Pages - Menu

Thursday, January 31, 2019

Diangkat Menjadi Anak

Allah mengutus Anak-Nya . . . supaya kita diterima menjadi anak. —Galatia 4:4-5
Diangkat Menjadi Anak
Saya merasa senang ketika seorang dermawan membangun panti asuhan untuk anak-anak tunawisma. Saya lebih senang lagi ketika orang itu melangkah lebih jauh dan mengangkat salah satu anak itu menjadi anaknya sendiri. Kebanyakan anak yatim piatu sudah merasa bahagia ketika ada yang membiayai hidup mereka. Namun, saat anak itu tahu bahwa sang penyandang dana tak hanya menolongnya, tetapi juga menginginkan dirinya, bayangkan bagaimana perasaannya!
Saat kamu menjadi anak Allah, kamu tentu tahu, karena kamu mengalaminya sendiri. Kita sudah sangat bersyukur bahwa Allah begitu mengasihi kita hingga Dia mengirimkan Anak-Nya agar kita “tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Itu sudah cukup bagi kita. Namun, Allah melangkah lebih jauh. Tindakan Allah “mengutus Anak-Nya, . . . untuk menebus” kita bukanlah tujuan akhir, melainkan Dia ingin “supaya kita diterima menjadi anak” (Gal. 4:4-5).
Rasul Paulus menyebut kita sebagai “anak” (kata dengan bentuk maskulin dalam bahasa aslinya) karena pada zaman itu, yang mewarisi kekayaan orangtua adalah anak laki-laki. Maksudnya, sekarang siapa saja yang beriman kepada Yesus, baik laki-laki maupun perempuan, akan menjadi “anak” Allah dengan hak penuh sebagai ahli waris yang setara (ay.7).
Allah tidak hanya ingin menyelamatkanmu. Dia menginginkanmu. Allah telah mengadopsi kamu ke dalam keluarga-Nya, memberimu nama-Nya (Why. 3:12), dan dengan bangga menyebut kamu anak-Nya. Tak seorang pun dapat melebihi kasih-Nya kepadamu. Allah tak hanya memberkati, tetapi juga mengangkatmu sebagai anak. Sebagai anak, kamu sangat dikasihi oleh Allah Bapa. —Mike Wittmer
Bapa, alangkah istimewanya dapat menyebut-Mu sebagai Bapa! Terima kasih karena Engkau telah menyelamatkan dan menginginkan diriku.
Kamu tak hanya diselamatkan, tetapi juga dikasihi.

Wednesday, January 30, 2019

Alga dan Diatom

Diamlah, dan perhatikanlah keajaiban-keajaiban Allah. —Ayub 37:14
Alga dan Diatom
“Apa itu diatom?” tanya saya kepada seorang kawan sembari melongok ponselnya yang menampilkan foto-foto yang diambilnya lewat mikroskop. “Oh, itu ganggang mirip alga, tetapi lebih sulit untuk dilihat. Untuk melihatnya, lensa harus ditetesi minyak atau diatom itu harus dalam kondisi mati,” katanya. Saya dibuat kagum oleh gambar-gambar itu. Betapa kompleksnya detail dalam suatu makhluk hidup ciptaan Allah yang hanya bisa kita lihat dengan mikroskop!
Ciptaan dan karya Allah sungguh tidak terbatas. Dalam kitab Ayub, salah satu sahabatnya, Elihu, menyatakan hal tersebut saat Ayub bergumul dengan kehilangan yang dialaminya. Elihu menantangnya, “Berilah telinga kepada semuanya itu, hai Ayub, diamlah, dan perhatikanlah keajaiban-keajaiban Allah. Tahukah engkau, bagaimana Allah memberi tugas kepadanya, dan menyinarkan cahaya dari awan-Nya? Tahukah engkau tentang melayangnya awan-awan, tentang keajaiban-keajaiban dari Yang Mahatahu?” (Ayb. 37:14-16). Sebagai manusia, kita takkan sanggup memahami segala kompleksitas Allah dan karya ciptaan-Nya.
Bagian-bagian dari alam ciptaan yang tidak bisa kita lihat pun mencerminkan keagungan dan kuasa Allah. Kemuliaan-Nya ada di sekitar kita. Apa pun yang sedang kita alami, Allah terus berkarya, sekalipun kita tak dapat melihat dan memahaminya. Pujilah Allah hari ini, sebab “Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang besar dan yang tak terduga, serta keajaiban-keajaiban yang tak terbilang banyaknya” (Ayb. 5:9). —Julie Schwab
Tuhan, terima kasih atas detail yang Engkau berikan atas alam ciptaan-Mu. Terima kasih juga karena Engkau terus berkarya sekalipun kami tak dapat melihatnya.
Allah senantiasa bekerja.

Tuesday, January 29, 2019

Mengoyakkan Langit

Koyakkanlah langit dan turunlah, ya Tuhan. —Yesaya 64:1 BIS
Mengoyakkan Langit
Dalam suatu percakapan baru-baru ini, seorang teman menceritakan bahwa ia telah meninggalkan imannya dengan alasan yang tak lagi asing bagi saya. Ia mengeluh, Bagaimana aku bisa percaya kepada Allah yang sepertinya tak pernah melakukan apa pun? Kebanyakan dari kita pasti pernah memikirkan pertanyaan serupa, seperti ketika melihat berita tentang tindak kejahatan maupun pengalaman pahit yang kita alami sendiri. Pergumulan yang dialami teman saya mengungkapkan kerinduannya yang besar agar Allah melakukan sesuatu baginya, dan itu adalah kerinduan yang pernah dirasakan oleh kita semua.
Israel tahu betul perasaan itu. Kerajaan Babel telah menaklukkan Israel, menghancurkan mereka dengan tangan besi, dan mengubah Yerusalem menjadi reruntuhan. Nabi Yesaya pun mengungkapkan keraguan orang Israel yang amat mendalam: Di manakah Allah yang seharusnya menyelamatkan kami? (Yes. 63:11-15). Namun, tepat di saat seperti itulah, Yesaya mengucapkan doa yang berani: “Koyakkanlah langit dan turunlah, ya Tuhan” (64:1 BIS). Kepedihan dan kesusahan hati Yesaya tidak membuatnya menjauh dari Allah, melainkan justru semakin mendekat kepada-Nya.
Keraguan dan masalah kita menunjukkan betapa kita telah jauh tersesat dan membutuhkan Allah untuk menjangkau kita kembali. Di sinilah kita melihat tindakan-Nya yang luar biasa dan tak terbandingkan. Dalam Yesus, Allah memang mengoyakkan langit dan turun bagi kita. Kristus menyerahkan tubuh-Nya yang koyak dan hancur agar Dia dapat merengkuh kita dengan kasih-Nya. Dalam diri Yesus, Allah datang kepada kita. —Winn Collier
Ya Tuhan, aku sering bersikap seolah-olah aku bisa mengatur sendiri hidupku dan menemukan jawaban atas segala pertanyaan hidupku. Namun, sesungguhnya aku tak bisa. Aku membutuhkan-Mu. Koyakkanlah langit dan turunlah, ya Tuhan!
Pertanyaan atau keraguan apa yang ingin kamu nyatakan kepada Allah?

Monday, January 28, 2019

Pujian Pengubah Suasana Hati

Apabila bertambah banyak pikiran dalam batinku, penghiburan-Mu menyenangkan jiwaku. —Mazmur 94:19
Pujian Pengubah Suasana Hati
Di suatu stasiun, saat saya menunggu kereta untuk perjalanan yang saya lakukan setiap minggu, pikiran-pikiran negatif memadati benak saya seperti banyaknya penumpang yang mengantre untuk naik kereta—stres karena utang yang melilit, komentar pedas yang ditujukan kepada saya, perasaan tak berdaya dalam menghadapi ketidakadilan yang baru-baru ini dialami kerabat saya. Saat kereta tiba, suasana hati saya pun kacau.
Di dalam kereta, timbul pikiran lain: bagaimana kalau saya menulis sebuah doa kepada Allah sebagai ungkapan ratapan saya. Setelah menuangkan keluh-kesah saya dalam jurnal, saya mengambil ponsel dan mendengarkan lagu pujian yang tersimpan di dalamnya. Tanpa sadar, suasana hati saya yang kacau telah diubah total.
Secara tak sengaja, saya telah mengikuti pola yang digunakan oleh penulis Mazmur 94. Pertama, pemazmur mencurahkan keluhannya: “Bangunlah, ya Hakim bumi, balaslah kepada orang-orang congkak apa yang mereka lakukan! . . . Siapakah yang bangkit bagiku melawan orang-orang jahat, siapakah yang tampil bagiku melawan orang-orang yang melakukan kejahatan?” (Mzm. 94:2,16). Dengan sangat gamblang, pemazmur menceritakan kepada Allah segala ketidakadilan yang dialami para janda dan anak yatim piatu. Sesudah mencurahkan ratapannya, pemazmur beralih menyatakan pujian: “Tetapi Tuhan adalah kota bentengku dan Allahku adalah gunung batu perlindunganku” (ay.22).
Allah mengundang kita untuk membawa ratapan kita kepada-Nya. Dia sanggup mengubah ketakutan, kesedihan, dan ketidakberdayaan kita menjadi pujian yang memuliakan-Nya. —Linda Washington
Tuhan, kucurahkan isi hatiku kepada-Mu. Angkatlah kepedihan dan amarahku, lalu berikanlah aku damai sejahtera-Mu.
Pujian kepada Allah sanggup meringankan beban terberat sekalipun.

Sunday, January 27, 2019

Orang Baik dari Berbagai Bangsa

Mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu. —Ester 4:14
Orang Baik dari Berbagai Bangsa
Di Yad Vashem, Museum Peringatan Holocaust di Yerusalem, saya dan suami mengunjungi taman Orang Baik dari Berbagai Bangsa, yang dibangun untuk menghormati mereka yang mempertaruhkan nyawa dalam menyelamatkan orang Yahudi selama peristiwa Holocaust. Di sana, kami bertemu sekelompok orang dari Belanda. Seorang wanita dari rombongan itu datang untuk melihat nama kakek dan neneknya yang tercantum pada plakat besar. Karena penasaran, kami pun bertanya tentang kisah keluarganya.
Kakek nenek wanita itu—Pdt. Pieter dan Adriana Müller—adalah anggota jaringan perlawanan yang mengadopsi seorang anak laki-laki Yahudi berumur dua tahun menjadi putra bungsu mereka pada tahun 1943-1945.
Tersentuh oleh ceritanya, kami lalu bertanya, “Apakah anak itu selamat?” Seorang pria yang lebih tua dalam rombongan tadi menyahut, “Sayalah anak itu!”
Keberanian banyak orang untuk menyelamatkan orang Yahudi itu mengingatkan saya pada Ratu Ester. Ia mungkin sempat berpikir bisa lolos dari keputusan Raja Ahasyweros untuk memusnahkan orang Yahudi pada sekitar tahun 475 SM karena ia berhasil menyembunyikan asal-usulnya. Namun, Ester akhirnya tergerak untuk bertindak—meski risikonya mati—ketika sepupunya memohon agar Ester tidak mengabaikan asal-usulnya sebagai orang Yahudi, sebab ia ditempatkan pada posisinya sebagai ratu “justru untuk saat yang seperti ini” (Est. 4:14).
Kita mungkin belum pernah didesak membuat keputusan hidup-mati seperti itu. Namun, adakalanya kita menghadapi pilihan untuk menentang ketidakadilan atau tetap diam; untuk membantu seseorang yang mengalami kesulitan atau menutup mata. Kiranya Allah memberi kita keberanian melakukan yang benar. —Lisa Samra
Bapa, terima kasih atas kasih-Mu bagi orang yang tertindas dan tak berdaya. Tolong kami untuk peka pada tuntunan-Mu agar tahu kapan harus bertindak.
Adakah orang-orang yang perlu kamu bela? Mintalah Allah untuk memberimu keberanian bertindak pada waktu yang tepat.

Saturday, January 26, 2019

Bebas dalam Batasan

Biarlah aku hidup menurut petunjuk perintah-perintah-Mu, sebab aku menyukainya. —Mazmur 119:35
Bebas dalam Batasan
Suatu hari di musim dingin, anak-anak saya merengek untuk main seluncuran salju. Suhu saat itu hampir mencapai minus tujuh belas derajat Celcius. Kepingan-kepingan salju menerpa jendela kami. Saya mempertimbangkan sejenak permohonan mereka, lalu mengizinkan mereka—dengan syarat mereka harus berpakaian tebal, tidak boleh berjauhan, dan tidak boleh lebih dari 15 menit.
Karena kasih, saya membuat aturan itu supaya anak-anak saya bisa bebas bermain tanpa kedinginan dan membeku di luar. Saya pikir, penulis Mazmur 119 mengenali maksud yang sama dalam diri Allah ketika ia menuliskan dua ayat yang berurutan tetapi yang seakan bertentangan: “Aku hendak berpegang pada Taurat-Mu senantiasa, untuk seterusnya dan selamanya” lalu “Aku hendak hidup dalam kelegaan, sebab aku mencari titah-titah-Mu” (ay.44-45). Mengapa pemazmur menghubungkan kelegaan dengan kehidupan rohani yang menaati hukum-hukum Allah?
Dengan mengikuti instruksi Allah yang penuh hikmat, kita dapat terhindar dari konsekuensi yang mengikuti pilihan buruk yang akan kita sesali di kemudian hari. Tanpa beban rasa bersalah atau kepedihan, kita menjadi lebih lega dan bebas menikmati hidup kita. Allah tidak ingin mengendalikan kita dengan berbagai aturan tentang apa yang boleh atau tidak boleh kita lakukan; sebaliknya, Dia memberikan tuntunan sebagai bukti kasih-Nya kepada kita.
Saya senang menyaksikan anak-anak saya berseluncur menuruni bukit dengan riang gembira. Mereka bebas bermain dalam batasan yang saya berikan. Paradoks menarik itu juga berlaku dalam hubungan kita dengan Allah—hal itulah yang membuat kita dan pemazmur berkata, “Biarlah aku hidup menurut petunjuk perintah-perintah-Mu, sebab aku menyukainya” (ay.35). —Jennifer Benson Schuldt
Ya Tuhan, ajarku menyukai perintah-perintah-Mu seperti pengalaman pemazmur. Aku ingin memuliakan Engkau lewat pilihan-pilihan yang kuambil setiap hari.
Ketika hati dipenuhi kasih, kita akan taat kepada Allah dengan rela.

Friday, January 25, 2019

Sudut Pandang yang Luas

Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib. —1 Petrus 2:9
Sudut Pandang yang Luas
Dalam liputan upacara pelantikan presiden Amerika Serikat pertama yang berasal dari keturunan Afrika-Amerika, kamera televisi menyorot kerumunan warga dari hampir dua juta orang yang berkumpul untuk menyaksikan langsung peristiwa bersejarah tersebut. Koresponden CBS News, Bob Schieffer, berkata, “Aspek terbaik dari acara ini adalah sudut pengambilan gambarnya yang luas.” Tak ada cara lain yang lebih baik untuk menyorot kumpulan orang yang membentang dari Monumen Lincoln Memorial sampai ke Gedung Capitol.
Kitab Suci menampilkan sekilas pandang sebuah kumpulan yang jauh lebih besar, yang disatukan oleh iman kepada Yesus Kristus: “Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1Ptr. 2:9).
Itu bukanlah gambaran tentang segelintir orang yang memiliki hak istimewa, tetapi tentang sejumlah besar orang dari “tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa” (Why. 5:9) yang telah mengalami penebusan. Hari ini kita tersebar di seluruh muka bumi, dan banyak dari kita yang masih mengalami penganiayaan serta pengucilan karena kesetiaan mereka kepada Yesus. Namun, melalui lensa firman Allah yang memberikan sudut pandang yang luas, kita melihat saudara-saudari seiman dari berbagai penjuru dunia yang bersama kita memuliakan Allah yang telah menebus dan menjadikan kita milik-Nya.
Marilah kita semua memuji Allah yang telah membawa kita keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib! —David C. McCasland
Tuhan, Engkau layak menerima segala pujian! Kami, umat-Mu, kagum akan Engkau.
Pujian apa yang akan kamu berikan kepada Allah?

Thursday, January 24, 2019

Hal Besar

Berpuasa yang Kukehendaki, ialah . . . supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk. —Yesaya 58:6
Hal Besar
Seorang kerabat membutuhkan bantuan untuk membayar sewa bulanannya. Keluarga yang dimintai bantuan itu sebenarnya keberatan—apalagi mereka sendiri mempunyai pengeluaran tak terduga pada akhir tahun. Namun demikian, dalam ucapan syukur atas pemeliharaan Allah, mereka menguras tabungan untuk memberikan bantuan. Mereka pun merasa bahagia karena kerabat yang mereka tolong sangat berterima kasih atas bantuan itu.
Kerabat itu memberikan sepucuk kartu terima kasih yang bertuliskan, “Sekali lagi kalian telah begitu bermurah hati, bahkan mungkin tidak menganggapnya sebagai hal yang besar.”
Namun, bagi Allah, menolong orang lain adalah hal besar. Nabi Yesaya menekankan hal tersebut kepada bangsa Israel. Bangsa itu berpuasa, tetapi masih saja berselisih dan berkelahi. Yesaya mengatakan, seharusnya mereka berusaha memerdekakan orang yang tertindas, meringankan beban orang lain, berbagi kepada yang lapar dan yang tidak memiliki pakaian, memberi tumpangan kepada yang membutuhkan tempat tinggal, dan tidak menolak saudara mereka yang memerlukan pertolongan (Yes. 58:6-7).
Pengorbanan seperti itu, kata Yesaya, tak hanya memancarkan terang Allah, tetapi juga memulihkan luka batin kita (ay.8). Ketika keluarga tadi menolong kerabatnya, mereka dihadapkan pada keadaan mereka sendiri dan bertekad untuk mengatur keuangan mereka dengan lebih baik di tahun mendatang. Inilah janji Allah kepada orang yang murah hati, “Aku akan menyertaimu untuk menyelamatkan kamu. Kehadiran-Ku akan melindungi kamu dari segala penjuru” (ay.8 BIS). Pada akhirnya, dengan membantu kerabat, mereka sendiri lebih diberkati. Bagaimana dengan Allah sendiri? Dia telah memberikan segala-galanya dalam kasih. —Patricia Raybon
Tuhan, ajarlah kami bermurah hati dan tolong kami untuk memberi seperti diri-Mu.
Allah memberikan segala-galanya. Marilah mengikuti teladan-Nya.

Wednesday, January 23, 2019

Berusaha Mengesankan

Karena dari hati timbul segala pikiran jahat . . . . Itulah yang menajiskan orang. —Matius 15:19-20
Berusaha Mengesankan
Dalam perjalanan karyawisata yang dilakukan oleh suatu kelas perguruan tinggi, seorang dosen sangat pangling melihat salah satu mahasiswi unggulannya. Di kelas, ia biasa memakai sepatu setinggi 15 cm. Namun, saat berjalan dengan sepatu santai, tingginya tak lebih dari 153 cm. “Sepatu bertumit itu adalah tinggi badan impianku,” katanya sambil tertawa. “Tetapi sepatu bot ini adalah diriku apa adanya.”
Tampilan fisik tidak menentukan jati diri kita, karena yang terutama adalah hati. Yesus menegur keras orang Farisi dan ahli Taurat yang sangat mengedepankan aspek lahiriah. Mereka bertanya kepada Yesus mengapa para murid tidak mencuci tangan sebelum makan seperti adat istiadat Yahudi (Mat. 15:1-2). Yesus balik bertanya, “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu?” (ay.3). Lalu Dia menunjukkan bagaimana mereka berusaha mencari-cari celah hukum untuk mempertahankan harta agar tidak perlu merawat orangtua (ay.4-6), sehingga mereka sesungguhnya tidak menghormati orangtua dan melanggar hukum kelima (Kel. 20:12).
Jika kita mengutamakan tampilan luar dan mencari-cari celah dalam perintah Allah yang sudah jelas, kita sedang melanggar maksud dari hukum yang diberikan-Nya. Yesus berkata, “Dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan,” dan hal-hal buruk lainnya (Mat. 15:19). Hanya Allah yang dapat memberi kita hati yang bersih oleh kebenaran Anak-Nya, Yesus Kristus. —Tim Gustafson
Tuhan, kami cenderung mengandalkan usaha sendiri untuk membuat Engkau dan orang lain terkesan. Tolong kami bersikap tulus dalam semua hubungan kami dan memiliki hati yang dipulihkan lewat pengampunan-Mu.
Allah tidak akan terkesan ketika motivasi kita adalah untuk mengesankan orang lain.

Tuesday, January 22, 2019

Selalu Menjadi Anak Allah

Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. —Roma 8:14
Selalu Menjadi Anak Allah
Gereja kami memiliki kebiasaan untuk bergandeng tangan saat jemaat bersama-sama mengucapkan Doa Bapa Kami. Suatu kali di tengah kebaktian bersama orangtua, ketika satu tangan saya memegang tangan ibu dan tangan yang lain memegang tangan ayah, tiba-tiba saya terpikir bahwa saya akan selalu menjadi anak mereka. Meski sudah paruh baya, saya tetap disebut “anak perempuan Bapak Leo dan Ibu Phyllis”. Saya pun merenungkan bahwa ikatan tersebut tak hanya berlaku dengan mereka, tetapi juga dengan Allah. Saya akan selalu menjadi anak-Nya.
Rasul Paulus menghendaki agar jemaat di Roma memahami bahwa mereka mempunyai identitas sebagai anggota keluarga Allah karena mereka telah diangkat menjadi anak-anak-Nya (Rm. 8:15). Mereka telah lahir oleh Roh (ay.14) sehingga tak harus lagi diperbudak oleh hal-hal yang tidak berarti. Melalui Roh yang dikaruniakan kepada mereka, mereka menjadi “ahli waris, . . . yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus” (ay.17).
Apa dampak dari kenyataan tersebut bagi para pengikut Kristus? Segalanya! Identitas kita sebagai anak-anak Allah menjadi fondasi yang membentuk pandangan kita terhadap diri sendiri dan terhadap dunia. Contohnya, ketika menyadari bahwa kita adalah bagian dari keluarga Allah, kita dimampukan untuk keluar dari zona nyaman dalam upaya kita mengikut Dia. Kita pun dibebaskan dari hasrat untuk mencari-cari penerimaan dari orang lain.
Hari ini, marilah kita merenungkan apa artinya menjadi anak Allah. —Amy Boucher Pye
Ya Tuhan Allah, tolong aku untuk hidup sesuai dengan identitas utamaku sebagai anak-Mu. Tolong aku untuk menjalani hidup dipimpin Roh-Mu agar aku bisa membagikan kasih dan pengharapan-Mu kepada sesama.
Setiap orang yang mengikut Allah adalah anak-anak-Nya.

Monday, January 21, 2019

Nyanyian Alam Semesta

Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya. —Mazmur 19:2
Nyanyian Alam Semesta
Dengan ilmu astronomi akustik, para ilmuwan dapat meneliti dan mendengar bunyi luar angkasa. Mereka menemukan bahwa gerakan orbit bintang ternyata menghasilkan suara seperti irama musik pada langit di malam hari. Seperti bunyi ikan paus bungkuk, resonansi bintang itu terletak pada frekuensi atau gelombang yang tidak terdengar oleh telinga manusia. Namun, alunan musik dari bintang dan ikan paus serta mahkluk-makhluk lainnya menciptakan simfoni yang mengumandangkan kebesaran Allah.
Mazmur 19:1-5 berkata, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi.”
Dalam Perjanjian Baru, Rasul Paulus menyingkapkan bahwa di dalam Yesus “telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, . . . segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” (Kol. 1:16). Seluruh alam semesta menanggapi dengan memuji Penciptanya. Kiranya kita bersama alam ciptaan turut memuji kebesaran Allah, Pribadi yang “menakar air laut dengan lekuk tangannya dan mengukur langit dengan jengkal” (Yes. 40:12). —Remi Oyedele
Agunglah Engkau, ya Allah! Bukalah mataku untuk melihat Engkau dalam kemegahan ciptaan-Mu dan buka hatiku untuk mempersembahkan pujian yang layak Kau terima.
Baiklah [kita] semua memuji nama Tuhan, sebab semuanya dijadikan atas perintah-Nya. —Mazmur 148:5 BIS

Sunday, January 20, 2019

Ke Mana Tujuanmu?

Dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari Tuhan. —Mazmur 121:1-2
Ke Mana Tujuanmu?
Apa yang menentukan arah hidupmu? Suatu kali, saya mendengar jawabannya di tempat yang tak terduga, yaitu tempat kursus mengendarai motor. Saya dan sejumlah teman ingin mengendarai motor, jadi kami pun mendaftar kursus di sana. Salah satu materinya membahas tentang memusatkan perhatian.
Instruktur kami berkata, ”Sewaktu berkendara, kamu pasti akan menemui halangan yang tidak terduga di jalan. Kalau kamu memusatkan perhatian pada hal tersebut, kamu justru akan menabraknya. Namun, bila kamu mengalihkan fokus dan tetap memandang ke arah yang dituju, kamu akan dapat menghindarinya.” Ia menambahkan, “Ke mana kamu memandang, itulah arah yang kamu tuju.”
Prinsip sederhana nan bijak itu juga berlaku dalam kehidupan rohani. Saat mata kita terpaku pada rintangan—berfokus pada masalah atau pergumulan—hampir pasti kehidupan kita hanya berputar-putar di sana.
Namun, Alkitab menasihatkan kita untuk menatap jauh melampaui masalah dan memandang kepada Pribadi yang sanggup menolong kita menghadapinya. Dalam Mazmur 121:1 tertulis, “Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?” Jawabannya, “Pertolonganku ialah dari Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi. . . . Tuhan akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya” (ay.2,8).
Kadang, rintangan yang kita hadapi tampak tak mungkin teratasi. Namun, Allah mengundang kita datang kepada-Nya agar kita ditolong untuk mampu memandang melampaui masalah yang ada dan tidak membiarkannya mendominasi pandangan kita. —Adam Holz
Bapa, tolong aku untuk tidak terpaku pada masalah, tetapi memandang-Mu kapan pun ada rintangan yang menakutkan dalam perjalananku mengikut Engkau.
Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi. Mazmur 124:8

Saturday, January 19, 2019

Indahnya Cinta

Hendaklah engkau berbahagia dengan istrimu sendiri. —Amsal 5:18 BIS
Indahnya Cinta
“Jarabe Tapatio” adalah tarian asal Meksiko yang merayakan cinta. Dalam tarian berirama cepat ini, sang pria menaruh topi sombrero miliknya di atas lantai. Lalu, di akhir tarian, sang wanita akan mengambil topi itu dan keduanya pun bersembunyi dan berciuman di balik topi sebagai penegasan atas cinta mereka berdua.
Tarian itu mengingatkan saya akan pentingnya kesetiaan dalam pernikahan. Dalam Amsal 5, setelah muncul peringatan tentang bahaya percabulan, kita membaca bahwa pernikahan itu bersifat eksklusif. “Sebab itu, setialah kepada istrimu sendiri dan berikanlah cintamu kepada dia saja” (ay.15 BIS). Meski ada sepuluh pasangan yang menari Jarabe di atas panggung, setiap orang berfokus hanya pada pasangannya sendiri. Demikian juga haruslah kita bersukacita dalam komitmen yang teguh dan bulat kepada pasangan kita (ay.18 BIS).
Kisah cinta kita juga tak luput dari perhatian. Para penari yang menikmati tarian bersama pasangannya sadar bahwa ada orang yang menyaksikan mereka. Begitu pula dengan kehidupan kita, “Tuhan melihat segala-galanya yang dilakukan oleh manusia. Ke mana pun manusia pergi Tuhan mengawasinya” (ay.21 BIS). Allah ingin melindungi pernikahan kita, karena itulah Dia senantiasa memperhatikan kita. Kiranya kita menyenangkan hati Allah dengan saling setia kepada pasangan.
Seperti tarian Jarabe, hidup juga memiliki ritme yang harus diikuti. Jika kita mengikuti irama Sang Pencipta dengan berlaku setia kepada-Nya—baik sudah menikah maupun belum—kita akan menerima berkat dan sukacita. —Keila Ochoa
Tuhan, Engkau mengenal segala jalanku. Tolong aku untuk menghormati-Mu dalam hubunganku dengan sesama.
Kesetiaan menghasilkan sukacita.

Friday, January 18, 2019

Doa yang Sarat Pertanyaan

Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. —Mazmur 13:6a
Doa yang Sarat Pertanyaan
Dalam perjalanan jarak jauh (bahkan jarak dekat), sering terdengar pertanyaan, “Sudah sampai belum?” atau “Berapa lama lagi?” Hal itu tidak jarang terlontar dari mulut anak-anak maupun orang dewasa yang ingin segera tiba di tujuan. Namun, orang-orang di segala zaman juga cenderung menanyakan hal itu saat mereka didera kelelahan karena menghadapi tantangan hidup yang tampaknya tak pernah usai.
Mazmur 13 menunjukkan perasaan serupa yang juga dialami Daud. Dalam dua ayat saja (ay.2-3), empat kali Daud meratap, “Berapa lama lagi?” Ia merasa dilupakan, telantar, dan terpuruk. Pada ayat 3, ia bertanya, ”Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari?” Mazmur ratapan seperti ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa kita boleh menghadap Tuhan di dalam doa dengan membawa pertanyaan-pertanyaan kita. Lagipula, bukankah Dia adalah pribadi terbaik untuk diajak bicara di tengah tekanan dan kesesakan kita? Kita dapat membawa setiap pergumulan kita kepada-Nya—penyakit, dukacita, penyimpangan orang yang kita kasihi, dan hubungan yang sulit.
Penyembahan kita tak perlu terhenti ketika kita mempunyai banyak pertanyaan di dalam pikiran kita. Allah yang berdaulat penuh itu menerima kita yang datang kepada-Nya dengan segala pertanyaan yang menjadi sumber kekhawatiran kita. Mungkin saja, seperti Daud, akan tiba saatnya segala pertanyaan kita akan diubah menjadi permohonan, penyerahan diri, dan pujian kepada Tuhan (ay.4-6). —Arthur Jackson
Tuhan, terima kasih karena aku boleh tetap datang menyembah-Mu meski ada banyak pertanyaan di dalam pikiranku.
Nyatakanlah pertanyaan dan pergumulanmu kepada Allah.

Thursday, January 17, 2019

Tak Bisa Dilepaskan

[Tiada yang] dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. —Roma 8:39
Tak Bisa Dilepaskan
“Satu hal apa yang tak bisa kamu lepaskan?” tanya seorang penyiar radio. Para penelepon memberi sejumlah jawaban menarik. Ada yang menyebutkan keluarga mereka, termasuk seseorang yang menceritakan kenangan tentang istrinya yang sudah wafat. Yang lain menyebutkan impian mereka, seperti menjadi seorang ibu atau berkarir di dunia musik. Kita semua memiliki sesuatu yang sangat berharga—seseorang, impian, harta milik—sesuatu yang tak bisa dilepaskan.
Dalam kitab Hosea, Allah berfirman bahwa Dia takkan melepaskan Israel, umat pilihan-Nya yang sangat berharga. Seperti seorang suami yang penuh kasih terhadap Israel, Allah menyediakan semua kebutuhannya: tempat tinggal, makanan, minuman, pakaian, dan rasa aman. Namun, seperti seorang istri yang berzina, Israel menolak Allah lalu mencari kesenangan dan rasa aman dari sumber yang lain. Semakin Allah memanggil mereka, semakin mereka menjauh dari hadapan-Nya (Hos. 11:2). Meski Israel sangat menyakiti hati-Nya, Allah takkan menyerah atas mereka (ay.8). Dia akan menghukum Israel untuk kemudian menebus mereka; Dia rindu membangun kembali hubungan dengan mereka (ay.11).
Semua anak Allah dapat memiliki kepastian yang sama saat ini: kasih-Nya kepada kita membuat-Nya takkan pernah melepaskan kita (Rm. 8:37-39). Ketika kita menjauh dari Allah, Dia mendambakan agar kita kembali kepada-Nya. Ketika Allah menghukum kita, itulah tanda pengejaran-Nya, bukan penolakan-Nya. Kita ini milik-Nya yang berharga; Dia takkan pernah melepaskan kita. —Poh Fang Chia
Bapa Surgawi, terima kasih atas kasih-Mu yang tak pernah melepaskanku. Tolong aku untuk mengasihi-Mu dengan segenap hati.
Allah selalu menerima anak-Nya yang kembali kepada-Nya.

Wednesday, January 16, 2019

Berbagi Segalanya

Bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku. —Rut 1:16
Berbagi Segalanya
“Aku tak mau berbagi!” jerit anak bungsu saya. Ia tidak rela melepaskan satu saja dari sekian banyak keping LEGO miliknya. Saya tidak habis pikir melihat sikapnya itu. Namun, sejujurnya, sikap kekanak-kanakan itu tak hanya dimiliki oleh anak-anak. Seberapa sering kita sebagai orang dewasa menunjukkan sikap keras kepala lewat keengganan kita untuk memberi dengan tulus dan murah hati kepada orang lain?
Sebagai pengikut Yesus, kita dipanggil untuk berbagi hidup satu sama lain. Rut telah melakukan itu kepada Naomi, mertuanya. Naomi adalah janda miskin yang hampir tak punya apa-apa untuk diberikan kepada Rut. Namun, Rut tetap mengabdikan hidupnya kepada sang ibu mertua, dengan bersumpah bahwa mereka akan selalu bersama dan dalam kematian pun mereka tidak akan terpisahkan. Ia berkata kepada Naomi, ”Bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (Rut 1:16). Dengan tulus dan murah hati, Rut berbagi hidup dengan mertuanya—ia menunjukkan cinta dan belas kasihnya.
Berbagi hidup seperti itu memang tidak mudah, tetapi ingatlah ada buah dari kemurahan hati. Rut berbagi hidup dengan Naomi, dan kemudian ia melahirkan seorang putra yang menjadi kakek dari Raja Daud. Yesus memberikan nyawa-Nya bagi kita, lalu Dia dimuliakan dan sekarang memerintah di sebelah kanan Allah Bapa di surga. Ketika kita saling berbagi, yakinlah bahwa kita akan mengalami hidup yang jauh lebih indah. —Peter Chin
Tuhan Yesus, kiranya hati-Mu yang penuh kasih terpancar saat kami berbagi hidup dengan sesama.
Membagikan kasih Allah dinyatakan lewat kerelaan memperhatikan sesama.

Tuesday, January 15, 2019

Lagu di Malam Hari

Jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun. —Roma 8:25
Lagu di Malam Hari
Sepanjang hidupnya, ayah saya merasakan kekosongan. Ia mendambakan kesehatan, tetapi penyakit Parkinson secara perlahan melumpuhkan pikiran dan tubuhnya. Ia mendambakan kedamaian, tetapi tersiksa oleh depresi yang sangat menekan. Ia rindu dikasihi dan dihibur, tetapi sering merasa sendirian.
Namun, ketika membaca Mazmur 42 yang sangat disukainya, ia merasa tidak terlalu kesepian. Seperti ayah, pemazmur sangat memahami rasa rindu yang amat mendalam, suatu kehausan yang tak terpuaskan akan pemulihan (ay.1-3). Pemazmur juga pernah mengalami kesedihan yang sepertinya takkan sirna (ay.4), dan itu membuat masa-masa sukacita hanya tinggal kenangan (ay.7). Seperti ayah saya, ketika gelombang kepanikan dan kesakitan menerjang (ay.8), pemazmur merasa ditinggalkan Allah dan bertanya, “Mengapa?” (ay.10).
Saat perkataan Mazmur 42 menyentuh hati ayah saya dan meyakinkannya bahwa ia tidak sendirian, ia mulai merasakan teduhnya kedamaian di tengah rasa sakitnya. Ia mendengar suara lembut melingkupinya, suara yang meyakinkannya bahwa meskipun ia tidak tahu apa jawabannya, dan meskipun gelombang penderitaan masih menerjang, ia tetap dikasihi (ay.9).
Mendengar mazmur kasih yang menenangkan di malam hari itu sudah cukup bagi ayah. Cukup baginya untuk mengandalkan sekilas pengharapan, kasih, dan sukacita yang diterimanya. Dengan sabar, ia dapat menantikan hari agung itu ketika semua kerinduannya akan dipenuhi seluruhnya (ay.6,12). —Monica Brands
Tuhan, kami tahu Engkau telah menanggung semua penderitaan kami dan kelak akan mengubahnya dalam kebangkitan. Namun, kami masih menantikan pemulihan total. Saat menunggu tibanya hari itu, tolong kami untuk mengandalkan mazmur kasih-Mu.
Dalam menantikan pemulihan total, tetaplah bersandar pada kasih Allah.

Monday, January 14, 2019

Fondasi Pengharapan yang Pasti

Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus. —Filipi 4:19
Fondasi Pengharapan yang Pasti
Pelajaran tentang iman kadang berasal dari hal-hal tak terduga—misalnya yang saya pelajari dari Bear, anjing peliharaan saya. Saya meletakkan mangkuk air milik Bear di sudut dapur. Setiap kali mangkuk besar itu kosong, Bear tidak akan menggonggong atau mengais-ngais bagian dalamnya. Ia hanya berbaring diam di dekat mangkuknya dan menunggu. Kadang, Bear harus menunggu cukup lama, tetapi ia tahu bahwa saya pasti akan masuk ke dapur, melihatnya di pojok, lalu memberikan apa yang ia butuhkan. Keyakinannya yang sederhana itu mengingatkan saya untuk lebih percaya kepada Allah.
Alkitab mengatakan bahwa “iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr. 11:1). Fondasi dari kepercayaan dan keyakinan itu adalah Allah sendiri, yang “memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia” (ay.6). Allah setia memenuhi janji-janji-Nya kepada semua yang percaya dan datang kepada-Nya melalui Yesus Kristus.
Mempercayai apa “yang tidak kita lihat” itu memang tidak mudah. Namun, kita dapat mengandalkan kebaikan Allah dan pribadi-Nya yang penuh kasih, dengan mempercayai bahwa hikmat-Nya sempurna dalam segala sesuatu—bahkan ketika kita harus menunggu. Allah selalu menepati apa yang Dia janjikan, yakni bahwa Dia akan menyelamatkan jiwa kita dalam kekekalan dan mencukupi kebutuhan kita yang terdalam, dari saat ini sampai selamanya. —James Banks
Bapa yang mahakuasa, terima kasih untuk kesetiaan-Mu yang selalu menjagaku. Tolong aku untuk mempercayai-Mu dan bersandar pada kasih-Mu yang sempurna.
Jangan khawatir akan hari esok—Allah ada di sana.

Sunday, January 13, 2019

Nasib Buruk Lobster

Usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang. —1 Tesalonika 5:15
Nasib Buruk Lobster
Ketika seorang sepupu mengajak saya memancing lobster air tawar, saya sangat bersemangat. Namun, saya menyeringai ketika ia memberikan ember plastik. “Tak ada tutupnya?”
“Tidak perlu,” katanya sembari mengambil tongkat pancing dan sebungkus kecil umpan dari irisan daging ayam.
Saat mengamati lobster-lobster kecil saling memanjat agar bisa keluar dari ember yang hampir penuh, saya sadar mengapa embernya tak perlu ditutup. Tiap kali seekor lobster berhasil sampai ke mulut ember, lobster-lobster lain di dalam akan menariknya jatuh lagi.
Nasib buruk lobster itu mengingatkan saya pada bahaya dari keegoisan, yaitu ketika kita hanya memikirkan pencapaian pribadi daripada mengejar kebaikan seluruh komunitas. Dalam suratnya kepada jemaat Tesalonika, Rasul Paulus memahami pentingnya relasi yang saling mendukung dan mengandalkan. Nasihatnya, “Tegorlah mereka yang hidup dengan tidak tertib, hiburlah mereka yang tawar hati, belalah mereka yang lemah, sabarlah terhadap semua orang” (1Tes. 5:14).
Setelah memuji jemaat Tesalonika yang telah saling membangun (ay.11), Paulus mendorong mereka agar memperdalam kasih dan kedamaian di antara mereka (ay.13-15). Dengan berusaha menciptakan gaya hidup yang saling mengampuni, berbuat baik, dan berbelaskasihan, hubungan mereka dengan Allah dan sesama akan makin dikuatkan (ay.15,23).
Gereja dapat bertumbuh dan menjadi saksi Kristus lewat kesatuan umat yang saling mengasihi. Ketika umat percaya menghormati Allah, dengan berkomitmen untuk saling membangun daripada menjatuhkan lewat perkataan maupun perbuatan, kita sebagai pribadi maupun komunitas akan terus mengalami pertumbuhan. —Xochitl Dixon
Apa yang akan kamu lakukan untuk membangun orang lain? Perhatian dan perbuatan kasih apa yang pernah kamu terima dari saudara seiman?

Saturday, January 12, 2019

Yesus Selalu Dekat

Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. —Matius 25:40
Yesus Selalu Dekat
Putri saya sudah siap berangkat ke sekolah lebih cepat daripada biasanya. Ia pun bertanya apakah kami bisa mampir ke kedai kopi dalam perjalanan ke sekolah. Saya setuju. Ketika mendekati jalur “lantatur” (layanan tanpa turun), saya berkata, “Kamu mau membagikan sedikit sukacita pagi ini?” “Mau, Pa,” jawabnya.
Kami pun memesan, kemudian beranjak ke loket pembayaran. Saya berkata kepada si pramuniaga, “Kami juga mau membayar pesanan wanita di mobil belakang.” Putri saya terlihat sangat senang dengan senyumnya yang lebar.
Di antara banyak hal besar, secangkir kopi kelihatannya sepele, bukan? Namun, saya bertanya-tanya, mungkinkah itu salah satu cara untuk mewujudkan kehendak Yesus bagi kita, yakni untuk memperhatikan orang-orang yang Dia sebut “salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina”? (Mat. 25:40). Cobalah melihat orang yang antri di belakang atau di depan kita sebagai pribadi yang dimaksudkan oleh Yesus itu. Kemudian lakukan “segala sesuatu” yang kamu bisa—mungkin membelikan secangkir kopi atau melakukan yang lain, bisa lebih besar atau lebih sederhana dari itu. Ungkapan “segala sesuatu yang kamu lakukan” (ay.40) itu memberi kita keleluasaan yang sangat besar untuk melayani Dia sekaligus melayani orang lain.
Ketika meninggalkan tempat itu, kami melihat wajah wanita muda di belakang kami dan juga wajah pramuniaga yang memberikan kopi kepadanya. Mereka berdua tersenyum lebar. —John Blase
Tuhan, tolong aku untuk tidak memikirkan pelayanan sebagai sesuatu yang sulit. Terkadang hal-hal kecil dan sederhana memberi dampak lebih daripada yang dapat kubayangkan. Tolong aku juga untuk selalu ingat bahwa segala sesuatu yang kulakukan bagi orang lain, aku melakukannya bagi-Mu.
Saat melayani sesama, kita sedang melayani Kristus.

Friday, January 11, 2019

Dimensi Tak Terbatas

Aku berdoa, supaya kamu . . . dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus. —Efesus 3:18
Dimensi Tak Terbatas
Saya bergeming di atas alas tidur dan menahan napas ketika mesinnya bergerak. Saya tahu banyak orang sudah pernah menjalani pemeriksaan MRI. Namun, bagi saya yang menderita klaustrofobia (takut dalam ruangan yang sempit dan tertutup), saat menjalani proses itu, saya perlu memusatkan perhatian pada hal lain—lebih tepatnya, satu Pribadi—yang lebih besar daripada diri saya sendiri.
Seiring dengan bunyi dengung mesin, saya pun mengingat penggalan Kitab Suci, “Betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus” (Ef. 3:18). Dalam doanya bagi jemaat Efesus, Paulus menggambarkan empat dimensi kasih Allah untuk menekankan kasih dan kehadiran-Nya yang tak terukur.
Posisi dalam tabung MRI itu memberi gambaran baru bagi pemahaman saya. Lebar: jarak lima belas sentimeter di sisi tangan kiri dan kanan saya yang rapat dengan dinding tabung. Panjang: jarak antara kedua pintu tabung dari ujung kepala sampai kaki. Tinggi: jarak lima belas sentimeter dari hidung saya ke “langit-langit” tabung. Dalam: penopang tabung yang tertanam pada lantai di bawah saya. Empat dimensi itu melukiskan kehadiran Allah yang melingkupi dan menopang saya di dalam tabung MRI tersebut—dan di tiap situasi kehidupan saya.
Kasih Allah melingkupi kita SELURUHNYA. Lebar: Dia mengulurkan tangan-Nya untuk menjangkau semua orang di mana saja. Panjang: kasih-Nya tidak pernah berakhir. Tinggi: Dia mengangkat kita. Dalam: Dia masuk ke dalam hidup kita, menopang kita dalam segala situasi. Tiada satu hal pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah! (Rm. 8:38-39). —Elisa Morgan
Ya Tuhan, tolong kami berdiam sejenak untuk merenungkan betapa panjang, lebar, tinggi, dan dalamnya kasih-Mu bagi kami!
Situasi apa saja yang membuat kamu meragukan kasih Allah? Bagaimana kamu dapat memilih untuk mempercayai-Nya?

Thursday, January 10, 2019

Allah yang Menerima

Allah tidak membedakan orang. —Kisah Para Rasul 10:34
Allah yang Menerima
Kebaktian gereja kami diadakan di sebuah gedung sekolah dasar tua yang pada tahun 1958 pernah memilih tutup daripada mematuhi aturan pemerintah untuk berintegrasi (kesediaan menerima murid kulit hitam di sekolah yang sebelumnya hanya khusus untuk murid kulit putih). Namun, tahun berikutnya, sekolah itu dibuka kembali. Seorang jemaat gereja kami, Elva, merupakan salah satu murid kulit hitam yang dimasukkan sekelas dengan murid kulit putih di sana. “Aku dibawa keluar dari lingkungan yang aman dan para guru yang sudah akrab dengan kami,” kenang Elva, “lalu ditaruh dalam suatu lingkungan yang menakutkan, di kelas yang murid kulit hitamnya hanya dua orang.” Elva menderita karena warna kulitnya yang berbeda, tetapi seiring waktu ia berubah menjadi gadis yang kuat, beriman, dan penuh pengampunan.
Kesaksiannya luar biasa. Ia menerima banyak perlakuan buruk dari sebagian masyarakat yang menolak kebenaran tentang Allah yang mengasihi setiap orang tanpa memandang ras dan suku mereka. Sejumlah anggota jemaat mula-mula juga menggumulkan perkara serupa. Mereka percaya bahwa ada kaum tertentu yang sudah dikasihi Allah sejak lahir, sedangkan yang lain ditolak. Namun, setelah menerima penglihatan surgawi, Petrus pun mencengangkan banyak orang dengan kesimpulannya: “Aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya” (Kis. 10:34-35).
Tangan Allah terbuka lebar untuk memberikan kasih-Nya kepada semua orang. Kiranya kita pun melakukan hal yang sama dengan kuasa yang dianugerahkan-Nya. —Winn Collier
Pikirkanlah lingkungan, keluarga, dan pergaulanmu. Pernahkah kamu merasa ingin menjauhi kaum atau golongan tertentu? Mengapa?
Kadang kita ingin menolak sebagian orang, tetapi Allah menerima semua.

Wednesday, January 9, 2019

Juruselamat Seperti Apakah Dia?

Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia. —Yohanes 6:66
Juruselamat Seperti Apakah Dia?
Tahun lalu, saya dan teman-teman mendoakan kesembuhan tiga wanita yang berjuang melawan kanker. Kami tahu Allah berkuasa melakukannya, maka setiap hari kami meminta-Nya untuk menyembuhkan mereka. Kami pernah melihat karya-Nya di masa lalu dan percaya bahwa Dia sanggup melakukannya lagi. Ada hari-hari ketika mereka tampaknya benar-benar akan sembuh, dan itu sempat membuat kami bersukacita. Namun, ketiganya meninggal dunia pada musim gugur tahun lalu. Kata orang, kematian adalah “kesembuhan sejati”, dan memang kita bisa melihatnya seperti itu. Namun, kepergian mereka tetap menyakitkan. Kami ingin Allah menyembuhkan mereka—dalam kehidupan yang sekarang—tetapi entah mengapa, tak ada mukjizat yang terjadi.
Sebagian orang mengikut Yesus karena mukjizat yang Dia lakukan dan untuk memenuhi kebutuhan mereka (Yoh. 6:2,26). Sejumlah orang hanya memandang-Nya sebagai anak tukang kayu (Mat. 13:55-58), dan yang lain mengharapkan Dia menjadi pemimpin politik (Luk. 19:37-38). Sebagian orang menganggap-Nya sebagai guru yang hebat (Mat. 7:28-29), sementara yang lain berhenti mengikut Dia karena ajaran-Nya sulit dimengerti (Yoh. 6:66).
Yesus tidak selalu memenuhi harapan-harapan kita terhadap-Nya. Namun, Dia jauh melebihi yang dapat kita bayangkan. Dialah pemberi hidup kekal (ay.47-48). Dia baik dan bijaksana; Dia mengasihi, mengampuni, menyertai, dan memberi kita penghiburan. Kiranya kita menemukan kelegaan dalam Yesus sebagaimana adanya Dia dan tetap setia mengikuti-Nya. —Anne Cetas
Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau adalah Juruselamat yang kami butuhkan. Lingkupi kami dengan kasih-Mu dan ajar kami untuk sepenuhnya percaya kepada-Mu.
Kepada-Mu aku percaya, ya Tuhan, aku berkata: “Engkaulah Allahku!” Mazmur 31:15

Tuesday, January 8, 2019

Cara untuk Tidak Khawatir

Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? —Matius 6:27
Cara untuk Tidak Khawatir
Seorang pria yang taat hukum dan jujur menerima pesan suara berisi ucapan, “Saya petugas ____ dari kepolisian. Mohon hubungi saya kembali di nomor ini.” Orang itu langsung merasa khawatir—ia takut jangan-jangan telah melakukan suatu kesalahan. Ia tidak berani menelepon, bahkan tiap malam ia tak bisa tidur karena memikirkan segala hal yang mungkin terjadi. Ia begitu khawatir akan tertimpa masalah. Petugas tadi tak pernah menelepon lagi, tetapi pria itu merasa khawatir sampai berminggu-minggu lamanya.
Yesus pernah menanyakan sesuatu yang menarik tentang kekhawatiran: “Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?”(Mat. 6:27). Pertanyaan itu dapat mendorong kita untuk memikirkan kembali kecenderungan kita untuk merasa khawatir. Yesus hendak menyatakan bahwa kekhawatiran tidak akan menyelesaikan masalah kita.
Saat menjumpai persoalan, cobalah menghadapinya dengan dua langkah berikut: Mengambil tindakan dan juga mempercayai Allah. Jika ada yang dapat kita lakukan untuk menghindari masalah, cobalah cara itu. Berdoalah meminta pimpinan Allah dalam memilih tindakan yang hendak diambil. Namun, jika memang tak ada yang bisa dilakukan, bersyukurlah bahwa Allah selalu sanggup bertindak bagi kita. Kita selalu bisa menyerahkan pergumulan kita kepada-Nya dengan penuh kepercayaan dan keyakinan.
Saat mulai khawatir, ingatlah firman Allah melalui perkataan Daud. Ia mengalami kesesakan dan kekhawatiran, tetapi katanya, “Serahkanlah kuatirmu kepada Tuhan, maka Ia akan memelihara engkau!” (Mzm. 55:23). Sungguh cara yang sangat baik untuk tidak khawatir! —Dave Branon
Bapa, Engkau tahu masalah yang kuhadapi hari ini. Kuserahkan kekhawatiranku kepada-Mu. Kuatkan dan tolonglah aku untuk mempercayai-Mu di tengah pergumulanku.
Kekhawatiran apa yang perlu kamu serahkan kepada Allah hari ini?

Monday, January 7, 2019

Orang Biasa

Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati. —1 Samuel 16:7
Orang Biasa
William Carey adalah seorang anak sakit-sakitan dari keluarga sederhana yang menetap di dekat Northampton, Inggris. Masa depannya tampak tidak terlalu cerah, tetapi Allah mempunyai rencana bagi hidup Carey. Meski kelihatannya mustahil, Carey pindah ke India, dan di sana ia melakukan reformasi sosial yang luar biasa dan menerjemahkan Alkitab ke dalam beberapa bahasa daerah di negeri itu. Carey mengasihi Allah dan sesamanya, serta berhasil mencapai banyak hal bagi Allah.
Daud bin Isai adalah seorang pemuda biasa dan anak bungsu di keluarganya. Di permukaan, ia hanyalah gembala sederhana di perbukitan Betlehem (1Sam. 16:11-12). Namun, Allah melihat hati Daud dan memiliki rencana untuknya. Raja Saul telah ditolak Allah karena ketidaktaatannya. Ketika Nabi Samuel menyesali tindakan-tindakan Saul, ia dipanggil Allah untuk mengurapi seorang raja baru dari salah satu anak Isai.
Ketika melihat Eliab yang tampan dan tinggi, wajar jika Samuel berpikir, “Sungguh, di hadapan Tuhan sekarang berdiri yang diurapi-Nya” (ay.6). Namun, cara Allah memilih seorang raja sangat jauh berbeda dengan cara Samuel. Allah bahkan menolak semua anak Isai, kecuali yang bungsu. Memilih Daud sebagai raja rasanya bukan langkah yang tepat bagi Allah, atau setidaknya itu yang kelihatan di permukaan. Orang bertanya-tanya, mungkinkah ada yang bisa diperbuat gembala muda itu di tengah lingkungannya, apalagi bagi negaranya?
Namun, Tuhan mengenal hati kita dan mempunyai rencana bagi hidup kita. Itulah penghiburan kita yang sejati. —Estera Pirosca Escobar
Ya Tuhan, terima kasih karena Engkau lebih mempedulikan sikap hatiku kepada-Mu daripada rupa, harta, maupun prestasiku.
Yang terpenting bagi Allah adalah hatimu.

Sunday, January 6, 2019

Keagungan Terbesar

Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia. —Lukas 2:1
Keagungan Terbesar
Kaisar Agustus dikenang sebagai kaisar Romawi yang pertama dan terbesar. Dengan kelihaian politik dan kekuatan militernya, ia mengalahkan musuh, memperluas wilayah kekaisaran, dan mengubah kota Roma dari lingkungan kumuh menjadi penuh kemewahan dengan patung-patung dan kuil-kuil dari marmer. Warga Romawi memuja Agustus sebagai dewa agung dan penyelamat umat manusia. Menjelang akhir pemerintahannya pada tahun ke-40, kata-kata terakhirnya yang dikenal secara resmi adalah, “Aku membangun Roma dari kota bertanah liat menjadi kota penuh marmer.” Namun, menurut sang istri, kata-kata terakhir Agustus yang sebenarnya adalah, “Sudahkah aku menjadi kaisar yang baik? Jika ya, rayakanlah saat aku mangkat.”
Agustus tidak sadar bahwa ia telah menjadi pemeran pendukung dalam cerita yang lebih besar. Pada masa pemerintahannya, lahirlah seorang anak tukang kayu yang menyingkapkan sesuatu yang jauh lebih agung daripada kemenangan militer, bangunan kuil, arena, maupun istana Romawi (Luk. 2:1).
Namun, siapa yang dapat memahami kemuliaan yang Yesus doakan pada malam ketika orang sebangsa-Nya menuntut Dia disalibkan oleh para algojo Romawi? (Yoh. 17:4-5). Adakah yang dapat memperkirakan keajaiban tersembunyi di balik pengorbanan yang akan selamanya dipuja di dalam surga dan di atas bumi?
Itulah kisah yang benar-benar menakjubkan. Mulanya, kita adalah manusia malang yang saling mencelakakan demi mengejar mimpi-mimpi bodoh, tetapi Dia telah mengubahkan dan menyatukan kita untuk mengenal serta memuja keagungan salib-Nya. —Mart DeHaan
Bapa di surga, kemegahan segala sesuatu akan berlalu, tetapi tolonglah kami untuk melihat kasih-Mu yang bertahan selamanya.
Keagungan salib adalah keagungan yang dibutuhkan oleh semua orang.

Saturday, January 5, 2019

Diubahkan dan Mengubahkan

Ia menegakkan kembali mezbah Tuhan, . . . menyerukan kepada Yehuda untuk beribadah kepada Tuhan, Allah Israel. —2 Tawarikh 33:16
Diubahkan dan Mengubahkan
Tani dan Modupe dibesarkan di Nigeria, lalu melanjutkan studi di Inggris pada dekade 1970-an. Sebagai pribadi-pribadi yang telah diubahkan oleh kasih karunia Allah, mereka tak pernah menyangka akan dipakai Allah untuk mengubahkan salah satu masyarakat paling miskin dan terkucil di Inggris, yaitu wilayah Anfield di kota Liverpool. Ketika Dr. Tani dan Dr. Modupe Omideyi mencari Tuhan serta melayani masyarakatnya dengan setia, Allah pun memulihkan pengharapan banyak orang. Keduanya memimpin sebuah gereja yang sangat aktif dan terus mengerjakan sejumlah proyek sosial yang telah mengubahkan kehidupan begitu banyak orang.
Manasye mengubahkan rakyatnya, awalnya menuju kejahatan, tetapi kemudian kepada kebaikan. Setelah dilantik menjadi raja Yehuda pada usia 12 tahun, ia menyesatkan rakyat sehingga mereka melakukan kekejian bertahun-tahun (2 Taw. 33:1-9). Mereka mengabaikan peringatan Allah sehingga Dia mengizinkan Manasye diangkut sebagai tawanan Babel (ay.10-11).
Dalam kesengsaraan, Manasye merendahkan diri dan berseru kepada Allah. Allah mendengar seruannya lalu memulihkan kerajaannya (ay.12-13). Raja yang telah diubahkan itu pun membangun kembali tembok kota dan menyingkirkan dewa-dewa asing (ay.14-15). “Ia menegakkan kembali mezbah Tuhan, . . . menyerukan kepada Yehuda untuk beribadah kepada Tuhan, Allah Israel” (ay.16). Ketika rakyat melihat perubahan Manasye yang total, mereka juga diubahkan (ay.17).
Saat kita mencari Allah, kiranya Dia mengubahkan kita sehingga hidup kita memberi dampak positif bagi masyarakat. —Ruth O’Reilly-Smith
Bapa Surgawi, ubahlah hidup kami supaya Engkau dapat memakainya untuk membawa perubahan bagi orang lain.
Hidupmu yang diubahkan Allah dapat mengubahkan hidup orang lain.

Friday, January 4, 2019

Berjalan dalam Terang

Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. —Yohanes 1:4
Berjalan dalam Terang
Kegelapan meliputi desa kami di tengah hutan setelah bulan menghilang ditutupi awan. Kilat membelah langit, diikuti hujan badai dan guntur menggelegar. Saat masih anak-anak, saya sering terbangun ketakutan sambil membayangkan semua jenis monster mengerikan yang siap menerkam saya! Namun, saat fajar menyingsing, bunyi-bunyi itu lenyap, matahari terbit, dan ketenangan muncul kembali seiring kicauan burung-burung menyambut sinar mentari. Begitu tajam kontras antara kegelapan malam yang mencekam dan terang pagi yang penuh keceriaan.
Penulis surat Ibrani mengingat masa-masa ketika bangsa Israel begitu takut dan gemetar sewaktu gelap disertai guruh meliputi Gunung Sinai (Kel. 20:18-19). Bagi mereka, kehadiran Allah terasa gelap dan menakutkan, bahkan ketika Dia mengaruniakan Hukum Taurat dengan penuh kasih. Hal itu terjadi, karena sebagai umat yang berdosa, orang Israel tak sanggup memenuhi standar Allah. Dosa menyebabkan mereka berjalan dalam kegelapan dan ketakutan (Ibr. 12:18-21).
Namun, “Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan” (1Yoh. 1:5). Dalam Ibrani 12, Gunung Sinai menjadi lambang kekudusan Allah dan hidup lama kita yang penuh pemberontakan, sedangkan keelokan Bukit Sion melambangkan kasih karunia Allah dan hidup baru dari orang percaya dalam Yesus, “Pengantara perjanjian baru” (ay.22-24).
Siapa saja yang mengikut Yesus “tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup” (Yoh. 8:12). Di dalam Dia, kita dapat meninggalkan kelamnya hidup lama dan merayakan sukacita berjalan dalam terang dan Kerajaan-Nya. —Lawrence Darmani
Terima kasih, Tuhan Yesus, karena Engkau telah membawaku keluar dari kegelapan kepada terang-Mu yang ajaib. Tolong aku untuk menghindari kegelapan dan terus berjalan dalam terang hingga tiba di kekekalan.
Bagaimana hidupmu diubahkan sejak percaya pada Yesus? Dalam hal apa saja kamu ingin lebih bertumbuh dalam iman?

Thursday, January 3, 2019

Mata yang Terpejam Rapat

Bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap Tuhan Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. —Kejadian 3:8
Mata yang Terpejam Rapat
Ia sadar ia tidak sepatutnya melakukan perbuatan itu. Raut wajahnya jelas menunjukkan rasa bersalah! Saat saya hendak membicarakan kesalahannya, keponakan saya itu memejamkan matanya rapat-rapat. Ia duduk di depan saya, sambil berpikir—dengan logika anak berumur tiga tahun—bahwa jika ia tidak bisa melihat saya, pasti saya juga tidak dapat melihatnya. Dalam pikirannya, jika ia tidak terlihat, ia bisa kabur dari pembicaraan (dan hukuman) yang ditakutinya.
Saya senang bisa melihatnya saat itu. Meskipun tidak membenarkan kenakalannya dan perlu menegurnya, saya tidak mau keakraban kami terganggu. Saya ingin ia menatap wajah saya dan melihat betapa saya sangat mengasihinya serta ingin memaafkannya! Saat itulah terlintas dalam pikiran saya tentang apa yang mungkin Allah rasakan ketika Adam dan Hawa melanggar kepercayaan yang diberikan-Nya kepada mereka di taman Eden. Setelah sadar berbuat salah, mereka mencoba bersembunyi dari Allah (Kej. 3:10) yang dapat “melihat” mereka sejelas saya melihat keponakan saya.
Ketika sadar sudah berbuat salah, sering kali kita ingin menghindari konsekuensinya. Kita lari dari masalah, berusaha menyembunyikan kesalahan, atau menutup mata terhadap kebenaran. Meskipun Allah akan meminta pertanggungjawaban kita sesuai dengan standar keadilan-Nya, Dia memandang (dan mencari) kita karena Dia mengasihi kita dan menawarkan pengampunan melalui Yesus Kristus. —Kirsten Holmberg
Bapa, terima kasih karena Engkau tetap mencari dan mengasihiku, bahkan ketika aku telah berbuat salah.
Allah memandang kita dengan kasih.

Wednesday, January 2, 2019

Bertanya itu Baik

Beritahukanlah aku jalan yang harus kutempuh, sebab kepada-Mulah kuangkat jiwaku. —Mazmur 143:8
Bertanya itu Baik
Ayah saya punya ketajaman arah yang tidak saya miliki. Hanya dengan naluri, ia bisa mengetahui di mana utara, selatan, timur, dan barat. Sepertinya, kepekaan itu adalah bawaan lahir, dan sejauh ini ia tidak pernah salah. Hingga suatu hari, ia keliru.
Malam itu ayah saya tersesat. Ia dan ibu baru saja menghadiri acara di luar kota dan pulang larut malam. Ayah sangat yakin bahwa ia tahu arah menuju jalan utama, tetapi ternyata tidak. Ia terus berputar-putar, kebingungan, dan akhirnya frustrasi. Ibu pun meyakinkannya, “Aku tahu ini sulit, tetapi tak ada salahnya melihat GPS di ponselmu.”
Setahu saya, itulah pertama kalinya ayah saya yang berusia 72 tahun mencari arah lewat ponselnya.
Pemazmur adalah orang yang begitu kaya dengan pengalaman hidup. Namun, kitab Mazmur mengungkapkan saat-saat ketika Daud merasa tersesat secara rohani dan emosi. Mazmur 143 menceritakan salah satu momen tersebut. Raja besar itu sedang lesu (ay.4) dan mengalami kesesakan (ay.11). Ia pun terdiam dan berdoa, “Beritahukanlah aku jalan yang harus kutempuh” (ay.8). Alih-alih bergantung pada hal lain, Daud berseru kepada Tuhan, “sebab kepada-Mulah kuangkat jiwaku” (ay.8).
Jika “seorang yang berkenan di hati [Allah]” (1Sam. 13:14) pun kadang merasa tersesat, berarti kita pun perlu datang kepada Allah untuk meminta petunjuk-Nya. —John Blase
Apa yang menyebabkan kamu merasa hilang arah, bingung, atau bahkan frustrasi akhir-akhir ini? Apa yang membuat kamu mungkin merasa enggan meminta pertolongan kepada Allah dan orang lain?
Meminta petunjuk dari Allah tidak saja benar, tetapi juga sangat baik.

Tuesday, January 1, 2019

Tahun Baru, Prioritas Baru

Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga. —Pengkhotbah 9:10
Tahun Baru, Prioritas Baru
Sejak dahulu, saya ingin belajar bermain selo, tetapi tak pernah ada waktu untuk mendaftar kursus. Mungkin lebih tepatnya, saya memang tidak pernah menyediakan waktu untuk itu. Saya pernah berpikir, mungkin baru nanti di surgalah saya akan piawai memainkannya. Untuk saat ini, saya akan mencurahkan waktu saya untuk melakukan apa yang sesuai dengan panggilan Allah dalam pelayanan kepada-Nya.
Hidup ini singkat, dan kita sering merasa terdesak untuk memanfaatkan waktu di atas bumi ini dengan sebaik-baiknya sebelum berlalu. Namun sesungguhnya, apakah artinya “memanfaatkan waktu”?
Ketika Raja Salomo merenungkan tujuan dari hidup ini, ia memberi dua saran. Pertama, kita harus menjalani hidup dengan penuh makna, termasuk menikmati hal-hal baik yang kita dapatkan atas izin Allah, seperti makanan dan minuman (Pkh. 9:7), pakaian dan minyak wangi (ay.8), pernikahan (ay.9), dan segala pemberian baik lainnya dari Allah—mungkin juga termasuk belajar bermain selo!
Saran kedua adalah bekerja dengan rajin (ay.10). Hidup ini penuh dengan kesempatan dan selalu ada pekerjaan yang bisa dilakukan. Kita harus memanfaatkan setiap kesempatan yang Allah berikan, mencari hikmat-Nya untuk tahu bagaimana memprioritaskan kerja sekaligus bersantai dengan tetap memakai talenta kita untuk melayani Dia.
Hidup adalah anugerah yang indah dari Tuhan. Kita sungguh menghormati Dia dengan menikmati berkat-berkat-Nya setiap hari dan melayani-Nya sepenuh hati. —Poh Fang Chia
Bapa, terima kasih atas kehidupan yang Engkau berikan kepadaku. Tolong aku untuk menjalani tahun baru ini bagi-Mu, menikmati berkat-Mu, dan menggenapi tujuan-Mu atas hidupku.
Kita bisa menikmati berkat Allah sekaligus menjadi berkat bagi sesama.
 

Total Pageviews

Translate