Pages - Menu

Wednesday, April 30, 2014

Sudah Terlambat

Komik-Strip-WarungSateKamu-20140430-Terlambat

Sebab itu, baiklah kita waspada, supaya jangan ada seorang di antara kamu yang dianggap ketinggalan, sekalipun janji akan masuk ke dalam perhentian-Nya masih berlaku. —Ibrani 4:1

Sudah Terlambat
Kejadian ini hampir selalu terjadi di tiap semester. Saya sering berkata pada para mahasiswa tingkat satu dalam mata kuliah menulis bahwa mereka harus menyelesaikan berbagai tugas menulis untuk syarat kelulusan mereka. Namun hampir di setiap semester, ada saja murid yang tidak mempercayai perkataan saya. Mereka itu biasanya mengirimi saya e-mail di hari terakhir semester dengan nada panik serta menjabarkan alasan mereka tidak menyelesaikan tugas. Saya tidak suka melakukannya, tetapi saya harus tetap memberitahukan kepada mereka, “Maafkan saya. Sekarang sudah terlambat. Kamu tidak lulus mata kuliah menulis.”

Bagi mahasiswa tingkat satu, menyadari bahwa kamu baru saja menghamburkan sejumlah besar uang kuliah merupakan hal yang memang buruk. Namun ada hal lain yang jauh lebih berbahaya, suatu penilaian akhir yang lebih permanen, yakni jika seseorang pada penghujung hidupnya belum menyelesaikan masalah dosanya dengan Allah. Dalam hal ini, jika seseorang meninggal dunia tanpa pernah mempercayai Yesus Kristus sebagai Juruselamat, ia akan masuk dalam kekekalan tanpa Dia.

Alangkah malangnya ketika seseorang berdiri di hadapan Juruselamat dan mendengar Dia berkata, “Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku!” (Mat. 7:23). Penulis kitab Ibrani memperingatkan kita untuk memastikan agar kita waspada dan “tidak ketinggalan” (4:1) untuk masuk ke tempat perhentian kekal yang telah Allah sediakan. Kabar baiknya, sekarang belumlah terlambat. Hari ini Yesus masih menawarkan kepada kita pengampunan dan keselamatan secara cuma-cuma melalui Dia. —JDB

Jika kamu ingin mengenal kasih dari Allah Bapa,
Datang kepada-Nya melalui Yesus Kristus, Anak-Nya terkasih;
Dia akan ampuni dosamu, selamatkan jiwamu selamanya,
Dan selamanya kau akan mengasihi Allah yang setia itu. —Felten

Salib Kalvari mengungkapkan begitu bobroknya dosa kita dan begitu besarnya kasih Allah.

Tuesday, April 29, 2014

Kristus Di Tengah Badai

Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya? —Markus 4:40

Kristus Di Tengah Badai
Dalam usianya yang ke-27, Rembrandt menghasilkan karya lukisan pemandangan laut yang diberi judul Kristus di Tengah Badai di Danau Galilea berdasarkan kisah dalam Injil Markus pasal 4. Dengan penggunaan perbedaan cahaya dan bayangan yang sangat tegas, lukisan Rembrandt menggambarkan sebuah perahu kecil yang terancam hancur di tengah badai yang sedang mengamuk kencang. Ketika para murid sedang berjuang melawan angin dan ombak, Yesus tidak terganggu sama sekali. Akan tetapi, aspek yang paling tidak biasa dari lukisan tersebut adalah kehadiran seorang murid ke-13 di dalam perahu tersebut yang menurut para ahli seni menyerupai sosok Rembrandt sendiri.

Injil Markus menggambarkan pelajaran gamblang yang diterima oleh para murid mengenai siapa diri Yesus dan apa yang bisa diperbuat-Nya. Sementara para murid dengan panik mencoba untuk menyelamatkan perahu yang akan tenggelam tersebut, Yesus justru tidur. Tidak pedulikah Dia bahwa mereka semua akan mati? (ay.38). Setelah Yesus menenangkan badai itu (ay.39), Dia mengajukan sebuah pertanyaan yang tajam, “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” (ay.40). Para murid justru menjadi semakin takut, dan mereka berkata seorang kepada yang lain, “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada- Nya?” (ay.41).

Kita juga dapat menempatkan diri kita dalam kisah tesebut dan, sama seperti para murid, mengetahui bahwa kepada setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus, Dia akan menyatakan kehadiran, belas kasihan, dan kendali-Nya atas setiap badai dalam hidup kita. —DCM

Tenanglah hatiku, karena Allah setia,
Firman kudus-Nya murni, teruji, dan benar;
Walaupun badai menerjang dan laut menggelora,
Janji-Nya bagaikan batu pijakan yang kuat. —NN.

Allah adalah tempat perlindungan yang aman di tengah terjangan badai kehidupan.

Monday, April 28, 2014

Pertanyaan Yang Mengusik

Siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu. —1 Petrus 3:15

Pertanyaan Yang Mengusik
Saat menaiki kereta api beberapa tahun setelah berakhirnya perang saudara di Amerika, Jendral Lew Wallace dari Angkatan Perang Bagian Utara bertemu dengan seorang rekan perwira, Kolonel Robert Ingersoll. Ingersoll adalah seorang penganut paham agnostik terkemuka di abad ke-19, sedangkan Wallace adalah seorang Kristen. Ketika pembicaraan mulai membahas perbedaan kepercayaan mereka, Wallace sadar ia tidak bisa menjawab pertanyaan dan keraguan yang dilontarkan Ingersoll. Didorong oleh rasa malu karena kurangnya pemahaman atas imannya sendiri, Wallace mulai menggali Kitab Suci untuk mencari jawabannya. Usahanya itu membuahkan suatu pernyataan iman yang kokoh mengenai sosok Sang Juruselamat yang tertuang dalam novel sejarah klasik karyanya: Ben-Hur: A Tale of The Christ (Ben-Hur: Kisah Tentang Kristus).

Pertanyaan yang mengusik dari orang-orang yang skeptis tidak perlu mengancam iman kita. Sebaliknya, pertanyaan mereka bisa mendorong kita untuk memperdalam pemahaman dan memperlengkapi kita agar dengan penuh kasih dan bijaksana kita dapat menanggapi mereka yang mempertanyakan iman kita. Dalam Alkitab, Rasul Petrus mendorong kita untuk mencari hikmat Allah, “Siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab pada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat” (1Ptr. 3:15).

Kita tak perlu menguasai seluruh jawaban yang ada, tetapi kita perlu punya keberanian dan keyakinan teguh dalam usaha membagikan kasih kita dalam Kristus dan pengharapan yang kita miliki. —WEC

Aku berharap pada Tuhan yang serahkan nyawa-Nya untukku,
Dan yang telah membayar harga semua dosaku di Kalvari.
Untukku Dia telah mati, untukku Dia lalu hidup,
Terang dan hidup abadi Dia berikan cuma-cuma. —Clayton

Kristus adalah jawaban utama atas pertanyaan-pertanyaan terbesar dalam hidup ini.

Sunday, April 27, 2014

Belajar Mengasihi

Kasih itu sabar; kasih itu murah hati. —1 Korintus 13:4

Belajar Mengasihi
Ketika Hans Egede pergi ke Greenland sebagai seorang misionaris pada tahun 1721, ia tidak dapat berbahasa Inuit. Ia mempunyai sifat yang mudah tersinggung dan marah, dan ia juga bergumul untuk dapat bersikap ramah terhadap penduduk setempat.

Pada tahun 1733, virus cacar sempat mewabah di Greenland dan memusnahkan hampir dua pertiga warga suku Inuit—serta merenggut juga nyawa istri Egede. Penderitaan yang dirasakan bersama orang-orang Inuit itu meluluhkan tabiat Egede yang keras, dan ia pun mulai memperhatikan mereka baik secara jasmani maupun rohani dengan tidak kenal lelah. Karena hidup Egede sekarang lebih mencerminkan kabar baik tentang kasih Allah yang diceritakannya kepada mereka, orang-orang Inuit akhirnya dapat memahami maksud Allah yang rindu mengasihi mereka juga. Bahkan di tengah penderitaan besar itu, hati mereka mau berbalik dan percaya kepada Allah.

Mungkin kamu seperti para warga Inuit dalam kisah itu, dan kamu tidak dapat melihat cerminan Allah dalam diri orang-orang di sekitarmu. Atau mungkin kamu seperti Hans Egede, yang bergumul untuk mengungkapkan kasih dengan cara yang dapat membuat orang mau mendengar tentang Allah. Karena Allah tahu kita ini lemah dan tidak mampu, Dia menunjukkan kepada kita arti kasih yang sesungguhnya. Dia memberikan Anak-Nya, Yesus Kristus, untuk mati bagi dosa kita (Yoh. 3:16). Demikianlah besarnya Allah mengasihimu dan saya.

Yesus adalah teladan sempurna dari kasih yang digambarkan dalam 1 Korintus 13. Dengan melihat teladan-Nya, kita menyadari bahwa kita dikasihi dan kita belajar untuk membalas kasih-Nya. —RKK

Ya Yesus, kiranya di dalam-Mu aku mendapatkan keyakinan bahwa
aku dikasihi. Dan kiranya hatiku tak menjadi dingin hingga dipenuhi
amarah serta luka hati dari pengalaman masa lalu. Aku mau agar
orang lain dapat melihat cerminan diri-Mu di dalam hidupku.

Kiranya saya tidak pernah menjadi rintangan yang menghalangi seseorang memandang Allah.

Saturday, April 26, 2014

Merendahkan Diri

Dan umat-Ku . . . merendahkan diri, berdoa . . . lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka. —2 Tawarikh 7:14

Merendahkan Diri
Sebuah video dimulai dengan menampilkan Daisy, seekor anak anjing yang takut untuk turun dari anak tangga teratas. Walaupun di bawah orang-orang terus memanggil dan menyorakinya, Daisy tetap tidak berani untuk turun. Daisy ingin sekali bergabung dengan orang-orang di bawah itu, tetapi rasa takut membuatnya enggan untuk menapaki anak tangga. Lalu Simon, seekor anjing yang lebih besar, datang untuk menolong. Simon berlari menaiki anak tangga itu, lalu turun lagi, dengan maksud supaya Daisy melihat betapa mudah caranya naik-turun. Daisy masih merasa tidak yakin. Simon kembali naik-turun tangga itu, tetapi kali ini dengan lebih pelan. Namun Daisy masih terlalu takut untuk mencoba. Sekali lagi Simon naik dan menunjukkan caranya. Akhirnya Daisy berani melangkahkan kaki belakangnya mengikuti kaki depannya. Dan Simon tetap mendampingi Daisy sampai berhasil. Semua orang pun bersorak gembira!

Sungguh suatu ilustrasi yang indah tentang pemuridan. Kita memberikan banyak waktu mengajar orang lain cara untuk berjalan maju, tetapi hal yang lebih penting dipelajari, dan yang lebih sulit, adalah cara untuk “turun”. Kita membaca di sepanjang Kitab Suci bahwa Allah menghendaki kita untuk merendahkan diri. Karena bangsa Yehuda rela merendahkan diri, Tuhan berkata, “Oleh sebab itu Aku tidak akan memusnahkan mereka” (2Taw. 12:7).

Berulang kali, Allah menunjukkan kerelaan-Nya merendahkan diri dengan turun menjumpai umat-Nya (Kel. 3:7-8; 19:10-12; Mi. 1:3). Pada akhirnya Allah mengutus Yesus, yang di sepanjang hidup-Nya mengajarkan kerendahan diri yang patut kita ikuti (Flp. 2:5-11). —JAL

Makin serupa Yesus, Tuhanku,
Inilah sungguh kerinduanku;
Makin bersabar, lembut dan merendah,
Makin setia dan rajin bekerja. —Gabriel
(Nyanyikanlah Kidung Baru, No. 138)

Seseorang tidak akan pernah belajar apa pun, jika ia tidak belajar merendahkan diri terlebih dahulu.

Friday, April 25, 2014

Ikan Yang Ketakutan

Mengajari-Bob
Cerita & Ilustrasi oleh Heri Kurniawan

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya. —Yohanes 1:14

Ikan Yang Ketakutan
Saya mengalami bahwa merawat akuarium air laut bukanlah hal yang mudah. Saya harus memasang perangkat laboratorium kimia yang mudah dibawa ke mana-mana guna memantau tingkat nitrat dan kandungan amonia dari air tersebut. Saya perlu memasukkan berbagai vitamin, antibiotik, obat antibakteri, dan enzim. Saya harus menyaring airnya melalui kaca fiber dan arang.

Kamu mungkin berpikir ikan-ikan saya akan berterima kasih untuk semua itu. Ternyata tidak. Jika bayangan saya muncul di atas akuarium ketika hendak memberi mereka makan, mereka akan menyelam dan bersembunyi di balik kerang yang ada di sekitar mereka. Rupanya saya terlalu besar bagi mereka; dan tindakan saya tidak mereka mengerti. Mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya saya berbuat baik bagi mereka. Agar persepsi mereka dapat berubah dibutuhkan semacam inkarnasi. Saya harus menjadi seekor ikan dan “berbicara” pada mereka dengan bahasa yang dapat mereka mengerti. Dan tentu hal itu mustahil buat saya.

Menurut Kitab Suci, Allah, Sang Pencipta jagat raya, telah melakukan sesuatu yang tampaknya mustahil. Dia datang ke dunia ini dalam wujud seorang bayi. “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya,” menurut Yohanes, “tetapi dunia tidak mengenal-Nya” (Yoh. 1:10). Lalu Allah, yang menciptakan segala sesuatu, mengambil rupa ciptaan-Nya, bagaikan penulis yang memerankan seorang tokoh dalam drama yang ditulisnya sendiri. Allah menuliskan suatu kisah, dengan menggunakan tokoh-tokoh yang nyata, pada lembar-lembar sejarah yang sesungguhnya. “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (ay.14). —PDY

Segala puji bagi-Nya, Tuhan yang kekal,
Yang turun menjadi darah dan daging;
Memilih palungan gantikan takhta-Nya
Padahal segala isi dunia adalah milik-Nya. —Luther

Allah masuk ke dalam sejarah umat manusia demi menawarkan anugerah hidup kekal kepada kita.

Thursday, April 24, 2014

Tidak Pernah Mengecewakan


Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi. —Ratapan 3:22-23

Tidak Pernah Mengecewakan

Ketika saya masih kecil, salah satu permainan favorit saya di waktu senggang adalah bermain jungkat-jungkit di sebuah taman dekat rumah. Masing-masing anak duduk saling berhadapan di tiap ujung papan dan bergantian menggerakkan papan itu naik-turun. Terkadang salah satu dari mereka yang dalam posisi turun akan menahan papan yang didudukinya dan membiarkan teman mainnya yang sedang duduk di ujung satunya terperangkap di atas yang berteriak-teriak minta diturunkan. Namun tindakan yang paling kejam di antara semuanya adalah melompat dari jungkat-jungkit dan melarikan diri ketika temanmu sedang berada di atas, karena ia akan turun dan jatuh terjerembab ke tanah dengan benturan yang menyakitkan.

Terkadang kita mungkin merasa Yesus melakukan hal yang sama terhadap kita. Kita percaya bahwa Dia ada bersama kita saat hidup berjalan naik-turun, dalam suka maupun duka. Akan tetapi, saat jalan hidup ini berbelok arah, membuat kita terjungkal hingga kita benjol dan memar, mungkin rasanya seolah-olah Yesus telah meninggalkan kita dan membiarkan hidup kita jatuh terjerembab dengan menyakitkan.

Namun Ratapan 3 mengingatkan kita bahwa “tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya” (ay.22) dan bahwa Allah tetap setia sampai akhir, bahkan ketika segala sesuatu dalam hidup ini rasanya hancur berantakan. Ini berarti bahwa di tengah-tengah kepedihan kita, walaupun kita mungkin merasa kesepian, sesungguhnya kita tidak sendirian. Walaupun kita mungkin tidak merasakan kehadiran-Nya, Dia hadir sebagai sahabat terpercaya yang tidak akan pernah meninggalkan dan mengecewakan kita! —JMS

Terima kasih, Tuhan, bahwa kami dapat mempercayai kehadiran-Mu
yang senantiasa ada, bahkan ketika kami merasa sendirian.
Tolonglah kami dengan sabar menantikan Engkau
untuk menunjukkan kehadiran-Mu yang setia dan penuh kasih.

Ketika yang lain mengecewakan, Yesuslah sahabatmu yang tepercaya.

Wednesday, April 23, 2014

Soraklah Haleluya!

Hai maut, di manakah sengatmu? —1 Korintus 15:55
Soraklah Haleluya!
Beberapa hari lalu, di arena olahraga dalam kompleks kami, saya memperhatikan sahabat karib saya, Bob, sedang mengayuh sepeda dengan bersemangat sambil terus menatap alat monitor tekanan darah yang dipasang pada jarinya.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku.
“Memperhatikan apakah aku masih hidup,” gerutunya.
“Lalu apa yang akan kaulakukan jika kau melihat dirimu ternyata meninggal?” balasku.
“Bersorak haleluya!” jawabnya dengan tersenyum lebar.
Selama bertahun-tahun saya telah menyaksikan kekuatan batin yang dahsyat dalam diri Bob: suatu ketahanan yang penuh kesabaran di saat menghadapi ketidaknyamanan dan kemunduran fisik, serta iman dan pengharapan yang bertumbuh menjelang masa senja hidupnya. Jelaslah bahwa ia telah menemukan bukan saja pengharapan, tetapi maut juga telah kehilangan daya untuk menakut-nakutinya.
Siapakah yang dapat menemukan kedamaian dan pengharapan— dan bahkan sukacita—menjelang kematiannya? Hanya mereka yang dipersatukan dengan Allah pemilik kekekalan oleh iman dan yang mengetahui bahwa mereka memiliki kehidupan kekal (1Kor. 15:52,54). Bagi mereka yang memiliki jaminan itu, seperti teman saya Bob, maut telah kehilangan sengatnya. Mereka dapat berbicara dengan sukacita luar biasa tentang kepastian akan bertatap muka dengan Kristus!
Mengapa harus takut pada kematian? Mengapa tidak bersukacita saja? Hal itu akan seperti yang ditulis oleh penyair John Donne (1572-1631), “Menutup mata sesaat, lalu terbangun dalam kekekalan.” —DHR

Di balik malam terbitlah fajar,
Bersama Yesus kita senang.
Jerih dunia telah berakhir
Di balik malam sorga terang. —Brock
(Pelengkap Kidung Jemaat, No. 284)
Bagi orang Kristen, kematian adalah bayangan terakhir dari kegelapan duniawi sebelum terbitnya fajar surgawi.

Tuesday, April 22, 2014

Perbuatan Baik

Dalam nama Yesus . . . , yang telah kamu salibkan, tetapi yang telah dibangkitkan Allah dari antara orang mati— bahwa oleh karena Yesus itulah orang ini berdiri dengan sehat sekarang di depan kamu. —Kisah Para Rasul 4:10

Perbuatan Baik

Dalam perjalanan saya bersama beberapa teman, kami menjumpai satu keluarga yang mobilnya mogok di pinggir jalan. Teman-teman saya langsung menepikan kendaraan dan menolong keluarga itu. Mereka berhasil menghidupkan kembali mobil mogok itu, berbicara pada pasangan suami-istri dari keluarga itu, dan memberi keluarga itu sejumlah uang untuk membeli bensin. Ketika si istri mengucapkan terima kasih berulang kali, mereka menjawab, “Kami senang bisa membantu. Kami melakukannya dalam nama Yesus.” Ketika kami melanjutkan perjalanan, saya memikirkan betapa lugasnya teman-teman saya dalam membantu orang yang membutuhkan pertolongan dan mengakui Tuhan sebagai sumber kebaikan hati mereka.

Petrus dan Yohanes menunjukkan kemurahan hati dan sukacita yang sama ketika mereka menyembuhkan seorang lumpuh yang meminta-minta di pintu gerbang bait Allah di Yerusalem (Kis. 3:1-10). Mereka berdua pun ditangkap dan disidang di hadapan para penguasa yang bertanya, “Dengan kuasa manakah atau dalam nama siapakah kamu bertindak demikian itu?” Lalu Petrus menjawab, “Jika kami sekarang harus diperiksa karena suatu kebajikan kepada seorang sakit . . . maka ketahuilah oleh kamu sekalian dan oleh seluruh umat Israel, bahwa dalam nama Yesus Kristus, orang Nazaret, yang telah kamu salibkan, tetapi yang telah dibangkitkan Allah dari antara orang mati—bahwa oleh karena Yesus itulah orang ini berdiri dengan sehat sekarang di depan kamu” (Kis. 4:7-10).

Kebaikan adalah bagian dari buah roh (Gal. 5:22), dan perbuatan baik memberikan kesempatan yang luar biasa bagi kita untuk berbicara tentang Tuhan dengan tulus kepada orang lain. —DCM

Tuhan, tolong aku untuk mengasihi dengan perkataan dan perbuatan,
Dengan menjangkau sesama dan memenuhi kebutuhan mereka;
Tuhan, kiranya hatiku terbeban bagi yang tersesat dalam dosa,
Melayani dengan belas kasihan dan kasih setulus hati. —Fitzhugh

Satu perbuatan baik mungkin lebih banyak mengajar tentang kasih Allah daripada ratusan khotbah.

Monday, April 21, 2014

Kemenangan Atas Kematian!

Waktunya akan datang bahwa semua orang yang sudah mati mendengar suara-Nya, lalu keluar dari kuburan. —Yohanes 5:28-29 (BIS)

Kemenangan Atas Kematian!
Sebuah lukisan kuno yang baru-baru ini saya lihat meninggalkan kesan yang sangat mendalam. Lukisan itu berjudul Anastasis yang berarti “kebangkitan”, dan menggambarkan kemenangan gemilang Kristus atas kematian dengan cara yang sangat menakjubkan. Pada lukisan itu digambarkan Tuhan Yesus, yang baru saja bangkit dari kubur-Nya, sedang menarik Adam dan Hawa keluar dari peti mati mereka untuk dibawa- Nya menuju hidup yang kekal. Yang luar biasa dari karya itu adalah penggambarannya tentang bagaimana kematian jasmani dan rohani, yang merupakan akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa itu, secara dramatis diputarbalikkan oleh Kristus yang bangkit.

Sebelum kematian-Nya di kayu salib, Tuhan Yesus menggambarkan suatu hari di masa yang akan datang ketika Dia akan memanggil semua orang yang percaya ke dalam suatu keberadaan yang baru dan mulia: “Waktunya akan datang bahwa semua orang yang sudah mati mendengar suara-Nya, lalu keluar dari kuburan” (Yoh. 5:28-29 BIS).

Kemenangan Kristus atas kematian membuat kubur bukan akhir dari segalanya. Memang wajar kita merasa sedih dan berduka ketika orang-orang yang kita kasihi meninggal dunia dan kita dipisahkan dari mereka dalam kehidupan ini. Namun orang yang percaya tidaklah berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan (1Tes. 4:13). Dampak dari kebangkitan Yesus adalah bahwa semua orang Kristen kelak akan dipanggil keluar dari kubur mereka untuk diberikan tubuh kebangkitan yang mulia (1Kor. 15:42-44). Maka “demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan” (1Tes. 4:17). —HDF

Tuhan, kami bersyukur untuk pengorbanan-Mu atas dosa kami
sehingga kami boleh hidup. Kami berterima kasih, karena Engkau
mati dan bangkit kembali, kami punya jaminan bahwa suatu hari
nanti kami akan bersama-Mu di surga di mana tak ada kematian lagi.

Karena Kristus hidup, kita juga akan hidup.

Sunday, April 20, 2014

Paskah Setiap Hari

Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya. —Matius 28:6

Paskah Setiap Hari
Suatu hari, seorang sahabat saya yang bekerja sebagai guru taman kanak-kanak mendengar pembicaraan yang meriah di antara murid-muridnya. Seorang anak bernama Maria bertanya: “Siapa yang mengasihi Tuhan?” Semua temannya menjawab, “Aku! Aku! Aku!” Jawab Billy, “Aku mengasihi Yesus.” Kelly pun protes, “Tetapi Dia mati.” Billy menjawab, “Memang, tetapi setiap hari Paskah, Dia bangkit dari kematian!”

Tentu saja, sebagai anak kecil, pemahaman Billy tentang makna Paskah masih belum sempurna. Kita tahu bahwa Yesus mati satu kali dan untuk selama-lamanya (Rm. 6:10; Ibr. 10:12) dan tentu, hanya sekali pula bangkit dari kematian. Tiga hari setelah menanggung hukuman atas dosa kita di kayu salib, Yesus yang tidak berdosa menaklukkan kematian dengan bangkit dari kubur dan mematahkan kuasa dosa. Pengorbanan terakhir dengan pencurahan darah inilah yang membuka satu-satunya jalan bagi manusia untuk dapat memiliki hubungan dengan Allah sekarang dan tinggal bersama-Nya untuk selamanya.

“Kristus telah mati karena dosa-dosa kita . . . Ia telah dikuburkan, dan . . . Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga” (1Kor. 15:3-4). Dia telah berjanji akan menyediakan tempat bagi kita (Yoh. 14:1-4), dan Dia akan datang kembali suatu hari nanti. Kelak kita akan bersama dengan Juruselamat kita yang telah bangkit.

Itulah mengapa setiap tahun di masa Paskah—bahkan, setiap hari di sepanjang tahun—kita memiliki alasan untuk merayakan kebangkitan Juruselamat kita. “Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku” (Mzm. 34:2). —CHK

Maha Pengasih hidup dan mati
Untuk menghapus dosaku bersih;
Kebangkitan-Nya dasar imanku,
Kedatangan-Nya berkat abadi. —Chapman
(Nyanyikanlah Kidung Baru, No. 70)

Kebangkitan Kristus adalah alasan perayaan kita.

Saturday, April 19, 2014

Menjadi Pusat Perhatian

Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. —Roma 5:11

Menjadi Pusat Perhatian
Saya tidak akan pernah melupakan hari Minggu Paskah di tahun 1993 ketika Bernhard Langer memenangi turnamen golf Masters. Ketika ia berjalan di lapangan dari lubang ke-18 untuk menerima jaket hijau—salah satu anugerah yang paling didambakan dalam dunia olahraga golf profesional—seorang wartawan berkata, “Pastilah hari ini hari yang terbaik di hidup Anda!” Dengan yakin, Langer langsung menjawab: “Menjadi juara di turnamen terbesar di dunia memang hal yang luar biasa, tetapi yang lebih berarti bagiku adalah menjadi juara pada hari Minggu Paskah—untuk merayakan kebangkitan Tuhan dan Juruselamatku.”

Langer memiliki kesempatan untuk membanggakan dirinya sendiri, tetapi ia justru mengalihkan pusat perhatian orang kepada Yesus Kristus. Ini persis seperti maksud Paulus ketika ia berkata, “Bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah [membanggakan diri] dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu” (Rm. 5:11).

Kita dengan mudah menemukan berbagai cara untuk menarik perhatian orang pada pencapaian kita sendiri, dan membuat daftar berisi hal-hal yang baik dari diri kita sendiri. Bahkan Paulus mengakui bahwa ia memiliki banyak hal yang dapat ia banggakan—tetapi ia menganggap semuanya itu sebagai “sampah” supaya ia mengenal Kristus (Flp. 3:8). Patutlah kita mengikuti teladan Paulus.

Jadi, jika kita sangat ingin membanggakan sesuatu, banggakanlah Yesus dan segala karya yang telah diperbuat-Nya untuk hidupmu. Usahakanlah mengalihkan pusat perhatian orang kepada Yesus. —JMS

Bukan yang ‘ku capai, tetapi yang ‘ku terima,
Anugerah yang diberikan sejak aku percaya;
Buang kebanggaan, rendahkan harga diri—
Aku hanyalah pendosa selamat oleh anugerah! —Gray

Kita tidak bisa meninggikan nama Yesus sementara kita membanggakan diri sendiri.

Friday, April 18, 2014

Aku Hidup

Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. —Efesus 2:1

Aku Hidup
Laura Brooks adalah seorang ibu berumur 52 tahun yang memiliki dua anak. Ia tidak mengetahui fakta bahwa namanya termasuk dalam daftar nama 14.000 orang di tahun 2011 yang salah dicatat sebagai orang yang telah meninggal di bank data pemerintah Amerika Serikat. Laura mulai curiga ketika ia tidak lagi menerima tunjangan sosial, dan pembayaran pinjaman, serta cek pembayaran sewa tempat tinggalnya ditolak. Laura pun pergi ke bank untuk menjernihkan masalah tersebut, tetapi pihak bank menyampaikan kepada Laura bahwa rekening banknya telah ditutup karena ia telah meninggal dunia! Jelaslah bahwa mereka telah membuat kesalahan.

Di sisi lain, Rasul Paulus tidak membuat kesalahan ketika ia menyatakan bahwa orang-orang percaya di Efesus pernah mati—mati secara rohani. Mereka mati dalam pengertian bahwa mereka telah terpisah dari Allah dan menjadi budak dosa (Ef. 2:5), serta dihukum di bawah murka Allah. Sungguh ini suatu keadaan yang tidak berpengharapan!

Namun Allah oleh kemurahan-Nya bertindak untuk membalikkan keadaan tersebut bagi mereka dan bagi kita. Allah yang hidup “yaitu Allah yang menghidupkan orang mati” (Rm. 4:17) mencurahkan rahmat-Nya dengan melimpah dan kasih-Nya yang besar dengan jalan mengutus Anak-Nya, Yesus, ke bumi. Melalui kematian dan kebangkitan Kristus, kita dihidupkan (Ef. 2:4-5).

Ketika kita percaya akan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, kita berpindah dari kematian menuju hidup. Sekarang, kita hidup untuk bersukacita dalam kebaikan Tuhan! —MLW

Aku sadar aku pendosa dan membutuhkan Kristus;
Kematian-Nya menjadi tebusanku, tiadalah jasaku.
Karya-Nya sudah cukup, kepada-Nya aku percaya;
Hidup kekal kumiliki ketika aku menerima-Nya. —NN.

Menerima kematian Yesus memberimu hidup.

Thursday, April 17, 2014

Bantuan Apa Saja

Kata Firaun kepada Yusuf: “Oleh karena Allah telah memberitahukan semuanya ini kepadamu, tidaklah ada orang yang demikian berakal budi dan bijaksana seperti engkau.” —Kejadian 41:39

Bantuan Apa Saja
Setelah terjadinya penembakan di sebuah sekolah dasar di Newton, Connecticut, Amerika Serikat, banyak orang yang tergerak untuk turun tangan memberikan bantuan. Ada yang menyumbangkan darah bagi korban yang terluka, yang lainnya menyediakan kopi dan makan siang gratis bagi para pekerja di rumah makan mereka. Ada juga yang menulis surat berisi ucapan penghiburan atau sekadar memberikan pelukan. Beberapa orang menyumbangkan uang dan boneka beruang untuk para murid; ada pula yang menawarkan layanan konseling. Mereka semua mengusahakan diri untuk memberikan bantuan sesuai dengan kepribadian, kemampuan, dan sumber daya yang mereka miliki.

Dalam Alkitab, kisah tentang Yusuf menceritakan bagaimana Yusuf memakai kecakapannya dalam memainkan peran penting untuk menolong negeri itu mengatasi 7 tahun masa kelaparan (Kej. 41:53-54). Dalam kasus Yusuf, ia dapat mempersiapkan diri karena ia tahu masa yang sulit akan datang. Setelah Yusuf memperingatkan Firaun, raja Mesir, bahwa akan terjadi suatu masa kelaparan, Firaun memberikan tanggung jawab kepada Yusuf atas 7 tahun masa persiapan itu. Yusuf menggunakan hikmat dan kebijaksanaan dari Allah untuk mempersiapkan negeri tersebut (41:39). Ketika “kelaparan itu merajalela di seluruh bumi . . . Yusuf membuka segala lumbung” (ay.56). Ia bahkan mampu menolong keluarganya sendiri (45:16-18).

Kisah-kisah tersebut menunjukkan kasih Allah pada dunia ini. Dia telah mempersiapkan dan menciptakan kita sedemikian rupa, agar kita dapat mempedulikan sesama manusia lewat cara apa saja yang dikehendaki-Nya dari kita. —HDF

Tuhan, tolonglah aku merasakan kepedihan sesama
Ketika cobaan hidup begitu pahit mereka rasakan
Dan pakailah aku untuk bisa menyembuhkan dengan kasih
Luka-luka jiwa yang membekas dalam hidup mereka. —D. DeHaan

Belas kasihan mendorong kita rela memberikan apa pun yang dibutuhkan untuk memulihkan sesama.

Wednesday, April 16, 2014

Menjadi Keluarga

Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. —Galatia 3:26

Menjadi Keluarga
Maurice Griffin diadopsi sebagai anak ketika ia berumur 32 tahun. Maurice sudah tinggal bersama Charles dan Lisa Godbold selama 20 tahun sebagai anak asuh. Walaupun Maurice sekarang sudah hidup mandiri, adopsi merupakan hal yang sudah bertahun-tahun diharapkan oleh keluarga Godbold dan Maurice sendiri. Setelah mereka dipersatukan kembali dan pengadopsian itu telah resmi, Maurice berkomentar, “Rasanya itulah peristiwa terindah dalam hidupku. . . . Aku bahagia karena menjadi bagian dari keluarga ini.”

Setiap dari kita yang telah diterima dalam keluarga Allah mungkin akan mengatakan bahwa penerimaan tersebut merupakan peristiwa terindah dalam hidup kita. Ketika mempercayai Kristus sebagai Juruselamat kita, kita menjadi anak-anak Allah, dan Dia menjadi Bapa Surgawi kita. Alkitab memberikan kepastian kepada kita, “Kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus” (Gal. 3:26).

Sebagai anak yang diadopsi ke dalam keluarga Allah, kita mempunyai saudara-saudara seiman—saudara laki-laki dan perempuan di dalam Kristus—dan kita semua mendapat bagian dalam warisan yang kekal (Kol. 1:12). Lebih dari itu, Roh Yesus mendiami hati kita dan memampukan kita untuk berdoa dalam nama Abba, Bapa (Gal. 4:6)—bagaikan seorang anak yang memanggil ayahnya, “Papa.”

Sebagai anak Allah, kita mengalami keintiman dan perlindungan dari Bapa yang mengasihi, menerima, dan mau mengenal kita. Pengadopsian kita ke dalam keluarga-Nya merupakan penerimaan yang sungguh luar biasa. —JBS

Dahulu aku seorang asing yang terkucil di dunia,
Lahir sebagai orang asing, hidup sebagai pendosa;
Namun aku sudah diangkat anak, namaku tercatat,
Jadi ahli waris surga, dengan jubah dan mahkota mulia. —Buell

Tangan Allah selalu terbuka untuk menyambut siapa pun yang mau kembali kepada-Nya.

Tuesday, April 15, 2014

Sesendok Gula

Hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya, . . . dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah. —Mazmur 19:10-11

Sesendok Gula
Saya merindukan Mary Poppins. Mary adalah tokoh rekaan dalam serial film kuno yang bekerja sebagai seorang pengasuh anak dan terkenal dengan ucapannya, “Sesendok gula dapat membuat obat yang pahit jadi mudah ditelan.” Sebenarnya saya bukan ingin menyaksikan kembali film-film yang riang tetapi tidak realistis seperti itu, melainkan sedang merindukan adanya orang-orang yang mempunyai pandangan terhadap suatu masa depan yang optimis dan realistis. Saya merindukan orang-orang yang kreatif dan ceria, yang dapat menunjukkan sisi positif dari sesuatu yang kita anggap negatif.

Ternyata Daud menulis sebuah pujian yang mengungkapkan kebenaran serupa. Ia menulis, “hukum-hukum TUHAN itu . . . lebih manis dari pada madu” (Mzm. 19:10-11). Kita jarang mendengar bahwa kebenaran itu manis. Kita lebih sering mendengar bahwa kebenaran itu pahit atau bahkan sulit untuk ditelan. Namun kebenaran lebih dari sekadar obat yang dapat menyembuhkan, melainkan suatu asupan yang bermanfaat untuk mencegah penyakit. Kebenaran bukanlah vaksinasi atau suntikan. Kebenaran adalah makanan kelas atas yang sepatutnya dihidangkan sebagai santapan terlezat yang memikat mereka yang lapar untuk mengecap dan melihat “betapa baiknya TUHAN itu” (Mzm. 34:9).

Kita menyanyikan pujian “Yesus nama termanis yang kukenal,” tetapi ada di antara kita yang menampilkan-Nya seolah-seolah Dia bukanlah yang termanis. Kebenaran yang murni dan tidak tercemar oleh kecongkakan merupakan santapan yang termanis dan tersegar bagi semua jiwa yang merindukan asupan rohani. Kita diberikan kehormatan untuk menghidangkannya bagi dunia yang sedang kelaparan. —JAL

Yesus nama termanis yang kukenal,
Dan memang Dia seindah nama-Nya,
Karena itulah aku begitu mengasihi-Nya;
Ya, Yesus nama termanis yang kukenal. —Long

Kebenaran [TUHAN] tetap untuk selama-lamanya. —Mazmur 117:2 FAYH

Monday, April 14, 2014

Salah Mengenali

Lalu Yesus bertanya kepada mereka, “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” —Matius 16:15

Salah Mengenali
Scott, adik bungsu saya, lahir ketika saya sudah akan lulus dari SMA. Selisih umur yang jauh ini menimbulkan kejadian menarik ketika Scott sudah menginjak usia kuliah. Pada perjalanan pertamanya mengunjungi kampus, saya dan Ibu pergi bersamanya. Sesampainya kami di sana, orang-orang menganggap bahwa saya adalah ayah Scott dan Ibu adalah neneknya. Karena terlalu banyak orang yang mengira demikian, kami pun memutuskan untuk berhenti meluruskan anggapan mereka. Tidak peduli apa pun yang kami katakan atau lakukan, hubungan kekeluargaan kami yang sesungguhnya telah dikesampingkan oleh anggapan mereka yang salah mengenali identitas kami.

Yesus bertanya kepada orang Farisi tentang identitas-Nya: “Apakah pendapatmu tentang Mesias? Anak siapakah Dia?” Mereka menjawab, “Anak Daud” (Mat. 22:42). Identitas Mesias yang sesungguhnya memang penting, dan jawaban mereka benar, hanya saja tidak lengkap. Kitab Suci telah menegaskan bahwa Mesias akan datang dan duduk di atas takhta Daud, bapa leluhur-Nya. Namun Yesus mengingatkan mereka bahwa walaupun Daud memang adalah leluhur Kristus, Dia juga lebih dari itu—karena Daud menyebut Dia sebagai “Tuan”.

Dihadapkan pada pertanyaan yang serupa, Petrus menjawab dengan benar, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat. 16:16). Sampai hari ini, pertanyaan tentang identitas Yesus itu jauh lebih penting daripada segala pertanyaan yang lain—begitu pentingnya sehingga kekekalan seseorang dipengaruhi oleh pengenalannya akan sosok Mesias yang sebenarnya. —WEC

Umat-Mu lemah dan dari debu
Tetap memegang janji-Mu teguh.
Kasih setia-Mu berlimpah terus,
Ya Khalik, Pembela dan Kawan kudus! —Grant
(Kidung Jemaat, No. 4)

Tiada kesalahan yang lebih berbahaya daripada salah mengenali Yesus.

Sunday, April 13, 2014

Ketetapan Hati

Bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku. —Rut 1:16

Ketetapan Hati
Ketika laporan berita di televisi menayangkan tentang penderitaan para pengungsi yang terpaksa keluar dari negaranya yang sedang dilanda peperangan, saya dibuat tercengang oleh perkataan seorang gadis cilik berumur 10 tahun di sana. Meski kecil sekali kemungkinan baginya untuk pulang kembali ke rumah, gadis cilik itu menunjukkan semangatnya yang gigih: “Saat pulang nanti, aku akan mengunjungi tetanggaku; aku akan bermain dengan teman-temanku,” katanya dengan suatu tekad yang bulat. “Ayahku berkata bahwa kami tak punya rumah. Aku bilang padanya, kita akan memperbaikinya.”

Sifat gigih memang diperlukan dalam hidup ini, terutama ketika sifat itu berakar di dalam iman kita kepada Allah dan kasih kita kepada sesama. Kitab Rut diawali dengan tiga wanita yang dipersatukan karena suatu tragedi. Setelah suami dan kedua putranya meninggal, Naomi memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Betlehem dan mendesak kedua menantunya yang telah menjanda untuk pulang ke negeri asal mereka, Moab. Orpa pun kembali ke Moab, tetapi Rut berjanji untuk ikut bersama Naomi, sambil berkata, “Bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (Rut 1:16). Ketika Naomi melihat Rut “berkeras untuk ikut bersama-sama dengan dia” (ay.18), mereka mulai perjalanan mereka berdua.

Sifat keras kepala terkadang berasal dari kesombongan, tetapi komitmen bertumbuh dari kasih. Ketika Yesus disalibkan, “Ia mengambil keputusan untuk pergi ke Yerusalem” (Luk. 9:51 BIS). Melihat ketetapan hati-Nya untuk rela mati bagi kita, kita pun menetapkan hati untuk memberikan hidup kita bagi-Nya. —DCM

G’nap hidupku dan kasihku
‘Ku s’rahkanlah kepada-Hu.
Engkau t’lah mati bagiku,
Juruselamatku. —Hudson
(Nyanyian Kemenangan Iman, No. 260)

Kasih menuntut komitmen.

Saturday, April 12, 2014

Awal Yang Baru

Komik-Strip-WarungSateKamu-20140412-Awal-yang-Baru

Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya? —Yesaya 43:19

Awal Yang Baru
Awal yang baru bukanlah sesuatu yang mustahil. Contohnya Brayan, seorang pemuda yang telah menjadi anggota sebuah geng ketika masih bersekolah dasar. Ketika berumur 12 tahun, Brayan kabur dari rumah dan selama 3 tahun ia terjerumus dalam kehidupan jalanan dan narkoba. Meski akhirnya ia meninggalkan semua itu dan pulang ke rumah, hal itu tidaklah mudah baginya, karena ia telah dikeluarkan dari sekolah gara-gara menjual narkoba. Namun ketika ia mendaftar di SMA yang baru, seorang guru mengilhami dan mendorong Brayan untuk menuliskan pengalamannya, daripada mengulangi lagi masalah yang sama. Brayan pun menerima tantangan tersebut dan sekarang sedang menjalani hidup yang baru.

Melalui Nabi Yesaya, Allah juga mendorong bangsa Israel yang sedang dalam pengasingan untuk memikirkan suatu awal yang baru. Allah berfirman, “Janganlah ingat-ingat hal-hal yang dahulu, dan janganlah perhatikan hal-hal yang dari zaman purbakala” (Yes. 43:18). Allah meminta mereka untuk tidak lagi memikirkan tentang hukuman mereka dan bahkan tentang kuasa yang ditunjukkan-Nya pada saat pertama kalinya mereka dibebaskan dari Mesir. Allah ingin mereka memusatkan perhatian kepada Dia yang akan memberi mereka awal yang baru, dengan jalan kembali membebaskan dan memulangkan mereka, kali ini dari Babel (ay.19).

Bersama Allah, hati kita dapat mengalami suatu awal yang baru. Dia dapat menolong kita untuk melepaskan pengalaman masa lalu dan mulai berpegang kepada-Nya. Hubungan yang terjalin dengan Allah akan memberikan suatu pengharapan yang baru bagi semua orang yang mau percaya kepada-Nya. —MLW

Tuhan, kami butuh jamahan-Mu dalam hidup kami. Bekerjalah dalam
hati dan diri kami yang membutuhkan pembaruan. Tolong kami
untuk melakukan bagian kami dan mempercayai Engkau untuk
melakukan segala sesuatu yang sanggup Engkau lakukan sendiri.

Allah memperbarui kita mulai dari hati hingga ke perilaku kita.

Friday, April 11, 2014

Allah Itu Hebat Ya!

Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya. —Mazmur 29:2

“Allah Itu Hebat Ya!”
Suatu hari, Katie, cucu perempuan saya yang berumur 3 tahun, mengucapkan sesuatu yang mengejutkan ayah dan ibunya. Mereka kaget karena pernyataannya yang sarat dengan makna teologis. Ia berkata kepada mereka, “Papa dan Mama punya saudara yang sudah meninggal. Lalu Tuhan membawa mereka ke surga untuk tinggal bersama-Nya. Allah itu hebat ya!”

Kuasa Allah yang amat dahsyat memang begitu ajaib, akan tetapi hal itu cukup sederhana sehingga dapat dimengerti oleh seorang anak. Dalam pemikiran Katie yang masih muda, ia tahu bahwa jika Allah dapat melakukan sesuatu yang sedemikian ajaib, itu berarti bahwa Allah memang hebat. Dengan pemahamannya yang sederhana, Katie pun tahu bahwa Allah telah melakukan suatu hal yang mengagumkan ketika Dia membawa kedua bibinya ke surga.

Seberapa sering kita terdiam di tengah dunia kita yang semakin canggih ini sambil terkagum dalam hati: “Allah itu hebat.” Mungkin terlalu jarang kita melakukannya. Kita tidak dapat mengetahui bagaimana Allah menciptakan alam semesta oleh firman-Nya (Ayb. 38-39; Mzm. 33:9; Ibr. 11:3), dan kita tidak dapat mengetahui cara Allah dalam memelihara seluruh ciptaan-Nya (Neh. 9:6). Kita tidak bisa memahami bagaimana Allah merencanakan dan menggenapi inkarnasi Yesus, dan kita tidak pernah bisa mengerti bagaimana Dia memandang pengorbanan Kristus itu cukup bagi keselamatan kita. Namun kita tahu semua hal tersebut benar adanya.

Kuasa Allah itu ajaib tak tertandingi, tetapi amat nyata bagi kita untuk menyadarinya. Kuasa-Nya memberi kita alasan untuk memuji nama-Nya. —JDB

Allah kita Allah yang luar biasa!
Dia memerintah dari surga mulia
Dengan hikmat, kuasa, dan kasih—
Allah kita Allah yang luar biasa! —Mullins

Segala yang Allah lakukan ditandai oleh kesederhanaan dan kuasa. —Tertullian

Thursday, April 10, 2014

Sisi Kiri Jalan

Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” —Galatia 5:14

Sisi Kiri Jalan
Karena dibesarkan di Amerika Serikat, alangkah menariknya bagi saya saat mengetahui bahwa di sejumlah negara, para pengendara mengemudikan kendaraan mereka di sisi kiri jalan dan bukan di sisi kanan. Kemudian, ketika sedang berada di Inggris, saya mendengar seorang pemandu wisata di London menjelaskan tentang salah satu kemungkinan dari alasan diberlakukannya peraturan tersebut: “Pada tahun 1800-an, para pejalan kaki menggunakan jalan yang sama dengan kereta-kereta berkuda. Ketika kereta berkuda sedang melaju di sisi kanan jalan, adakalanya cambuk yang digunakan kusir kereta itu mengenai para pejalan kaki. Untuk menghindari bahaya itu, dibuatlah suatu peraturan yang mengharuskan kereta berkuda untuk melaju di sisi kiri jalan agar para pejalan kaki dapat melintas dengan aman.”

Sama seperti beragam peraturan di jalan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita, demikian juga dengan perintah-perintah Allah. Karena Allah mengasihi kita, Dia telah memberikan perintah-perintah-Nya demi kebaikan kita. Paulus menulis: “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih. Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” (Gal. 5:13-14).

Ketika kita menghayati firman Tuhan dalam hati kita, ingatlah selalu bahwa Allah Sumber Anugerah telah memberi kita tuntunan-Nya yang menolong kita untuk bertumbuh semakin mengasihi Dia dan mempedulikan sesama. —HDF

Firman-Mu kebenaran yang abadi;
Sungguh suci tiap lembarnya!
Kitab Suci itu menuntun orang muda
Dan menopang sepanjang hidup. —Watts

Di dalam Alkitab terdapat harta hikmat yang siap digali.

Wednesday, April 9, 2014

Dikasihi Untuk Mengasihi

Sebab itu haruslah kamu menunjukkan kasihmu kepada orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir. —Ulangan 10:19

Dikasihi Untuk Mengasihi
Sekalipun terus-menerus berada dalam bahaya saat menetap di Jerman yang dikuasai Hitler, Dietrich Bonhoeffer memilih untuk tetap tinggal. Saya membayangkan bahwa ia mempunyai pandangan yang sama seperti Paulus, hatinya rindu untuk berada di surga, tetapi Allah menghendakinya tetap tinggal di mana ia dibutuhkan (Flp. 1:21). Jadi, ia tetap tinggal, dan sebagai pendeta ia mengadakan ibadah secara diam-diam dan terus menentang kekejaman rezim Hitler.

Meski bahaya harus dihadapinya sehari-hari, Bonhoeffer menulis buku Life Together (Hidup Bersama)—sebuah buku tentang pelayanan keramahtamahan. Ia membuktikan sendiri prinsip ini ketika ia hidup dan bekerja di tengah suatu komunitas biara dan ketika ia dipenjara. Bonhoeffer mengajarkan bahwa setiap waktu makan, setiap tugas, dan setiap perbincangan adalah suatu kesempatan untuk menunjukkan Kristus kepada orang lain, bahkan pada saat kita berada di bawah tekanan yang amat besar.

Kita membaca dalam kitab Ulangan bahwa seperti Allah memelihara bangsa Israel yang sedang meninggalkan Mesir, Dia memerintahkan mereka untuk meneladani-Nya dengan cara mengasihi dan melayani orang asing dan para janda (10:18-19, Kel. 22:21-22). Kita pun telah dikasihi Allah dan dimampukan oleh Roh-Nya untuk melayani Dia dengan melayani sesama dalam berbagai cara setiap hari lewat perkataan dan tindakan kita yang baik.

Adakah sesama kita yang sedang merasa kesepian atau kehilangan arah? Ketika kita semua menjalani hidup dan bekerja bersama bagi- Nya, kita dapat meyakini bahwa Tuhan akan memampukan kita untuk membawa pengharapan dan belas kasihan kepada mereka. —RKK

Kiranya aku melayani-Nya dengan sepenuh hati,
Dan biarlah hidupku diuji di hadapan mata-Nya,
Tiap jam menjadi berkat dari Tuhan yang pemurah,
Tiap hari berjanji memberi yang terbaik bagi-Nya. —NN.

Semakin kita memahami kasih Allah kepada kita, semakin besar pula kasih kita kepada sesama.

Tuesday, April 8, 2014

Melampaui Batas Kemampuan

Kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan . . . kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya. —2 Korintus 3:18

Melampaui Batas Kemampuan

Saya mempunyai seorang teman yang rasanya lebih baik dari saya hampir dalam segala hal. Ia lebih pintar; berpikir lebih dalam; dan tahu buku-buku yang lebih baik untuk dibaca. Ia bahkan sering mengalahkan saya dalam permainan golf. Menghabiskan waktu bersamanya menantang saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih peduli kepada sesama. Keunggulannya atas saya telah mendorong saya untuk meraih dan melakukan hal-hal yang lebih baik.

Hal itu sejalan dengan prinsip rohani ini: Alangkah pentingnya menyediakan waktu merenungkan firman Allah agar kita dapat menjadi serupa dengan pribadi Kristus. Saat membaca tentang dampak kasih Yesus yang tak bersyarat bagi kita, saya pun tergerak untuk mengasihi sesama tanpa syarat. Belas kasihan dan anugerah-Nya yang cuma-cuma kepada manusia yang sungguh tidak layak menerimanya telah membuat saya malu pada keengganan saya mengampuni dan niat saya untuk membalas dendam.

Saya pun menjadi pribadi yang lebih bersyukur ketika menyadari bahwa meskipun hidup saya bobrok dan memalukan, Tuhan telah mengenakan keindahan dari kebenaran-Nya yang sempurna pada diri saya. Jalan-jalan-Nya yang ajaib dan hikmat-Nya yang tak tertandingi telah memotivasi dan mengubah diri saya. Rasanya sulit merasa puas dengan keberadaan diri saya sekarang ketika dalam hadirat-Nya saya didorong untuk menjadi semakin serupa dengan-Nya.

Rasul Paulus mendorong kita untuk menikmati sukacita ketika memandang Kristus. Ketika melakukan hal itu, kita akan “diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar” (2Kor. 3:18). —JMS

Tuhan, tolong kami untuk datang ke hadirat-Mu dengan mata hati
yang terbuka untuk menyadari keberadaan-Mu dan kehendak-Mu
atas hidup kami. Terima kasih untuk penyataan diri-Mu kepada kami
dan sukacita yang kami nikmati dari agungnya kemuliaan-Mu.

Perubahan pasti terjadi ketika kamu hidup selalu dekat dengan Tuhan.

Monday, April 7, 2014

Masalah Karena Stroberi

Supaya sehati sepikir dalam Tuhan. —Filipi 4:2

Masalah Karena Stroberi
Seorang pria meletakkan sekotak besar stroberi di halaman depan rumah yang baru kami tempati belum lama ini. Dalam catatan yang disertakannya dalam kotak itu, ia menyatakan keinginannya agar kami berbagi stroberi itu dengan para tetangga. Niatnya memang baik, tetapi ada beberapa anak yang menemukan kotak itu sebelum kami, dan mereka pun menggunakan stroberi itu untuk bermain lempar-lemparan ke arah rumah kami yang berdinding putih. Saat kami pulang, kami melihat anak-anak yang kami kenal itu memandang dari balik pagar. Mereka kembali ke “tempat kejadian perkara” untuk melihat reaksi kami terhadap masalah yang mereka perbuat. Kami bisa saja membersihkan rumah kami sendiri, tetapi agar hubungan di antara kami pulih kembali, kami merasa perlu untuk berbicara dengan anak-anak itu dan meminta mereka membantu membersihkan rumah kami dari ceceran stroberi yang mengotorinya.

Hidup memang bisa bermasalah ketika terjadi konflik dalam hubungan dengan sesama. Inilah yang terjadi di jemaat Filipi. Euodia dan Sintikhe, dua hamba Tuhan yang setia, sedang berselisih paham. Rasul Paulus menulis kepada jemaat itu untuk mendorong keduanya agar mengatasi masalah mereka (Flp. 4:2). Ia juga menghendaki seseorang yang memiliki kelemahlembutan untuk bertindak sebagai penengah bagi mereka. Ia menulis, “Bahkan kuminta kepadamu juga, Sunsugos, temanku yang setia: tolonglah mereka. Karena mereka telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil” (ay.3).

Dengan kesadaran bahwa kita semua pernah mengalami masalah dalam hidup ini, kita bisa sepenuhnya percaya kepada Tuhan untuk menolong kita bersikap lemah lembut terhadap sesama. —AMC

Ya Tuhan, tolonglah aku agar bersikap bijaksana dan berani
dalam hubunganku dengan sesama. Dengan kuasa-Mu, tolonglah
agar aku dapat bersikap lemah lembut dan menunjukkan kasih
kepada sesama seperti yang telah Engkau tunjukkan kepadaku.

Kasih sejati rela menegur dan memulihkan sesama.

Sunday, April 6, 2014

Pilihlah Hidup

Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya. —Ulangan 30:19-20

Pilihlah Hidup

Apa kehendak Allah bagi hidup saya? Pertanyaan itu pernah menghantui saya ketika saya beranjak dewasa. Apa jadinya jika saya tidak dapat menemukannya? Bagaimana jika saya tidak mengetahuinya? Kehendak Allah itu bagai jarum dalam tumpukan jerami. Tersembunyi, tersamar, dan banyak kepalsuan.

Namun pandangan saya tentang kehendak Allah itu salah karena pandangan saya tentang Allah juga salah. Allah tidak menghendaki kita tersesat, berkelana ke sana kemari, dan terus mencari-cari. Dia ingin supaya kita mengetahui kehendak-Nya. Dia menyatakannya secara jelas dan sederhana. Dia bahkan tidak memberikan banyak pilihan. Dia hanya memberikan dua pilihan: “kehidupan dan keberuntungan” atau “kematian dan kecelakaan” (Ul. 30:15). Andaikata kita tidak paham juga pilihan mana yang terbaik, Dia menyatakan mana yang harus kita pilih: “Pilihlah kehidupan” (ay.19). Memilih kehidupan berarti memilih Allah sendiri dan menaati firman-Nya.

Ketika Musa memberikan pesan kepada bangsa Israel untuk terakhir kalinya, ia mendesak mereka untuk membuat pilihan yang benar dengan memperhatikan “segala perkataan hukum Taurat ini. . . . Sebab . . . itulah hidupmu” (32:46-47). Kehendak Allah bagi kita, itulah hidup. Firman-Nya, itulah hidup. Dan Yesus adalah Firman itu. Allah mungkin tidak memberikan resep khusus untuk setiap keputusan yang perlu kita ambil, tetapi Dia telah memberi kita teladan sempurna untuk kita ikuti, yaitu Yesus. Terkadang membuat keputusan yang benar tidaklah mudah, tetapi ketika firman-Nya menjadi petunjuk bagi kita dan kemuliaan-Nya menjadi tujuan kita, Allah akan memberikan hikmat kepada kita untuk membuat keputusan hidup yang benar. —JAL

Tuhan Yesus, kami tahu bahwa hikmat sejati diperoleh ketika kami
bersandar kepada-Mu. Tolonglah kami untuk mempercayai
Engkau dan untuk mencari wajah-Mu dan mengikuti kehendak-Mu
yang kami temukan dalam firman-Mu yang memberikan hidup.

Kita melihat bukti tuntunan Allah secara lebih jelas dengan melihat karya-Nya bagi kita di masa lalu.

Saturday, April 5, 2014

Tidak Dihitung

Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir. —Matius 20:16
Tidak Dihitung Pertunjukan drama berjudul Amadeus bercerita tentang seorang komposer pada abad ke-18 yang sedang berusaha memahami maksud Allah. Antonio Salieri yang saleh memiliki keinginan yang tulus untuk dapat menciptakan suatu musik yang megah dan luar biasa, tetapi ia tidak dianugerahi talenta untuk melakukannya. Ia sangat marah karena Allah justru mencurahkan talenta berupa kejeniusan terhebat dalam bidang musik kepada seorang laki-laki berandalan bernama Wolfgang Amadeus Mozart.

Drama tersebut mengajukan pertanyaan yang juga diajukan oleh kitab Ayub, tetapi dalam kebalikannya. Penulis kitab Ayub bertanya-tanya mengapa Allah justru menghukum orang paling saleh di seantero dunia; sementara penulis Amadeus bertanya-tanya mengapa Allah menganugerahi seseorang yang begitu tidak layak menerimanya.

Skandal karunia ini dibahas langsung oleh Yesus lewat perumpamaan-Nya tentang para pekerja dan upah mereka yang jelas-jelas tidak adil. Sejumlah orang yang telah menganggur sepanjang hari akhirnya direkrut oleh pemilik kebun anggur pada “pukul lima petang” (Mat. 20:6-7). Para pekerja yang telah seharian bekerja sangat terkejut ketika mengetahui bahwa masing-masing dari mereka ternyata menerima upah yang sama. Majikan macam apa yang membayarkan upah yang sama kepada pekerja yang hanya bekerja satu jam dengan yang bekerja 12 jam?

Cerita Yesus ini sangatlah tidak masuk akal secara ekonomi, tetapi memang itulah maksud Yesus. Dia memberi kita perumpamaan tentang anugerah yang tidak dapat diperhitungkan seperti upah bagi suatu pekerjaan. Allah memberi kita anugerah, bukan upah. —PDY

Tuhan, kadang aku lupa bahwa kasih, berkat, atau pengampunan
yang kuterima dari-Mu itu bukanlah karena jasa usahaku.
Engkau telah mencurahkan anugerah-Mu kepadaku sebagai
pemberian dan bukan sebagai upah. Terima kasih, Tuhan.

Kata “layak” tidaklah berlaku dalam hal karunia Allah.

Friday, April 4, 2014

Memeriksa Oli

Sebab kepada-Mu aku berdoa, ya TUHAN, dengarlah seruanku di waktu pagi. Pagi-pagi kubawa persembahanku dan kunantikan jawaban-Mu, ya TUHAN. —Mazmur 5:4 BIS

Ketika dahulu menolong putri-putri saya belajar mengemudi, saya memberikan sedikit instruksi tentang perawatan dasar bagi mobil. Kami mengunjungi sebuah bengkel mobil di lingkungan kami dan mereka belajar untuk memeriksa oli mobil setiap kali mengisi bensin. Saat ini, bertahun-tahun kemudian, mereka masih mengingatkan saya tentang sebuah slogan enam kata yang pernah saya ajarkan, “Oli itu murah, mesin itu mahal.” Harga 1 liter oli tidaklah sebanding dengan biaya mengganti sebuah mesin.

Pemeliharaan juga penting dilakukan bagi kehidupan rohani kita. Mengambil waktu setiap hari untuk membaca Alkitab, berdoa, dan mendengarkan Tuhan adalah unsur kunci untuk mencegah terjadinya kebobrokan jiwa. Dalam Mazmur 5, Daud menulis, “Sebab kepada-Mu aku berdoa, ya TUHAN, dengarlah seruanku di waktu pagi. Pagi-pagi kubawa persembahanku” (ay.4 BIS). Dalam ayat-ayat berikutnya, Daud mencurahkan isi hatinya dalam pujian, ucapan syukur, dan permohonan doa kepada Allah.

Banyak orang merasa perlu untuk memulai hari demi hari yang akan dilaluinya bersama Tuhan. Sebelum membaca surat elektronik, menyaksikan berita, atau bahkan menikmati sarapan, mereka mengambil suatu waktu teduh untuk membaca satu bagian dari firman Allah, memuji kebesaran-Nya, mengucap syukur atas kasih-Nya, dan meminta petunjuk-Nya. Ada juga yang memilih untuk membaca dan berdoa pada waktu-waktu yang lain dari satu hari yang dilaluinya.

Demikianlah cara kita memelihara kehidupan rohani kita, yaitu dengan memohon kepada Tuhan agar hari demi hari Dia mengisi hati kita dengan kehadiran-Nya dalam setiap langkah kehidupan. —DCM

Beriku keinginan yang kuat, ya Tuhan, untuk merenungkan
firman-Mu setiap hari. Tolong aku untuk menyimpannya
dalam hatiku sehingga aku tak menyimpang dari kebenaran-Mu.
Puaskan dan ajarkanku tentang diri-Mu dan kehendak-Mu untukku.

Hidup yang teguh adalah hidup yang berlandaskan firman Allah dan doa.

Thursday, April 3, 2014

Apa Arti Sebuah Nama?


Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku. —Matius 16:18
Apa Arti Sebuah Nama?Teman saya menulis secarik surat kepada anaknya yang baru lahir dengan maksud agar surat itu dibaca sang anak setelah ia dewasa: “Putraku, Ayah dan Ibu berharap kau akan menemukan Sang Terang dan tetap berfokus kepada-Nya. Nama Mandarinmu adalah xin xuan.Xin berarti kesetiaan, kepuasan, dan integritas;xuan berarti kehangatan dan terang.” Dengan saksama, teman saya dan istrinya memilih nama itu sesuai dengan harapan mereka untuk putra mereka.Ketika Yesus mengubah nama Simon menjadi Petrus/Kefas (Yoh. 1:42), nama itu tidak dipilih sembarangan. Petrus berarti “batu karang”. Namun butuh waktu bagi Petrus untuk dapat bersikap sesuai dengan nama barunya. Catatan perjalanan hidupnya memperlihatkan dirinya sebagai seorang nelayan yang dikenal gegabah dan “plin-plan”. Petrus berbantah dengan Yesus (Mat. 16:22-23), mengayunkan pedangnya untuk melukai seseorang (Yoh. 18:10-11), dan bahkan menyangkal telah mengenal Yesus (Yoh. 18:15-27). Namun dalam Kisah Para Rasul, kita membaca bahwa Allah bekerja di dalam dan melalui diri Petrus untuk membangun gereja-Nya. Petrus sungguh telah menjadi batu karang.Jika kamu adalah seorang pengikut Yesus, seperti Petrus, kamu memiliki sebuah identitas baru. Kita membaca dalam Kisah Para Rasul 11:26, “Di Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen.” Nama “Kristen” berarti “milik Kristus”. Dirimu sekarang menjadi milik Kristus. Nama itu mengangkat harkatmu dan memanggilmu untuk menjadi seseorang yang sesuai dengan rencana Allah. Allah itu setia, dan Dia akan meneruskan pekerjaan-Nya yang baik di dalammu sampai pada akhirnya (Flp. 1:6). —PFCYa Bapa, kami mengucap syukur untuk kehormatan luar biasasehingga kami boleh disebut anak-anak-Mu. Kiranya kamisemakin mengerti artinya dipersatukan dengan Putra-Mu,Yesus Kristus. Bekerjalah di dalam dan melalui diri kami.Kita memuliakan nama Allah ketika kita memanggil-Nya Bapa kita dan menjalani hidup sebagai anak-anak-Nya.

Wednesday, April 2, 2014

Kamu Punya Sahabat

Pindah Cerita & Ilustrasi oleh Heri Kurniawan

[Yesus berkata,] “Aku menyebut kamu sahabat.” —Yohanes 15:15
Kamu Punya Sahabat
Salah satu konsekuensi ironis dari pesatnya pertumbuhan media sosial adalah kita justru sering merasa semakin terasing dan sendirian. Sebuah artikel online memperingatkan: “Orang-orang yang menolak untuk mengutamakan atau semata-mata menjalani kehidupan melalui dunia maya mengakui bahwa teman-teman di dunia maya tidaklah sebanding dengan para sahabat di dunia nyata, dan . . . orang-orang yang menjadikan teman-teman di dunia maya sebagai pengganti dari sahabat-sahabat di dunia nyata justru lebih merasa kesepian dan lebih mengalami depresi daripada sebelumnya.”
Terlepas dari teknologi, setiap dari kita pernah berjuang melawan masa-masa kesepian dan bertanya-tanya apakah ada seorang pun yang mengenal, mengerti, atau bahkan mempedulikan berbagai beban yang sedang kita tanggung dan perjuangan yang sedang kita hadapi. Akan tetapi, para pengikut Kristus mendapatkan jaminan yang memberikan penghiburan pada hati kita yang gelisah. Kehadiran Sang Juruselamat yang memberikan penghiburan telah dijanjikan dalam kata-kata yang tidak dapat disangkal lagi, seperti yang dituliskan oleh Daud sang pemazmur, “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku” (Mzm. 23:4).
Ketika kita merasa sendirian, baik sebagai akibat dari pilihan hidup kita sendiri, atau oleh tren budaya yang ada di sekitar kita, atau oleh penderitaan hidup yang menyakitkan, percayalah bahwa semua orang yang mengenal Kristus dapat berharap pada kehadiran Sang Gembala hati kita. Sungguh, Yesus adalah Sahabat kita yang sejati! —WEC
Kutemukan Sahabat; sungguh Sahabat sejati!
Dia mengasihiku sebelum kukenal Dia;
Dia menarikku dengan dawai-dawai kasih
Sehingga kutertambat pada-Nya. —Small
Setiap orang yang mengenal Yesus sebagai Sahabatnya tidak akan pernah sendirian.

Tuesday, April 1, 2014

Tomat Gratis

Sesudah itu datanglah setiap orang yang tergerak hatinya, . . . membawa persembahan khusus kepada TUHAN untuk pekerjaan melengkapi Kemah Pertemuan. —Keluaran 35:21
Tomat Gratis
Saat sedang memasukkan belanjaan ke bagasi mobil, saya melirik sekilas ke mobil di sebelah saya. Melalui kaca belakangnya, saya bisa melihat sejumlah keranjang penuh tomat merah yang segar, bulat, dan lebih bagus daripada tomat yang dijual di toko-toko. Ketika kemudian si pemilik mobil itu muncul, saya berkata, “Tomat-tomatmu kelihatan sangat enak!” Ia menjawab, “Panenan tomat saya sangat bagus tahun ini. Kamu mau mencicipinya?” Terkejut oleh kemurahan hatinya, dengan senang hati saya menerima tawarannya. Ia pun memberi saya beberapa buah tomat dengan cuma-cuma—dan tomat-tomatnya tidak hanya sedap dipandang tetapi juga sedap di lidah.
Kita dapat melihat sikap murah hati yang lebih besar ditunjukkan oleh bangsa Israel ketika mereka memberi untuk pembangunan Kemah Pertemuan. Pada saat mereka diminta untuk menyediakan bahan-bahan untuk Kemah itu, “setiap orang yang tergerak hatinya, . . . membawa persembahan khusus kepada TUHAN untuk pekerjaan melengkapi Kemah Pertemuan” (Kel. 35:21). Orang-orang Israel dengan senang hati menyumbangkan perhiasan emas, kain-kain berwarna, lenan halus, perak, tembaga, batu permata, dan rempah-rempah. Ada dari mereka yang juga memberikan waktu dan keahlian mereka (ay.25-26).
Jika kita meneladani bangsa Israel dan dengan sukarela mempersembahkan yang kita miliki, kita pun menyenangkan dan memuliakan Allah melalui sikap dan persembahan kita. Tuhan yang melihat dan mengetahui pikiran serta isi hati kita mengasihi orang-orang yang memberi dengan sukacita. Tuhan sendirilah teladan terbaik dari sikap murah hati (Yoh. 3:16). —JBS
Ya Yesus, Engkau sudah memberikan semua yang Kau miliki
demi diriku. Ajarlah aku untuk bisa memberi
dengan hati sukarela agar persembahanku
benar-benar memuliakan-Mu.
Kondisi hati kita lebih penting daripada jumlah pemberian kita.
 

Total Pageviews

Translate