Pages - Menu

Wednesday, November 30, 2016

Berapa Harga Dirimu?

Kamu telah ditebus . . . bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus. —1 Petrus 1:18-19
Berapa Harga Dirimu?
Alkisah pada tahun 75 SM, seorang bangsawan muda Romawi bernama Julius Caesar diculik oleh bajak laut dan baru akan dilepaskan dengan tebusan. Ketika bajak laut itu meminta tebusan sebesar 20 talen perak (sekitar 8 milyar rupiah pada masa kini), Caesar pun tertawa dan menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak tahu siapa dirinya. Ia mendesak mereka untuk menaikkan harga tebusannya menjadi 50 talen perak! Mengapa? Karena Caesar yakin bahwa harga dirinya jauh lebih tinggi daripada 20 talen perak.
Alangkah berbedanya ukuran yang digunakan Caesar secara arogan untuk menilai dirinya dengan ukuran yang digunakan Allah untuk menilai setiap diri kita. Harga diri kita tidaklah diukur berdasarkan nilai uang melainkan pada apa yang telah dilakukan Bapa di surga demi kita.
Tebusan apakah yang telah dibayar-Nya untuk menyelamatkan kita? Melalui kematian Anak-Nya yang tunggal di kayu salib, Allah Bapa membayar harga demi menebus kita dari jerat dosa. “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus” (1Ptr. 1:18-19).
Allah begitu mengasihi kita sehingga Dia rela menyerahkan Anak-Nya untuk mati disalib dan bangkit dari kematian untuk menebus dan menyelamatkan kita. Itulah harga dirimu di mata-Nya. —Bill Crowder
Bapa, terima kasih untuk kasih yang Kau nyatakan kepadaku dan untuk harga yang telah Engkau bayar demi pengampunanku. Tolonglah agar hidupku terus menyuarakan rasa syukur, karena Engkaulah satu-satunya yang bernilai lebih dari segalanya.
Harga diri kita diukur berdasarkan apa yang telah Allah bayarkan demi menyelamatkan kita.

Tuesday, November 29, 2016

Aku Kaya!

Aku gembira mengikuti perintah-perintah-Mu, seperti memiliki segala macam harta. —Mazmur 119:14 BIS
Aku Kaya!
Mungkin kamu pernah melihat iklan TV yang menggambarkan seseorang yang didatangi seorang tamu yang menyerahkan selembar cek bertuliskan jumlah uang yang sangat besar. Si penerima cek yang sempat terkejut itu kemudian mulai berteriak-teriak, menari, melompat, dan memeluk semua orang di sekitarnya. “Horeeee! Aku menang! Aku kaya! Benar-benar tak terbayangkan! Sekarang masalahku beres!” Kaya mendadak memang bisa menyulut kegembiraan yang meluap-luap.
Di Mazmur 119, pasal terpanjang di Alkitab, kita menemukan ungkapan yang luar biasa ini: “Aku gembira mengikuti perintah-perintah-Mu, seperti memiliki segala macam harta” (ay.14 BIS). Perbandingan yang menarik! Mengikuti perintah Allah dalam hidup sama menggembirakannya seperti menerima harta berlimpah! Ayat 16 (BIS) kembali mengulang ungkapan tersebut. Pemazmur mengungkapkan rasa syukur dan sukacitanya untuk perintah-perintah Tuhan. “Ketetapan-Mu membuat aku senang; ajaran-Mu takkan kulupakan.”
Namun bagaimana jika kita tidak merasakan hal yang sama? Bagaimana kegembiraan mengikuti perintah Tuhan dalam hidup bisa sama dengan kegembiraan menerima harta? Semua itu dimulai dengan ucapan syukur, baik dalam sikap maupun ketetapan hati. Kita akan memperhatikan apa yang kita hargai, maka kita memulainya dengan mengungkapkan syukur kita atas semua pemberian Allah yang menguatkan iman kita. Kita memohon agar Dia menyingkapkan mata kita agar kita dapat melihat kekayaan hikmat, pengetahuan, dan damai sejahtera yang telah diberikan-Nya kepada kita dalam firman-Nya.
Dengan semakin mengasihi Tuhan Yesus hari lepas hari, kita pun sadar bahwa kita memang kaya! —David McCasland
Bapa, singkapkan mata kami agar melihat keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu. Terima kasih karena semua perintah-Mu memberikan nasihat yang bijaksana.
Kekayaan kebenaran Allah yang berlimpah di dalam firman-Nya sedang menanti untuk digali dan ditemukan.

Monday, November 28, 2016

Indah di Mata Allah

Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku. —Markus 14:6
Indah di Mata Allah
Ada dua gadis remaja. Yang pertama adalah gadis yang kuat dan sehat. Gadis yang satu lagi tak pernah merasakan kebebasan untuk bergerak ke mana pun secara mandiri. Dari atas kursi rodanya, ia tak hanya merasakan pergumulan batin dalam hidupnya, tetapi juga serangkaian penderitaan dan pergumulan jasmani.
Namun kedua gadis remaja itu tersenyum riang ketika mereka menghabiskan waktu bersama. Kedua remaja itu menyadari adanya persahabatan yang indah di antara mereka.
Yesus mencurahkan banyak waktu untuk memperhatikan orang-orang seperti gadis di kursi roda itu, yakni mereka yang seumur hidupnya membutuhkan perhatian khusus atau memiliki kekurangan fisik, dan mereka yang dipandang rendah oleh orang lain karena berbagai alasan. Yesus bahkan memperkenankan salah satu dari mereka untuk mengurapi-Nya dengan minyak, meski hal itu dianggap hina oleh orang Farisi (Luk. 7:39). Pada kesempatan lain, ketika seorang wanita menunjukkan kasihnya dengan tindakan serupa, Yesus berkata kepada para pengecamnya, “Biarkanlah dia. . . . Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku” (Mrk. 14:6).
Allah menghargai setiap orang dengan setara; di mata-Nya tidak ada perbedaan. Pada kenyataannya, kita semua sangat membutuhkan kasih dan pengampunan Kristus. Kasih Kristus membuat Dia rela mati di kayu salib bagi kita.
Kiranya kita memandang setiap orang sebagaimana Yesus memandang mereka: diciptakan menurut gambar Allah dan layak menerima kasih-Nya. Marilah memperlakukan setiap orang yang kita temui dengan meneladani Yesus yang tidak membeda-bedakan orang dan yang dapat melihat keindahan dalam diri mereka. —Dave Branon
Tuhanku, tolong aku melihat orang lain dengan mata-Mu—bukan karena perbuatan atau penampilan mereka, tetapi karena Engkau mencipta mereka sesuai rupa-Mu dan begitu mengasihi mereka hingga rela mati bagi mereka.
Setiap orang yang kita temui diciptakan dalam gambar dan rupa Allah.

Sunday, November 27, 2016

The Red Hackle

Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar. —Mazmur 92:15
The Red Hackle
Beberapa tahun lalu saya tidak sengaja menemukan sedikit ilmu memancing dalam literatur yang ditulis oleh Aelian asal Yunani dari abad ke-2 SM. “Antara Boroca dan Tesalonika mengalir sebuah sungai bernama Astrakus, dan di dalamnya terdapat ikan-ikan dengan kulit bertutul (ikan Trout).” Ia kemudian menjelaskan tentang cara “membuat umpan pancing yang bisa memikat ikan-ikan itu. Mereka melekatkan benang wol berwarna merah tua di sekeliling mata kail dan menempelkan dua helai bulu. Kemudian mereka melemparkan umpan itu, dan ikan-ikan yang tertarik dengan warna pada umpan pancing tersebut akan berenang ke permukaan karena mengira akan memperoleh banyak makanan” (Tentang Natur Dunia Fauna).
Para nelayan dan pemancing masih menggunakan umpan pancing tersebut hingga saat ini. Umpan tersebut disebut Red Hackle (Bulu Merah). Sejak digunakan pertama kalinya pada 2.200 tahun yang lalu,umpan pancing tersebut masih berguna untuk memikat ikan-ikan Trout.
Ketika membaca tulisan kuno tersebut, saya berpikir: Tidak semua barang yang tua itu ketinggalan zaman—apalagi manusia. Jika usia senja dilalui dengan rasa puas dan gembira, dan melalui sikap itu kita menunjukkan kelimpahan dan kedalaman diri Allah kepada orang lain, maka hidup kita akan berguna sampai akhir hayat. Usia senja tidak harus selalu berpusat pada kesehatan yang menurun dan kenangan pada masa muda yang telah lalu. Usia senja bisa dipenuhi dengan damai sejahtera dan sukacita, keberanian dan kebaikan, segala buah yang dinikmati oleh mereka yang bertambah usia di dalam Tuhan.
“Mereka yang ditanam di bait Tuhan . . . pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar” (Mzm. 92:14-15). —David Roper
Tuhan, terima kasih untuk kesetiaan-Mu di sepanjang hidup kami. Tolonglah agar kami dapat mengakhiri hidup kami dengan baik dalam pelayanan kepada Engkau dan mengingat bahwa di usia senja pun kami masih bisa berguna.
Kesetiaan Tuhan terus berlipat ganda dari tahun ke tahun.

Saturday, November 26, 2016

Batal Kirim

Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu. —1 Petrus 3:10
Batal Kirim
Pernahkah kamu mengirim e-mail dan tiba-tiba menyadari bahwa e-mail tersebut terkirim ke orang yang salah atau di dalamnya berisi kata-kata yang kasar dan menyakitkan? Andai saja kamu dapat menekan sebuah tombol dan menghentikan pengirimannya. Nah, sekarang kamu dapat melakukannya. Beberapa perusahaan menawarkan fitur yang memberikan sejumlah waktu singkat bagimu untuk membatalkan e-mail yang sempat kamu kirimkan. Jika dalam waktu itu kamu tidak menekan fitur tersebut, e-mail yang kamu kirimkan akan menjadi seperti ucapan yang sudah keluar dan tidak dapat ditarik kembali. Fitur “batal kirim” itu seharusnya mengingatkan kita akan pentingnya menjaga ucapan kita dan bukan digunakan sebagai jalan keluar dari semua masalah.
Dalam surat pertamanya, Rasul Petrus mengatakan kepada para pengikut Tuhan Yesus, “Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati. . . . Sebab: ‘Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu. Ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya’” (1Ptr. 3:9-11).
Daud sang pemazmur menuliskan, “Awasilah mulutku, ya Tuhan, berjagalah pada pintu bibirku” (Mzm. 141:3). Doa itu sangat baik kita ucapkan di awal hari dan setiap kali kita berniat menyerang balik orang lain dengan perkataan kita.
Tuhan, awasilah perkataan kami hari ini agar kami tidak menyakiti orang lain lewat apa yang kami ucapkan. —David McCasland
Bapa, ajarlah kami terlebih dulu menjaga hati kami agar kami dapat menjaga lidah kami. Tolonglah apabila kami mengatakan hal-hal yang kami sesali, kami mau meminta maaf dengan rendah hati dan memohon pengampunan.
Hidup dan mati dikuasai lidah. —Amsal 18:21

Friday, November 25, 2016

Penawaran Terbaik!

Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain dari pada melihatnya? —Pengkhotbah 5:10
Penawaran Terbaik!
Seberapakah yang dianggap cukup itu? Pertanyaan sederhana itu kita ajukan pada hari yang ditetapkan oleh banyak negara maju sebagai hari terbaik untuk berbelanja. Di Amerika Serikat, sehari setelah perayaan Thanksgiving (Pengucapan Syukur), hari itu dikenal sebagai Black Friday, hari di mana banyak toko buka lebih awal dan menawarkan diskon besar-besaran. Tradisi itu bermula di Amerika Serikat dan telah menyebar ke negara-negara lain. Memang ada pembeli yang memiliki dana terbatas dan mereka berusaha membeli barang-barang dengan harga yang terjangkau bagi mereka. Namun sayangnya, ada sebagian pembeli yang didorong oleh keserakahan, dan kekerasan kadang terjadi selagi mereka saling berebut.
Hikmat dari seorang penulis di Perjanjian Lama yang dikenal sebagai “Pengkhotbah” (Pkh. 1:1) memberikan sebuah penangkal untuk gejala konsumerisme yang mungkin kita temui di toko-toko—dan juga yang ada di dalam hati kita. Ia menunjukkan bahwa siapa pun yang mencintai uang tidak akan pernah merasa cukup dan akan dikendalikan oleh harta mereka. Lebih dari itu, mereka akan mati tanpa membawa apa-apa: “Sebagaimana ia keluar dari kandungan ibunya, demikian juga ia akan pergi” (5:14). Rasul Paulus menggemakan ucapan Pengkhotbah ketika mengatakan bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang, dan kita harus berjuang untuk hidup saleh “disertai rasa cukup” (1Tim. 6:6-10).
Baik kita berkecukupan atau tidak, kita semua bisa menempuh cara-cara yang tidak sehat untuk mengisi kekosongan hati yang sebenarnya hanya bisa dipuaskan oleh Allah. Namun ketika kita memohon kepada Tuhan untuk memberi kita kedamaian dan kepuasan, Dia akan mengisi hati kita dengan kebaikan dan kasih-Nya. —Amy Boucher Pye
Engkau telah menjadikan kami untuk diri-Mu sendiri, dan hati kami gelisah sampai menemukan kediamannya di dalam-Mu. —Agustinus, Pengakuan-Pengakuan
Kepuasan sejati tidak bergantung pada apa pun yang ada di dunia ini.

Thursday, November 24, 2016

Lomba Mengucap Syukur

Segala sesuatu yang kamu lakukan . . . lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita. —Kolose 3:17
Lomba Mengucap Syukur
Di setiap musim gugur, kami mengadakan perayaan Thanksgiving yang seru di kampus Universitas Cornerstone. Mahasiswa kami sangat menyukainya! Tahun lalu sekelompok mahasiswa melakukan permainan dengan menantang satu sama lain untuk berlomba mengucapkan syukur dalam waktu kurang dari tiga detik tanpa boleh mengulang apa yang sudah dikatakan oleh rekan-rekannya. Yang ragu dan terlalu lama memberikan jawaban harus keluar dari permainan.
Ada banyak hal yang bisa dikeluhkan para mahasiswa—ujian, tenggat tugas, peraturan, dan sejumlah keluhan lain yang biasa terjadi di kampus. Namun para mahasiswa itu telah memilih untuk mengucap syukur. Dan menurut saya, setelah melakukan permainan itu, mereka semua akan merasa lebih baik daripada jika mereka memilih untuk mengeluh.
Meskipun selalu ada hal-hal yang bisa kita keluhkan, tetapi jika kita melihat dengan cermat, pastilah ada berkat-berkat yang bisa disyukuri. Ketika Paulus menjelaskan tentang hidup baru kita di dalam Kristus, “rasa syukur” adalah satu-satunya karakter yang disebutkan lebih dari satu kali. Sikap yang bersyukur disebutkan sebanyak tiga kali. “Bersyukurlah,” kata Paulus di Kolose 3:15. Bernyanyilah dengan “mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu” (ay.16). Dan apa pun yang kamu lakukan, pastikan untuk “mengucap syukur . . . kepada Allah Bapa” (ay.17). Perintah Paulus untuk mengucap syukur sangatlah mengagumkan apabila kita mengingat bahwa ia menulis surat tersebut dari dalam penjara!
Hari ini, marilah memilih untuk mengucap syukur. —Joe Stowell
Tuhan, berilah aku sukacita dari mengucap syukur! Tolonglah aku untuk menemukan berkat-berkat tersembunyi dalam hal-hal yang sering kukeluhkan dan membiasakan diri untuk mengucap syukur kepada-Mu dan sesama kami.
Pilihlah untuk mengucap syukur.

Wednesday, November 23, 2016

Ketenaran dan Kerendahan Diri

Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. —Filipi 2:8
Ketenaran dan Kerendahan Diri
Banyak dari kita terobsesi dengan ketenaran—baik menjadikan diri sendiri terkenal atau dengan mengikuti seluk-beluk kehidupan orang-orang yang terkenal. Terkenal lewat promosi buku dan film di seluruh dunia, tampil di acara-acara televisi, sampai ikut terobsesi dengan ketenaran—baik menjadikan diri jutaan pengikut di media sosial.
Dalam suatu studi baru-baru ini di Amerika Serikat, para peneliti menyusun urutan nama-nama orang terkenal dengan menggunakan algoritma khusus untuk menjelajahi dunia maya. Yesus menempati urutan tertinggi sebagai orang paling terkenal dalam sejarah.
Namun Yesus tidak pernah mengejar status sebagai orang terkenal. Selama berada di bumi, Dia tidak pernah mencari ketenaran (Mat. 9:30; Yoh. 6:15)—walaupun memang nama-Nya menjadi tenar seiring dengan kabar tentang Dia yang dengan cepat tersebar ke seluruh daerah Galilea (Mrk. 1:28; Luk. 4:37).
Ke mana pun Yesus pergi, orang banyak segera mengerubungi-Nya. Mukjizat yang Dia lakukan menarik orang kepada-Nya. Akan tetapi, ketika mereka berusaha dengan paksa menjadikan-Nya sebagai raja, Dia pun menyingkir dengan diam-diam (Yoh. 6:15). Dalam tujuan yang sejalan dengan maksud Bapa-Nya, Yesus berulang kali berserah pada kehendak dan waktu Bapa (Yoh. 4:34; 8:29; 12:23). “Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp. 2:8).
Ketenaran tidak pernah menjadi tujuan Yesus. Tujuan-Nya sangat sederhana. Sebagai Anak Allah, dengan taat Dia merendahkan diri-Nya dan dengan sukarela menyerahkan nyawa-Nya sebagai korban untuk penebusan dosa kita. —Cindy Hess Kasper
Engkau layak dipuji, ya Tuhan, di atas segalanya. Engkau telah ditinggikan dan diberikan nama di atas segala nama. Suatu hari setiap lutut akan bertelut dan setiap lidah mengaku bahwa Engkaulah Tuhan.
Yesus datang bukan untuk menjadi tenar, tetapi dengan kerendahan hati rela menyerahkan nyawa-Nya sebagai korban penebus dosa kita.

Tuesday, November 22, 2016

Rindu Pulang

Tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi. —Ibrani 11:16
Rindu Pulang
Istri saya memasuki kamar dan melihat saya sedang melongokkan kepala ke dalam lemari pada jam kuno berukuran besar yang ada di situ. Ia bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” “Bau jam ini seperti bau rumah orangtuaku,” jawab saya dengan malu-malu, sembari menutup pintu lemari pada jam itu. “Rasanya seperti pulang ke rumahku sendiri.”
Penciuman memang dapat membangkitkan kenangan-kenangan yang kuat. Kami telah memindahkan jam kuno tersebut dari rumah orangtua saya kira-kira dua puluh tahun yang lalu, tetapi aroma kayu di bagian dalam jam itu masih membuat saya terkenang kembali pada masa kecil saya.
Penulis kitab Ibrani menceritakan tentang orang-orang yang merindukan rumah mereka dengan cara yang berbeda. Alih-alih melihat ke belakang, mereka justru memandang ke depan dengan iman pada rumah mereka di surga. Walaupun apa yang mereka harapkan itu sepertinya masih jauh dari jangkauan, mereka percaya bahwa Allah setia dalam memenuhi janji-Nya untuk membawa mereka ke suatu tempat di mana mereka akan bersama-sama dengan Dia selamanya (Ibr. 11:13-16).
Filipi 3:20 mengingatkan bahwa “kewargaan kita adalah di dalam sorga dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat.” Dengan memandang ke depan untuk melihat Yesus dan menerima semua yang telah Allah janjikan kepada kita melalui Dia, kita dimampukan untuk tetap berfokus pada tujuan kita. Masa lalu atau masa kini tidak akan pernah dapat dibandingkan dengan apa yang menanti di hadapan kita! —James Banks
Yesus, terima kasih karena Engkau setia menggenapi janji-janji-Mu. Tolonglah aku untuk selalu memandang ke depan dan berharap kepada-Mu.
Rumah yang terbaik dari semuanya adalah rumah kita di surga.

Monday, November 21, 2016

Bagaimana dengan Kamu?

Hidup dan mati dikuasai lidah. —Amsal 18:21
Bagaimana dengan Kamu?
Emily mendengarkan perbincangan di antara teman-temannya tentang tradisi Hari Thanksgiving yang mereka lakukan bersama keluarga. “Kami bergiliran menceritakan apa yang membuat kami bersyukur kepada Allah,” kata Gary.
Seorang teman lainnya bercerita tentang kebiasaan makan dan berdoa bersama yang dilakukan keluarganya. Ia mengenang saat-saat bersama ayahnya sebelum meninggal: “Meskipun Ayah menderita demensia, doa ucapan syukurnya kepada Allah begitu jelas.” Randy berkata, “Keluargaku selalu punya waktu khusus untuk bernyanyi bersama pada masa liburan itu. Nenekku bisa terus-terusan bernyanyi!” Kesedihan dan kecemburuan mulai menghinggapi Emily saat ia memikirkan keluarganya sendiri. Emily mengeluh: “Tradisi keluarga kami hanyalah makan kalkun, menonton televisi, dan tak pernah berbicara tentang Tuhan atau mengucap syukur.”
Seketika Emily merasa tidak nyaman dengan sikapnya itu. Kamu adalah bagian dari keluarga itu. Apa yang akan kamu lakukan secara berbeda untuk mengubah kondisi itu? tanya Emily pada dirinya sendiri. Ia memutuskan untuk mengatakan secara pribadi pada setiap anggota keluarganya bahwa ia bersyukur kepada Tuhan karena memiliki mereka sebagai adik, keponakan, atau saudara. Ketika hari itu tiba, ia mengungkapkan rasa syukurnya atas mereka satu per satu, dan mereka semua merasakan begitu dikasihi. Hal itu tidak mudah karena percakapan itu tidak lazim terjadi di keluarganya, tetapi Emily mengalami sukacita ketika membagikan kasihnya pada setiap anggota keluarganya.
“Pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu,” tulis Paulus, “supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia [penguatan]” (Ef. 4:29). Ucapan syukur kita bisa mengingatkan orang lain akan betapa berharganya mereka bagi kita dan bagi Allah. —Anne Cetas
Ya Tuhan, tunjukkanlah kepadaku bagaimana aku bisa menguatkan orang lain lewat perkataanku.
Jiwa manusia dipenuhi dengan pengharapan ketika menerima sepatah kata yang menguatkan.

Sunday, November 20, 2016

Kerelaan Berkorban

Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. —Matius 5:10
Kerelaan Berkorban
Di suatu Minggu sore, saya sedang duduk di taman rumah kami, yang berada dekat dengan gereja tempat suami saya melayani sebagai pendeta. Saya mendengar sayup-sayup alunan musik pujian dan penyembahan dalam bahasa asing. Gereja kami di London telah menjadi tempat ibadah bagi sekelompok jemaat warga negara asing yang sangat berkembang. Kami merasa takjub melihat semangat mereka di dalam Kristus ketika mereka menyampaikan kisah-kisah tentang penganiayaan yang mereka alami dan juga tentang orang-orang, seperti saudara laki-laki dari gembala senior mereka, yang kehilangan nyawa karena iman mereka. Orang-orang percaya yang setia itu mengikuti jejak Stefanus, martir Kristen yang pertama.
Stefanus, salah seorang pemimpin yang pertama dari jemaat mula-mula, menarik perhatian banyak orang di Yerusalem ketika ia melakukan “mujizat-mujizat dan tanda-tanda” (Kis. 6:8). Ia pun dibawa ke hadapan para penguasa Yahudi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Stefanus menyampaikan pembelaan imannya dengan penuh semangat sebelum menyinggung tentang kekerasan hati para pendakwanya. Namun bukannya bertobat, para penguasa itu justru “sakit hati dan marah sekali kepadanya” (7:54 BIS). Mereka menyeret Stefanus ke luar kota dan melemparinya dengan batu sampai mati, bahkan ketika ia sedang berdoa memohon pengampunan bagi mereka.
Kisah-kisah tentang Stefanus dan para martir di zaman modern mengingatkan kita bahwa pesan Kristus bisa menemui pertentangan yang tajam dan mengancam nyawa. Jika kita belum pernah menghadapi penganiayaan karena iman kita, marilah kita berdoa bagi jemaat di seluruh dunia yang masih teraniaya. Kiranya kita, sekiranya harus menderita, menerima anugerah untuk tetap setia kepada Kristus yang telah menderita jauh lebih banyak demi kita.
Kiranya kita menerima anugerah untuk mengikuti jejak Tuhan kita.

Saturday, November 19, 2016

Pengamat Langit

Dia yang mengatur [bintang-bintang] seperti pasukan, Ia tahu jumlah mereka semua, dan memanggil masing-masing dengan namanya. —Yesaya 40:26 BIS
Pengamat Langit
Gelisah karena persoalan di tempat kerja dan di rumah, Matt memutuskan untuk berjalan-jalan menghirup udara malam di musim semi. Seiring dengan perubahan warna langit dari biru menjadi hitam, kabut tebal turun dan perlahan menutupi rawa. Bintang-bintang mulai berkelip, mengiringi bulan purnama yang terbit di timur. Bagi Matt, saat-saat itu terasa seperti sebuah pengalaman rohani. Dia hadir, pikirnya. Allah hadir, dan segalanya aman di tangan-Nya.
Ada orang memandang langit malam dan hanya melihat itu sebagai fenomena alam. Yang lain menganggap Allah sejauh dan sedingin planet Jupiter. Namun Allah yang “bertakhta di atas bulatan bumi” adalah Allah yang juga “mengatur [bintang-bintang] seperti pasukan, Ia tahu jumlah mereka semua, dan memanggil masing-masing dengan namanya” (Yes. 40:22,26 BIS). Dia mengenal setiap ciptaan-Nya dengan dekat.
Allah yang dekat itu bertanya kepada umat-Nya, “Jadi Israel, mengapa engkau berkeluh kesah, seolah-olah Tuhan Allahmu tak tahu engkau susah? Seolah-olah Ia tidak mengindahkan nasibmu?” Dalam belas kasihan-Nya, Allah mengingatkan mereka untuk berharap kepada-Nya. “Masakan engkau tidak tahu dan tidak mendengar? . . . Ia menguatkan orang yang lelah, memberi semangat kepada yang tak berdaya” (ay.27-29 BIS).
Kita mudah tergoda untuk melupakan Allah. Persoalan kita tidak akan hilang begitu saja, tetapi kita dapat menemukan ketenangan dan kepastian bahwa Allah selalu berkarya menggenapi rencana-Nya yang baik. “Aku hadir,” kata-Nya. “Kau aman di tangan-Ku.” —Tim Gustafson
Terima kasih, Tuhan, untuk langit malam yang menolong kami dapat melihat kekekalan secara sekilas. Kami belum mampu memahami sepenuhnya, tetapi kami tahu itu sungguh ada, dan kami tahu Engkau ada di sana. Tolong kami untuk mempercayai-Mu atas hal-hal yang tidak kami mengerti.
Kita patut menempatkan Allah sebagai yang utama di dalam hati kita sebagaimana Dia adalah yang utama di dalam alam semesta.

Friday, November 18, 2016

Kasih Tanpa Batas

Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. —Yohanes 15:13
Kasih Tanpa Batas
Saat terjadi Pemberontakan Boxer di Tiongkok pada tahun 1900, para misionaris yang terjebak dalam sebuah rumah di T’ai Yüan Fu memutuskan bahwa satu-satunya harapan mereka untuk bertahan hidup adalah dengan berlari menerobos orang banyak yang sedang menuntut kematian mereka. Dibantu dengan senjata-senjata yang mereka pegang, mereka pun luput dari ancaman. Namun karena melihat dua murid Tionghoanya yang cedera belum dapat meloloskan diri, Edith Coombs berlari kembali menerjang bahaya. Ia berhasil menyelamatkan seorang murid, tetapi jatuh tersandung saat hendak menyelamatkan murid yang kedua dan akhirnya terbunuh.
Sementara itu, para misionaris di distrik Hsin Chou telah berhasil meloloskan diri dan sedang bersembunyi di pedesaan, ditemani oleh teman mereka, Ho Tsuen Kwei. Namun Ho tertangkap ketika hendak mencari rute pelarian bagi para sahabatnya yang berada dalam persembunyian dan mati sebagai martir karena menolak untuk membocorkan lokasi teman-temannya itu.
Dalam kehidupan Edith Coombs dan Ho Tsuen Kwei, kita melihat sebuah kasih yang melampaui karakter budaya atau kebangsaan seseorang. Pengorbanan mereka mengingatkan kita akan anugerah dan kasih yang terbesar dari Juruselamat kita.
Menjelang penangkapan dan hukuman yang akan diterima-Nya, Tuhan Yesus berdoa dengan sungguh-sungguh, “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku.” Namun Dia mengakhiri permohonan-Nya itu dengan memberikan teladan keberanian, kasih, dan pengorbanan yang teguh, “Tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk. 22:42). Kematian dan kebangkitan-Nya membuka jalan bagi kita untuk menerima hidup kekal. —Randy Kilgore
Ya Tuhan, kiranya dunia melihat kasih kami kepada satu sama lain—dan perbuatan nyata dari kasih itu—sebagai kesaksian yang baik dari kesatuan yang kami miliki di dalam-Mu. Kiranya mereka juga rindu mengenal-Mu.
Terang kasih Kristus saja yang dapat mengenyahkan gelapnya kebencian.

Thursday, November 17, 2016

Memakai Topeng

Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. —Matius 6:4
Memakai Topeng
Kerri berusaha keras membuat orang mengagumi dirinya. Ia suka tampil gembira agar orang lain memperhatikan dan memujinya karena perangainya yang ceria. Ada yang mendukungnya karena melihat Kerri memang menolong orang-orang di komunitasnya. Namun suatu kali Kerri dengan jujur menyatakan, “Aku memang mengasihi Tuhan, tetapi adakalanya aku merasa seperti memakai topeng.” Perasaan tidak aman yang dimilikinya menjadi alasan di balik hampir semua upayanya untuk terlihat baik di mata orang lain, dan ia mengatakan sudah jenuh bersikap demikian.
Kita semua bisa memaklumi Kerri karena tidak seorang pun dapat memiliki motivasi yang sempurna. Kita memang mengasihi Tuhan dan sesama, tetapi motivasi kita dalam menjalani kehidupan iman kita terkadang tidak lagi murni, karena bercampur dengan kerinduan kita untuk dihargai atau dipuji.
Yesus pernah berbicara tentang mereka yang bersedekah, berdoa, dan berpuasa agar diketahui orang (Mat. 6:1-6). Dia mengajar dalam Khotbah di Bukit: “Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi,” “berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi,” dan “apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu . . . supaya orang melihat bahwa [kamu] sedang berpuasa” (ay.4,6,16).
Melayani memang paling sering dilakukan di depan umum, tetapi mungkin suatu pelayanan sederhana yang tidak diketahui banyak orang dapat menolong kita untuk belajar mencukupkan diri dengan pandangan Allah atas diri kita. Allah yang menciptakan kita menurut gambar-Nya sangat menghargai kita hingga Dia menyerahkan Anak-Nya bagi kita dan menyatakan kasih-Nya kepada kita hari lepas hari. —Anne Cetas
Ya Tuhan, ampuni aku karena lebih menginginkan pujian dari orang lain ketimbang dari-Mu. Tolonglah aku untuk menjaga kemurnian motivasiku.
Kerinduan kita untuk menyenangkan Allah seharusnya menjadi motivasi kita yang tertinggi untuk menaati Dia.

Wednesday, November 16, 2016

Pemain ke-12

Marilah kita . . . berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. —Ibrani 12:1
Pemain ke-12
Sebuah papan penanda berukuran besar yang terpasang di stadion sepakbola milik A&M University di Texas mencantumkan tulisan, “Home of the 12th Man” (Kandang dari Pemain ke-12). Di atas lapangan, masing-masing regu yang bertanding akan menurunkan 11 pemain. Namun regu dari kampus A&M mempunyai Pemain ke-12, yaitu ribuan mahasiswa yang selalu hadir dan terus berdiri di sepanjang pertandingan untuk menyemangati mereka. Tradisi itu berawal pada tahun 1922 ketika pelatih tim tersebut memanggil seorang mahasiswa dari tempat duduk penonton untuk mengenakan seragam tanding dan bersiap menggantikan seorang pemain yang cedera. Meski mahasiswa cadangan itu tidak jadi turun ke lapangan dalam pertandingan tersebut, kesiapsediaannya di tepi lapangan sangatlah membesarkan hati rekan-rekan satu tim.
Ibrani 11 menjabarkan nama-nama pahlawan iman yang pernah menghadapi ujian-ujian besar dan tetap setia kepada Allah. Pasal 12 diawali dengan perkataan, “Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita” (ay.1).
Kita tidak sendirian dalam perjalanan iman kita. Para hamba Allah maupun orang-orang biasa yang telah hidup setia kepada Tuhan senantiasa menguatkan kita lewat teladan iman dan keberadaan mereka di surga. Mereka itu ibarat Pemain ke-12 yang secara spiritual menyemangati kita selama kita masih berlomba di dunia.
Ketika kita memandang kepada Tuhan Yesus, “yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (12:2), kita terus dikuatkan oleh semua orang yang pernah mengikut Dia. —David McCasland
Ya Tuhan, kiranya kami menyadari kehadiran umat-Mu yang kini di surga
menyemangati kami. Kuatkan kami untuk menekuni perlombaan iman hari ini.
Orang Kristen yang setia di masa lalu menguatkan kita di masa kini.

Tuesday, November 15, 2016

Apakah Saya Berarti?

[Kristus Yesus] telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba. —Filipi 2:7
Apakah Saya Berarti?
Saya sedang mengantre di kasir sebuah toko swalayan dekat rumah sembari memperhatikan sekeliling saya. Saya melihat sekelompok remaja dengan kepala plontos dan cincin tersemat di hidung sedang melihat-lihat kudapan; seorang karyawan muda yang membeli sepotong daging bistik, asparagus, dan ubi manis; seorang wanita tua yang sedang memilih-milih buah persik dan stroberi. Apakah Allah mengenal setiap dari mereka? tanya saya dalam hati. Apakah mereka berarti bagi-Nya?
Allah, Sang Pencipta segala sesuatu, adalah Pencipta semua umat manusia, dan setiap dari kita dipandang-Nya layak untuk mendapatkan perhatian dan kasih-Nya secara khusus. Allah membuktikan kasih tersebut secara langsung di bukit Golgota yang mencekam dan terutama di atas kayu salib.
Ketika Yesus datang ke dunia dalam rupa seorang hamba, Dia membuktikan bahwa tangan Allah tidaklah terlalu besar untuk merangkul insan yang terkecil di dunia ini. Di tangan-Nya terukir nama kita masing-masing dan juga bekas-bekas luka penyaliban-Nya, bukti harga yang harus dibayar Allah karena kasih-Nya yang besar kepada kita.
Sekarang, manakala saya ingin mengasihani diri sendiri dan merasa begitu tersiksa oleh kesepian, seperti yang tergambar jelas dalam kitab-kitab seperti Ayub dan Pengkhotbah, saya akan berpaling pada kisah-kisah Injil tentang Tuhan Yesus dan segala perbuatan-Nya. Apabila saya menyimpulkan bahwa keberadaan saya “di bawah matahari” (Pkh. 1:3) tidaklah berarti bagi Allah, itu artinya saya menyangkal salah satu tujuan utama Allah datang ke dunia. Jika kamu bertanya, Apakah saya berarti?, Yesuslah jawabannya. —Philip Yancey
Bapa, ketika kami merasa sangat kesepian dan menderita, kami hanya dapat berpaling kepada-Mu. Tuhan Yesus telah menunjukkan betapa berharganya kami di Mata-Mu, dan kami sungguh bersyukur kepada-Mu!
Gembala yang Baik memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya. —Yesus

Monday, November 14, 2016

Bekerja Bersama

Dengan satu hati dan satu suara [kita] memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus. —Roma 15:6
Bekerja Bersama
Ketika Nicholas Taylor hendak menaiki kereta di Perth, Australia, ia jatuh dan kakinya pun terjepit di celah antara peron dan gerbong kereta. Ketika para petugas tidak sanggup melepaskannya, mereka menggalang bantuan dari hampir 50 orang penumpang. Pada hitungan ketiga, para penumpang yang berdiri berjajar itu akan mendorong badan kereta itu secara serentak. Dengan bekerja dalam satu kesatuan, mereka dapat mengangkat gerbong kereta yang berat itu sehingga kaki Taylor dapat terlepas.
Dalam banyak bagian dari surat-suratnya kepada jemaat mula-mula, Rasul Paulus menyadari adanya kekuatan yang dimiliki orang Kristen yang bekerja bersama. Ia mendorong 3 orang percaya di Roma untuk menerima satu sama lain sebagaimana Kristus telah menerima mereka. Paulus berkata, “Semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus, sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus” (Rm. 15:5-6).
Kesatuan dengan saudara seiman lainnya akan memampukan kita untuk memberitakan kebesaran Allah dan juga menolong kita bertahan di tengah penganiayaan. Rasul Paulus tahu bahwa jemaat di Filipi menderita penganiayaan karena iman mereka. Oleh karena itu, ia mendorong mereka untuk “sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil, dengan tiada digentarkan sedikitpun oleh lawanmu” (Flp. 1:27-28).
Iblis memang suka memecah belah, tetapi usahanya akan gagal ketika dengan pertolongan Allah, kita berusaha “memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera” (Ef. 4:3). —Jennifer Benson Schuldt
Ya Allah, biarlah umat Kristen di mana pun dapat mengalami berkat kesatuan di dalam-Mu. Ingatkan kami tentang apa yang sama-sama kami miliki: satu pengharapan, satu iman, dan satu Tuhan—Yesus Kristus.
Kesatuan di antara umat bersumber dari kesatuan kita dengan Kristus.

Sunday, November 13, 2016

Penuh Perhatian

Dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat itu. —Nehemia 8:4
Penuh Perhatian
Ketika saya duduk di aula gereja, posisi saya memang menghadap ke arah pendeta dengan mata yang terpaku padanya. Postur tubuh saya menunjukkan bahwa saya menghayati semua perkataannya. Tiba-tiba saya mendengar semua orang tertawa dan bertepuk tangan. Dengan heran saya memperhatikan sekeliling saya. Rupanya pendeta itu baru saja mengucapkan sesuatu yang lucu, tetapi saya tidak tahu apa yang telah diucapkannya. Kelihatannya saya seperti mendengarkan sungguh-sungguh khotbah itu, tetapi pada kenyataannya pikiran saya sedang mengembara.
Kita bisa saja mendengarkan apa yang sedang dibicarakan tetapi gagal menyimak, memandang tetapi gagal melihat, hadir tetapi tidak memperhatikan. Dalam kondisi seperti itu, kita bisa melewatkan pesan-pesan penting yang seharusnya kita terima.
Ketika Ezra membacakan kitab Taurat kepada kaum Yehuda, “Dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat itu” (Neh. 8:4). Perhatian mereka atas penjelasan dari kitab itu menghasilkan pengertian (Neh. 8:9), sehingga timbul pertobatan dan kebangunan rohani. Dalam peristiwa lain, setelah terjadi penganiayaan terhadap jemaat di Yerusalem (Kis. 8:1), Filipus menjangkau orang-orang Samaria. Mereka tidak hanya melihat tanda-tanda ajaib yang dilakukan Filipus, tetapi juga “dengan bulat hati menerima apa yang diberitakannya itu” (Kis. 8:6). “Maka sangatlah besar sukacita dalam kota itu” (ay.8).
Pikiran kita dapat mengembara dan melewatkan banyak berkat yang sebenarnya ada di sekitar kita. Tiada yang lebih layak mendapatkan perhatian penuh kita daripada firman yang menolong kita menemukan sukacita dan keajaiban dari Bapa kita di surga. —Lawrence Darmani
Tuhan, pikiran kami mudah teralihkan. Tolonglah agar kami dapat memusatkan perhatian, terutama saat mendengarkan pengajaran dari firman-Mu.
Menerima firman Tuhan membutuhkan dua aspek: pikiran yang penuh perhatian dan kemauan yang sungguh. —William Ames

Saturday, November 12, 2016

Roti, Roti!

Akulah roti hidup. —Yohanes 6:48
Roti, Roti!
Saya tinggal di sebuah kota kecil di Meksiko. Setiap pagi dan sore, saya biasa mendengar teriakan “Roti, roti!” dari seorang pria yang menjajakan berbagai jenis roti manis maupun asin yang masih hangat dalam keranjang besar di sepedanya. Saya pernah tinggal di kota yang lebih besar dan di sana saya harus pergi ke toko untuk membeli roti. Jadi saya sangat senang bisa menikmati roti yang masih hangat langsung di depan rumah saya.
Dari rasa lapar jasmani, saya pun terpikir tentang rasa lapar secara rohani. Saya teringat pada perkataan Yesus: “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya” (Yoh. 6:51).
Seseorang pernah berkata bahwa sesungguhnya penginjilan adalah seperti seorang pengemis yang memberi tahu pengemis lainnya di mana ia telah menemukan roti. Banyak dari kita dapat berkata, “Dahulu jiwaku begitu lapar dan haus karena dosa-dosaku. Lalu aku mendengar kabar baik. Ada yang memberitahukan kepadaku di mana aku bisa mendapatkan roti hidup, yaitu di dalam Yesus saja. Sejak itulah, hidupku berubah!”
Saat ini kita mendapat kehormatan dan tanggung jawab untuk mengarahkan orang lain kepada Tuhan Yesus, Sang Roti Hidup. Kita dapat menceritakan tentang Dia di lingkungan kita, di tempat kerja kita, di sekolah kita, ataupun di mana saja kita meluangkan waktu. Kita dapat bercerita tentang Yesus di ruang tunggu maupun di dalam perjalanan. Kita dapat membawa kabar baik itu kepada orang lain lewat persahabatan kita dengan mereka.
Yesuslah Roti Hidup. Marilah kita mewartakan kabar baik itu kepada siapa saja. —Keila Ochoa
Tuhan Yesus, aku mau menjadi saksi-Mu ke mana pun aku pergi.
Bagikanlah Roti Hidup itu di mana pun kamu berada.

Friday, November 11, 2016

Cara Pandang Kita

Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. —Yohanes 15:14
Cara Pandang Kita
Robby berperawakan bak binaragawan—badannya besar, kekar, dan berotot. Bobotnya saja lebih dari 100 kg! Meski demikian, Robby bersikap sangat ramah terhadap siapa saja. Robby melayani sebagai sukarelawan di sejumlah panti asuhan dan rumah sakit dan suka bermain sulap untuk menghibur para penghuninya.
Suatu ketika, seorang gadis cilik berumur 4 tahun di panti itu sedang menyaksikan Robby bermain sulap. Ia penasaran, tetapi agak takut untuk mendekati Robby. Namun akhirnya, rasa ingin tahu mengalahkan ketakutannya. Ia pun memberanikan diri dan mengetahui bahwa Robby ternyata sangat ramah dan berbicara dengan lembut kepada anak-anak, meskipun badannya besar dan kekar.
Kombinasi dari kualitas-kualitas tersebut mengingatkan saya kepada Tuhan Yesus yang kita baca di Perjanjian Baru. Yesus sangat mudah didekati—Dia senang menyambut anak-anak (Mat. 19:13-15). Dia berbaik hati kepada seorang wanita yang berbuat zina (Yoh. 8:1-11). Belas kasihan memotivasi Yesus untuk mengajar orang banyak (Mrk. 6:34). Pada saat yang sama, kuasa Yesus begitu mengagumkan. Orang tercengang melihat Dia mengusir setan, menenangkan badai, dan membangkitkan orang mati! (Mrk. 1:21-34; 4:35-41; Yoh. 11).
Cara kita memandang Yesus menentukan cara kita berhubungan dengan-Nya. Apabila kita hanya berpusat pada kuasa-Nya, kita mungkin akan memuja Dia sama seperti kita memuja tokoh jagoan di buku komik. Namun apabila kita terlalu menekankan kebaikan-Nya, mungkin saja kita cenderung meremehkan-Nya. Sesungguhnya Yesus memiliki kedua kualitas tersebut—Dia begitu berkuasa sehingga memang pantas kita taat kepada-Nya, tetapi Dia juga begitu lemah lembut hingga rela menerima kita sebagai sahabat-sahabat-Nya. —Jennifer Benson Schuldt
Tuhan Yesus, terima kasih aku boleh mengenal-Mu. Engkau berkuasa tetapi lemah lembut. Kusembah Kau, Anak Allah yang penuh karunia dan kemuliaan.
Pandangan kita tentang Yesus terlihat dari cara kita berhubungan dengan-Nya.

Thursday, November 10, 2016

Tujuan Hidup yang Baru

Yesus berkata kepada mereka: “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” —Markus 1:17
Tujuan Hidup yang Baru
Jacob Davis adalah seorang penjahit yang sedang menghadapi masalah. Pada masa perburuan emas abad ke-19 di wilayah barat Amerika, celana para penambang di sana cepat sekali rusak. Untuk memecahkan masalah itu, Davis mengunjungi toko milik Levi Strauss yang menjual segala macam kain. Davis pun membeli kain yang biasa dipakai sebagai bahan tenda dan membuat celana kerja dari kain yang tebal dan tidak mudah rusak tersebut. Itulah cikal bakal dari celana blue jeans. Saat ini, jeans berbahan denim dalam beragam bentuknya (termasuk merek Levi’s) adalah salah satu jenis pakaian paling populer di dunia, dan semua itu berawal dari sebuah kain bahan tenda yang diubah menjadi sesuatu yang baru.
Simon dan kawan-kawannya adalah nelayan di laut Galilea. Kemudian Tuhan Yesus datang dan memanggil mereka untuk mengikut-Nya. Dia memberikan kepada mereka tujuan hidup yang baru. Mereka tidak lagi menjala ikan. Yesus berkata kepada mereka, “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Mrk. 1:17).
Dengan tujuan baru yang diberikan bagi hidup mereka itu, para murid itu diajar dan dilatih oleh Yesus, agar setelah Dia naik ke surga, mereka dapat dipakai Allah untuk memenangkan hati banyak orang dengan kabar baik tentang kematian dan kebangkitan Kristus. Saat ini, kita juga mengikuti jejak mereka ketika kita mewartakan kabar baik tentang kasih Kristus dan keselamatan yang ditawarkan-Nya.
Kiranya hidup kita menyatakan sekaligus menunjukkan kasih Kristus yang dapat mengubah kehidupan, tujuan, dan kekekalan banyak orang. —Bill Crowder
Tuhan, tolong aku untuk menyatakan diri-Mu dengan baik sehingga banyak orang tertarik untuk mengenal kasih-Mu dan keselamatan-Mu.
Hidup baru kita di dalam Kristus memberi kita tujuan hidup yang baru.

Wednesday, November 9, 2016

Tanda dan Perasaan

Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang di jalanku. —Mazmur 119:105
Tanda dan Perasaan
Seorang pemuda yang saya kenal memiliki kebiasaan untuk meminta tanda kepada Allah. Sikap itu tidak selalu salah, tetapi doa-doa yang dinaikkannya cenderung meminta konfirmasi atas perasaannya. Sebagai contoh, ia akan berdoa, “Tuhan, jika Engkau ingin aku melakukan X, tolonglah Engkau melakukan Y, maka aku akan tahu bahwa Engkau berkenan atas hal itu.”
Hal itu menciptakan suatu dilema. Karena caranya berdoa dan anggapannya tentang cara Allah menjawab doanya, ia merasa bahwa ia harus kembali menjalin hubungan dengan mantan pacarnya. Di sisi lain, mantan pacarnya justru merasa sangat yakin bahwa Allah tidak menghendaki mereka kembali bersama.
Para pemimpin agama di zaman Yesus pernah menuntut tanda dari-Nya untuk membuktikan keabsahan dari pengakuan-pengakuan-Nya (Mat. 16:1). Mereka tidak sedang meminta petunjuk dari Allah, melainkan sedang menantang otoritas-Nya sebagai Tuhan. Yesus menjawab, “Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda” (ay.4). Respons tajam dari Tuhan Yesus itu tidak dimaksudkan untuk mencegah orang mencari petunjuk dari Allah. Sebaliknya, Yesus menuduh mereka telah mengabaikan nubuat-nubuat dalam Kitab Suci yang jelas-jelas mengisyaratkan bahwa Dia adalah Mesias.
Allah ingin kita mencari petunjuk dari-Nya melalui doa (Yak. 1:5). Dia juga memberi kita bimbingan melalui Roh Kudus (Yoh. 14:26) dan firman-Nya (Mzm. 119:105). Dia menyediakan para pembina rohani dan pemimpin yang bijaksana. Dan Dia telah memberi kita teladan dalam diri Yesus.
Meminta Allah untuk memberikan arahan yang jelas memang merupakan sikap yang bijaksana, tetapi Dia tidak selalu memberikan petunjuk-Nya dengan cara-cara yang kita harapkan atau inginkan. Yang mungkin lebih penting dari doa kita adalah bahwa kita semakin mengenal sifat-sifat Allah dan menikmati hubungan pribadi yang semakin erat dengan Allah Bapa kita. —Tim Gustafson
Cara terbaik untuk mengetahui kehendak Allah adalah dengan
menyatakan kerelaan kita untuk taat kepada-Nya.

Tuesday, November 8, 2016

Sama Sekali Tidak Tahu

Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! —Galatia 6:2
Sama Sekali Tidak Tahu
Pada suatu malam yang dingin, para sukarelawan dari sebuah gereja lokal membagi-bagikan makanan kepada para penghuni dari suatu kompleks rumah susun sangat sederhana. Seorang wanita yang menerima makanan itu merasa begitu gembira. Ia menunjukkan kepada mereka lemarinya yang kosong dan mengatakan bahwa mereka adalah jawaban dari doa-doanya.
Ketika para sukarelawan itu kembali ke gereja, salah seorang di antara mereka mulai menangis. “Ketika aku masih kecil,” katanya, “wanita itu adalah guruku di Sekolah Minggu. Ia ada di gereja setiap hari Minggu. Kami sama sekali tidak tahu bahwa ia kelaparan!”
Para sukarelawan itu tentu adalah sekumpulan orang yang peduli dan sungguh-sungguh berusaha untuk meringankan beban sesamanya, seperti yang disebutkan Paulus dalam Galatia 6:2. Namun entah bagaimana mereka tidak menyadari kebutuhan wanita yang mereka temui di gereja setiap hari Minggu itu—dan wanita itu juga belum pernah menceritakan kebutuhannya. Kisah tersebut bisa mengingatkan kita semua untuk menjadi lebih peka terhadap keadaan orang-orang di sekitar kita, seperti yang dinasihatkan Paulus, “Marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (6:10).
Umat yang seiman mempunyai kesempatan istimewa untuk menolong satu sama lain agar tidak ada seorang pun di dalam tubuh Kristus lalai menerima pertolongan yang mereka butuhkan. Ketika kita berusaha saling mengenal dan mempedulikan, kiranya kita tidak akan pernah mengatakan, “Kami sama sekali tidak tahu.” —Dave Branon
Tuhan, tolonglah aku untuk menyadari kebutuhan orang-orang di sekitarku dan melakukan yang kubisa untuk membantu memenuhinya dalam nama-Mu.
Kepedulian menuntut kita untuk rela berkorban.

Monday, November 7, 2016

Bukit Sulit

Dari sungai di tepi jalan ia minum, oleh sebab itu ia mengangkat kepala. —Mazmur 110:7
Bukit Sulit
Pada sisi puncak Gunung Jughandle di sebelah utara dari rumah kami di Idaho terletak sebuah danau glasial. Untuk mencapai danau itu seseorang harus menyusuri punggung bukit yang curam, melewati bongkahan batu-batu besar, dan melintasi hamparan kerikil. Sungguh suatu pendakian yang berat.
Namun pada awal pendakian, terdapat sebuah sungai kecil—mata air yang merembes keluar dari tanah berlumut dan mengalir melalui padang rumput yang subur. Tempat itu sangat baik bagi seseorang untuk melepas dahaga dan mempersiapkan diri sebelum memulai pendakian yang berat.
Dalam The Pilgrim’s Progress (Perjalanan Seorang Musafir), karya klasik John Bunyan yang menceritakan kiasan dari perjalanan iman seorang Kristen, sang tokoh bernama Kristen tiba di kaki suatu bukit yang curam bernama Hill Difficulty (Bukit Kesulitan). “Di kaki bukit itu ada mata air . . . Kristen kini menghampiri mata air itu dan meminum airnya untuk menyegarkan diri, lalu kembali bersiap mendaki bukit.”
Mungkin masalah menggunung yang kamu hadapi adalah seorang anak yang memberontak atau diagnosa medis yang serius. Tantangan yang menghadang itu terasa terlampau berat untuk kamu tanggung.
Sebelum kamu menghadapi beban besar berikutnya, datanglah kepada mata air yang menyegarkan, yaitu Allah sendiri. Datanglah kepada-Nya dengan segala kelemahan, kelelahan, ketidakberdayaan, ketakutan, dan keraguanmu. Kemudian terimalah kesegaran kuasa, kekuatan, dan hikmat-Nya. Allah mengetahui segala keadaan kita dan Dia akan melimpahkan penghiburan dan kekuatan rohani kepada kita. Dia akan mengangkat kepalamu dan memberimu kekuatan untuk melanjutkan perjalanan. —David Roper
Bapa, saat ini aku datang kepada-Mu memohon kekuatan untuk kelemahanku, tenaga untuk keletihanku, dan iman untuk mengatasi keraguanku. Amin.
Dia yang menentukan segala sesuatu . . . memampukan Kristen . . . untuk melanjutkan perjalanannya. —John Bunyan, The Pilgrim’s Progress

Sunday, November 6, 2016

Tempat Aman

Beberapa orang di antara kamu demikianlah dahulu. Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita. —1 Korintus 6:11
Tempat Aman
Seorang pemuda Jepang menghadapi masalah: ia takut meninggalkan rumahnya. Untuk menghindari orang, ia tidur sepanjang hari dan bergadang sepanjang malam dengan menonton TV. Ia disebut sebagai seorang hikikomori atau pertapa di zaman modern. Masalahnya berawal ketika ia tidak mau lagi bersekolah karena nilai-nilainya yang jelek. Semakin lama ia menjauh dari masyarakat, semakin ia merasa canggung bersosialisasi. Akhirnya ia berhenti berkomunikasi dengan teman-teman dan keluarganya. Meski demikian, ia dapat ditolong untuk pulih dengan mendatangi sebuah perkumpulan pemuda di Tokyo yang disebut ibasho—sebuah tempat aman di mana orang-orang yang terpuruk dapat belajar untuk kembali bersosialisasi di tengah masyarakat.
Bagaimana bila kita memandang gereja sebagai sebuah ibasho—bahkan lebih dari itu? Tidak bisa dipungkiri bahwa gereja merupakan kumpulan dari orang-orang yang pernah terpuruk. Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Rasul Paulus menjabarkan cara hidup mereka yang lama—tidak peduli, merusak diri, dan merugikan sesama (1Kor. 6:9-10). Namun di dalam Yesus, mereka diubahkan dan dipulihkan kembali. Lalu Paulus mendorong mereka yang telah diselamatkan itu untuk saling mengasihi, berlaku sabar dan murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, dan tidak melakukan yang tidak sopan (13:4-7).
Gereja sepatutnya menjadi sebuah ibasho, tempat kita semua dapat mengenal dan merasakan kasih Allah, terlepas apa pun pergumulan atau keterpurukan yang kita hadapi. Kiranya dunia yang sarat dengan penderitaan ini dapat mengalami belas kasihan Kristus dari semua orang yang mempercayai-Nya. —Poh Fang Chia
Hanya Allah yang dapat mengubah jiwa yang ternoda dosa menjadi mahakarya yang indah.

Saturday, November 5, 2016

Kasih dalam Tindakan Nyata

[Hendaklah kamu] tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri. —Filipi 2:3
Kasih dalam Tindakan Nyata
“Adakah pakaianmu yang bisa saya bantu cuci?” tanya saya pada seorang tamu yang menginap di rumah kami di London. Wajahnya terlihat senang, lalu ia berkata kepada putrinya yang sedang lewat, “Cepat, ambil pakaian kotormu—Amy akan mencucinya untuk kita!” Saya tersenyum, sambil menyadari bahwa tawaran mencuci beberapa helai pakaian tadi berubah menjadi mencuci setumpuk pakaian.
Beberapa saat kemudian, ketika sedang menjemur pakaian-pakaian itu, saya teringat bacaan Alkitab pagi itu: “Hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri” (Flp. 2:3). Saya sedang membaca surat Paulus kepada jemaat di Filipi, dan di sana ia menasihati mereka untuk menjalani hidup sesuai panggilan Kristus dengan melayani dan menjadi satu. Paulus ingin agar mereka sehati sepikir meskipun mereka sedang mengalami penganiayaan. Ia tahu bahwa kesatuan yang muncul dari persekutuan mereka dengan Kristus yang tercermin lewat sikap saling melayani akan memampukan mereka bertahan dalam iman.
Kita bisa saja mengaku mengasihi sesama tanpa bermaksud untuk mementingkan atau meninggikan diri sendiri, tetapi keadaan hati kita yang sesungguhnya hanya bisa diketahui orang ketika kita membuktikan kasih kita lewat perbuatan nyata. Meski saya tergoda untuk mengeluh, saya tahu bahwa sebagai pengikut Kristus, saya dipanggil untuk mengasihi teman-teman saya dengan hati tulus dan tindakan nyata.
Kiranya kita selalu berusaha untuk dapat melayani keluarga, teman dan sesama kita demi kemuliaan Allah. —Amy Boucher Pye
Baca Lukas 22:22-27 dan pikirkan bagaimana kamu dapat meneladani Yesus Sang Hamba, terutama dengan memperhatikan perkataan-Nya, “Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.”
Kesatuan dapat timbul dari kerelaan melayani satu sama lain.

Friday, November 4, 2016

Sang Penakluk Agung

Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini. —Yohanes 18:36
Sang Penakluk Agung
Kebanyakan dari kita berharap dipimpin oleh pemerintah yang baik. Kita memilih, mendukung, dan menyuarakan hal-hal yang kita anggap adil dan benar. Namun solusi politik tetap tidak sanggup mengubah keadaan hati manusia.
Banyak pengikut Yesus menanti-nantikan seorang Mesias yang akan memberikan perlawanan politik terhadap penindasan yang dilakukan oleh pemerintahan Romawi. Salah satunya Petrus. Ketika prajurit Romawi datang untuk menangkap Kristus, Petrus menghunus pedang, mengayunkannya ke arah kepala seorang hamba Imam Besar, dan memutuskan telinganya.
Yesus menghentikan perlawanan Petrus dan berkata, “Sarungkan pedangmu itu; bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepada-Ku?” (Yoh. 18:11). Beberapa jam kemudian, Yesus berkata kepada Pilatus, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi” (ay.36).
Sikap Yesus yang mengekang diri di saat hidup-Nya terancam itu sungguh membuat kita takjub, terutama ketika kita memikirkan misi besar yang hendak digenapi-Nya. Kelak, Yesus akan memimpin bala tentara surgawi ke medan peperangan. Yohanes menuliskan, “Ia menghakimi dan berperang dengan adil” (Why. 19:11).
Namun di sepanjang kesengsaraan yang ditanggung Yesus dalam penangkapan, pengadilan, dan penyaliban-Nya, Dia terus menaati kehendak Bapa-Nya. Dengan kerelaan-Nya mati di kayu salib, Yesus telah memulai serangkaian peristiwa yang sungguh-sungguh akan mengubah hati manusia. Lewat kematian-Nya, Sang Penakluk Agung itu telah menaklukkan kematian itu sendiri. —Tim Gustafson
Bapa, alangkah mudahnya aku bereaksi daripada bertindak dengan bijaksana. Tunjukkanlah kehendak-Mu atas hidupku agar aku dengan rela memilih jalan yang Kau siapkan bagiku.
Pengekangan diri yang sejati bukanlah kelemahan karena sikap itu justru timbul dari kekuatan sejati.

Thursday, November 3, 2016

Memimpin dengan Kasih

Mengingat kasihmu itu, lebih baik aku memintanya dari padamu. —Filemon 1:9
Memimpin dengan Kasih
Dalam buku Spiritual Leadership (Kepemimpinan Rohani), J. Oswald Sanders membahas kualitas dan nilai penting dari kearifan dan diplomasi. Sanders mengatakan, “Paduan dari kedua kata itu mengandung makna tentang kecakapan dalam menyatukan sudut-sudut pandang yang bertentangan tanpa melukai masing-masing pihak dan tanpa mengkompromikan prinsip yang dipegang.”
Selama dipenjara di Roma, Paulus menjadi pembina rohani dan teman dekat dari seorang budak pelarian bernama Onesimus, yang pernah bekerja bagi majikan bernama Filemon, seorang pemimpin jemaat di Kolose. Dalam suratnya kepada Filemon, Paulus memintanya untuk menerima Onesimus sebagai saudara seiman dalam Kristus. Di sinilah Paulus memberikan teladan dalam kearifan dan diplomasi. “Karena itu, sekalipun di dalam Kristus aku mempunyai kebebasan penuh untuk memerintahkan kepadamu apa yang harus engkau lakukan, tetapi mengingat kasihmu itu, lebih baik aku memintanya dari padamu. . . . [Onesimus adalah] saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan” (Fil. 1:8-9,16).
Paulus adalah seorang pemimpin yang dihormati di antara jemaat mula-mula, dan ia sering memberikan perintah-perintah yang tegas kepada para pengikut Yesus. Namun dalam kasus ini, ia memohon kepada Filemon dengan dasar kesetaraan, persahabatan, dan kasih. “Tanpa persetujuanmu, aku tidak mau berbuat sesuatu, supaya yang baik itu jangan engkau lakukan seolah-olah dengan paksa, melainkan dengan sukarela” (ay.14).
Dalam hubungan kita dengan siapa saja, kiranya kita selalu berusaha memegang prinsip kita dan memelihara keharmonisan kita dengan didasari kasih. —David McCasland
Bapa di surga, dalam hubungan kami dengan sesama, berilah kami anugerah dan hikmat untuk menjadi pemimpin, orangtua, dan teman yang bijaksana.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang melayani.

Wednesday, November 2, 2016

Waspada dan Berjaga-jaga

Berjaga-jagalah! Berdirilah dengan teguh dalam iman! —1 Korintus 16:13
Waspada dan Berjaga-jaga
Meja saya terletak di dekat jendela yang menghadap ke lingkungan rumah kami. Dari jendela tersebut, saya beruntung dapat melihat sekelompok burung hinggap di pepohonan sekitar. Ada burung yang hinggap di jendela untuk memangsa serangga-serangga yang terperangkap pada kasa jendela.
Burung-burung itu mewaspadai adanya ancaman bahaya dengan sungguh-sungguh mendengarkan apa yang terjadi di sekitarnya. Setelah merasa yakin tidak ada bahaya yang mengancam, burung-burung itu pun hinggap untuk makan. Meskipun demikian, burung-burung itu berhenti makan setiap beberapa detik untuk kembali mengawasi sekitarnya.
Kewaspadaan yang ditunjukkan burung-burung tersebut mengingatkan saya pada perintah Alkitab agar kita selalu waspada sebagai orang Kristen. Dunia ini memang penuh dengan godaan, tetapi kita perlu terus berjaga-jaga secara konsisten dan tidak lengah terhadap bahaya yang mengancam. Seperti Adam dan Hawa, kita pun mudah terjerat oleh daya pikat dari hal-hal di dalam dunia yang kelihatannya “baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula . . . menarik hati karena memberi pengertian” (Kej. 3:6).
Paulus menasihatkan, “Berjaga-jagalah! Berdirilah dengan teguh dalam iman!” (1Kor. 16:13). Petrus juga mengingatkan, “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya” (1Ptr. 5:8).
Dalam kehidupan kita sehari-hari, apakah kita mewaspadai hal-hal duniawi yang mulai menguasai kita? Apakah kita mendeteksi adanya tanda-tanda sikap mengandalkan diri sendiri atau kekerasan hati yang akan menjauhkan iman kita dari Allah? —Lawrence Darmani
Tuhan, jauhkanlah kami dari dosa yang tersembunyi dan perbuatan egois yang cenderung kami lakukan. Oleh anugerah-Mu, ubahlah pencobaan yang kami alami menjadi sarana untuk membuat kami semakin serupa dengan Kristus.
Jalan terbaik untuk melepaskan diri dari pencobaan adalah dengan berlari kepada Allah.

Tuesday, November 1, 2016

Larilah Kepada-Ku

Nama Tuhan adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat. —Amsal 18:10
Larilah Kepada-Ku
Ketika berjalan-jalan di taman dekat rumah, saya dan anak-anak bertemu sepasang anjing dengan rantai pengikat yang terlepas. Pemilik anjing itu sepertinya tidak menyadari bahwa seekor dari anjing tersebut mulai menakut-nakuti putra saya. Ia berusaha mengusirnya, tetapi anjing itu justru semakin berani mengganggunya.
Akhirnya, putra saya menjadi panik. Ia pun lari menjauh beberapa meter, tetapi anjing itu terus mengejarnya. Kejar-kejaran itu terus berlanjut hingga saya berteriak, “Lari ke arah Mama!” Putra saya pun berbalik dan berubah menjadi tenang, sementara anjing itu akhirnya memilih untuk melanjutkan ulahnya di tempat lain.
Adakalanya dalam hidup ini, Allah memanggil kita dan berseru, “Larilah kepada-Ku!” Mungkin pada saat itu, ada sebuah masalah yang terus membuntuti kita. Sejauh atau secepat apa pun kita berusaha menghindar, masalah itu terus mengejar dan mendekati kita. Kita tidak dapat melepaskan diri darinya. Kita terlalu takut untuk berbalik dan menghadapi masalah tersebut sendirian. Namun pada kenyataannya, kita tidaklah sendirian. Allah senantiasa hadir, siap menolong dan menghibur kita. Yang harus kita lakukan hanyalah berbalik dari apa pun yang menakutkan kita itu, dan berlari ke arah Tuhan. Firman-Nya mengatakan, “Nama Tuhan adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat” (Ams. 18:10). —Jennifer Benson Schuldt
Ya Yesus, Engkaulah Raja Damai. Aku membutuhkan damai sejahtera yang hanya dapat diberikan oleh-Mu. Tolonglah aku untuk berpaling kepada-Mu di saat aku menghadapi kesulitan.
Allah adalah tempat perlindungan kita di masa kesesakan.
 

Total Pageviews

Translate