplah masa-masa kamu sulit tidur tersebut sebagai kesempatan untuk berseru dan bergantung kepada Allah. Izinkanlah tangan kasih-Nya menopangmu (ay.9). —Evan Morgan, penulis tamu
WAWASAN
Catatan pendahuluan dalam Mazmur 63 berbunyi, “Mazmur Daud, ketika ia ada di padang gurun Yehuda.” Mazmur 61-63 kemungkinan ditulis Daud ketika ia mencari tempat perlindungan semasa pemberontakan putranya, Absalom (2 Samuel 15-18). Apa yang kita ketahui tentang Absalom? Mengapa ia memberontak terhadap ayahnya? Absalom, anak Daud dari Maakha (3:3), adalah pria rupawan yang terkenal dengan rambutnya yang panjang dan tebal (14:25-26). Ketika adiknya yang cantik, Tamar, diperkosa dengan kejam oleh saudara sebapa mereka, Amnon, Absalom melindungi adiknya dan menunggu ayah mereka untuk menghukum Amnon. Dua tahun kemudian, setelah kemarahan Absalom mendidih sementara Daud belum juga turun tangan, Absalom memerintahkan untuk membunuh Amnon, kemudian melarikan diri. Belakangan, ayah dan anak itu berkumpul kembali, tetapi semuanya sudah sangat terlambat. Sikap diam Daud memicu Absalom untuk berusaha merebut takhta. —Alyson Kieda
Bagaimana janji-janji Allah dapat menguatkan kamu di saat menghadapi tantangan yang membuat kamu terjaga pada malam hari? Bagaimana caramu mendekatkan diri kepada Allah pada malam-malam yang sulit seperti itu?
Ya Allah, terima kasih Engkau selalu terjaga dan menemani saya di sepanjang malam.

Sunday, June 2, 2019

Menurut Gambar Allah

Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. —Kejadian 1:27
Menurut Gambar Allah
Ketika mulai muncul bercak-bercak putih di kulit cokelatnya yang indah, seorang perempuan muda merasa ketakutan, seolah-olah jati dirinya hilang atau memudar. Dengan riasan tebal, ia berusaha menutupi “bercak-bercak”, begitu ia menyebutnya—yang disebabkan oleh kelainan kulit bernama vitiligo, yaitu kehilangan pigmen melanin yang menghasilkan warna.
Kemudian, pada suatu hari, ia bertanya kepada dirinya sendiri: Mengapa hal ini harus kusembunyikan? Dengan bergantung pada kekuatan dari Allah untuk bisa menerima dirinya sendiri, ia pun berhenti memakai riasan tebal. Tak lama kemudian, ia mulai mendapat perhatian luas karena kepercayaan dirinya. Akhirnya, ia menjadi pengidap vitiligo pertama yang menjadi model iklan untuk salah satu merek kosmetik berskala global.
“Semuanya ini anugerah,” katanya kepada pembawa acara berita TV, sambil menambahkan bahwa semangatnya didorong oleh iman, keluarga, dan para sahabat.
Kisah wanita tersebut mengingatkan kita bahwa setiap dari kita diciptakan menurut gambar Allah. “Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej. 1:27). Bagaimanapun penampilan kita, kita semua menyandang gambar Allah. Sebagai manusia ciptaan-Nya, kita mencerminkan kemuliaan-Nya; dan sebagai pengikut Yesus kita diubahkan untuk menjadi wakil-Nya di dunia.
Apakah kamu bergumul untuk mencintai dirimu? Hari ini, lihatlah pada cermin dan tersenyumlah untuk Allah. Dia telah menciptakanmu menurut gambar-Nya sendiri. —Patricia Raybon
WAWASAN
Bacaan hari ini berisi dua pokok penting. Pertama, umat manusia berbeda dari semua makhluk hidup lainnya karena kita dijadikan menurut gambar Allah. Kedua, tugas pertama yang Allah berikan kepada kita adalah untuk berkuasa atas semua ciptaan di bumi (Kejadian 1:26). Ada banyak perdebatan tentang makna “gambar Allah.” Hal itu bisa saja merujuk kepada intelektual, moral, atau kerohanian. Namun, yang menarik adalah ungkapan “supaya mereka berkuasa [atas semua ciptaan lain]” (ay.26). Dijadikan dalam gambar Allah memampukan kita menyelesaikan mandat untuk berkuasa atas segala ciptaan. —J.R. Hudberg
Mana yang lebih penting bagi kamu—bagaimana orang memandangmu atau bahwa mereka melihat Allah hadir dalam dirimu? Dengan cara apa kamu dapat menampilkan diri sebagai gambar Allah kepada sesama?
Tolonglah aku menerima cara-Mu menciptakanku, ya Tuhan. Berkuasalah dalam hatiku agar orang lain dapat melihat-Mu dalam diriku.

Saturday, June 1, 2019

Objek dalam Cermin

[Aku] berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.—Filipi 3:14
Objek dalam Cermin
“Harus. Lari. Lebih cepat.” Begitulah ucapan legendaris Dr. Ian Malcolm, diperankan oleh Jeff Goldblum, dalam adegan film Jurassic Park keluaran tahun 1993 saat ia dan dua rekannya melarikan diri dari amukan tiranosaurus dengan mengendarai sebuah mobil jip. Ketika pengemudi melihat ke belakang dari kaca spion, rahang dari reptil raksasa itu terlihat tepat di atas kata-kata: “OBJEK DALAM CERMIN MUNGKIN LEBIH DEKAT DARIPADA YANG TERLIHAT.”
Adegan tersebut sukses memadukan ketegangan dengan rasa humor. Namun, adakalanya kita memang merasa bahwa “raksasa-raksasa” dari masa lalu seakan terus mengejar kita. Kita melihat dalam “cermin” kehidupan dan kesalahan demi kesalahan masa lalu terlihat begitu menjulang, hendak menelan kita dengan rasa bersalah atau malu.
Rasul Paulus mengerti bagaimana masa lalu mempunyai potensi untuk melemahkan kita. Selama bertahun-tahun ia pernah mencoba hidup tanpa Kristus sama sekali, bahkan menganiaya umat Kristen (Flp. 3:1-9). Penyesalan akan masa lalu bisa saja melemahkan dirinya.
Namun, Paulus menemukan keindahan dan kekuatan dalam hubungannya dengan Kristus sehingga ia terdorong untuk melepaskan hidup lamanya (ay.8-9). Ia pun terbebas untuk memandang ke depan dan tidak lagi menoleh ke belakang dalam ketakutan atau penyesalan: “Ini yang kulakukan: Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan” (ay.13-14).
Penebusan kita dalam Kristus telah membebaskan kita untuk hidup bagi-Nya. Kita tidak perlu membiarkan “objek dalam cermin” mendikte arah langkah kita untuk maju. —Adam Holz
WAWASAN
Dalam Filipi 3:13, Paulus berkomitmen, “Ini yang kulakukan. . .” Ada tiga hal yang kemudian disebutkannya, dan setiap poin memiliki makna penting. Pertama, Paulus hendak “melupakan apa yang telah di belakang.” Hal ini mungkin merujuk pada hal-hal yang membuatnya “menaruh percaya pada hal-hal lahiriah” di masa lalu (ay.4-6) karena dahulu ia menghidupi Yudaisme dengan sekuat tenaga. Kedua, Paulus “mengarahkan diri kepada apa yang ada di hadapan[nya].” Ia tidak menjelaskan maksudnya, tetapi pernyataan ini sejalan dengan Filipi 1:21, yaitu bahwa “hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Terakhir, ia berkomitmen untuk “berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah” (3:14)—analogi ini mengacu pada hadiah yang diterima oleh pemenang dalam lomba atletik Yunani. Secara keseluruhan, tujuan akhir Paulus adalah menyelesaikan semua panggilannya dalam Kristus. —Bill Crowder
Bagaimana pemahaman Paulus tentang pengampunan Yesus bagi kita menolongmu mengatasi pergumulan soal masa lalu kamu? Bila kamu bergumul dengan konsekuensi dari keputusan di masa lalu, kepada siapa kamu meminta tolong agar dapat terus melangkah maju?
 

Total Pageviews

Translate